Terlihat seorang dokter menjelaskan panjang lebar hasil tes kesehatan dan kesuburan rahim seorang wanita cantik berhijab syar'i pada pasangan suami istri yang duduk fokus didepannya.
Pupus sudah harapan Zahira untuk bisa memiliki momongan yang lahir dari rahimnya sendiri. Memang belum mengatakan apapun, hanya menjelaskan saja. Akan tetap, Zahira sudah bisa menebak pada hasil yang akan disampaikan oleh dokter yang satu bulan ini menemani mereka dalam proses bayi tabung yang akan Zahira dan suami lakukan.
Pun dengan Bilal, pria itu sudah sangat pasrah apabila Zahira tidak akan bisa memberinya seorang keturunan. Keturunan yang sudah sangat diinginkan dari awal pernikahan mereka sampai 9 tahun ini.
"Jadi, kesimpulannya apa dok?" tanya Bilal saat dokter belum juga mengatakan hasilnya.
"Mohon maaf Pak Bilal, Ibu Zahira, dengan sangat berat hati harus saya sampaikan kalau hasil dari tes ini mengatakan. Ibu Zahira tidak akan bisa memiliki seorang anak yang lahir dari rahim Ibu Zahira."
Tes...
Air mata turun begitu saja kala mendengar penuturan dokter yang sangat menyayat hatinya. Bilal merangkul pundak Zahira, memberikan kekuatan pada Zahira untuk tetap bersabar dan ikhlas atas ketetapan yang Allah berikan untuk mereka.
"Apa dengan kata lain saya mandul, dok?."
"Iya, Ibu Zahira."
Zahira meremas ujung hijab berwarna maroon kesukaannya. Hati yang telah disiapkan untuk menerima kemungkinan buruk ini nyatanya tetap terluka dan sangat sakit.
"Apa masih ada kemungkinan Zahira hamil, walau kemungkinan itu 0.01% dok?."
"Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin Pak Bilal, Ibu Zahira. Asal selalu percaya dan yakin akan takdir baik yang Allah siapkan untuk rumah tangga kalian."
"Kalau saya mandul, itu artinya saya tidak akan bisa memberikan Mas Bilal keturunan." Zahira menundukkan kepalanya.
Di dalam ruangan dokter pun menjadi hening, Bilal dan dokter lebih memilih bungkam dari pada mendebat lagi wanita yang sedang hancur hatinya.
Bilal dan Zahira pamit, keduanya tidak langsung pulang ke rumah. Karena tahu pasti akan dicecar banyak pertanyaan dari kedua orang tua Bilal yang memang tinggal satu atap bersama mereka.
"Kita mau ngapain ke sini, Mas?." Tanya Zahira saat mereka sudah sampai di sebuah hotel.
"Ayo turun dulu, nanti kita bicara di sana saja" Bilal mengulurkan tangan lalu menggenggam erat tangan Zahira yang berada dalam genggamannya.
Zahira hanya patuh mengikuti Mas Bilal yang telah 9 tahun ini menjadi suaminya, imamnya, teman dan pasangan dalam suka dukanya.
Tibalah mereka di sebuah kamar hotel yang sangat mewah, ternyata sengaja Bilal menyewa kamar hotel ini untuk mereka yang sedang bersedih. Setidaknya mereka perlu waktu untuk berdua, sama-sama menenangkan hati dan pikiran yang semeraut.
"Hasil finalnya saya mandul, saya enggak akan bisa memberikan Mas Bilal keturunan, saya ikhlas kalau Mas Bilal harus menikah lagi. Tapi ceraikan saya dulu, Mas" Zahira mengelap air mata dan hidungnya bergantian.
"Sampai kapanpun Mas enggak akan menceraikan kamu untuk alasan apapun. Lagi pula kita sudah sering membicarakan masalah anak, Mas tidak masalah kalau kita tidak memiliki anak. Asal Mas bisa hidup berdua sama kamu." Mas Bilal memeluk erat Zahira yang kembali menangis.
Sebuah kenyataan yang sangat pahit yang harus Zahira telan mentah-mentah. Bukan hanya sekali ini saja Zahira dan Mas Bilal melakukan tes. Pernah juga di rumah sakit lain dengan dokter yang berbeda. Walau tanpa serangkaian tes, sang dokter sudah mendiagnosisnya mandul.
Tiga tahun yang silam, Zahira pernah melakukan operasi pengangkatan Miom yang ada pada rahim guna memudahkannya untuk hamil. Tapi, justru itu tidak akan pernah terjadi. Zahira seorang yang mandul yang membuat dirinya cacat.
"Kamu yang sabar, ada Mas yang akan selalu menamaimu, melindungimu dan menjagamu." Banyak sudah kalimat-kalimat bijak yang keluar dari mulut Mas Bilal hanya untuk menenangkan Zahira karena Mas Bilal tahu tidak akan pernah mudah berada di posisi sang istri.
"Tapi bagaimana dengan Mama dan Papa ?" Ada banyak kekhawatiran dalam diri Zahira.
"Biar Mas nanti yang bicara kepada mereka, kamu hanya perlu menenangkan diri saja".
Zahira mengangguk patuh.
Memang bukan hal baru obrolan mereka mengenai anak. Karena sebelum ini pun mereka pernah berada dalam keadaan bertengkar hebat karena masalah momongan yang belum kunjung hadir melengkapi pernikahan mereka. Namun karena mereka percaya jika jodoh, rezeki dan maut itu rahasia Allah. Jadi mereka hanya bisa berserah diri. Meski tidak pernah mudah saat berada dalam situasi tersebut.
Suara dering ponsel milik Mas Bilal malam itu menyadarkan Zahira Dari tidurnya. Zahira mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencari keberadaan sang suami sebelum akhirnya Zahira menjawab panggilan masuk dari Mama mas Bilal.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam, Zahira. Kalian dimana? Mama Papa tunggu kok enggak pulang-pulang?."
"Iya, Ma. Maaf saya menemani Mas Bilal menemui kliennya di daerah Jakarta Selatan. Mungkin sampai malam kami di sini."
Setelah sebelumnya Zahira dan Mas Bilal bersepakat untuk memberikan alasan yang sama pada kedua orang tua Bilal bila bertanya tentang keberadaan mereka saat ini.
"Ya udah kalau begitu, kan enak kalau Mama Papa tahu kalian tidak pulang."
"Iya Ma maaf, baru ngabarin sekarang."
"Iya, enggak apa-apa. Ya udah ya Zahira. Assalamualaikum."
"Iya Ma, waalaikumsalam."
Zahira bangkit sambil memegang ponsel Mas Bilal. Zahira membuka pintu kamar mandi, siapa tahu Mas Bilal ada di sana. Tapi tidak ada juga. Zahira kembali ke atas tempat tidur.
Matanya cukup berat karena menangis dalam waktu yang cukup lama. Wajahnya sembab dan terlihat sangat kusut.
"Kemana perginya Mas Bilal? batin Zahira. Zahira menaruh kepalanya pada kepala tempat tidur. Percakapannya di ruang dokter kembali berputar, rasa sesak semakin menghimpit dadanya.
Kebaikan apa yang harus dilakukannya supaya diberikan imbalan rahim yang bisa menampung satu anak saja.
Zahira segera menghapus air matanya ketika Mas Bilal masuk dengan tentengan ditanganya.
"Kamu bangun sayang?."
"Iya Mas, tadi Mama telepon. Mas dari mana?."
"Mas ketemu teman lama di bawah, kebetulan teman Mas itu sedang ada pekerjaan di sini. Teman Mas kirim salam dan makanan ini untuk kamu sayang." Mas Bilal memberikan tentengan itu pada Zahira. Zahira menerimanya lalu menaruhnya di atas kasur.
"Oh gitu, temannya laki-laki atau perempuan?." Zahira begitu iseng menanyakan hal tersebut. Seperti bukan Zahira yang biasanya.
"Perempuan sayang."
"Sudah menikah?."
"Sudah sayang, mereka sudah memiliki dua orang anak sayang."
"Pasti mereka sangat bahagia ya, Mas."
Mas Bilal terdiam, sepertinya Zahira sedang begitu sensitif terhadap perempuan-perempuan yang memiliki anak.
"Apa kamu tidak bahagia ada Mas dalam hidupmu?."
Zahira mendongak, menatap intens wajah Mas Bilal. "Saya sangat bahagia Mas, tapi kita akan jauh lebih bahagia lagi kalau ada anak diantara kita."
"Oh iya Mas, ngomong-ngomong teman perempuannya Mas yang kemarin tinggal di mana? Apa tinggal di Jakarta juga atau tinggal di mana?." Tanya Zahira saat mereka dalam perjalanan pulang.
Zahira begitu antusias sebab sebelumnya Mas Bilal mengatakan kedua anak dari temannya itu sangat cantik dan sangat tampan. Niken Anjani (5 tahun) dan Taufik Rahmat 7 (tahun) . Mereka satu pasang, jadi teman perempuan Mas Bilal sudah tidak ingin memiliki anak lagi.
"Tinggal di Bandung sayang."
"Terus anak-anak kemarin ikut?."
Mas Bilal menggeleng, "Enggak."
Zahira tampak berpikir keras dengan bibir yang mengerucut.
"Kenapa sayang? Ada apa?."
"Terus kalau teman Mas bekerja, anak-anak sama neneknya dong atau ada baby sister?."
"Katanya, ada mbak yang jaga, bukan baby sister."
"Oh gitu Mas."
"Hmmm."
Obrolan mereka terus berlanjut hingga membahas pertemuan awal mereka. Tanpa terasa pun mereka sudah sampai di rumah.
Mama dan Papa yang selalu duduk santai di rumah tengah menyambut kepulangan Mas Bilal dan Zahira.
"Kalian sudah makan?."
"Sudah Ma, tadi di hotel." Jawab Mas Bilal.
"Terus hasil tes nya gimana? Mama Papa mau tahu, duduk dulu sini, Zahira." Mama memanggil Zahira yang menyelinap akan naik ke lantai tiga.
Zahira terpaksa menarik kedua sudut bibirnya, memaksakan diri untuk tersenyum sambil menatap Mas Bilal. Meminta pertolongan supaya ditunda obrolan mengenai hasil tes nya.
"Nanti saja Ma, kita bicarakan. Sekarang Bilal harus segera ke kantor. Sudah ditungguin sama Arman" Mas Bilal menarik tangan Zahira yang hendak duduk di dekat Mama.
"Ah si Bilal ini, kan kami mau tahu juga ada hasil tes Zahira. Memangnya kenapa kalau cerita sekarang?." Nada Mama terdengar sangat ketus.
Mas Bilal dan Zahira saling menatap, Mas Bilal meminta pengertian Zahira untuk berbicara saat ini juga. Tapi Zahira menggeleng lemah. Mas Bilal hanya mampu menghela nafas panjang. Sangat sulit berada diantara dua wanita yang sangat penting dalam hidupnya.
"Ya udah Zahira, bantu Bilal bersiap" Papa menengahi Mama dan Zahira serta Bilal. Sebab Papa melihat gelengan kepala Zahira.
"Iya Pa. Pa, Ma, Zahira ke atas dulu ya." Pamit Zahira namun ditanggapi dingin Mama mertuanya.
"Iya" sahut Papa.
Zahira dan Mas Bilal bisa bernafas dengan lega, ternyata Papa sangat pengertian.
Sesampai di dalam kamar, Bilal segara berganti pakaian dan Zahira menyiapkan dokumen. Memasukkannya ke dalam tas lalu menaruhnya di atas meja.
"Kamu jangan dulu ke bawah, nanti Mama tanya-tanya kamu lagi." Pesan Mas Bilal sebelum turun. Mas Bilal mengambil tas dan menentengnya.
"Iya, Mas. Lagi pula pekerjaan aku di sini banyak banget. Cucian baju dan cucian piring sudah menumpuk." Sahut Zahira.
"Ya sudah, Mas berangkat ya sayang." Mas Bilal memeluk Zahira, lalu mendaratkan kecupan pada kening Zahira dan menerima tangan Zahira yang salim padanya.
"Mas Bilal hati-hati ya."
"Iya sayang, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mas Bilal."
Setelah kepergian Mas Bilal, Zahira langsung menyibukkan diri di dapur. Mulai dari mencuci piring, merapikan dapur, mencuci pakaian, menjemur hingga merapikan tempat Zahira dan Mas Bilal duduk santai kalau sedang berdua.
Adzan dzuhur telah berkumandang, Zahira menyudahi pekerjaan dan langsung masuk ke kamar. Lanjut ke kamar mandi guna membersihkan diri sebelum melaksanakan shalat dzuhur.
Zahira mengawalkan waktu shalatnya, Zahira ingin menangis dalam doa-doa nya supaya ada keajaiban padanya. Tentu saja Zahira ingin merasakan menjadi wanita yang seutuhnya dengan menjadi seorang ibu.
Usai puas mengadu pada sang pemilik hidup, Zahira pun duduk di tepi tempat tidur sambil melipat mukena dan sajadah yang baru digunakan.
Terdengar helaan nafas Zahira yang berat kala mendengar suara Mama mertuanya memanggil.
"Zahira!."
"Iya Ma." Zahira membuka pintu, di tangan Mama sudah ada makanan kesukaannya. Sate kerang Medan dan udang saos tiram.
"Kamu masak nasi kan?." Tanpa di suruh masuk pun Mama langsung masuk ke kamar dan meletakkan kedua makanan itu di atas meja rias.
"Ada Ma" Zahira masih diam di dekat pintu.
Memang bukan pemandangan yang aneh bagi Zahira melihat tingkah berani Mama mertuanya, meski Zahira sudah membicarakannya pada Mas Bilal. Tapi, sepertinya Mas Bilal tidak pernah menyampaikannya pada Mama mertua. Sehingga masih bersikap sesuka hati seperti ini saat memasuki kamarnya.
"Sebenarnya Mama sangat penasaran apa kata dokter, sekarang kamu bisa memberitahu Mama. Apa kamu bisa hamil atau tidak?." Mama menghampirinya dan berdiri di depan Zahira.
Zahira yang sudah tidak bisa mundur lagi pun terpaksa harus bicara pada Mama mertua, menceritakan ulang apa yang dikatakan dokter tentang hasil tes nya.
Ada gurat kekecewaan pada wajah Mama mertua setelah mendengarkan cerita Zahira. Wanita itu tidak akan pernah bisa membuat Mama mertuanya bahagia dengan memberinya keturunan.
"Jadi Bilal tidak akan punya anak lah ya? Terus bagaimana kalau Bilal menginginkan anak?." Mama menyadarkan tubuhnya pada dinding dekat pintu.
Zahira berusaha bersikap seolah biasa saja dengan pertanyaan Mama mertua dan memberikan jawaban sesantai mungkin. "Mas Bilal boleh menikah lagi kalau memang sangat menginginkan seorang anak. Tapi tolong ceraikan Zahira dulu, pulang kan Zahira pada kedua orang tua Zahira."
"Enggak lah kalau sampai bercerai, pasti Bilal tidak akan mau. Memang kenapa kalau di madu?" dengan sangat entengnya Mama mertua menanyakan hal menyakitkan tersebut.
"Zahira tidak siap dan tidak akan pernah siap bila di madu. Maka lebih baik cerai kan Zahira kalau Mas Bilal mau menikah lagi demi mendapatkan anak."
"Ya Mama mengerti, nanti Mama bicara pada Bilal. Pasti anak itu sedih karena tidak akan pernah menjadi seorang ayah. Padahal Bilal sangat mampu." Mama mertua keluar dari kamar setelah menaburkan garam pada luka Zahira yang masih berdarah-darah.
Zahira menutup pintu pelan, tubuhnya limbung dan ambruk di atas lantai dekat tempat tidur. Air matanya mengalir deras, dadanya begitu sesak hingga Zahira memukulnya berulang kali. Bukannya berkurang rasa sakitnya justru semakin besar dan membesar.
Wanita mana yang mau lahir dalam kondisi sepertinya? Wanita mana yang mau mandul sepertinya? Wanita mana yang tidak ingin mengandung, melahirkan dan menyusui?. Namun jika sudah digariskan tidak sempurna, harus siapa yang patut dipersalahkan?.
Takdir kah? Harus kan Zahira menyalahkan Takdir? Bukan kah takdir itu sebaik-baiknya garis kehidupan dari sang pencipta alam semesta.
"Kalau pun harus berpisah, ini mungkin yang terbaik supaya tidak saling menyakiti satu sama lain." Gumam Zahira lirih, melepas hijab yang sejak tadi berantakan. Ditutup wajah menggunakan hijab itu guna meredam suara tangisnya.
.....
Mas Bilal sedang makan siang bersama dengan teman yang dibicarakannya pada Zahira. Alisha Putri Nabila. Pertemuan kedua ini telah mereka rencanakan sebelumnya. Ada banyak cerita yang ingin mereka tukar dan membaginya setelah beberapa tahun tidak bertemu.
"Pekerjaan aku di sini udah selesai, nanti malam aku balik ke Bandung."
"Iya, kamu hati-hati di jalan."
"Kamu masih sangat perhatian Mas."
"Biasa saja, sebagai teman."
"Teman yang pernah memiliki bagian tempat di dalam hati mu, Mas. Apa tempat itu masih milikku?. Apa istrimu juga tahu kalau saat ini kita bertemu dan makan siang bersama?."
Ya, Alisha merupakan teman sekaligus mantan Mas Bilal sewaktu duduk di bangku kuliah.
Mas Bilal terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaan simpel dari Alisha. Karena memang sejatinya nama Alisha masih ada dalam bagian hati Mas Bilal yang lain. Meski untuk sekarang telah didominasi oleh Zahira.
Alisha memegang tangan Mas Bilal dengan tatapan sendu. "Apa masih ada aku di dalam sana?." Mata Alisha menunjuk dada Mas Bilal.
Mas Bilal masih terdiam, menatap wanita yang masih tetap cantik meski mau mendekati usia 40 tahun.
"Sedikit saja Mas, aku masih ada di dalam hatimu. Aku bisa memberikan kebahagiaan yang tidak sanggup diberikan istrimu, Mas."
"Zahira selalu bisa membuatku bahagia!!!" sentak Mas Bilal menyanggah sambil menyingkirkan tangan Alisha kasar.
"Maaf, Mas. Iya aku tahu istri Mas Bilal wanita pilihan. Tapi, seperti yang Mas Bilal katakan, Mas Bilal menginginkan seorang anak sebagai penerus Mas Bilal nanti, yang akan mendoakan Mas Bilal kalau meninggal nanti."
Mas Bilal kembali bungkam, memang hal itu sangat diinginkan Bilal. Tapi Mas Bilal juga tahu tidak mungkin Mas Bilal menyakiti Zahira dengan menduakannya. Lalu bagaimana dengan keinginan untuk masa depannya? Apa salah bila Mas Bilal sangat mengharapkan seorang anak?.
"Mas Bilal bisa memikirkannya baik-baik, sekarang aku harus balik ke hotel." Pamit Alisha.
Mas Bilal hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Mempersilakan Alisha pergi untuk saat ini atau sampai selamanya?.
.....
Mas Bilal yang baru sampai di kantor setelah makan siang dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tuanya. Mereka sudah menunggu di dalam ruangan kerja dengan ditemani dua cangkir teh hangat.
"Ada apa Ma, Pa? Ada sesuatu yang penting sampai datang ke sini?."
"Kamu ini bagaimana Bilal? Masa saat menikah dengan Zahira tidak tahu kalau Zahira mandul?."
Mas Bilal memijat pelipisnya, lalu berpindah pada leher belakang yang terasa berat.
"Kamu mau menikah lagi atau bagaimana?." Cecar Mama lagi.
"Sudahlah Ma, biar Bilal duduk dulu. Jangan terlalu ditekan dengan pertanyaan Mama itu."
"Bukan begitu Pa, mereka menikah sudah 9 tahun. Belum ada anak juga dan sekarang Zahira mandul. Terus Bilal bagaimana? Bilal sehat, tidak ada masalah. Kalau begitu nikah aja lagi, cerai sudah sama Zahira."
"Ma!!!!" bentak Mas Bilal hilang kontrol atas ucapan sang Mama.
Hening yang terjadi saat ini diantara mereka bertiga. Berulang kali Mas Bilal mengusap kasar wajahnya.
"Lebih baik kita pulang sekarang, Ma. Biarkan Bilal berpikir dulu." Ajak Papa.
Dengan ketus Mama bangkit dan berdiri tepat di depan Bilal. "Jangan sampai kamu menyesal karena tidak mendengar ucapan Mama."
Kemudian Mama meninggalkan ruangan kerja Bilal yang disusul oleh Papa. Namun sebelum itu Papa menasehatinya terlebih dulu.
"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Harus kamu pikirkan matang-matang, baik dan buruknya juga. Zahira seorang istri dan menantu yang sangat baik, jangan kamu sakiti dengan menduakannya."
Mas Bilal mendaratkan bokongnya di atas sofa berbarengan dengan Jeremy yang masuk setelah mengetuk pintu berulang kali.
"Maaf Pak Bilal, besok ada meeting di Bandung dan semua dokumen yang harus dibawa sudah saya siapkan di dalam map ini." Ucap Jeremy panjang lebar.
"Kamu taruh di atas meja, sini duduk temani saya." Mas Bilal menunjuk tempat disebelahnya.
Jeremy mengikuti apa yang diperintahkan oleh Mas Bilal. Untung saja Jeremy duduk di samping Mas Bilal, jadi tidak bisa melihat wajah Mas Bilal yang seperti benang kusut.
Hening, keduanya tidak langsung terlibat percakapan. Jeremy hanya duduk menunggu Mas Bilal yang berbicara terlebih dulu. Karena jujur saja Jeremy tidak tahu harus berkata apa selain pekerjaan.
Lima menit, lima belas menit, hingga pada menit ke dua puluh barulah Mas Bilal merubah posisi duduk sambil menoleh ke arah Jeremy.
"Aku pusing banget Jeremy, rasanya kepala ku mau pecah" Mas Bilal memegangi kepala, sesekali meremas kencang rambut kepalanya.
"Pak Bilal butuh tukang pijat? Di tempat saya ada Pak, enak banget pijatannya. Namanya Emak Enok.
Mas Bilal memegangi kepalanya yang semakin berdenyut nyeri. Bicara pada Jeremy bukan masalahnya berkurang justru semakin ruwet. Mau marah tapi ini bukan kesalahan Jeremy.
"Aku tidak butuh tukang pijat, Jeremy!." Tegas Mas Bilal menatap Jeremy.
"Oh, iya Pak Bilal." Jeremy tersenyum kaku
"Hmmm."
Hening lagi untuk beberapa saat sampai ponsel milik Mas Bilal berdering menandakan ada panggilan masuk. Namun Mas Bilal enggan mengangkat telepon tersebut disaat pikirannya sedang kacau.
"Kamu terpikir enggak untuk menduakan istrimu?."
"Hah, saya Pak?. Selingkuh? Poligami? Atau hanya jajan saja?." Saking terkejut dengan pertanyaan Mas Bilal, Jeremy mengeluarkan secara spontan apa yang ada dalam benaknya.
Lagi-lagi Mas Bilal memijat pelipisnya, menghela nafas kasar lalu menampakkan wajah geram pada Jeremy. Sepertinya Mas Bilal salah memilih teman untuk bicara. Padahal Mas Bilal dan Jeremy sudah lama berteman baik.
Jeremy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pria itu sangat kesulitan berdua bersama Mas Bilal yang sedang dalam mode galau. Jeremy tidak tahu jawaban apa yang dibutuhkan Mas Bilal saat ini.
"Kamu bisa kembali bekerja, lain kali saja kita bicara lagi." Mas Bilal akhirnya meminta Jeremy kembali ke ruangan kerjanya.
"Iya, Pak Bilal." Dengan senang hati Jeremy keluar dari sana dengan senyum yang mengembang. Akhirnya bisa lepas dari situasi yang menegangkan.
Hari semakin sore dan Mas Bilal segara pulang. Rasa lelah sudah melandanya sejak tadi. Bukan hanya fisiknya saja tetapi psikisnya juga. Tekanan yang datang bertubi-tubi harus diterimanya dari arah kanan, kiri, depan, belakang.
Zahira adalah tempatnya bermanja, menghilangkan penat dari padatnya aktivitas setiap hari.
Setibanya di rumah, pertama kali disambut oleh wajah dingin sang Mama yang ternyata masih merasa kesal terhadapnya.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam." Jawab Mama pelan.
Bilal melirik Papa yang baru keluar dari kamar, "Baru pulang?."
"Iya, Pa."
"Sana ganti pakaian, kita makan bersama. Mumpung kamu pulang cepat."
"Iya, Pa." Mas Bilal segera naik lift menuju lantai 3.
Mas Bilal mengedarkan pandangannya ke seluruh isi lantai tiga, biasanya Zahira akan berada di salah satu tempat favorit mereka. Menyambut kepulangannya dengan senyum hangat nan tulus dan secangkir kopi panas yang telah dibuatnya.
Langkah kaki Mas Bilal menuju kamar, di sana Mas Bilal menemukan Zahira yang masih bersujud dalam balutan mukena kesukaannya.
Mas Bilal menatap Zahira yang bangun dari sujud lalu duduk tasyahhud akhir. Wanita taat ibadah seperti ini akan Mas Bilal sakiti hatinya dengan sebuah perceraian atau perselingkuhan demi mendapatkan seorang anak.
Sejahat itu kah Mas Bilal?.
Zahira menoleh ke arah Mas Bilal yang duduk di tepian tempat tidur. Kedua mata Zahira sembab dan wajahnya masih basah karena tangisnya.
"Saya tidak ingin menjadi penghalang Mas Bilal mendapatkan seorang anak, maka lepaskan saya. Saya akan bahagia melihat Mas Bilal bahagia." Kepala Zahira bersandar pada kedua kaki Mas Bilal. Isak tangis terdengar pelan namun sangat pilu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!