Ketapang, Kalimantan Barat
Dino mulai mengikat hammock pada kedua pohon akasia yang menghadap di posko penginapan. Di depannya terbentang padang yang baru ditanami bibit-bibit pohon. Sulit dipercaya kalau tempo hari padang ini merupakan hutan lebat dengan aneka macam pohon dan satwa. Dan masih banyak lagi padang yang terbentuk pasca kebakaran yang melanda hutan di Kalimantan kemarin. Mengerikan, mengingat Kalimantan dikukuhkan sebagai salah satu paru-paru dunia.
Dino merebahkan diri, menatap langit malam yang berhias taburan bintang yang sedang berkelip seolah tengah menari. Bulan berpendar dengan indahnya menambah keindahan malam. Sayang, tidak ada bunyi lolongan anjing, atau bunyi jangkrik, atau hewan lainnya yang seolah bernyanyi merayakan keharmonisan semesta. Biasanya pada situasi malam yang seperti ini hewan-hewan akan bersuara. Kebakaran hutan kemarin membuat sebagian besar dari mereka mati atau menghilang entah ke mana.
Lagi-lagi terbayang wajah Kania dalam benaknya. Sudah dua hari Dino bermimpi tentang Kania. Mimpi yang menggelisahkan. Dalam mimpi itu, Kania hanya tertunduk di hadapan Dino. Wajahnya pucat seolah tidak ada daya. Dino merasakan duka ketika menatap Kania, merasakan sepi yang dirasakan Kania.
Apa yang terjadi denganmu Kania, lirih Dino.
Dino memejamkan mata. Kedua tangannya didekapkan ke dada, membentuk sebuah bulatan. Ia mulai merapal doa. Dino berharap tidak ada kejadian buruk yang menimpa Kania.
“Ini beratnya jadi volunteer Di,” ucap seorang pria paruh baya yang menghampirinya. Dino terbangun dari hammock, membagi ruang kepada pria yang biasa dipanggil Pak Abdul untuk duduk.
Pak Abdul menjepit sebatang rokok yang tadi ia ambil dari sakunya. Lalu menyundutkan pemantik ke ujung rokok. Ia menghisapnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Kepulan asap terhambur di depan mereka, lalu menguap di udara. Raut wajah pria itu menjadi lebih tenang, seolah beban lenyap ikut menguap bersama asap yang ia hembuskan.
“Kalau mengesampingkan perasaan kita sendiri mungkin masih mudah. Yang sulit dari pekerjaan ini adalah ketika kita terpaksa mengesampingkan perasaan orang-orang yang kita sayangi. Dengan omong kosong kepedulian, kita menuntut mereka untuk mengerti.”
“Sebenarnya Dino, orang-orang macam kita inilah makhluk paling egois,” sambung Pak Abdul. Suaranya parau dan serak. Ada kesedihan di setiap katanya. Suara itu seakan tidak untuk menasihati Dino, suara itu seakan berbicara untuk dirinya sendiri.
Ucapan Pak Abdul bukannya tanpa dasar. Dino mengetahui pria paruh baya ini yang merupakan ketua tim Dino, sudah banyak mengobarkan hidupnya untuk mengabdi pada masyarakat. Sudah 25 tahun ia bergerak menjadi volunteer. Dan di umurnya yang sekarang menginjak 48 tahun ia masih membujang. Dino pernah mendengar cerita bahwa ia pernah berpacaran selama delapan tahun, sampai akhirnya mereka berpisah, kekasihnya lelah dan takut akan bayang-bayang suram di masa depan jika masih bersamanya. Akhirnya ia menikah dengan pria lain, seorang pegawai kantor biasa. Dari situ, Pak Abdul tidak pernah lagi memiliki hubungan spesial dengan wanita sampai sekarang.
“Semoga Nia bisa mengerti Pak. Dia sudah berjanji dialah yang menjadi payung untuk saya,” ucap Dino. Suaranya lemah, penuh pengharapan.
Pak Abdul menepuk bahu Dino, mencoba menguatkannya. Matanya sendu menatap Dino. Bayangan dirinya dulu tereka dalam wujud Dino. Ia berharap Dino tidak mengalami nasib yang sama sepertinya. Tidak, Dino tidak boleh mengalaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
ramapenaZ
woow woow,,kak like dan rate punyaku ya "perjuangan seorang santri"
2020-06-13
2