Anomaly Sacrifice
Kelopak mataku bergerak menyambut keremangan yang sendu.
“Siapa?” Tanyaku.
Aku dapat melihat postur tubuh seorang laki-laki sedang membungkuk. Tangannya bergerak menopang tubuhku untuk bangkit.
Beberapa menit yang lalu aku terbangun dari tidur dalam keadaan tidak normal. Kepala dan sekujur tubuh terasa sakit semua. Tenggorokanku juga pedih. Aku tidak pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Aku bersumpah, untuk mengangkat kelopak mata dan menggerakan jari saja butuh tenaga yang sangat besar. Rasanya, tubuhku hancur setelah berlari marathon puluhan kilo tanpa henti.
Untung saja laki-laki itu menyadari pergerakanku yang lemah. Ia langsung bergerak menghampiri lalu meletakan tangannya di atas dadaku. Entah apa yang ia lakukan tapi setelah itu aku mulai merasa baikan. Laki-laki itu kemudian membantuku duduk. Ia menata bantal untuk menyangga tubuhku kemudian meraih sesuatu di sisi kepala ranjang.
Aku mendengar suara dentingan lonceng sekali.
Laki-laki itu menyodorkan segelas air. Dalam keadaan setengah sadar, tanganku menerima gelas keramik yang dingin itu. Aku langsung mengangkatnya menuju mulut untuk dihabiskan.
“Kaesar, pelan-pelan.”
Aku tidak peduli. Tenggorokanku sudah berteriak kesakitan sejak tadi. Hanya dalam beberapa kali tegukan, gelas itu langsung kering. Aku menghela nafas lega setelah rasa haus yang menggerogotiku menghilang.
“Kaesar?”
Suara lembut laki-laki itu kembali terdengar. Ia memanggilku dengan nama yang asing di telinga. Aku tidak punya keluarga, kerabat, teman, maupun kenalan yang bernama Kaesar.
Setelah mataku terbuka sempurna, aku melihat pemandangan yang tak kalah asing. Sinar matahari yang terhalang oleh tirai raksasa memberikan nuansa remang. Dalam keremangan itu aku melihat ruangan luas yang dipenuhi oleh barang-barang antik. Termasuk ranjang tempatku duduk.
Mataku kemudian terkunci pada sisa cairan hijau lumut di sampingku. Aku jadi tidak yakin apa itu aman dikonsumsi. Bintik-bintik hijau lumut yang pekat tidak tercampur sempurna dengan air yang bening. Padahal aku kira yang barusan aku minum adalah air mineral karena rasanya hambar dan tidak bertekstur.
Aku mengalihkan pandangan sembari mengerjapkan mata berulang kali. Jelas ini sangat berbeda dari tempat tinggalku yang kecil dan minimalis. Kuperhatikan setiap sudut ruangan megah ini. Seluruh bagian tembok merupakan susunan marmer dan bongkahan batu yang besar-besar. Sulit mendeskripsikan detail ruangan tempat aku berada. Aku tidak tahu nama dari setiap ornamen dan properti yang jumlahnya sangat banyak. Yang jelas, ruangan ini adalah replika kamar tidur seorang bangsawan kaya raya. Kemegahannya terlihat jelas dari lampu gantung mewah yang tertanam di langit-langit ruangan yang tinggi. Lampu gantung itu terlihat seperti banyak ranting pohon menjalar dengan daun-daun yang menyala.
Aku baru sadar, kapan ruangan ini menjadi terang? Sejak kapan lampu itu menyala?
“Kaesar?” Panggilnya sekali lagi.
Aku menoleh ke samping. Ekspresinya menunjukkan perpaduan rumit antara kekhawatiran dan kebingungan. Kuperhatikan, penampilan laki-laki ini sangat berkesan. Kulitnya bersih dan sehat dengan garis wajah yang kuat. Aku tidak bisa melihat jelas ototnya karena tertutup pakaian. Yang jelas, tubuhnya terlihat gagah dari luar. Aku yakin mudah untuknya menjadi terkenal di media sosial. Ia memiliki masa depan yang cerah.
Soal pakaian, laki-laki ini mengenakan setelan yang aneh, cenderung berlebihan. Untung saja itu cocok dengan tampangnya yang rupawan. Ada banyak bordiran dan butiran berlian menempel pada kain berkilau yang ia kenakan. Di bahunya juga tersangkut jubah panjang berumbai. Tidak ada orang yang menggunakan setelan seperti itu untuk kehidupan sehari-hari.
Apa mungkin dia seorang aktor?
“Kau tidak mengenalku?” Tanyanya.
Aku mengangguk. “Dan ini di mana?”
Sudah pasti ini bukan lokasi pembuatan drama. Tidak ada peralatan syuting sama sekali. Hanya ada laki-laki itu dan aku. Dia masih berdiri mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rasanya, ia sedang memindai tubuhku sebelum interogasi dimulai
Suara ketukan pintu terdengar sekali.
“Masuk,” ucap laki-laki disampingku.
Pintu terbuka memperlihatkan tiga orang yang berjalan dengan wajah cemas. Mereka juga berpakaian tidak biasa. Pakaian bertabur berlian. Bahkan ada yang ukurannya sangat besar.
Di titik ini aku sadar ada yang tidak beres. Rasanya aku melihat sesuatu yang tidak asing. Pemandangan ini mengingatkanku dengan game yang sering aku mainkan belakangan. Aku menengok ke kanan dan ke kiri memperhatikan suasana yang menyerupai ilustrasi game tersebut.
Apa mungkin Ending of The Fallen World terlalu membebani pikiranku hingga terbawa ke alam bawah sadar?
Pengalaman ini terasa terlalu nyata untuk disebut sebagai bunga tidur.
“Yang Mulia, izinkan saya memeriksa anda.” Perempuan itu bicara padaku.
Semua yang ia lakukan selanjutnya membuat aku terkejut.
Setelah menunduk hormat dan memanggilku dengan ‘Yang Mulia’, perempuan itu mendekat dan menjulurkan tangan. Dari sana keluar lingkaran bercahaya dengan detail yang rumit, persis seperti pola sihir di Ending of The Fallen World. Aku tidak melihat alat apapun di tangan perempuan itu. Dengan mata kepalaku sendiri, aku benar-benar yakin objek 3 dimensi itu keluar langsung dari tangannya.
Mungkin benar aku sedang bermimpi. Karena satu-satunya tempat dimana semua hal aneh bisa terjadi adalah dunia mimpi.
“Saya tidak mendeteksi masalah apapun.” Perempuan itu menatapku dan laki-laki tampan tadi bergantian.
“Apa kau yakin?” Si laki-laki mengernyitkan dahi lengkap dengan tatapan penuh keraguan.
Dengan kebingungan yang sama, perempuan itu mengulang apa yang telah ia lakukan sekali lagi. “Saya yakin, Pangeran Pertama. Saya pastikan Putra Mahkota baik-baik saja.”
“Tapi sepertinya dia tidak mengenaliku.”
Wanita itu menaikan alisnya, menoleh ke arahku. “Benarkah begitu, Putra Mahkota?”
Aku yang masih linglung tidak langsung menjawab. Saat aku sadar mereka menungguku bicara aku makin kebingungan. “Putra Mahkota? Aku bukan Putra Mahkota?” Aku menunjuk diriku sendiri. Tidak pernah sekalipun dalam 35 tahun aku hidup aku dipanggil dengan gelar tersebut.
Alis si perempuan terangkat sekali lagi. Kelopak matanya terbuka lebih lebar. Setelah itu hanya kesunyian yang terjadi. Baik si perempuan maupun dua rekannya tidak bersuara.
“Kaesar, apa kau ingat siapa dirimu?” Tanya Pangeran Pertama.
Aku merasa seperti orang bodoh karena menerima pertanyaan seperti itu. Namaku Andra, tapi itu jelas bukan jawaban yang dia inginkan.
Perempuan itu menyela. “Izin, Yang Mulia. Saya rasa kita perlu segera memanggil Penyembuh dari kuil. Mungkin mereka dapat menemukan sesuatu.”
“Lakukan sekarang,” perintah Pangeran Pertama.
Mereka bertiga pamit undur diri.
“Kaesar, apa kau ingat apa yang terjadi sebelum kau tidak sadarkan diri?”
Aku mengangguk tanpa berniat menjelaskan apapun. Aku mengangkat telapak tanganku ke arahnya. “Sekali lagi, aku bukan Kaesar.” Ingatan kami pasti berbeda.
Pangeran Pertama merentangkan tangan kanannya. Dari sana keluar hologram rumit seperti sebelumnya. Sekali lagi, detail lingkaran yang aku lihat menyerupai pola sihir di Ending of The Fallen World. Tangan Pangeran Pertama tertuju pada sebuah cermin besar yang berdiri tegak di pojok ruangan. Cermin itu kemudian melayang dan mendarat di sampingku. Sesuai dengan arah gerakan tangannya.
Sungguh pertunjukan yang memukau, layak untuk mendapat tepuk tangan meriah. Baru sekali tanganku bertepuk, aku langsung berhenti karena melihat pantulan yang muncul dari cermin.
Aku bukan aku.
Setelah memperhatikan lebih dalam aku masih dapat melihat sisa-sisa keaslian tubuhku. Tapi banyak hal yang berubah. Rambutku menjadi sangat panjang. Tubuhku lebih berisi, tegap dan tinggi. Rasanya hidung dan pipiku yang paling banyak berubah. Semua tanda-tanda penuaan hilang dari wajahku. Tidak ada lagi kerutan dan sisa-sisa kelelahan di area mata.
Yang paling mencengangkan adalah penglihatanku menjadi sangat tajam. Dengan jarak sejauh ini aku bisa melihat garis bibirku dengan jelas di cermin. Itu tidak wajar. Seharusnya aku tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata. Aku yakin penglihatanku yang sekarang lebih tajam dari penglihatan normal yang selama ini aku bayangkan.
Aku dapat merasakannya dengan jelas.
Ini bukan tubuhku.
“Anda adalah Putra Mahkota Kerajaan Dialaz, Kaesar Andallian.” Laki-laki itu menahan bahuku. Memastikan aku melihat wujudku dalam cermin.
Sangat sulit dipercaya.
Tiba-tiba aku bermimpi menjadi salah satu karakter legendaris di Ending of The Fallen World. Padahal dia bukan karakter favoritku.
Kalau begitu… Apa laki-laki ini Pangeran Pertama yang aku tahu?
“Siapa namamu?”
“Kalliel. Kalliel Andallian.”
Lihat. Dugaanku tidak meleset.
Saat aku masih sibuk dengan isi kepalaku sendiri, segerombolan orang kembali datang. Mereka mengenakan pakaian yang lebih polos namun tetap berlapis-lapis. Mereka pasti abdi dewa. Dari lambang yang ada di dada mereka, aku tahu mereka berasal dari kuil Dewa Matahari.
Mereka memintaku berbaring. Laki-laki yang paling berumur kemudian berjalan mendekat. Ia melakukan pemeriksaan dengan menyapu seluruh bagian tubuhku dengan bola bercahaya yang keluar dari tangannya.
“Tidak ada masalah apapun, Yang Mulia.”
Lagi-lagi dia mengatakan hal yang sama.
Mataku menatap lurus ke langit-langit. Ada kain tipis yang menjadi kelambu bagi ranjang ini.
Sungguh mimpi yang aneh. Suara orang-orang yang mengobrol di sampingku terdengar sangat nyata. Mereka sedang membicarakan apa yang mungkin terlewatkan dari pemeriksaan tadi. Mereka juga membahas keadaan Kaesar yang hilang ingatan.
Aku bukan Kaesar, tentu aku tidak mengerti percakapan mereka sepenuhnya. Yang aku lakukan hanya diam menunggu aku terbangun dari mimpi ini.
‘Bangun, bangun, bangun,’ ucapku dalam hati berkali-kali. Sudah seperti jampi-jampi.
Sekelebat ingatan tiba-tiba muncul. Seorang wanita meneriakan namaku dan Kalliel dari jendela kastil. Dia memintaku untuk kembali. Kalliel kecil langsung berlari dengan menyeret tanganku ke arah wanita tersebut.
Aku menyentuh kepalaku yang tidak sakit.
Ingatan yang barusan lewat di kepalaku tidak terlalu jelas tapi terasa nyata.
Aku mulai merasa terganggu dengan obrolan mereka yang tidak juga berhenti. Kalliel berulang kali mengungkit keadaanku yang hilang ingatan. Walaupun ini hanya sebuah mimpi, kekesalanku sebentar lagi tumpah. Keadaan yang membingungkan ini membuatku pusing. Ditambah lagi aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Aku harus berangkat ke kantor.
Hal yang tidak terduga kembali terjadi saat aku sibuk menggerutu dalam hati. Tiba-tiba aku berdiri di sebuah ruangan tanpa pintu dan jendela. Hanya ada barisan rak-rak penuh buku yang menempel di tembok. Ada sebuah meja sangat besar dengan sebuah kursi. Di tengah meja itu ada tumpukan buku yang berserakan. Di bawahnya ada banyak keranjang kayu yang berceceran hingga keluar dari kolong meja. Ada banyak gulungan kertas berbagai ukuran di dalamnya.
Anehnya, aku masih bisa mendengar jelas kelanjutan dari pembicaraan Kalliel dan penyembuh dari Kuil Dewa Matahari.
Aku berjalan mendekati buku yang terbuka di atas meja. Aku terkejut melihat goresan tinta yang persis seperti tulisan tanganku. Baru saja aku akan meraihnya, tiba-tiba sesuatu menyentuh pundakku. Itu membuatku sangat terkejut karena di tempat itu tidak ada orang selain aku.
‘Kaesar, buka matamu. Bangun!’
Aku mendengar suara Kalliel. Ketika keinginanku untuk kembali menemuinya datang, aku benar-benar kembali ke kamar Kaesar. Aku kembali ke dunia nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
omTe
komentar dukungan
2024-03-10
1
omTe
bantu dgn like n komen ya
2024-03-10
1
z for zaraa
pertamax!!
semangat author
2024-02-08
2