Rumah Dan Si Pengacau Ekosistem Di Dalamnya

"Ibu, Ami bawa bakso geprek"

"Heh, kamu tuh. Dateng-dateng bukannya Assalamu'alaikum dulu, malah teriak ada bakso." Kejut Pandu yang tengah berdiri dari balik jendela ruang tamu lekas menghampiri anaknya yang terkejut setengah mati.

"Taruh dimeja dapur aja, Dek. Ibu lagi nyetrika." Balas Ratna yang diperkirakan sedang berada di ruang tengah.

Ayah gadis itu mengekori sang anak yang berjalan ke arah dapur, mengambil piring untuk wadah bakso yang habis di belinya.

"Darimana?" Tanyanya membantu Lami yang kepayahan membuka ikatan plastik.

"Anter bubur manado ke rumah Om Riswan." Jawab sang anak datar. Matanya melirik ke arah jam sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajah.

"Kamu nganternya ke Makassar apa gimana, Dek? Lama banget..." omel Pandu.

"Aku udah izin sama Ibu mau jajan."

"Bu, Adek izin ke Ibu ga kalo pergi jajan sama siapa?"

"Katanya sama Aulia"

"Nah loh... Bohong kan kamu, sejak kapan Aulia jadi laki-laki?"

Lamia menghela nafas pelan, mengacuhkan sang Bapak yang terus mengekorinya ke ruang tengah.

Sampai sang Bapak melebarkan langkahnya, mencegat sang bungsu dari depan.

Tatapan memelas langsung terpancar saat sang Bapak melipat kedua tangannya di depan dada dibarengi dengan tatapan yang tegas.

"Pak, itu anak sulung Kapten Riswan, kakaknya Aul...." Katanya dengan nada suara yang pelan, karena terintimidasi.

Bagaimana tidak, melipat kedua tangan depan dada dengan sorot mata yang tajam dan tegas diartikan sebagai siaga satu kemarahan sang Bapak.

Mending dijawab saja, daripada dia dihukum push up atau disuruh jogging malam.

Energi Lami sudah habis karena tadi full digunakan saat berada di kedai Bang Awal.

Berinteraksi dengan banyak orang jelas menghabiskan social battery. Jadi dia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya kembali boros energi.

"Aku kan tadi laper tuh mau jajan, trus tadi rencananya mau balik dulu baru ajak Mas Ari buat anterin jajan karena Aul ga bisa. Tapi, ternyata si Kak Ale ini pengen jajan juga. Jadi ya udah, bareng jajannya.... " Jelasnya kemudian melemparkan tubuhnya ke sofa yang ada di ruang tengah.

Rumah minimalis khas perumahan itu terasa sunyi. Berisikan lima orang, tapi hanya tiga yang ada di dalam, entah dimana keberadaan dua orang lainnya. Lami penasaran, tapi gadis itu urung bertanya karena malas.

Mengeluarkan satu suara sama saja dengan memboroskan energinya. Jadi, masa bodo lah.

"Ale? Yang kemarin baru aja sarjana kedokteran?" Tanya Ratna menghentikan aktivitas menyetrika. Menatap anak bungsunya penasaran.

Lami mengangguk acuh, terfokus pada sinetron yang ditonton Ibunya.

"Naksir ga kamu sama dia?"

"Gak"

"Coba dulu ah, PDKT"

"Gak"

"Manis loh, dia"

"Ga mau, nanti diabetes."

"Manis yang itu ga bikin diabetes, Dek."

"Bisa."

"Ck. Kenapa sih? Cakep loh dia, Mi. Masa depannya juga udah cerah banget kayak layar hape Bapak. Om Riswan 2 tahun lagi naik pangkat jadi Mayor, pinter lagi loh dianya. "

"Ga minat, Bu. Aku sukanya orang bego." Jawabnya asal, tangannya meraih toples mini berisi kacang telur.

"Istighfar kamu. Dikasi cowo bego beneran sama Allah, panik."

"Gapapa. Soalnya aku udah pintar."

"Lagian, kamu kenapa sih.. Ibu kasih rekomendasi cowo baik-baik malah mau cowo yang ga bener."

Lamia mendengus sebal, bangun dari posisi tidurnya, menyamai sang Ibu yang duduk di karpet.

"Bu, ciri-ciri yang Ibu sebutin dari Kak Ale tadi, semuanya ada di Mas Ari, bahkan lebih unggul Mas Ari dari Kak Ale."

"Mas Ari dari umurnya 18 tahun udah bisa ngehasilin uang dari kerjanya jadi abdi negara. Sedangkan Kak Ale? Udah umur segini, tapi masih berproses buat dapetin gelar dokter. Sekalipun masa depannya seterang layar hp Bapak, tapi masa depan Mas Ari juga bagus-bagus aja kok, dia juga udah jago managed keuangan dia sendiri sampai bisa beli motor plus ngontrak rumah sendiri, di perumahan elit pula. Trus ngomongin Kapten Riswan yang 2 tahun lagi naik pangkat jadi Mayor, suami Ibu tuh pangkatnya lebih tinggi. Jabatannya Danlanal lagi. Ngomongin pinter, Mas Ari juga pinter tuh karena didikan Ibu."

"Kamu nih, kebiasaan balas omongan orang tua. Ibu tuh ngomong gitu biar kamu tuh ke motivasi loh... Karena ada kemiripan, seenggaknya kan kamu jadi yakin buat PDKT an sama Ale."

"Justru karena kemiripan itu Bu, aku jadi kepikiran. Bisa jadi kelakuan Mas Ari yang itu juga ada di Kak Ale. Kalo karmanya Mas Ari kena lagi ke aku, gimana? Yang kemarin aja belum sembuh, udah ada lagi yang baru, makin sakit Bu yang ada."

Kalimat terakhir itu hanya bisa ia lirihkan, terdengar pelan tapi Ratna bisa mendengarnya dengan jelas.

"Mulai—"

"Ini bukunya, kelupaan atau gimana?" Tanya Pandu meletakkan buku yang tadi dibeli sang anak.

"Lah iya. Yaudah nanti aku titip ke Aul aja."

"Bapak udah telfon Kapten Riswan minta tolong mau ngomong sama si Ale, trus katanya itu emang punya kamu. Nanti dia kesini mau pinjam."

Ratna melotot ke putri bungsunya.

"Udah ada minat di kedokteran?"

"Gak."

"Lah trus itu? Kapan kamu belinya, Mi? Jangan bilang kamu mau caper ke Ale? Parah ih effort nya sampe harus beli ginian. Kamu ga jual nama Ibu, kan?"

"Satu-satu, Ibu. Ya ampun... Lagian ya, ya kali aku caper pake buku ensiklopedia anak kayak gini."

"Kenapa?" Tanya Pandu yang dari tadi sibuk kesana kemari kembali ke ruang tengah menyodorkan bakso geprek.

Peka dengan sang istri yang sibuk melipat baju, Pandu langsung berinisiatif menyuapi sang istri.

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa belum ada minat di kedokteran? Kamu ga mau jadi kayak Ibu? Dokter syaraf?"

"Mana berani, Pak. Aku liat jarum aja tremor." Dengus Lamia kesal dengan pertanyaan Bapaknya.

"Bisa itu di terapi. Bapak aja dulu takut tenggelam, tapi sekarang pas kerja udah enggak lagi."

Lamia menghela nafas berat. Mengacuhkan perkataan terakhir sang Bapak yang tengah sibuk bermesraan dengan sang istri tercinta.

"TNI AL aja ya? Ikut Bapak."

"Ga."

"Tinggi kamu lumayan, fisik kamu juga sehat. Jadi abdi negara bagus ini, ikut Ari jadi polisi atau masuk KOWAD juga boleh. Bapak daftarin akmil kalo kamu serius."

"Gak, makasih."

"Trus kamu mau jadi apa?"

"Jadi diri sendiri."

Pandu tertawa lepas saat Lamia melontarkan jawaban tak terduga itu.

"Kamu nih ditanya serius sama Bapak, jawabannya malah ngaco. Jawab yang bener ah, biar Bapak sama Ibu tuh tau tabungan masa depan kamu budgetnya udah sesuai belum sama cita-cita kamu. Kalo kurang kan kita tau, kurangnya lagi berapa." Omel Ratna.

Entah yang sudah ke berapa kalinya Lami menghela nafas berat. Dia masih terlalu muda, pikirannya belum sampai disitu.

Baru beberapa bulan yang lalu dia pergi ke kantor catatan sipil untuk membuat KTP, itupun ditemani kakak tertua karena dirinya malas menanggapi pegawai di sana yang menanyakan data dirinya. Tapi sekarang? Pening rasanya saat keluarga cemara itu menanyakan sesuatu yang bahkan dia sendiri bingung harus jadi apa di masa depan.

Memikirkan kegiatan apa yang akan dilakukan untuk besok hari saja dia malas.

"Ami mau investasi ke badan sama muka aja biar bisa dapet suami konglomerat, kayak Nia Ramadhani. Kan lumayan, ga perlu repot-repot kerja eh uang ngalir terus." Jawab Lamia asal.

"Mulut kamu, nih. Jangan mau ah bergantung sama harta suami. Kalo kamu dapet suami kaya tapi sering selingkuh gimana? Kalo diceraikan ya sudah, kamu masih punya uang sendiri. Mereka juga jadi ga bisa nginjak kamu seenaknya."

"Ya allah, Bu. Doanya jelek banget." Lirih Lamia pelan, hatinya terasa sedikit ngilu.

"Biarin Lami mikir dulu, lah. Masih panjang juga, jangan terlalu di push. Kasian" Bela Pandu agak tersentak dengan kalimat yang baru saja dilontarkan sang istri.

Pandu paham dengan maksud yang ingin disampaikan sang istri, tapi ia rasa penyampaiannya salah karena bahasanya terlalu kasar. Pandu tidak ingin, itu malah akan melukai hati anak bungsunya, jadi dia harus menghentikan obrolan ini.

Pandu tipikal Bapak yang tidak mengizinkan anak-anaknya dikatai dengan kasar oleh siapapun.

Termasuk, istrinya.

Jika Ratna ingin mendisiplinkan atau mengajarkan etika kepada sang anak, Pandu akan memberikan kuasa sepenuhnya. Tapi dengan syarat, penyampaiannya tidak boleh sampai menyakiti sang anak.

Jika mengadakan survei di perumahan Bahari itu tentang siapa yang parenting nya layak dijadikan panutan, Pandu dan Ratna si penghuni rumah A-8 yang akan mendapatkan polling terbanyak.

Pandu yang menempa tiga anaknya dengan didikan militer untuk ketahanan fisik, dan bagian psikis akan diserahkan kepada sang istri.

Jika salah satunya berlebihan dalam mendidik, yang satu akan jadi penengah untuk menetralisir keadaan.

Selalu memberikan ruang untuk anak-anaknya berpikir atas segala penyelesaian masalah yang mereka hadapi, menampung alasan dan memberikan masukan jika anak-anaknya bimbang dengan jalan mereka dan tegas jika kesalahan yang dilakukan sang anak melanggar moral dan hukum.

Lami tidak bisa menutupi matanya yang terlihat berkaca-kaca karena omongan sang Ibu. Tapi mau bagaimanapun, Lami sadar Ibunya sampai harus berbicara seperti itu karena kesalahannya sendiri yang terlalu meremehkan masa depannya.

"Maaf, Ibu..." Lirihnya pelan.

Pandu yang bangga melihat anaknya yang cepat sadar akan kesalahannya, lantas segera bangun dari duduknya dan memeluk sang anak dengan erat.

Pelukan erat yang terasa hangat dan menenangkan, sehingga Lami bisa melupakan kalimat menyakitkan sebelumnya.

Siapa yang tidak bahagia jika terlahir dalam keluarga yang seperti ini?

Lamia teramat sangat bersyukur dilimpahi kasih sayang sebanyak ini.

Disaat anak-anak lain kehilangan kehangatan dalam rumah, dia benar-benar mendapatkannya secara utuh. Meskipun ia sendiri terlalu gengsi dalam menunjukkan rasa syukurnya.

Ini definisi rumah, yang benar-benar rumah menurutnya.

...🍨🍨🍨...

"Ami!" Panggil Lio mendekat ke arahnya, mendorong pelan Lami yang tengah berbaring untuk menyediakan ruang untuk dirinya.

"ABANG IH, NGAPAIN?!" Teriaknya yang merasa terganggu dengan kedatangan Kakak pertamanya itu.

"AC kamar Abang ga dingin." Sahut Lio merampas guling milik Lami.

"Tidur di kamarnya Mas Ari lah. Jangan disini." Tolak Lami mendorong Lio hingga menciptakan jarak besar diantara mereka.

"Ya allah, Dek. Bentar doang. Pelit banget astaga!"

Lamia mendengus sebal memperbaiki posisinya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Hilang sudah moodnya untuk tidur malam itu, kantuknya hilang terganti dengan emosi ringan yang tertahan.

"Ami, numpang ngadem ya." Ucap Ari yang ikut masuk ke dalam kamar gadis itu, membaringkan badannya di kasur Lamia membuat gadis itu duduk melongo menatap kedua kakaknya itu bergantian.

"Ini kenapa pada ngungsi disini sih?"

"Kata Bapak harus hemat listrik. Malem-malem ga boleh nyalain semua AC."

Lamia melotot tak percaya dengan alasan yang baru saja dilontarkan sang kakak tertua.

Sejak kapan Bapak jadi perhitungan masalah listrik?

"Geser, Mas."

"Kalian berdua jangan rusuhin Adikmu. Kasian dia mau istirahat, malah dipepet gitu." Tegur Bapak yang kepalanya menyembul dari balik pintu.

"Adek ngajakin kita jogging malem, Pak. Bareng Bapak sama Ibu juga."

"Sembarangan kalo ngomong"

Lamia reflek menoyor sebal kepala kakak nomor duanya itu.

Pandu menggeleng pelan melihat tingkah anak-anaknya yang saling meledek satu sama lain. Senyum lebar terus melengkung di wajahnya itu.

"Kalian aja, Bapak sama Ibu mau istirahat, besok mau flight."

"Kemana, Pak?"

"Ada undangan pelantikan sama sumpah dikmaba."

"Oh okay, nanti Lio antar besok ke bandara."

"Emang kamu ga ngajar? Besok senin loh.."

"Mahasiswa pasti seneng Pak, kalo dosen killer kayak aku ga masuk."

Lamia mendecih sinis dengan jawaban enteng yang keluar dari mulut Lio.

Sadar diri, ternyata.

"Makan gaji buta itu namanya, jangan dibiasakan." Tegur Bapak sinis, ikut masuk ke dalam kamar. Menyentuh segala printilan kpop sang anak gadis yang di lemari kaca sebelah pintu.

Lio terkekeh canggung sampai teriakan sang Ibu diruang tengah terdengar menyuruh sang Bapak untuk segera menyusul ke arah sumber suara untuk menyiapkan beberapa barang yang mau di bawa.

"Jangan berantem, seminggu ke depan kalian bertiga doang di rumah. Saling jaga, saling sayang. Lio, Ari, kalian punya adik cewek. Jangan tinggalin Ami sendirian di rumah. Kalo sampe ada satu aja yang laporan ga enak masuk ke telinga Bapak, tiga-tiganya Bapak suruh bersihin eek saudara angkat kalian di belakang." Ancamnya kemudian terkekeh geli melihat ekspresi ketiga anaknya yang mendadak kaku. 

Saudara angkat yang dimaksud disini, tidak lain dan tidak bukan adalah tiga ayam yang dijadikan kerja sampingan sang Bapak. Ndoro, Kanjeng, Raden. Nama-nama yang benar-benar mewah untuk tiga ekor ayam betina yang tidak bisa cebok sendiri.

Omset dari jualan telur, lumayan katanya. Sampai meminta Bang Lio untuk memperbesar bisnis itu yang langsung ditolak mentah-mentah oleh si sulung.

"Pak, aku nih magister engineer. Aku dosen sipil, mana paham Pak aku sama bisnis telur ayam." Itu jawaban yang akan selalu dilontarkan Lio jika sang Bapak tiba-tiba membahas ayam.

Pandu bergegas meninggalkan ketiga anaknya yang masih terdiam, menyusul sang istri yang sudah mengomel karena panggilan pertama tidak diindahkan.

Setegas apapun Pandu sebagai seorang suami, tetap saja ia punya label suami takut istri.

"Eh, Ami serius. Ayok jogging." Ajak Ari

Lio menaikkan kepalanya menatap Ari tajam.

"Udah jam 11, lo mau caper ke siapa jogging jam segini."

Lamia mengangguk setuju dengan sahutan si sulung.

Jam 11 malam ngajakin jogging? Kalo tiba-tiba ada yang ikut jogging di belakang mereka gimana? Mana di blok D perumahan banyak pohon pisang lagi, jatohnya kan serem.

"Bentar doang, Bang. Cuma muter sekali aja sampe blok B situ. Mager banget olahraga ga ada temennya."

"Ya udah sama gue aja. Trus gue tinggalin lo di jalan tikus ke blok D. Ganteng gini, lumayan buat yang di pohon pisang sana"

"Bangsat."

"JANGAN NGOMONG KASAR-KASAR YAAA, IBU DENGERRRR" Teriak Ratna.

Ah, sepertinya Ibu masih ada diruang tengah. Mengatur beberapa pakaian yang akan dibawanya, sekalian menyelesaikan sinetron-sinetron malam yang sering ditonton.

Kamar Lami letaknya berada tepat diruang tengah. Itulah alasan kenapa semua penghuni rumah senang masuk ke dalam kamarnya, entah untuk meminjam bantal jika ingin rebahan beralaskan karpet di depan TV atau sekedar mengganggu aktivitas sang bungsu.

Tapi satu alasan yang pasti. Pandu takut jika kamar si bungsu di depan, dia mungkin akan mulai berani mengajak bahkan menyembunyikan pemuda di dalam kamar.

Pemikiran buruk sang Bapak. Seperti Lami punya nyali saja.

"Bang, ini mahasiswi lo bukan?" Tanya Ari menjulurkan hapenya ke tengah biar bisa dilihat oleh mereka bertiga.

Lami yang penasaran juga ikut menoleh, penasaran dengan 'cewek' yang mana lagi yang akan dipacari sang kakak nomer dua?

"Bukan, dia mah anak FIKOM"

"FIKOM?"

Helios mengangguk pelan.

"Fakultas Ilmu Komputer. By the way, lo kenal dia darimana deh? Orang semahal itu, ga mungkin ngajakin lo kenalan duluan."

"Hah?"

"Value nya mahal, definisi untouchable. Ari ga bisa dapetin dia, Abang jamin."

"Kalo gue dapet? Mercy lo kasih ke gue ya."

"Sembarangan banget lo minta mercy. Gue belinya nabung ya bangsat."

"Halah, pajaknya aja masih di bayarin Bapak. Sok-sokan pamer beli pake tabungan sendiri. Gaji dosen lo aja masih pas-pasan."

"Gue gunting juga ya mulut lo. Sembarangan banget kalo ngomong. Sertifikasi dosen gue bisa beli harga diri lo ya!"

"Ya kali harga diri gue 20juta doang."

"KALO MAU ADU BACOT BISA GA, JANGAN DI KUPING AKU?!!!!" Amuk Lami yang tidak tahan lagi.

Bagaimana tidak? Mereka yang saling sahut-sahutan dengan suara yang besar, benar-benar menembus gendang telinga di kiri dan kanannya.

Dua Kakaknya terdiam, kembali memfokuskan pandangan di layar hape masing-masing.

"Kenapa coba Mas Ari ga bisa dapetin?" Tanya Lami yang pikirannya masih stuck pada pembahasan sebelumnya.

Lio menoleh, sempat berpikir pembahasan mana yang sedang di bahas si bungsu, sebelum akhirnya berdehem membalas pertanyaan itu.

"Cewek yang itu aktivis jalanan, dia sering ambil peran buat jadi korlap dan turun orasi. Ga bakalan cocok sama Ari yang sering bentrok sama massa karena jadi tamengnya pemerintah. Padahal nih ya, Bapaknya tuh anggota komisi DPR RI. Mana Bapaknya sering ngasih jatah beasiswa lagi untuk kampus."

"Sejauh ini juga Abang belum pernah liat dia deket sama cowok lain selain temen cowo yang selalu bareng dia."

"Pacarnya kali, Bang."

"Bukan, Abang udah pernah nanya ke kembarannya trus katanya mereka ga pacaran."

"Dia punya kembaran?" Tanya Ari excited dengan topik itu.

"Hm, tapi kembarannya cowok. Mahasiswa gue di teknik sipil."

Ari kembali menyandarkan punggungnya di tempat tidur karena kehilangan minat pada topik yang dibahas.

"Mas Ari ketemu dia dimana?" Tanya Lami yang penasaran dengan gadis yang diceritakan sang kakak nomer satu, tapi tidak berminat mendengar latar belakang gadis yang malam itu jadi topik ghibahan mereka.

"Pas demo minggu lalu di kampusnya dia. Gila woi, orasinya keren banget. Mana abis turun dari mobil pick up langsung ngerokok lagi."

"Coba deh bayangin gimana Mas pacaran sama dia, ga bakal ada lagi yang ngelarang Mas ngerokok. Yang ada kita malah cigarette date sambil deeptalk bahas-bahas yang berat terus bahas masa depan kita."

"Jiwanya juga bebas, jadi ga ada yang ngatur-ngatur Mas. Kamu tau sendiri kan Mas orangnya paling ga suka diatur, dia juga ga menye-menye banget. It's like we're in relationship tapi kita bisa hidup di dunianya kita tanpa di distract sama pasangan kita. Keren ga bayangannya?"

Lamia sedikit terkejut, raut wajah Ari terlihat sangat antusias saat menceritakan gadis yang saat ini sedang ditaksir kakak keduanya.

Lamia mengernyit kebingungan, raut wajah itu tidak seperti biasanya. Ini bukan pertama kalinya Ari bercerita tentang gadis yang ingin didekatinya, tapi biasanya Ari akan menceritakan mereka dengan ekspresi yang hanya penasaran, bercerita sekedarnya, dan hanya membahas kecantikan mereka saja.

Namun sekarang? Bagaimana bisa Ari yang sering terlihat menggandeng bahkan memacari cewek yang feminim, manis dan mudah diatur tapi kini tertarik dengan perempuan dengan sifat yang seperti itu?

Lamia bisa membayangkan bahwa gadis yang katanya memiliki karakter keras kepala dan jiwa yang bebas mirip seperti Ari. Lami bahkan bingung, Ari benar-benar menjelaskan dirinya atau sedang bercerita tentang gadis yang sedang ditaksirnya? Lagipula, jika mereka bersama bukankah tidak akan bertahan lama? Jika kedua kubu magnet yang sama bertemu, hasilnya tak akan pernah menyatu kan?

Jika keduanya berwatak keras, siapa yang nantinya akan mengalah? Hubungan ini tidak akan pernah berhasil, dan entah kenapa Lamia merasa khawatir.

"Kamu restuin ga kalo mas deketin dia?"

"Ga. Dua kepala batu disatuin, bisa fatal. Ga bakal ada yang ngalah."

Lio mengangguk, membuka laci sang adik mencuri beberapa bungkusan yupi.

"Ish kamu tuh. Kamu tau ga se attractive apa cewek dengan aura kayak gitu? Kapan lagi, Mas—"

"Ini cuma ketertarikan sesaat, aku dah hapal siklus love story nya Mas Ari. Udah ah, ga usah bahas ginian kalo ujung-ujungnya Mas deketin mereka karna penasaran doang."

Lio tertawa renyah karena si anak tengah berhasil dibungkam telak oleh si bungsu.

"Rasain lo, diomelin anak SMA."

Ari mendengus sebal melirik ke hapenya yang terus bergetar tanda ada telepon masuk, tapi ia abaikan karena lirikan tajam dari sang adik.

"Raja udah balik nih, katanya pengen ketemu tapi kamu ngehindar mulu."

Lamia terkekeh pelan dengan tatapannya yang kosong menembus isi hape Ari.

Ari sialan, setelah membuatnya lelah memikirkan mangsa barunya, dia malah ikut mengacak-acak mood Lami saat ini dengan membawa nama itu.

Benar-benar si pengacau ekosistem mood

Terpopuler

Comments

saekkideul_

saekkideul_

keren, jadi pengen juga 😭

2024-01-25

0

saekkideul_

saekkideul_

ternyata yang dibeli tuh ensiklopedia anak yaa, kirain buku apaa 😂

2024-01-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!