Lamia terkejut, saat Ibunya sudah duduk dengan anggun di meja makan berpakaian dinas jalesenastri warna biru.
"Loh, bukannya hari ini flight? Kok udah pake seragam aja, Bu?"
"Ibu mau ke lanal dulu, ada penyambutan jalesenastri baru. " Jawabnya santai, sibuk mengoleskan selai nenas ke roti Ari.
Ari tidak bisa sarapan pagi dengan menu yang berat, jadi Ratna selalu stok roti tawar untuk si anak tengah yang pemilih.
"Bapak juga ikut ke lanal?"
"Menurut anda?"
"Lio ikut, ya. Biar kalo urusan di lanal selesai, bisa langsung Lio anter ke bandara."
Sahut Lio menyuapkan nasi goreng terakhir ke mulutnya.
"Mau ke rumah dulu, Lio. Masa Ibu naik pesawat pake baju begini?"
"Oke, tapi Lio tetep ikut ke lanal."
"Kamu ga ngajar pagi?"
"Masih awal semester, mahasiswa paling masih pada war KRS biar ga kontrak mata kuliah di aku"
"Kamu sih, jadi dosen jangan galak-galak." Tegur Ibu sambil menyerahkan roti yang baru saja diolesnya ke piring Ari.
"Ga galak, ngapain coba galak-galak ke mahasiswa"
"Bang Lio mah ga galak, Bu. Cuma pelit nilai." Sahut Ari mencoba memanaskan suasana.
"Oh ya? Kata siapa?"
"Mantannya Ari" Balas Lio cepat membalikkan keadaan membuat Ari hampir tersedak.
Lamia hanya fokus pada aktivitasnya menghabiskan makanan, tidak berminat untuk ikut bergabung ke dalam pertempuran pagi itu untuk memberikan kontribusi sebagai kompor bagi satu sama lain.
Padahal, jika ia ingin suasana akan semakin memanas karena dialah yang paling banyak memegang kartu kedua kakaknya.
"BANG—"
"Masih pagi! Jangan berisik. Biarin aja Lio nemenin Ibu ke lanal." Tegur Bapak.
"Tapi Bapak penasaran ga, kenapa Bang Lio ngebet banget pengen ikut ke lanal?" Tanya Ari dengan mulutnya yang masih penuh.
"Tau, mau caper kan ke Serda Lembayung?"
Hening..
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik....
"IH BAPAKKKK"
Kali ini Lami benar-benar tersedak dengan obrolan pagi ini.
Lio naksir Mba Lembayung?
BANG LIO? NAKSIR MBA LEMBAYUNG?
Kenapa info seperti ini telat sampai padanya?
Di Lanal tempat Bapaknya memimpin, hanya ada satu nama Lembayung dan berpangkat sersan dua.
Lembayung Senja, nama lengkapnya.
Lamia membayangkan dia yang akan memiliki ipar yang terkenal sangat cantik itu benar-benar mengalami kejatuhan mental.
Setiap pagi saja gadis itu selalu takjub mengagumi paras sang Ibu yang tampil natural. Walau tertutup masker dan snelli yang selalu dia kenakan tapi aura mahal dan berkelas bisa terpancar dengan amat sangat jelas. Belum lagi, jika sang Ibu memakai pakaian dinas jalasenastri jika menghadiri kegiatan-kegiatan tertentu. Cantik dan keanggunan sang Ibu jadi berkali-kali lipat.
Jika wanita cantik dengan pangkat sersan dua yang memiliki paras ayu seperti namanya. Dipinang oleh sang abang tertua dan ikut bergabung ke dalam keluarganya, akan jadi apa mentalnya, dibuat insecure dengan double kill paras yang another level itu?
"Loh, Bapak udah tau?" Tanya Ari yang keheranan. Sejujurnya dia kecewa, info yang harusnya menggeparkan meja makan pagi itu malah bocor duluan. Dan bukan dia pelaku yang membocorkannya.
"Bapaknya nih, peka Mas. Sering banget tuh Abangmu main ke lanal alasan mau ketemu Bapak, padahal mah aslinya mau liatin si ayang lagi kerja."
"Emang udah pacaran?" Tanya Lami benar-benar penasaran.
"Belum, Abangmu mana punya nyali deketinnya." Jawab Ibu.
"Step by step lah, Bu. Masa aku harus tiba-tiba lamar ga pendekatan dulu?"
"Yang cepet kamu geraknya, Bang. Ayu tuh banyak yang naksir."
"Hooh, Bang. Ada tuh satu anak pengusaha kapal yang ngincer dia."
Lio menghela nafas berat, menjadi topik pembahasan pagi ini membuat pikirannya berat.
Dia ingin pendekatan lebih dulu. Jika dipaksa untuk buru-buru begini, bukankah sang gadis yang ditaksir juga akan risih?
Mereka belum lama saling kenal, meski Lio sudah banyak mendengar cerita tentang sang pujaan hati, Lio juga ingin gadis itu mengenal dirinya lebih dalam. Menikah bukan hanya tentang mengikat hubungan lewat ijab qabul kan? Tapi juga proses menyatukan dua manusia.
"Bang, Mbak Ayu tuh cakep bangettt. Abang ga insecure?" Tanya Lami yang masih syok dengan fakta yang baru saja dia dengar.
"JANGAN INSECURE. KAMU PNS." Sahut Ibu cepat.
Lami dan Ari bergidik ngeri melihat ekspresi Lio yang terlihat mengulum senyum menahan salting.
"Pendekatan dulu lah, Bu. Pelan-pelan tapi prosesnya pasti." Jawab Lio mantap.
"Kelamaan pendekatan, ditikung tau rasa."
"Kalo ditikung berarti Ayu emang bukan untuk aku, Bu."
Manik matanya menangkap sorot tak senang dari kedua adiknya. Bukan apa-apa, tapi melihat Lio yang tiba-tiba jadi kalem dan pemalu saat membahas masa depannya dengan seorang wanita, itu adalah pemandangan yang.... Aneh?
"Aku tuh punya adek dua, tapi pada ga support. Males ah, jadi ciut kan nyali ku."
"Cupu, kamu. Baru di uji dua adikmu saja, udah lembek. Semoga kamu beneran ditolak sama Lembayung." Sahut Pandu membuat Lio melongo tak percaya.
"Parah ih, Bapak ga dukung anaknya menjemput jodoh."
"Belajar dulu sana jadi laki yang bener sama Ari. Belajar gimana caranya menaklukan cewek. Tatoan doang, tapi pas naksir cewek, jadi lembek. Cupu! Hapus sana tato mu." Ejek Bapak.
"Pak katanya kalo lamarannya diterima Serda Lembayung, mercy nya mau dijual buat beli rumah sama biaya nikah. Panai orang bugis kan mahal katanya HAHAHAHA"
"ARI APAAN SIH? SEGITU NAKSIR NYA YA LO SAMA MERCY GUE AMPE DISEBUT MULU DARI SEMALEM?!"
"Lio, kamu mau Bapak sabet pake sabuk?"
"Maaf, Pak."
"Mas, antar.." Seru Lamia setelah melirik arlojinya yang sudah menunjukkan setengah jam lagi, akan ada upacara. Bisa bahaya dia kalau telat di hari pertama.
"Oke, Mas juga udah mau otw kantor." Balas Ari segera merapikan kemejanya sebentar kemudian berdiri untuk berpamitan kepada kedua orang tua mereka dan Kakak sulung mereka.
"Ingat pesan Bapak semalam ya. Lio, Ari, jaga adikmu. Trus kamu Mi, jangan sering buat ulah disekolah. Pokoknya Bapak ga mau denger Ibu ngomel gara-gara kamu masuk BK lagi." Kata Bapak sebelum Lamia dan Ari berangkat untuk aktivitas pagi mereka.
Lamia mengangguk pelan tanda mengerti, kemudian beranjak. Menatap menatap arloji yang melingkar di pergelangan kiri gadis itu.
"Maaf ya, Ami ga bisa antar Bapak sama Ibu ke bandara, soalnya hari ini first day nya Ami kelas dua belas. Kan ga bagus hari pertama kelas dua belas Ami udah ngotorin absen. Ami berangkat, Byeeeeee. Jangan lupa jaga kesehatan. love you." Pamit Lamia mengecup pelan pipi kedua orang tuanya.
"Mas Ari ga di kiss?"
"Nanti aja di mobil, ayok ah."
Pemuda berlesung pipi itu segera bangkit menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil.
"Trus Bang Lio?" Tanya Lio cemberut menatap adiknya.
"Minta sana sama Mbak Lembayung."
Lio memutar bola matanya kesal, menggerutu, mengatakan hal-hal aneh yang tak bisa didengar oleh gadis itu.
"AMI, BURUUU! NTAR TELAT!" Teriak Ari yang tak disadarinya sudah berada di teras depan.
"Ami berangkat, bye." Pamit Ami kemudian berlari kecil menghampiri Ari.
Gadis bertubuh tinggi itu lekas memakai sepatunya kemudian masuk ke dalam mobil.
Bibirnya dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di pipi sang Kakak.
"Mau dijemput?" Tanya Ari yang mulai menjalankan mobil.
"Enggak."
"Dih, balik sama siapa?"
"Naik angkot mungkin? Pengen balik sendiri."
"Jangan balik sendiri. Telpon Mas atau Bang Lio kalo ga punya tumpangan." Kata Mas Ari mulai memasuki wilayah parkir sekolah.
Maximus High School, sekolah swasta unggulan yang menjadi pilihan pertama untuk mereka bagi mereka kalangan menengah ke atas.
"Udah sampe. Belajar yang bener, jangan nyari ribut." Pesan Ari sebelum adik bungsunya itu keluar dari mobil.
Gadis itu berdiri diparkiran, memberikan tatapan datar ke arah mobil kakaknya yang melaju meninggalkan halaman sekolah.
"AMII! LAMIAAAAA!!! KITA SEKELASSSS!" Teriak Aul heboh langsung menubruknya dari depan.
Lami sempat terdorong ke belakang karena serangan dadakan dari sahabatnya itu.
"Tebak kita sekelas sama siapa?" Bisik Aul melepas pelukannya.
"Ratu?" Tanya Lamia, yang segera dijawab dengan anggukan oleh gadis berponi itu.
"Sayang banget Setara sama Bima jurusan sebelah." Gumam Aul yang segera dihadiahi jitakan oleh Lamia.
"Bilang ajaaa lo capek harus naik turun tangga buat apel ke jurusan IPS."
Aul hanya bisa meringis menyahuti perkataan Lami.
"Lagian kenapa coba, dipisahin gedungnya. Ini sekolah SPPnya mahal banget, tapi gaada liftnya. Minimal jembatan penghubung kek ke gedung IPS" Gerutu Aul.
"Emang sengaja dipisah, Ul. Biar lo semua pada ga zina di sekolah."
"Zina mata lo!"
Kedua gadis itu terus mengobrol hingga langkah mereka terhenti tepat didepan kelas mereka.
12 IPA 7, kelas 12 terakhir yang Lamia tidak tau, akan diisi oleh siswa dengan watak apa saja.
"Lumayan, deket pagar belakang. bisalah, kalo pengen bolos ke warung Mbak Fani."
Lamia mendecih sinis, tangannya bergerak cepat menoyor gadis disebelahnya.
"Keseringan bergaul sama Setara lo udah diajarin yang ga bener ya sama dia?! Tobat lo sebelum disleding sama Ratu." Kesal Lamia kemudian melangkah masuk meninggalkan Aul yang sudah melempar makian ke arahnya.
"Tabok terus, Mi. Tabok. Heran gue, cewek tapi tangannya ringan banget!"
Lamia terus melangkah tidak memedulikan omelan Aul sama sekali.
"Rat, warung Mbak Fani yuk." Ajak Aul melepas tasnya dimeja kosong sebelah Ratu.
Lamia sendiri memilih untuk duduk di meja pojok sebelah kiri bersebelahan dengan jendela yang mengarah langsung ke arah lapangan olahraga, membiarkan kedua temannya itu untuk duduk bersama.
"Mi, disini ajaa. Eh lo pindah ke belakang deh, tukeran sama Lami." Kata Aul mengusir gadis yang duduk dihadapannya.
"Gua pengen disini." Tolak Lamia melotot sebal ke arah Aul.
Lamia mulai mengatur posisi enak untuk mengistirahatkan matanya setidaknya sampai bel tanda upacara berbunyi. Namun niatnya itu digagalkan oleh seseorang yang melakukan pergerakan besar membuatnya terbangun.
"Kasar banget si?! Ga bisa pelan-pelan?" Seru Lamia kesal menatap pemuda itu sinis.
Tak ada respon, pemuda itu malah menyumpal telinganya menggunakan airpods.
Geram dengan tingkah pemuda itu, Lamia lantas menarik kasar airpods pemuda disebelahnya.
"Tau cara menghargai orang yang lagi ngomong gak?"
"Sorry." Balas pemuda itu santai, memakai kembali airpods miliknya.
Lami menghela napas berat, memalingkan wajahnya ke depan saat mendengar kegaduhan yang timbul dikarenakan bel upacara sudah berbunyi.
"Gara-gara lo, gue jadi ga bisa tidur bentar." Omel Lamia.
Pemuda itu hanya menatap Lami yang sudah melangkah kesal.
Tangannya lantas terulur menahan langkah Lami untuk keluar dari kelas itu.
"UKS dimana?"
Lami mengernyit bingung.
Baru hari pertama tapi pemuda itu sudah bertanya letak UKS? Untuk apa?
"Temenin gue ke UKS, lo juga bisa tidur sepuas lo kalo lo mau."
"Deal. Ikut gue"
Lamia lantas menarik tangan pemuda itu ke arah UKS, tangannya tanpa ragu mengetuk dan langsung membuka pintu UKS yang memperlihatkan seorang dokter umum yang ditugaskan di UKS menatap malas ke arahnya.
"Lamia, ini baru hari pertama sekolah dan hari pertama kamu duduk di kelas 12 tapi sudah masuk ke UKS? Apalagi sekarang alasan kamu?"
"IH ENGGAK DOK. Saya bawa pasien." Lamia lantas mendorong pemuda tak dikenalnya itu untuk berdiri di depan.
"Kamu kelas berapa? Sepertinya saya baru liat kamu."
"Saya pindahan dari SMK Atmosphere. Mulai hari ini saya sekelas dengan Lamia."
Dokter Mira, selaku penanggung jawab UKS hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Apa keluhanmu?"
"Saya punya riwayat jantung dan sepertinya saya tidak bisa berdiri terlalu lama untuk ikut upacara. Saya bisa istirahat disini?" Tanya pemuda itu sopan.
"Yasudah, silakan berbaring di bed sebelah sana. Lamia, kamu silakan ke lapangan untuk upacara."
"Dok. Biarin Lamia disini, saya butuh dia untuk tanya-tanya tentang sekolah baru saya."
Dokter Mira hanya bisa mendengus sebal.
"Yasudah. Beritahu saya kalau butuh apa-apa."
Lamia tersenyum lebar saat Dokter Mira berlalu meninggalkan mereka berdua.
Wah, Lamia harus mengucapkan terima kasih kepada pemuda ini.
Dengan segera langkahnya mendekati bed paling ujung dan segera menutup tirainya.
Baru saja ia ingin memejamkan mata, tirainya segera terbuka menampilkan si anak baru yang sudah meletakkan kursi di samping bed nya sebelum akhirnya dia menutup kembali tirai itu.
"LO NGAPAIN?"
"Ssst. Diem. Nanti bakal ketahuan kalo lo yang tiduran disini."
"Ya udah, sana ke ranjang lo."
"Lo bisa mikir ga si? Kalo gue ke ranjang gue, lo bakalan diusir karena ketahuan cuma mau numpang tidur di UKS."
Lamia hanya mendengus sebal, segera membelakangi pemuda itu, untuk tidur menghadap dinding.
"Tidur aja, ntar kalo bel jam pertama udah bunyi, gue bangunin lo."
"Hm, thanks."
"Thanks doang?"
"Ga boleh pamrih."
"Harus pamrih, soalnya gue udah bantuin lo untuk tidur di UKS."
"Ga ngebantu sama sekali, soalnya lo ngajak gue ngobrol."
"Abis ini gue diem, setelah gue dapet jaminan yang memuaskan."
"Ya udah lo mau jaminan apa?"
"Jadi temen gue, temenin gue keliling sekolah dan beradaptasi sama lingkungan sekolah."
"Hm, nanti gue kenalin lo ke wakil ketos, biar lo bisa tau isi satu Sekolah plus gosip-gosipnya."
"Ga mau. Gue maunya elo. Nanti sebagai gantinya, gue bakal cari alasan biar waktu tidur lo ga keganggu."
"Ga usah."
"Oke, gue anggap kita udah deal dengan kesepakatan kita."
Lamia lantas berbalik, melotot sebal karena keputusan sepihak itu.
"Udah sana tidur." Kata pemuda itu kemudian menarik selimut untuk menutupi wajah gadis yang memelototinya.
...🍨🍨🍨...
"Ini beneran lo?" Tanya Aul mendekat ke arah pemuda itu, menarik-narik rambut tak percaya sosok didepannya.
"Apa anjing." Kesal pemuda itu melepas tangan Aul yang tak berhenti memainkan rambutnya.
"Ngapain panjangin rambut si?" Nyinyir Aul tetap menarik-narik rambut pemuda itu.
"Gua kayak ngeliat Ratu versi kekar anjir. Ratu pake celana hahahaha" Tawa Setara yang segera dihadiahi tabokan dari Ratu.
Ratu menatap kembarannya dengan tatapan tak suka.
"Apa lo liat-liat."
Gadis itu lantas mengumpat kesal mendengar serangan itu.
Lamia terdiam, fokus melahap bakso lava dihadapannya. Sibuk mendengar ocehan tak jelas mereka sembari sesekali merespon dengan senyum.
"Kalem banget, Mi. Biasanya juga nyari ribut." Seru pemuda disampingnya tanpa mengalihkan pandangan sedetikpun dari gadis yang sedang asik makan tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
"Ntar aja ngobrolnya, lo kayak ga tau aja Lami ga suka diajak ngobrol pas lagi makan." Balas Ratu mencoba memihak ke Lamia.
Lamia mendengus tak tahan meraih kotak tisu yang berada jauh darinya.
"Mohon maaf ya, gue aslinya emang kalem."
Setara dan Bima refleks membuat ekspresi ingin muntah saat mendengar respon dari gadis berambut panjang itu.
"Minta tolong apa susahnya sih?" Seru pemuda itu, mendekatkan tisu ke arahnya.
"Makasih." Ucap Lamia menghapus keringat, yang sudah membanjiri wajahnya.
Bakso lava sialan, tapi tetap saja dihabiskan.
"Ada yang mau nambah ga? Gue masih kepengen... Mb—"
"Mbak, roti bakar tiramisu sama matcha ya buat Lami. Sama susu juga, anaknya udah kepedesan soalnya." Teriak pemuda itu mendahului Lamia.
Lamia melotot sebal ke arah pemuda itu, dan segera dibalas dengan tatapan tanpa dosa.
"Sayang lambung ah, jangan keseringan makan pedes."
"Ehem... yang kayak gini sayang banget ga sih kalo ga balikan lagi?" Seru Aul tiba-tiba membuat suasana saat itu seketika berubah.
"Padahal udah ditinggal enam bulan loh, tapi masih aja hapal kebiasaan. Apa dong artinya kalo bukan karena masih sama-sama punya rasa?" Kata Aul menambahkan.
Bima mendehem pelan, menyikut kekasih yang duduk di sampingnya untuk mengontrol mulutnya.
"Gue ke toilet ya, pengen berak."
"Trus roti bakarnya?"
"Lo aja yang makan, gue udah ga selera lagi." Kata Lami menyerahkan uangnya untuk membayar bakso lava dan roti bakar.
Singgasana Raja, pemuda dengan rambut hitam sebahu tersenyum pelan menatap kepergian gadis yang pernah membersamainya itu.
"Gara-gara lo tau gak, si Mia jadi nutup hati buat cowok-cowok yang pengen serius sama dia." Kesal Ratu memukul keras kembarannya itu.
Pemuda itu malah menunduk tak menanggapi, mencicipi kuah bakso lava pesanan gadis itu sembari menyembunyikan senyumannya.
Jika Lamia sampai detik ini belum terlihat dekat dengan lelaki manapun, bukankah itu berarti mereka masih punya peluang untuk kembali bersama?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Android 17
Pulang kerja langsung baca cerita, seru banget!
2024-01-24
1