Bab 3. Pelaminan kosong

Bab 3. Pelaminan kosong

Waktu cepat berlalu Bu Lastri begitu bersemangat, setelah perkenalan Arumi dan menetapkan tanggal pernikahan. Genap satu bulan kemudian, pagi ini suasana terlihat ramai, semua persiapan akad nikah sudah tertata rapi, Bu Lastri sudah berdandan rapi, senyumnya sudah tersebar ke beberapa tetangga yang di temuinya di rumah. “Apa? Arumi sudah siap?” tanyanya, mengintip dari balik pintu.

“Ash ... kenapa belum siap juga,” sergah Bu Lastri kesal bergegas masuk dalam kamar, “rias dia!” titahnya marah.

“Bu ....” Arumi menolak, menepis tangan MUA.

Arumi menggeleng, kembali menolak tangan MUA yang menyapukan bedak di wajahnya. Sang ibu yang melihat sikap Arumi semakin kesal, tanpa banyak bicara mendekat, mencubit lengan Arumi dengan netra tajam.

“Lakukan sekarang,” titah sang ibu marah.

Lagi-lagi Arumi kalah dengan sikap keras ibunya hingga lima belas menit kemudian. “Begini ‘kan cantik. Ibu yakin Abraham pasti akan pangling,” tutur sang ibu puas.

Selepas kepergian sang ibu, Arumi hanya tertunduk lesu menatap lantai kamar.

“Arumi, kenapa kamu terlihat tidak senang?” tanya MUA yang sedari tadi memperhatikan sikap Arumi.

Arumi menggeleng, menatap MUA yang berdiri di depannya. “Saya takut, saya ....” Arumi merapatkan bibirnya, bersamaan dengan helaan napas berat yang ke luar dari hidungnya, “Mbak saya ingin lari dari pernikahan ini. Apa? Mbak mau membantu?” tanya Arumi ragu.

Sang MUA langsung menatap Arumi heran, netranya membola tidak percaya saat mendengar perkataan Arumi. “Jangan bicara yang aneh-aneh Arumi. Tenang saja, nanti pasti tidak akan takut, itu wajar,” jawab MUA tenang kemudian merapikan alat make up yang berserak di nakas.

“Selamat Arumi, semoga langgeng.” MUA memberi selamat setelah semua alat make up sudah tersimpan rapi, menilik wajah Arumi yang cemas.

Percakapan mereka terhenti, saat mendengar suara mobil berhenti tepat di depan jendela kamar Arumi. Arumi dan MUA sontak menoleh bersamaan, tetapi Arumi langsung memutus tatapannya saat melihat seorang laki-laki ke luar dari mobil. Laki-laki yang sibuk membetulkan jas putih tulang yang di kenakannya.

Laki-laki berperawakan tinggi, garis wajah tegas dengan sorot mata tajam.

“Arumi, itu calon suami kamu?” tanya MUA mengejutkan, kemudian netranya melihat ke arah Arumi untuk beberapa saat dan tidak lama berganti ke arah laki-laki yang tengah membetulkan jas yang di kenakan.

“Benar Mbak, dia Mas Abraham,” jawab Arumi tidak bersemangat.

“Wah ... beruntung sekali calon suamimu itu. Mendapatkan kamu yang masih kinyis-kinyis, sementara dia sudah berumur dan berpengalaman,” cerocos MUA semakin membuat Arumi takut.

“Mbak ... Arumi takut.” Arumi membeku bertepatan dengan Abraham menilik ke arah jendela kamarnya.

“Arumi ....” MUA menatap Arumi lekat, “apa? Kamu tidak mencintainya?” tanya MUA menelisik.

“Mbak.” Arumi memegang erat tangan MUA disebelahnya.

Namun, belum juga Arumi menjawab, pintu kamar di buka, wajah sang ibu muncul dari balik pintu. “Siapkan Arumi, acara ijab kabul sudah di mulai,” tutur Bu Lastri bunga.

Suasana benar-benar sepi yang terdengar hanya suara Pak Penghulu yang memimpin ijab kabul dan tidak lama terdengar suara sah dari beberapa warga yang menyaksikan.

“Alhamdulillah. Arumi, lekas ke luar,” titah sang ibu menarik tangan Arumi, menuntun anak perempuannya ke luar dari kamar.

Memasuki altar pernikahan Arumi tidak mengira jika pelaminan akan di dekor begitu megah, lampu hias menggantung di beberapa tempat, buket bunga mawar, sontak aroma wangi tercium menyeruak ke seluruh ruangan, bahkan area prasmanan tersaji beragam selera nusantara.

"Jangan melamun Arumi, tarik bibir kamu! Senyum yang manis, lihat suamimu sedang memperhatikan," sentak Sang Ibu mengejutkan Arumi.

“Kenapa kamu diam, majulah. Abraham sudah menunggumu,” bisik sang ibu lirih mendorong tubuh Arumi ke depan.

Arumi tersadar dari lamunnya. “Maaf, Bu,” jawab Arumi melangkah lebih mendekat.

Abraham yang sejak tadi memperhatikan dirinya, tersenyum ramah menyambut kedatangan Arumi, meraih tangan Arumi, membimbingnya hingga duduk di kursi, sikap sopan dan ramah yang pertama kali Arumi nilai.

Melanjutkan beberapa acara yang terjeda hingga Pak Penghulu menutup acara akad nikah dan menyerahkan buku nikah pada Arumi dan Abraham.

Selepas kepergian Pak Penghulu hanya dalam hitungan menit, Abraham sudah berdiri, berjalan mendekati kedua orang tua Arumi. Arumi bisa melihat jika Sang Ayah tengah berdebat pelan dengan Abraham, tetapi tidak lama sang ayah hanya bisa diam dan netranya langsung tertuju pada Arumi, menatapnya cemas. Melihat reaksi dari sang ayah, Arumi semakin merasa takut

seakan ada isyarat yang coba sampaikan lewat tatapannya.

Arumi perlahan mundur dari tempatnya, perlahan Arumi beringsut pergi, tetapi langkah Arumi sedikit terhambat karena kain panjang yang dia kenakan. “Mau ke mana kamu,” sentak sang ibu, mengejutkan, meraih tangan Arumi kasar, menyeretnya kembali mendekat ke suami yang baru menghalalkannya beberapa menit lalu.

“Bu, Arumi-Arumi ....” Arumi memutus ucapannya, netranya menilik ke arah sang ayah.

Namun, Arumi hanya bisa melihat sorot netra cemas sang ayah. “Silakan bawa Arumi, dia sudah menjadi istrimu sekarang,” ujar sang ibu yakin melepas Arumi tanpa rasa khawatir.

Memeluk Arumi dan membisikkan sesuatu yang membuat Arumi tidak berkutik.

“Yah ... Arumi, mendekap tubuh sang ayah erat seakan ingin mencari perlindungan lewat netranya.

“Bersenang-senanglah Arumi, Suami kamu akan mengajakmu berbulan madu,” jelas Sang Ayah pelan.

Arumi tidak mengira jika Abraham akan membawanya pergi begitu cepat, belum juga Arumi menyiapkan batinnya hanya untuk sekedar menyapa suaminya. “Apa? Kamu akan membiarkan Suami kamu menunggu Arumi? Perjalanan akan memakan waktu,” Abraham pelan dengan netra tajam.

Arumi menunduk takut, melangkah mendekat dengan kaki gemetar, entah kenapa Arumi merasa ada hal yang di sembunyikan dari sikap ramah Abraham. “Ayah, Ibu. Arumi berangkat,” pamitnya dengan suara tercekat.

Abraham sudah berdiri di samping mobil, membuka pintu mobil lebar untuk dirinya. “Ma-maaf. Saya lupa membawa baju,” ujar Arumi berusaha mengulur waktu.

“Masuklah jangan pikirkan hal sepele itu,” ujar Abraham pelan seakan memaksa Arumi masuk mobil.

Arumi hanya membisu, wajahnya menunduk takut menyembunyikan tatapan Abraham yang sesekali meliriknya tajam. ‘Terlambat Arumi, terlambat, kenapa kamu akan memberontak sekarang? Kamu ingin lari dari laki-laki ini? Dia sudah membelimu mahal Arumi, mahar yang tidak kamu miliki.’ Perang batin Arumi menghujat ketololannya.

“Apa? Kamu takut?” tanya Abraham tiba-tiba mengejutkan Arumi.

Arumi makin menunduk, meskipun kepalanya menggeleng sebagai jawaban.

“Duduk saja dengan tenang, mungkin tengah malam nanti kita baru sampai,” tutur Abraham dengan suara besar, melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Gunakan untuk istirahat Arumi," ujarnya sembari tersenyum aneh, kata terakhir yang Arumi dengar setelah itu hanya kebisuan yang terjadi, sementara Abraham sudah sibuk menggulir benda pipih yang ada di tangannya, hanya sesekali senyumnya tersungging aneh tidak urung netranya melirik ke arah Arumi.

Benar yang Abraham ucapkan, entah berapa lama perjalanan yang mereka lalui, tengah malam mereka baru tiba. Arumi masih terpaku di dalam mobil, netranya menatap rumah besar yang ada di depannya. "Ini ...." Arumi tertahan saat Abraham meniliknya dari luar mobil.

“Ke luar Arumi, ini rumahku dan sekarang kita sudah berada jauh dari kota asal kamu,” terang Abraham menutup pintu mobil kasar kemudian melangkah lebih dulu meninggalkan Arumi dengan semua kebingungannya.

Arumi masih menggunakan baju pengantin lengkap saat mengekor langkah Abraham pelan. Netranya terus memindai setiap jalan yang dilaluinya, seakan ingin memberikan perintah pada memorinya untuk mengingat semuanya dalam sekali lihat.

Langkah Arumi makin pelan, ada kecemasan dan perasaan takut yang tiba-tiba menusuk hatinya. 'Apa? Benar ini rumah Abraham? Siapa dia, kenapa dia ....' Batin Arumi bergolak melawan kenyataan yang tengah dilihatnya.

"Apa? Kamu akan berjalan seperti siput! Cepatlah, aku juga ingin segera istirahat," pekik Abraham tidak sabar.

"Ma-maaf ... sa-saya ...." Arumi tidak melanjutkan ucapannya, memilih mengangkat kain yang di gunakannya agar langkahnya bisa sedikit cepat.

Arumi masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, langkahnya terhenti di ruang tamu, ruang yang terkesan gelap dengan suasana remang-remang.

"Akhirnya, kamu datang juga," suara manja seorang wanita, langsung memeluk tubuh Abraham dari belakang.

Terpopuler

Comments

Utayiresna🌷

Utayiresna🌷

eh maksudnya apa nih🙄

2024-02-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!