Keseharianku sepenuhnya dikuasai oleh obsesi mempelajari sihir. Selain makan 3x sehari dan bertemu Kalliel, aku sepenuhnya menghabiskan waktu di Ruang Rahasia. Aku fokus memilah pengetahuan yang ada karena ribuan buku dan gulungan di sana tidak mungkin aku selesaikan sekaligus.
Aku harus fokus. Waktuku terbatas. Walaupun skenario baru dimulai 6 tahun lagi, ada banyak bencana-bencana kecil yang akan terjadi sebelum itu. Beberapa diantaranya punya pengaruh besar terhadap perlawanan dunia terhadap Dewa Malapetaka di masa depan.
Terlena dengan gairah untuk mempelajari hal baru, aku sering lupa waktu. Di Ruang Rahasia tidak ada jam maupun penanda waktu lain. Jadi aku butuh sinyal dari dunia nyata untuk mengingatkanku kembali. Hanya ada dua cara. Dengan membuat orang lain membangunkanku atau membuat tubuhku menyalakan alarmnya sendiri.
Alarm yang ku maksud adalah rasa ketidaknyamanan yang muncul saat tubuh ditinggalkan dalam posisi tidak baik. Biasanya aku melakukan itu dengan bersandar di tiang ranjang, mengalasi kepala dengan benda keras dan sebagainya. Setelah beberapa waktu, aku akan kembali sebentar ke dunia nyata ketika rasa nyeri menyerang tubuhku. Di waktu sebentar itu aku bergeser mencari posisi tidak nyaman lain lalu kembali ke Ruang Rahasia. Aku harus mempertahankan siklus tersebut agar aku tidak lupa mengambil makanan tiga kali sehari. Aku tidak boleh membiarkan kelalaian tersebut menjadi alasan bagi Kalliel untuk mengunjungi kamarku lagi dan lagi.
Sekarang aku berada di Ruang Rahasia, berusaha menciptakan pola untuk menggeser tumpukan buku di hadapanku. Konsep dibalik teknik tersebut adalah menciptakan pengikat transparan yang menarik buku dari satu posisi ke posisi lain. Yang dibutuhkan adalah satu lapis pola dasar.
Ada tiga komponen pada pola dasar yaitu wujud yang terdiri dari penciptaan dan/atau penghancuran; koordinat yang terdiri dari mula dan/atau akhir; serta aksi yang terdiri dari dorongan dan/atau tarikan; Setiap komponen harus terpenuhi jika ingin berhasil memanggil sihir.
Dalam pola yang sekarang aku buat, aku menciptakan pengikat yang bergerak mencengkram benda tersebut kemudian menggesernya ke posisi lain. Aku harus menentukan titik lokasi benda dengan akurat. Aku juga perlu melakukan perhitungan dengan cermat untuk mendapat besaran gaya yang tepat untuk mencengkram dan menggeser benda tersebut.
Jadi pertama, aku harus merangkai pola untuk menciptakan pengikat tersebut. Kemudian menambahkan pola khusus lain untuk menentukan proyeksi ruang dan jangkauan sihir. Terakhir, dalam menambahkan pola aksi dan menentukan besaran gaya yang dikeluarkan, aku harus melakukan percobaan berulang kali untuk membiasakan diri dan mendapatkan hasil yang pas.
Untungnya aku tidak bodoh dalam matematika dan pemrograman. Jadi tidak sulit untuk memahami konsep penyusunan pola sihir. Tapi seperti praktikum membangun program komputer yang aku lakukan dulu, praktik pemanggilan sihir juga memerlukan percobaan dan kegagalan untuk mencapai keberhasilan.
Menyebalkan tapi aku sama sekali tidak keberatan. Sihir membuatku merasakan ambisi besar yang sudah lama hilang. Aku merasa kembali menjadi anak-anak yang bermimpi memenangkan balap sepeda padahal masih jatuh terus-terusan dikayuhan ketiga. Bagiku sihir adalah sebuah keajaiban yang hanya berjarak satu titik dari ujung jariku untuk digapai. Sayang sekali jika aku tidak meraihnya. Dengan apapun yang aku punya, aku harus mendapatkannya.
Punggungku terasa nyeri. Sudah waktunya kembali ke dunia nyata.
Hari sudah menjelang malam. Pintu dan jendela kaca yang ada bergerak menutup. Tirai-tirai raksasa juga bergeser untuk bertemu satu sama lain. Aku dapat mengendalikan semua benda di ruangan ini melalui pikiran. Aku masih belum menemukan jawaban pasti mengenai ruangan ini. Yang jelas mengendalikan ruangan ini dengan pikiran bukan termasuk manifestasi dengan mantra naga. Tubuhku tidak terbebani dan aku bisa melihat pola berlapis-lapis yang tersebar di seluruh ruangan. Aku yakin ini adalah salah satu keajaiban yang Kaesar ciptakan. Ia berhasil menciptakan pola yang dikendalikan melalui pikiran saat orang lain di luar sana mengandalkan ucapan dan sentuhan.
Mataku melihat salah satu laci sorong terbuka lebar. Di dalamnya ada sebuah amplop dengan segel pangeran pertama. Ia memang sering mengirim surat dan benda-benda aneh. Surat yang dikirim biasa berisi basa-basi menanyakan kabar dan permintaan maaf karena tidak bisa mengunjungiku hari itu. Padahal siapa juga yang memintanya datang setiap hari.
Aku merobek amplop untuk mengeluarkan selembar kertas yang ditulis Kalliel.
Kaesar, aku harap kau dalam keadaan baik.
Aku baru saja bertemu paduka raja pagi ini. Aku diberi tugas menyelesaikan masalah di area luar kerajaan. Jadi aku tidak bisa menemuimu dalam 10 hari kedepan. Agar kau tidak kesepian, aku sudah meminta bawahanku untuk mengantarkan surat kabar dari belahan dunia lain setiap hari. Aku lihat kau lebih tertarik membaca berita luar negeri dibanding surat kabar lokal.
Satu hal lagi, ada kemungkinan paduka raja akan berkunjung ke kamarmu malam ini. Beliau memang menggunakan kata mungkin, tapi aku yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Saudaramu, Kalliel.
Mataku terbuka lebar.
Kedatangan paduka Raja?
Aku tidak mengira itu akan terjadi.
Seharusnya aku memikirkan kemungkinan itu tapi aku malah melewatkannya.
Aku segera mandi dan berganti pakaian.
Aku menunggu dengan gundah hingga mendekati tengah malam. Selama itu kedua telapak tanganku bergantian mengeluarkan berbagai macam atribut yang sudah aku pelajari. Air, api, tanah, batuan, angin, logam, es, dan kristal. Aku harus menguasai bentuk-bentuk dasar dari elemen tersebut agar bisa maju ke tahap selanjutnya. Aku ingin segera mencapai targetku untuk bisa mengeluarkan serangan luar biasa seperti Kaesar di Ending of The Fallen World.
Seseorang akhirnya mengetuk pintu kamarku. Aku menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan sambil bergerak cepat mendekati pintu. Saat aku membukanya, aku mendapati seorang laki-laki dewasa berdiri di hadapanku. Aku rasa umurnya diakhir 30 atau awal 40 tahun. Ia berpakaian serba hitam dan menenteng keranjang buah di tangan kanannya.
Tidak mungkin dia ayahku.
“Aku ayahmu,” ucapnya seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. “Aku raja Dialaz. Kalliel sudah memberitahuku banyak hal. Melihat wajahmu yang aneh, aku percaya kau benar-benar hilang ingatan.”
Kalimat yang laki-laki itu ucapkan membuatku diam mematung.
“Biarkan aku masuk.” Raja nyelonong masuk ke dalam.
Seketika kesadaranku kembali. Aku melirik ke kanan-kiri dan tidak mendapati satu orang pun di sekitar. Tidak biasanya lorong itu kosong. Harusnya para prajurit berseragam selalu berjaga sepanjang hari.
Aku berbalik dan mendapati raja sudah duduk di samping tempat tidurku. Jubah panjang yang tadinya menyelimuti seluruh tubuh sudah disingkap hingga menampilkan kaos ketat yang ia kenakan. Ini bukan penampilan raja yang aku bayangkan. Kaos turtleneck dipadukan dengan celana panjang yang juga hitam. Jika mengabaikan jubah yang bertengger di lehernya, Raja Dialaz berpenampilan seperti manusia normal yang sudah lama tidak aku lihat. Dia tidak mengenakan aksesoris apapun termasuk mahkota.
Aku duduk di bagian ranjang yang tidak berhadapan langsung dengan raja.
“Kamu terlihat seperti kucing penakut.” Raja melemparkan buah apel yang barusan ia kupas.
Aku hanya menatap buah itu tanpa bisa memakannya.
Ending of The Fallen World tidak sama sekali menampilkan sosok Raja Dialaz. Laki-laki dihadapanku ini hanya disebut dalam narasi atau obrolan karakter secara sekilas. Jadi aku tidak tahu banyak hal tentang dia.
Beberapa kalimat yang sering diulang mengenai raja saat ini adalah dia merupakan pemimpin yang ganas dan tidak kenal ampun. Jika ada yang membuatnya kesal, nyawa orang itu langsung menghilang keesokan harinya. Jika ada yang membuatnya sangat kesal, orang itu akan mendapat sesuatu yang lebih mengerikan dari kematian. Raja akan membuatnya tak berdaya. Entah dengan merampas harta kekayaan, menghancurkan kekuatan atau langsung membuat orang itu gila.
Terdengar menyeramkan bukan?
Tidak ada yang terjadi diantara kami. Raja sibuk mengupas buah-buahan lalu menatanya diatas piring sementara aku memperhatikannya sambil menggenggam apel yang masih utuh. Aku menunggu ia melirik atau mengatakan sepatah dua patah kata tapi tidak ada yang terjadi.
Raja meletakan potongan apel terakhir di atas meja. “Aku akan mengumumkan keadaanmu besok pagi. Untuk sementara Kalliel akan mengurus hal-hal yang biasa kau lakukan.” Matanya tertuju padaku.
“Baik, Yang Mulia.”
“Seharusnya kau memanggilku ayah.”
“Baik, ayah.” Aku menurut.
Yang aku dapati malah ekspresi terkejut dari wajahnya. Raja akhirnya tertawa lalu pergi meninggalkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments