Mas Bilal terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaan simpel dari Alisha. Karena memang sejatinya nama Alisha masih ada dalam bagian hati Mas Bilal yang lain. Meski untuk sekarang telah didominasi oleh Zahira.
Alisha memegang tangan Mas Bilal dengan tatapan sendu. "Apa masih ada aku di dalam sana?." Mata Alisha menunjuk dada Mas Bilal.
Mas Bilal masih terdiam, menatap wanita yang masih tetap cantik meski mau mendekati usia 40 tahun.
"Sedikit saja Mas, aku masih ada di dalam hatimu. Aku bisa memberikan kebahagiaan yang tidak sanggup diberikan istrimu, Mas."
"Zahira selalu bisa membuatku bahagia!!!" sentak Mas Bilal menyanggah sambil menyingkirkan tangan Alisha kasar.
"Maaf, Mas. Iya aku tahu istri Mas Bilal wanita pilihan. Tapi, seperti yang Mas Bilal katakan, Mas Bilal menginginkan seorang anak sebagai penerus Mas Bilal nanti, yang akan mendoakan Mas Bilal kalau meninggal nanti."
Mas Bilal kembali bungkam, memang hal itu sangat diinginkan Bilal. Tapi Mas Bilal juga tahu tidak mungkin Mas Bilal menyakiti Zahira dengan menduakannya. Lalu bagaimana dengan keinginan untuk masa depannya? Apa salah bila Mas Bilal sangat mengharapkan seorang anak?.
"Mas Bilal bisa memikirkannya baik-baik, sekarang aku harus balik ke hotel." Pamit Alisha.
Mas Bilal hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Mempersilakan Alisha pergi untuk saat ini atau sampai selamanya?.
.....
Mas Bilal yang baru sampai di kantor setelah makan siang dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tuanya. Mereka sudah menunggu di dalam ruangan kerja dengan ditemani dua cangkir teh hangat.
"Ada apa Ma, Pa? Ada sesuatu yang penting sampai datang ke sini?."
"Kamu ini bagaimana Bilal? Masa saat menikah dengan Zahira tidak tahu kalau Zahira mandul?."
Mas Bilal memijat pelipisnya, lalu berpindah pada leher belakang yang terasa berat.
"Kamu mau menikah lagi atau bagaimana?." Cecar Mama lagi.
"Sudahlah Ma, biar Bilal duduk dulu. Jangan terlalu ditekan dengan pertanyaan Mama itu."
"Bukan begitu Pa, mereka menikah sudah 9 tahun. Belum ada anak juga dan sekarang Zahira mandul. Terus Bilal bagaimana? Bilal sehat, tidak ada masalah. Kalau begitu nikah aja lagi, cerai sudah sama Zahira."
"Ma!!!!" bentak Mas Bilal hilang kontrol atas ucapan sang Mama.
Hening yang terjadi saat ini diantara mereka bertiga. Berulang kali Mas Bilal mengusap kasar wajahnya.
"Lebih baik kita pulang sekarang, Ma. Biarkan Bilal berpikir dulu." Ajak Papa.
Dengan ketus Mama bangkit dan berdiri tepat di depan Bilal. "Jangan sampai kamu menyesal karena tidak mendengar ucapan Mama."
Kemudian Mama meninggalkan ruangan kerja Bilal yang disusul oleh Papa. Namun sebelum itu Papa menasehatinya terlebih dulu.
"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Harus kamu pikirkan matang-matang, baik dan buruknya juga. Zahira seorang istri dan menantu yang sangat baik, jangan kamu sakiti dengan menduakannya."
Mas Bilal mendaratkan bokongnya di atas sofa berbarengan dengan Jeremy yang masuk setelah mengetuk pintu berulang kali.
"Maaf Pak Bilal, besok ada meeting di Bandung dan semua dokumen yang harus dibawa sudah saya siapkan di dalam map ini." Ucap Jeremy panjang lebar.
"Kamu taruh di atas meja, sini duduk temani saya." Mas Bilal menunjuk tempat disebelahnya.
Jeremy mengikuti apa yang diperintahkan oleh Mas Bilal. Untung saja Jeremy duduk di samping Mas Bilal, jadi tidak bisa melihat wajah Mas Bilal yang seperti benang kusut.
Hening, keduanya tidak langsung terlibat percakapan. Jeremy hanya duduk menunggu Mas Bilal yang berbicara terlebih dulu. Karena jujur saja Jeremy tidak tahu harus berkata apa selain pekerjaan.
Lima menit, lima belas menit, hingga pada menit ke dua puluh barulah Mas Bilal merubah posisi duduk sambil menoleh ke arah Jeremy.
"Aku pusing banget Jeremy, rasanya kepala ku mau pecah" Mas Bilal memegangi kepala, sesekali meremas kencang rambut kepalanya.
"Pak Bilal butuh tukang pijat? Di tempat saya ada Pak, enak banget pijatannya. Namanya Emak Enok.
Mas Bilal memegangi kepalanya yang semakin berdenyut nyeri. Bicara pada Jeremy bukan masalahnya berkurang justru semakin ruwet. Mau marah tapi ini bukan kesalahan Jeremy.
"Aku tidak butuh tukang pijat, Jeremy!." Tegas Mas Bilal menatap Jeremy.
"Oh, iya Pak Bilal." Jeremy tersenyum kaku
"Hmmm."
Hening lagi untuk beberapa saat sampai ponsel milik Mas Bilal berdering menandakan ada panggilan masuk. Namun Mas Bilal enggan mengangkat telepon tersebut disaat pikirannya sedang kacau.
"Kamu terpikir enggak untuk menduakan istrimu?."
"Hah, saya Pak?. Selingkuh? Poligami? Atau hanya jajan saja?." Saking terkejut dengan pertanyaan Mas Bilal, Jeremy mengeluarkan secara spontan apa yang ada dalam benaknya.
Lagi-lagi Mas Bilal memijat pelipisnya, menghela nafas kasar lalu menampakkan wajah geram pada Jeremy. Sepertinya Mas Bilal salah memilih teman untuk bicara. Padahal Mas Bilal dan Jeremy sudah lama berteman baik.
Jeremy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pria itu sangat kesulitan berdua bersama Mas Bilal yang sedang dalam mode galau. Jeremy tidak tahu jawaban apa yang dibutuhkan Mas Bilal saat ini.
"Kamu bisa kembali bekerja, lain kali saja kita bicara lagi." Mas Bilal akhirnya meminta Jeremy kembali ke ruangan kerjanya.
"Iya, Pak Bilal." Dengan senang hati Jeremy keluar dari sana dengan senyum yang mengembang. Akhirnya bisa lepas dari situasi yang menegangkan.
Hari semakin sore dan Mas Bilal segara pulang. Rasa lelah sudah melandanya sejak tadi. Bukan hanya fisiknya saja tetapi psikisnya juga. Tekanan yang datang bertubi-tubi harus diterimanya dari arah kanan, kiri, depan, belakang.
Zahira adalah tempatnya bermanja, menghilangkan penat dari padatnya aktivitas setiap hari.
Setibanya di rumah, pertama kali disambut oleh wajah dingin sang Mama yang ternyata masih merasa kesal terhadapnya.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam." Jawab Mama pelan.
Bilal melirik Papa yang baru keluar dari kamar, "Baru pulang?."
"Iya, Pa."
"Sana ganti pakaian, kita makan bersama. Mumpung kamu pulang cepat."
"Iya, Pa." Mas Bilal segera naik lift menuju lantai 3.
Mas Bilal mengedarkan pandangannya ke seluruh isi lantai tiga, biasanya Zahira akan berada di salah satu tempat favorit mereka. Menyambut kepulangannya dengan senyum hangat nan tulus dan secangkir kopi panas yang telah dibuatnya.
Langkah kaki Mas Bilal menuju kamar, di sana Mas Bilal menemukan Zahira yang masih bersujud dalam balutan mukena kesukaannya.
Mas Bilal menatap Zahira yang bangun dari sujud lalu duduk tasyahhud akhir. Wanita taat ibadah seperti ini akan Mas Bilal sakiti hatinya dengan sebuah perceraian atau perselingkuhan demi mendapatkan seorang anak.
Sejahat itu kah Mas Bilal?.
Zahira menoleh ke arah Mas Bilal yang duduk di tepian tempat tidur. Kedua mata Zahira sembab dan wajahnya masih basah karena tangisnya.
"Saya tidak ingin menjadi penghalang Mas Bilal mendapatkan seorang anak, maka lepaskan saya. Saya akan bahagia melihat Mas Bilal bahagia." Kepala Zahira bersandar pada kedua kaki Mas Bilal. Isak tangis terdengar pelan namun sangat pilu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
kimiatie
pelakor hadir di saat yang tepat...oleh itu pengajarannya jangan pernah mencari tempat luahan hati dengan lawan jenis apa lagi pernah ada sejarah hati
2025-02-18
0