Tiga Segi Cinta
"SATU, MI?!"
Lami mendengus napas kesal mencubit lengan Setara menyuruhnya untuk diam.
"AHHH!" Teriak Setara terlonjak kaget, memegang lengannya yang terasa perih.
"Mulut lo! Diliatin banyak orang tau!" Kesal Lami langsung membekap mulut Setara dengan kasar.
Suara keributan dari arah gazebo paling ujung di taman samping menjadikan mereka pusat perhatian di tengah hari yang terik itu
Kondisi taman itu sebenarnya bisa dibilang tidak terlalu ramai, tidak pula terlalu sepi. Hanya diisikan beberapa murid yang datang berfoto bersama teman atau keluarga mereka untuk merayakan pembagian hasil penilaian semester ganjil.
Setara melepas bekapan gadis yang berpostur lumayan tinggi itu dan segera menyumpal mulutnya dengan keripik kentang sebelum gadis itu kembali melempar sumpah serapah kepadanya.
Misi sukses, Lami tidak lagi mengomel tapi malah mencomot bungkusan cemilan dari tangannya.
Setara mendengus sebal. Dirinya ingin memprotes aksi pencurian kecil itu, tapi malah mengurungkan niatnya karena tidak ingin memperbesar masalah.
"Kok enak, Tar?"
"Iyalah enak, orang ada MSG nya" Balas Ratu ikut mencomot sepenggal cemilan dari bungkusnya yang berada dalam pelukan Lami, aksi itu segera dihadiahi tatapan tajam dari gadis di sebelahnya.
Ratu yang masih ingin, memilih urung karena tidak berani jika harus berurusan makanan dengan Lami.
Rules nomor satu, jangan pernah mengambil makanan milik Lamia tanpa seizinnya. Kalau ditanya kenapa, analoginya mirip seperti kalian yang mencuri telur ayam saat lagi dierami sang induk.
Lamia memang tidak memiliki paruh untuk mematok tangan si pencuri. Tapi gadis itu memiliki mulut yang bisa menyerang musuh jauh lebih menyakitkan dari patokan sang ayam.
Setara menggeleng pelan, jari telunjuk dan ibu jarinya memijat-mijat kening tanda mulai lelah.
"Elo tuh sering keluar masuk ruang BK. Tapi kok masih dapet peringkat umum. Lo nyogok, ya?" Tuduh Setara.
"Dih? Emak sama Bapak gue aja pelit banget. Mana mau mereka ngasih gratifikasi begituan." Balas Lami dengan nada datarnya, sembari mengunyah keripik kentang.
"Abisin yang di mulut lo dulu baru ngomong. Remahannya muncrat ke gue!" kesal Ratu kemudian beranjak menggeser Setara untuk bertukar tempat.
"Yang sopan lo sama waketos kebanggaan. " Balasnya tak terima.
"Mata lo kebanggaan."
"DIEM GA! Heran gue, berantem mulu. Gue kawinin juga ya lama-lama!!!" Pisuh Ratu.
"Yang itu, Rat. Kalo lo gatel pengen kawinin orang." Setara sempat-sempatnya membalas. Jarinya menunjuk ke arah dua sejoli yang sedari tadi sibuk selfie, menulikan keadaan sekitar mereka yang ributnya mengalahkan satu desa.
Ratu yang kesal, karena Setara selalu saja bisa membalas omelannya, lantas melayangkan tamparan gratis untuk pemuda itu.
Rules nomor dua, Lamia memanglah terkenal karena kegalakkannya. Tapi di atas Lamia, masih ada Ratu yang kegalakkannya terkenal hingga di kalangan kakak kelas maupun adik kelas. Jadi jika ingin masa sekolahmu terhindar dari trauma, sebaiknya jangan berani-berani buat Mahkota Ratu mengamuk.
Siapapun yang melihat mereka pasti akan setuju, Setara terlalu menyebalkan dan banyak bicara untuk Ratu yang emosinya bagai tisu dibagi dua, basah kena air pula.
Dan hebatnya, dengan kepribadian mereka yang saling bertolak belakang itu, mereka bisa berteman bahkan lumayan lengket sejak mereka masih di playgroup.
Ah. Lamia bisa membayangkan Raja, kembaran Ratu yang selalu netral dan kalem kapanpun dan dimanapun harus terjebak diantara dua emosi yang berbeda namun sering meledak di saat yang bersamaan.
"Kita diem, ya." Balas Bima yang sadar kalau dia dan kekasihnya disebut dalam topik pembicaraan mereka.
"Eh by the way Mi, Raja udah balik, kemarin ketemu gue di Mall. Udah ketemu?" Seru Aulia tiba-tiba
Gadis berpipi chubby yang sering dipanggil Aul itu berhasil menciptakan ruang hening untuk beberapa saat.
Ratu sampai melotot sebal ke arah Aulia, karena gadis itu sangat tidak peka dalam membaca situasi.
Setara yang biasanya tidak bisa mengontrol mulutnya, kini mendehem canggung. Mulutnya sudah terbuka, tanda siap untuk melempar candaan lagi setidaknya untuk mencairkan situasi. Tapi ia urung, takut candaan yang akan ia lontarkan kemungkinan akan berpotensi memperkeruh atmosfir saat itu.
Lamia melirik sekeliling, menghela nafas berat. Tentu saja ia peka dengan situasi ini. Tapi entah kenapa, dia juga kebingungan.
Jika teman-temannya bingung harus bagaimana karena dirinya, bukankah ia harus melakukan sesuatu agar situasi canggung ini selesai? Lagian, bukan salah mereka juga ia dan pemuda yang tadi disebut berakhir tidak baik.
Lamia melempar kotak susu favoritnya yang sudah habis ia minum ke arah Aulia.
"Males jawab, kecuali kalo lo beliin ini. Gue mau collect merchandise nya. Idol favorit gue tuh."
"Woi, Mi! Tau ga, gue kemaren beli mie favorit kita itu loh yg collab juga sama idol favorit lo. Trus tau ga? Gue belinya sekardus tapi isinya malah photocard mental health semua. Satupun gaada yang isinya photocard idol lo."
Lamia bernafas lega, salah satu hal yang ia syukuri punya Setara dalam pertemanannya. Walaupun obrolan mereka terkesan terlalu memaksa untuk mengalihkan topik, setidaknya Setara benar-benar berusaha untuk menyelamatkan semuanya dari situasi tidak mengenakkan.
"Dosa lo banyak sih, makanya ga hoki." Jawab Lami sambil tertawa.
"Mia, liat deh. Raja sekarang udah cakep banget, woi!! Fix sih lo harus ketemu Raja!" Aul dengan tingkah tidak bersalahnya malah bergegas menyodorkan benda kecil elektronik yang sedari tadi dia genggam, memperlihatkan pemuda berambut hitam gondrong dari layar.
What the hell.
Aulia memang sengaja kah?
Aulia temannya dari kecil, gadis itu jelas tahu luka Lamia yang diberikan pemuda itu. Tapi kenapa dia dengan beraninya mengungkit pemuda itu disaat ia sedang berproses menyembuhkan lukanya?
Bukankah itu keterlaluan untuk dilakukan seorang teman?
Sial, moodnya memburuk sekarang.
"Oh ya? Bagus, deh kalo udah balik. Sekarang Setara ga perlu capek-capek lagi kan ambil alih tugas ketua osis." Sahut Lamia dengan suara setenang mungkin, tapi berbanding terbalik dengan ekspresi muram yang melekat di wajahnya.
Lamia tidak bisa begini. Energinya tiba-tiba terkuras. Dia harus pergi dari sana sebelum emosinya naik.
"Masa jabatan gue udah mau hab-"
"Gue duluan ya, guys. Mau nyusul Mas Ari di depan." Potong Lamia cepat tak membiarkan Setara menyelesaikan kalimatnya.
Gadis itu segera beranjak meninggalkan teman-temannya yang terdiam mematung, dalam hati jelas mereka merasa bersalah. Mereka paham situasi rumit yang sudah terjadi di masa lalu. Tapi satu hal yang selalu berputar dalam benak mereka, kenapa Lamia selalu jadi pihak yang menolak untuk berdamai?
Raja sudah mengalah, dan memberikan Lamia ruang untuk sembuh. Setahun di tanah rantauan berkedok pertukaran pelajar, berusaha tidak menghubungi Lamia terlebih dahulu, bahkan mencoba memikirkan hal lain agar fokusnya tidak hanya tertuju pada satu nama. Bukankah itu sudah cukup untuk Lami memberikan maaf kepadanya?
Aulia menghela nafas berat, bukan bentuk ketidaksengajaan dia mengungkit Raja. Tapi itu benar-benar tindakan yang ingin dia coba agar Lamia bisa terbiasa dengan nama itu.
Bagaimana pun, Aulia lah yang mendekatkan mereka. Adanya lost komunikasi dalam lingkup pertemanannya, bukankah itu terasa amat sangat tidak nyaman?
Lagi-lagi mereka hanya memilih diam, tak berani beranjak untuk menyusul.
"Mi, nanti gue atur jadwal buat ngumpul ya untuk rayain baliknya Raja ke Indonesia. Gue minta lo juga buat ikutan gabung. Mau semarah apapun, lo tetap harus dateng kan........
Sebagai temannya Raja?"
Suara Bima sempat menginterupsi langkah Lami yang kian menjauh dari mereka.
"Liat nanti ya, Bim. Ga bisa janji" Balasnya tanpa menoleh.
Lami menarik nafas berat, langkahnya terlihat tenang.
Kabar kepulangan pemuda itu benar-benar berhasil menghancurkan kembali hati yang sedang ia perbaiki.
...🍨🍨🍨...
Pemuda itu menghembuskan nafas pelan menatap nilai yang tercetak di raportnya.
"Kamu tatap lama-lama juga nilai yang ke cetak disitu ga bakal berubah."
"Kamu tuh mikir ga sih, gimana malunya Mami nanti kalo Papi mu tau nilaimu anjlok kayak gini?! Dengan ini saja, kamu sudah beri Papi mu dan selingkuhannya bahan buat jatuhin kita berdua, Wira!!"
Mahawira, pemuda berambut coklat itu kembali menghembuskan nafas kasar memutar bola matanya kesal.
"Mam, ga usah lah pedulikan mereka. Kita sekarang hidup berdua, bukan untuk penuhin ekspetasi mereka."
"Kamu masih belum paham ya? Mami sekarang udah stress banget karena Papi kamu sering jelek-jelekin Mami. Katanya Mami ga becus urus kamu disini."
Cornell terduduk, kepalanya terasa pusing.
Wira yang melihat kondisi Ibunya lantas bergerak mendekat ke belakang sandaran kursi sofa, mencoba menopang sang Ibu.
"Udah Mam, ga usah ngomel lagi. Saraf Mami udah tegang tuh. Kebanyakan ngomel sih." Wira mencoba meringankan ketegangan itu dengan memijat pundak sang Ibu secara perlahan.
"Wira, kamu tuh Mami ajak ke Indonesia, biar Mami bisa urus kamu walau hanya sebentar, sampai kamu akhirnya harus balik lagi ke Papi kamu untuk handle perusahaannya." Lirih Cornell pelan, meraih tangan sang anak semata wayang kemudian mengelusnya pelan.
"Wira ga mau balik kesana, Mam" Balasnya dengan suara sangat pelan, namun masih terdengar di telinga Ibunya.
"Kenapa? Kamu ga nyaman? Atau istri barunya Papi sering marahin kamu?"
"Iya, Wira ga nyaman. Karena yang dampingi Papi buat besarin perusahaan itu bukan Mami, tapi sahabat Mami yang udah rebut Papi dari Mami." Jawabnya tenang.
Cornell menghela nafas berat, ia juga sebenarnya tidak ingin melepas anaknya itu ke tangan sang mantan suami. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah terlanjur berjanji, untuk membesarkan anak mereka sampai sang putra tunggal mereka siap untuk mengambil alih perusahaan perangkat lunak yang didirikan mantan suaminya itu.
Wira berjalan pelan memutari kursi sofa, mendudukkan bokongnya ke tempat kosong disebelah Ibunya.
"Maaf, Mam... Wira emang tertarik sama perangkat lunak, makanya Wira ga nolak pas Mami minta Wira buat masuk ke SMK. Tapi Mam, tujuan Mami masukin aku kesana cuma untuk nyiapin aku jadi penerus Papi, bukan karena Mami mendukung minat aku. Jadi, aku harus melawan Mami dengan cara menjatuhkan nilaiku biar Mami tau, aku ga suka segala sesuatu yang berhubungan sama Papi."
"Egoku.... ga bisa nerima kenyataan kalo panutanku berubah jadi pecundang yang rusak kebahagiaan rumah kecilnya karena nafsu... Its so fucking annoying, Mam... Like.. you know what i mean.."
Cornell terdiam, tak tahu bagaimana harus merespon perkataan anaknya. Cornell jelas paham luka seperti apa yang ditorehkan suaminya itu kepada anak semata wayang mereka. Wira yang ceria dan selalu tersenyum tumbuh karena terbiasa dengan rumah yang hangat. Tapi saat itu, saat Wira tumbuh menjadi remaja yang mengalami pubertas, ia harus mengorbankan kebahagian dan senyum manisnya karena dilukai sang panutan.
Trauma, kejadian itu benar-benar memberikan dampak yang sangat besar dalam perubahan dirinya.
Tapi saat ini apa yang bisa Cornell lakukan sebagai seorang Ibu? Ia hanya ingin anaknya memiliki karir dan masa depan yang baik. Dan satu-satunya cara untuk menuju ke jalan itu ialah dengan menyerahkan Wira kepada mantan suaminya.
Lamunannya buyar saat Wira menarik Cornell ke dalam pelukan. Air matanya jatuh tanpa aba-aba.
"Mam, bisa ga aku pindah sekolah?" Tanya Wira tiba-tiba membuat Cornell terkejut menatapnya dengan tatapan bingung.
"Tiba-tiba banget? Kamu udah naik kelas 12 kenapa pindah?"
"Aku naksir cewek. Mirip Mami."
Cornell mengerutkan kening, hanya ada satu nama yang terlintas di benaknya saat Wira menyebut gadis yang katanya mirip dengannya.
"Emily?"
"Wira... Mami kan udah bilang—"
Wira menggeleng cepat, memegang bahu Cornell erat untuk menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang ada di kepala sang Ibu.
"Nanti aku kenalin kalo udah deket, hehe."
...🍨🍨🍨...
"Cieee co-ass" Goda Emily riang, si gadis cantik pemilik surai hitam panjang.
"Iyaa nih, haha. Btw Mil, kamu lanjut kemana?" Tanya balik pemuda itu, sibuk membantu Emily mengatur peralatan makan untuk makan anak siang anak-anak.
Jales, nama pemuda itu.
"Lanjut ke kampus yang deket aja, Kak. Soalnya kalo kejauhan, nanti anak-anak disini ga ada temen mainnya." Balas gadis itu.
"Katanya temennya Aul ada yang mau join juga jadi relawan buat bantu-bantu disini. Nanti temenan sama dia ya, jangan galak-galak."
Emily terkekeh pelan kemudian mengangguk mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
"Aku juga bakalan sering mampir kesini kalo libur. Ga Usah khawatir."
"Kak Jales kalo punya waktu luang lepas co-ass, mending dipake istirahat. Simpen tenaga, masalah anak-anak kan banyak yang bantuin. " Balas Emily membuat pemuda itu tersenyum simpul.
"Kata Shafa kamu ga ambil beasiswa Aussie? Kenapa?" Celetuk Jales tiba-tiba, membuat gadis di sampingnya tersentak.
"Sayang banget loh, Mil kesempatan kayak gitu ga dateng dua kali."
"Ga mau ah, Kak. Takutnya aku ga bisa survive di negara orang. Bukannya ngasih benefit malah makin nambahin beban." Jawab gadis itu dengan senyum tipisnya.
Jales terhenti sejenak dari aktivitasnya, dalam hati merutuki dirinya sendiri yang sudah bertanya sembrono.
Bagaimana pun juga pasti ada alasan mengapa beasiswa yang ditanggung penuh oleh sebuah instansi itu ditolak. Apalagi mengingat masa lalu sang gadis yang sepertinya belum selesai di negara itu.
Jales menghela nafas berat, menatap teduh ke gadis cantik di sebelahnya.
"Lukanya.... masih sakit?"
Pertanyaan singkat dari pemuda itu yang tidak mendapatkan respon dari sang lawan bicara.
Gadis itu menghembuskan napas kasar. Air mata yang berusaha ia tahan jika topik mengenai lukanya dibahas, kini lolos tanpa aba-aba dari kedua kelopak matanya. Sakit, hanya itu yang bisa dirasakannya saat ini.
Jales yang jelas sadar akan kesalahannya karena telah mengungkit luka lama lantas menarik gadis bertubuh mungil itu masuk ke dalam rengkuhannya, berusaha menenangkan pikiran gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
saekkideul_
hai meii, aku mampir nih wkwkwk. semoga karya ini bisa dilanjutkan terus sampai tamat tanpa ada kendala writer block yaa!! semangat ^^
2024-01-25
1