"Oh iya Mas, ngomong-ngomong teman perempuannya Mas yang kemarin tinggal di mana? Apa tinggal di Jakarta juga atau tinggal di mana?." Tanya Zahira saat mereka dalam perjalanan pulang.
Zahira begitu antusias sebab sebelumnya Mas Bilal mengatakan kedua anak dari temannya itu sangat cantik dan sangat tampan. Niken Anjani (5 tahun) dan Taufik Rahmat 7 (tahun) . Mereka satu pasang, jadi teman perempuan Mas Bilal sudah tidak ingin memiliki anak lagi.
"Tinggal di Bandung sayang."
"Terus anak-anak kemarin ikut?."
Mas Bilal menggeleng, "Enggak."
Zahira tampak berpikir keras dengan bibir yang mengerucut.
"Kenapa sayang? Ada apa?."
"Terus kalau teman Mas bekerja, anak-anak sama neneknya dong atau ada baby sister?."
"Katanya, ada mbak yang jaga, bukan baby sister."
"Oh gitu Mas."
"Hmmm."
Obrolan mereka terus berlanjut hingga membahas pertemuan awal mereka. Tanpa terasa pun mereka sudah sampai di rumah.
Mama dan Papa yang selalu duduk santai di rumah tengah menyambut kepulangan Mas Bilal dan Zahira.
"Kalian sudah makan?."
"Sudah Ma, tadi di hotel." Jawab Mas Bilal.
"Terus hasil tes nya gimana? Mama Papa mau tahu, duduk dulu sini, Zahira." Mama memanggil Zahira yang menyelinap akan naik ke lantai tiga.
Zahira terpaksa menarik kedua sudut bibirnya, memaksakan diri untuk tersenyum sambil menatap Mas Bilal. Meminta pertolongan supaya ditunda obrolan mengenai hasil tes nya.
"Nanti saja Ma, kita bicarakan. Sekarang Bilal harus segera ke kantor. Sudah ditungguin sama Arman" Mas Bilal menarik tangan Zahira yang hendak duduk di dekat Mama.
"Ah si Bilal ini, kan kami mau tahu juga ada hasil tes Zahira. Memangnya kenapa kalau cerita sekarang?." Nada Mama terdengar sangat ketus.
Mas Bilal dan Zahira saling menatap, Mas Bilal meminta pengertian Zahira untuk berbicara saat ini juga. Tapi Zahira menggeleng lemah. Mas Bilal hanya mampu menghela nafas panjang. Sangat sulit berada diantara dua wanita yang sangat penting dalam hidupnya.
"Ya udah Zahira, bantu Bilal bersiap" Papa menengahi Mama dan Zahira serta Bilal. Sebab Papa melihat gelengan kepala Zahira.
"Iya Pa. Pa, Ma, Zahira ke atas dulu ya." Pamit Zahira namun ditanggapi dingin Mama mertuanya.
"Iya" sahut Papa.
Zahira dan Mas Bilal bisa bernafas dengan lega, ternyata Papa sangat pengertian.
Sesampai di dalam kamar, Bilal segara berganti pakaian dan Zahira menyiapkan dokumen. Memasukkannya ke dalam tas lalu menaruhnya di atas meja.
"Kamu jangan dulu ke bawah, nanti Mama tanya-tanya kamu lagi." Pesan Mas Bilal sebelum turun. Mas Bilal mengambil tas dan menentengnya.
"Iya, Mas. Lagi pula pekerjaan aku di sini banyak banget. Cucian baju dan cucian piring sudah menumpuk." Sahut Zahira.
"Ya sudah, Mas berangkat ya sayang." Mas Bilal memeluk Zahira, lalu mendaratkan kecupan pada kening Zahira dan menerima tangan Zahira yang salim padanya.
"Mas Bilal hati-hati ya."
"Iya sayang, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mas Bilal."
Setelah kepergian Mas Bilal, Zahira langsung menyibukkan diri di dapur. Mulai dari mencuci piring, merapikan dapur, mencuci pakaian, menjemur hingga merapikan tempat Zahira dan Mas Bilal duduk santai kalau sedang berdua.
Adzan dzuhur telah berkumandang, Zahira menyudahi pekerjaan dan langsung masuk ke kamar. Lanjut ke kamar mandi guna membersihkan diri sebelum melaksanakan shalat dzuhur.
Zahira mengawalkan waktu shalatnya, Zahira ingin menangis dalam doa-doa nya supaya ada keajaiban padanya. Tentu saja Zahira ingin merasakan menjadi wanita yang seutuhnya dengan menjadi seorang ibu.
Usai puas mengadu pada sang pemilik hidup, Zahira pun duduk di tepi tempat tidur sambil melipat mukena dan sajadah yang baru digunakan.
Terdengar helaan nafas Zahira yang berat kala mendengar suara Mama mertuanya memanggil.
"Zahira!."
"Iya Ma." Zahira membuka pintu, di tangan Mama sudah ada makanan kesukaannya. Sate kerang Medan dan udang saos tiram.
"Kamu masak nasi kan?." Tanpa di suruh masuk pun Mama langsung masuk ke kamar dan meletakkan kedua makanan itu di atas meja rias.
"Ada Ma" Zahira masih diam di dekat pintu.
Memang bukan pemandangan yang aneh bagi Zahira melihat tingkah berani Mama mertuanya, meski Zahira sudah membicarakannya pada Mas Bilal. Tapi, sepertinya Mas Bilal tidak pernah menyampaikannya pada Mama mertua. Sehingga masih bersikap sesuka hati seperti ini saat memasuki kamarnya.
"Sebenarnya Mama sangat penasaran apa kata dokter, sekarang kamu bisa memberitahu Mama. Apa kamu bisa hamil atau tidak?." Mama menghampirinya dan berdiri di depan Zahira.
Zahira yang sudah tidak bisa mundur lagi pun terpaksa harus bicara pada Mama mertua, menceritakan ulang apa yang dikatakan dokter tentang hasil tes nya.
Ada gurat kekecewaan pada wajah Mama mertua setelah mendengarkan cerita Zahira. Wanita itu tidak akan pernah bisa membuat Mama mertuanya bahagia dengan memberinya keturunan.
"Jadi Bilal tidak akan punya anak lah ya? Terus bagaimana kalau Bilal menginginkan anak?." Mama menyadarkan tubuhnya pada dinding dekat pintu.
Zahira berusaha bersikap seolah biasa saja dengan pertanyaan Mama mertua dan memberikan jawaban sesantai mungkin. "Mas Bilal boleh menikah lagi kalau memang sangat menginginkan seorang anak. Tapi tolong ceraikan Zahira dulu, pulang kan Zahira pada kedua orang tua Zahira."
"Enggak lah kalau sampai bercerai, pasti Bilal tidak akan mau. Memang kenapa kalau di madu?" dengan sangat entengnya Mama mertua menanyakan hal menyakitkan tersebut.
"Zahira tidak siap dan tidak akan pernah siap bila di madu. Maka lebih baik cerai kan Zahira kalau Mas Bilal mau menikah lagi demi mendapatkan anak."
"Ya Mama mengerti, nanti Mama bicara pada Bilal. Pasti anak itu sedih karena tidak akan pernah menjadi seorang ayah. Padahal Bilal sangat mampu." Mama mertua keluar dari kamar setelah menaburkan garam pada luka Zahira yang masih berdarah-darah.
Zahira menutup pintu pelan, tubuhnya limbung dan ambruk di atas lantai dekat tempat tidur. Air matanya mengalir deras, dadanya begitu sesak hingga Zahira memukulnya berulang kali. Bukannya berkurang rasa sakitnya justru semakin besar dan membesar.
Wanita mana yang mau lahir dalam kondisi sepertinya? Wanita mana yang mau mandul sepertinya? Wanita mana yang tidak ingin mengandung, melahirkan dan menyusui?. Namun jika sudah digariskan tidak sempurna, harus siapa yang patut dipersalahkan?.
Takdir kah? Harus kan Zahira menyalahkan Takdir? Bukan kah takdir itu sebaik-baiknya garis kehidupan dari sang pencipta alam semesta.
"Kalau pun harus berpisah, ini mungkin yang terbaik supaya tidak saling menyakiti satu sama lain." Gumam Zahira lirih, melepas hijab yang sejak tadi berantakan. Ditutup wajah menggunakan hijab itu guna meredam suara tangisnya.
.....
Mas Bilal sedang makan siang bersama dengan teman yang dibicarakannya pada Zahira. Alisha Putri Nabila. Pertemuan kedua ini telah mereka rencanakan sebelumnya. Ada banyak cerita yang ingin mereka tukar dan membaginya setelah beberapa tahun tidak bertemu.
"Pekerjaan aku di sini udah selesai, nanti malam aku balik ke Bandung."
"Iya, kamu hati-hati di jalan."
"Kamu masih sangat perhatian Mas."
"Biasa saja, sebagai teman."
"Teman yang pernah memiliki bagian tempat di dalam hati mu, Mas. Apa tempat itu masih milikku?. Apa istrimu juga tahu kalau saat ini kita bertemu dan makan siang bersama?."
Ya, Alisha merupakan teman sekaligus mantan Mas Bilal sewaktu duduk di bangku kuliah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments