"WIDIH SARJANA KEDOKTERAN NIH SENGGOL DONG!!!!" Seru Aul dengan suaranya yang cempreng memeluk sang kakak dari belakang.
"Allahu akbar Aul, gue ga bisa nafas." Sahutnya kemudian segera melepas pelukan adiknya itu dengan kasar.
Goresan tipis yang membentuk garis lurus akibat ketidaksengajaan nya membuat adiknya menjerit heboh.
"AULIA JANGAN TERIAK!"
"KAK ALE CAKAR AUL, BUNDA! MARAHINNNN"
"ALE GA SENGAJA, BUNDA"
"MAKANYA POTONG KUKU. BUSET GUE TUNTUT YA LO! GA HIGIENIS BANGET SIH JADI CALON DOKTER!"
"Iya nanti gue potong besok, sini duduk." Balas Jales melembut, capek juga teriak mengimbangi nada bicara sang adik.
Aulia mendengus sebal, mengusap tangannya yang masih kemerahan. Gengsi juga harus menuruti sang kakak yang habis melakukan serangan fisik tak disengaja. Tapi sisi lain yang ingin bermanja kepada sang Kakak mengalahkan gengsinya dan duduk tepat di sebelah pemuda dengan perawakan lumayan kekar itu.
"Terus gimana?" Tanya Aul merampas bantal sofa yang tengah dipeluk Jales. Membuat Jales yang tengah sibuk menonton lantas melotot sebal ke arah adiknya itu.
"Apanya yang gimana?"
"Aku ditinggal sendirian lagi, gitu?" Tanya Aul cemberut mengalihkan pandangan ke arah televisi.
"Gua co-ass di rumah sakit daerah sini doang elah, ga jauh." Cerocos Jales tak peduli.
"Tapi kan nantinya lo sibuk banget, ga bisa cakar kayak tadi." Balas gadis itu sarkas dan segera di hadiahi dengan tatapan sinis tak mau kalah dari lawan bicara.
Jales hanya bisa mendesah lelah, Aul tetaplah Aul dengan segala dramanya untuk memulai pertengkaran dengan dirinya.
"Alay lo, kayak gue tinggal nikah aja."
"Lah? Random banget bahas nikah?!!"
Layar benda kecil milik gadis itu menampilkan notifikasi yang refleks diintip oleh kakaknya.
"Belajar, Aul. Jangan Pacaran mulu." Kata Jales Sarkas
"Yang jomblo, diem." Sahut Aul cepat membuat Jales yang akan mengeluarkan kata-kata sarkas kembali menutup mulut.
"AULIA, ADA AMI." Teriak Riswan, Ayah dari kedua kakak beradik itu.
"SURUH MASUK, YAH. AUL DIRUANG TENGAH BARENG KAK ALE!!" Balas Aul ikut berteriak.
"Ga sopan banget sih. Teriak-teriak ke Ayah."
"Dih? Ayah juga tadi teriak???" Sahut Aul memeletkan lidahnya.
"Ami siapa dah?" Tanya Jales penasaran.
"Tuh yang itu. SINI MI, DUDUK SINI!!" Ajak Aul mendorong Jales untuk berpindah tempat kemudian menepuk-nepuk tempat bekas Jales untuk diduduki Lamia.
"Wait, gue ke dapur dulu. Antar ini ke Tante Vinni" Balas Lamia memperlihatkan tupperware yang ia jinjing.
Aulia mengangguk pelan, dengan senyum lebarnya.
"Cantik ga, Kak?"
"Cantik."
"Cantikan dia apa Kak Mily?"
"Mily lah."
"WHAT?!!!!!"
"Lagian kenapa sih, sembarangan banget compare orang. Lo kalo gue bandingin sama dia, sakit ga hati lo?"
"Kalo sama Lami, gue ngaku kalah cantik. Tapi kalo ke Kak Mily? Mohon maaf, kata Bima cantikan gue."
"Bilang ke Bima, kalo dia ada waktu sempetin ke dokter mata. Kasian gue liat dia di pelet ampe dibutakan oleh cinta gara-gara lo."
"Bima mah bersyukur, pacarnya seagama. Kalo nikah ya tinggal nikah, lah elo??? Udah bertepuk sebelah tangan, ceweknya gagal move on, beda agama lagi.YAHAHAHAHA"
"Anjing ya mulut lo. "
"BUNDA, KAK ALE KATAIN AKU ANJING"
"BERISIK KALIAN! TAU MALU DIKIT DONG, LAGI ADA TAMU!" Balas Vinni—Ibu mereka dari arah dapur.
Keduanya lantas terdiam setelah mendengar teguran itu.
"Jadi ga?" Tanya Lami saat balik dari dapur. Melangkah ragu mendekati kedua kakak beradik yang tengah sibuk bertengkar
Lamia tahu pemuda yang melirik ke arahnya. Jales, putra pertama kapten Riswan yang kuliah kedokteran. Pemuda yang sering Ibunya bandingkan dengan Mas Ari—sang Kakak nomor dua karena mereka seumuran tapi sangat bertolak belakang.
Lamia tentu saja penasaran dengan wujud dan kepribadiannya yang sering dicap sombong sama anak-anak kolong yang lain. Tapi sekarang? Saat ia punya kesempatan untuk mencari tahu, perasaan canggung benar-benar memenuhi ruangan tempat mereka berada.
Mungkin karena ini pertama kalinya mereka bertemu?
Aul meringis pelan menatap Lamia.
"Sorry ya Mi, gua ternyata udah janji duluan sama Bima. Maaf yaaa, besok deh gue temenin sekalian gua aja yang traktir."
"Ya Udahlah, gapapa. Gue juga tadi kesini karena disuruh nganterin bubur manado buat lo sekeluarga."
"EH KOK GITU???!! Gini deh, bareng gue sama Bima aja. Bima bawa mobil kok." Putus Aul akhirnya.
"Enggak ah, ga usah. Gue balik yaa, Bye." Pamit Lamia membalikkan badannya mulai melangkah pergi.
"Bareng gua aja. Mau kemana emang?"
Eh?
"Oh iya Mi, ini kakak gue, yang kemarin studi kedokteran di UI. Namanya Jales, panggil Ale aja biar akrab, hehe. Kakakku sayang, kenalin ini Lamia, temen Aul yang waktu itu Aul ceritain loh. Yang mau gabung jadi volunteer di rumah pintar." Sahut Aul mengenalkan, menarik lengan Lamia membuat gadis itu berputar, kini berhadapan dengan kakak temannya.
Jales mengangguk, menatap lurus ke dalam binar mata Lami yang terus menatap sana-sini.
"Jadi gue harus panggil lo apa? Lami? Ami? Mia? Mimi? Lala?"
"Lami aja, ga usah sok deket lo." Aul yang menjawab.
Jawaban yang terdengar ketus, mungkin karena perdebatan sebelumnya dengan sang adik?
Masa bodo lah. Toh, Jales juga bertanya seperti itu karena berniat untuk meluruhkan kecanggungan.
Lami masih berdiri canggung, dengan matanya yang terus berlari tidak bisa fokus menatap dua orang disekitarnya itu.
Jales yang notabene lulusan pendidikan dokter, jelas paham gerak-gerik Lami saat ini menunjukkan perilaku psikologis bahwa ia tidak nyaman berada dalam situasi itu. Entah apa alasannya, Jales juga tidak peduli.
"Tadi pertanyaan gue belum dijawab. Kalian mau kemana?"
"Eng—"
"Ke bakso geprek Bang Awal, tapi di cabangnya yang baru aja launching. Deket SMK Atmosphere. Temenin yaa, please please please. Anaknya letkol nih jangan jahat-jahat lo sama dia."
"Aul, apaan sih. Gue kan janjiannya sama lo."
"Duduk bentar, gua ambil jaket." Potong Jales cepat.
Lami melongo menatap kepergian Jales ke ruangan sebelah, hingga bayangannya menghilang di balik tikungan.
"Aul.. "
"Ganteng ga?"
"Aul... "
"Diantara kakak gue sama Raja, siapa yang paling ganteng?"
Lamia menghela nafas berat. Menatap Aul dengan tatapan memelas. Tetapi akhirnya menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Jung Joon Hyung. Gue maunya yang atlet renang."
"Tapi akhir-akhir ini, gua oleng ke Nam Do San, Soalnya dia jago IT...."
"Intinya siapa aja, yang penting Nam Joo Hyuk."
Aul memutar bola matanya malas dengan jawaban Lami.
Jung Joon Hyung, Nam Do San, dan siapa lagi nama yang satunya?
"Yang realistis aja lah, Mi. Mana ada cowok se-perfect main character favorit lo. Fall in love kok sama tokoh fiksi, chuakssss"
Umpatan paling kasar benar-benar lolos dari mulut Lami. Aul tidak tersinggung, tidak juga marah dengan umpatan yang dilontarkan Lamia.
Karena menurutnya, ia berhasil memenangkan adu mulut jika sang lawan sudah tersulut emosi. Aul hanya tertawa sangat keras hingga memukul teman disebelahnya, yang makin membuat Lami emosi karena tidak sempat menghindar.
"Tapi ya Mi. Menurut pandangan mata normal gue, ayang beb Bim-Bim yang paling ganteng." Kata Aul kecentilan saat tawanya berhenti membuat Lami otomatis membuang pandangannya, geli.
'Ayang beb Bim-Bim.'
Hah... mendengarnya saja ia sudah mual.
"Ayo." Ajak Jales yang muncul dari balik belokan yang ada di dalam rumah. Berjalan mendahului Lami, tapi kemudian langkahnya terhenti karena menunggu Lamia berjalan mendekat ke arahnya. Tangannya refleks terulur, entah dalam keadaan sadar ataupun tidak Jales meraih tangan Lami untuk digandeng menuju ke arah pintu depan.
Aul yang melihat momen itu lantas heboh sendiri, tidak lupa mendokumentasikan kejadian langka yang mungkin tidak akan terulang lagi.
"Eh sorry, gue biasa digelendotin Aul. Jadinya refleks megang tangan lo..."
Jales lekas melepaskan genggamannya di pergelangan Lami. Takut gadis itu risih dengan perlakuannya barusan.
"Duluan ya, Ul. Byeee" Pamit Lami tanpa merespon Jales, kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan pemuda yang kini merasa canggung.
"Om, Lami pamit dulu yaa." Pamit Lami mencium punggung tangan Riswan.
"Om kirain kamu perginya sama Aulia......" Sahut Riswan sesaat kemudian disusul Jales yang ikut muncul dari dalam rumah dengan jaket denim yang sudah membaluti dirinya.
".... Ternyata sama Ale ya.."
"Lami mau cari makan, Ale juga laper. Jadi sekalian aja, biar sama-sama ada temen makan."
Riswan menatap anaknya dan Lami bergantian dengan senyum penuh arti.
"Jagain Ami. Harus tanggung jawab. Ingat kamu bawa pergi anak gadis, pantang pulang sebelum Ami masuk rumah. Ketemu Bapaknya langsung kalo sempet." Pesan Riswan.
"Jangan kayak cowo lain yang taunya nyulik anak orang depan gapura."
Lamia tak bisa menahan tawanya saat Riswan melontarkan sarkasme seperti itu.
Hah... Pantas saja, Bima sudah berani antar jemput Aul depan rumah, bahkan masuk sampai ke ruang tamu, ternyata karena sudah disidak Kapten Riswan.
"Ale berangkat, Yah." Pamit Ale menyalakan mesin motornya, tangannya dengan sigap meraih helm minion milik adiknya yang tersimpan rapi di nakas kecil penyimpanan helm di garasi.
"Temenin gue ke MedStore dulu ya, gue pengen nyari buku referensi buat co-ass. Abis itu kita lanjut cari makan." Kata Jales saat menyerahkan helm minion ke arah Lami.
Lamia mengangguk pelan, tanda setuju.
Jales tersenyum tipis, tangannya refleks memperbaiki posisi helm yang dikenakan Lami, dan mengaitkan kunci agar lebih aman.
Lami kaget dengan perlakuan itu, tapi ia hanya mematung tanpa penolakan.
"Ayo, keburu Isya"
Disamping itu, Aulia yang mengamati semuanya dari dalam lekas mengambil dokumentasi dalam bentuk insta story.
...🍨🍨🍨...
Jales menatap bingung buku yang tengah dipegang gadis dihadapannya itu.
Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam edisi 3
"Minat di kedokteran juga?" Tanya Jales tak mampu lagi membendung rasa penasarannya.
"Enggak" Jawab Lami tanpa mengalihkan pandangan membaca sinopsis di cover belakang buku.
"Trus kenapa megang itu? Pengen beli?"
"Enggak, cuma baca-baca sinopsisnya aja."
"By the way lo mau naik kelas 12 kan? Udah ada minat belum lanjut kemana?"
"Belum. Tapi paling ikut jejak Ibu atau mungkin ikut jejak Bapak karena tinggi gue diatas rata-rata." Jawab Lami seadanya.
Jales hanya mengangguk pelan tanda mengerti, tidak ingin melanjutkan topik itu.
"Kenapa?"
Lami menoleh menatap Jales bingung dengan pertanyaan kedua yang kembali dilontarkan pemuda itu.
"Hm?"
"Bingung aja. Kenapa pengen join jadi volunteer."
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya Jales menanyakan hal itu.
Lami terlihat berpikir keras sebelum akhirnya ia berdehem pelan, berjalan lebih dulu meninggalkan Jales yang terdiam mematung ditempatnya. Tanda tak mau membalas.
"Kak Ale udah selesai nyari bukunya?" Tanya Lamia mengalihkan cerita, sambil melihat ke arah rak-rak buku, berniat mengembalikan buku yang ada di genggamannya.
Jales menatap lurus gadis di depannya itu, mengambil buku yang dipegangnya dan segera berlalu menuju kasir untuk membayar.
Jales sibuk menyalakan mesin motor saat Lami menyodorkan 3 lembar uang ratusan ke arah Jales.
"Buat apa?" Tanya Jales bingung.
"Bayar hutang. Tadi kan Kak Ale bayarin buku gue."
"Kata siapa gue bayarin buku lo? Orang itu gue beli buat referensi co-ass gue." Bohong Jales.
"Ini? Referensi lo buat co-ass?" Tanya Lamia mengerutkan keningnya tidak yakin.
"Hm"
"Yakin lo?"
"Iyalah, siapa tau aja kan berguna nanti pas gue co-ass" Jawabnya dengan yakin
"Oh..... Yaudah ini pegang." Ucap Lamia kembali menyerah uang yang ada di tangannya.
"Tolong pegang dulu, gue kan bawa motor."
Lamia menghela nafas pelan, meraih tangan Jales kemudian menyelipkan beberapa lembar uang ke telapak tangan pemuda itu.
"Gue mau ngasih duit, bukan nyuruh lo megang buku saat nyetir."
"Itu buat bayar bensin, gue ga enak udah ngerepotin."
Jales terkekeh, gemas dengan ekspresi sok tegas Lamia tapi terlihat juga dia seperti takut kepadanya.
Tangannya dengan lembut meraih tangan Lami, mengembalikan uang milik gadis itu.
"Anak SMA udah berani ngasih duit segini banyaknya emang udah punya penghasilan?"
"Tapi Kak, kata abang-abang gue—"
"Bayarin parkir aja, lo punya uang recehan kan?"
Lamia mengangguk.
"Oke, case completed. Ga usah keras kepala, jadi mirip Ari."
Lamia mendengus sebal mendengar kalimat terakhir.
Memangnya kenapa kalau dia mirip Ari? Toh dia juga adiknya Ari, wajar kan kalau mereka mirip?
"Jadi, mau makan di cabang atau ke pusatnya langsung?"
Lami terlihat berpikir, namun akhirnya memutuskan.
"Pusatnya aja, deh. Bakso geprek Bang Awal lebih enak kalo Bang Awal sendiri yang jualan." Jawabnya tersenyum sumringah.
"Ayo, naik."
Jarak antara MedStore dengan dengan perumahan militer tempat tinggal mereka memang tidak terlalu jauh. Tapi karena suasana hening yang hanya terdengar suara bising kendaraan membuat jarak 500 meter terasa begitu jauh.
Berulang kali tanpa disadarinya, pemuda itu sibuk memperbaiki posisi spion untuk melihat wajah cantik gadis yang yang duduk di belakangnya. Sesekali senyum lebar yang manis itu terukir di wajah tampan pemuda itu tetapi harus tersembunyi dibalik helm full face nya.
"Makasih, Kak." Ucap Lamia tulus saat Jales memberhentikan motor besarnya didepan kedai makan favorit keluarganya.
"Mau makan disini?" Tanya Jales melepas helm, memperbaiki tatanan rambutnya yang acak-acakan.
"Iya" Jawab Lami singkat kemudian berjalan meninggalkan Jales memasuki kedai itu.
"Bang Awaaaaaal, satu porsi untuk aku sama — wait ku tanya dulu dia mau apa" Pinta Lami menepuk pundak penjual.
"Kak, mau apa?" Teriak Lami saat melihat Jales belum turun dari motor dan hanya memperhatikannya dari kejauhan.
"Samain aja" Jawabnya kemudian menuruni motor melangkah masuk ke dalam menyusul Lami.
"Duduk dimana?" Tanya Jales saat mendapati Lamia yang malah asik membantu Bang Awal membuat sambal.
"Terserah Kak Ale aja, nanti gue nyusul abis buat ini." Jawabnya sembari mengangkat ulekan.
"Waduh, cakep bener, Neng. Pacarnya ya?" Tanya Bang Awal menggoda.
"Ya Kali, Bang. Ganteng gitu, kok mau sama saya"
"Lah? Neng Ami juga cakep atuh. Ga mandi aja mirip Billi Hadid"
"Bella Hadid, Bang."
"Bukan. Yang saudaranya."
"Gigi Hadid?"
"Nah iya. Mirip kan?"
"Jauh bangetttt, aku mah miripnya Kendall Jenner"
"Buset si neneng, ya udah terserah si neneng aja maunya dimiripin sama siapa. Yang jelas mah Neng Ami cantiknya mantulita, tinggi juga, kalo nyalonin diri jadi model mah pasti keterima. Kalo ga percaya tanya tuh sama si Mas ganteng"
Lamia memutar bola matanya, bagaimana ia mau bertanya ke pemuda itu sedangkan mereka masih canggung sampai sekarang?
"Kok Abang tau saya belum mandi?" Tanya Lamia mengalihkan pembicaraan.
"Bau, Neng." Jawaban singkat dari Bang Awal refleks membuat gadis itu mencium badannya sendiri.
"Enggak bau ah, Bang."
"Ya emang enggak, orang abang cuma becanda doang.."
Jales terkekeh, mendengar obrolan mereka. Rasanya lucu melihat gadis itu dengan mudahnya berbaur dengan lingkungan sekitar.
Terlihat jelas saat Lamia juga ikut mengantarkan pesanan ke arah kumpulan anak-anak muda yang Jales yakini mereka juga pasti anak-anak tentara angkatan laut yang tinggal di perumahan militer, tidak ada rasa canggung saat ia bercengkrama bahkan menertawai hal bodoh bersama.
Jales benar-benar terhanyut, entah sejak kapan tapi rasanya ia sudah jatuh ke dalam pesona gadis itu.
"Cobain, Kak" Katanya meletakkan pesanan mereka berdua diatas meja.
"Kamu karyawan disini juga?"
"Enggak"
"Trus kenapa mau ikut bantuin Abang itu jualan?"
Lamia tidak merespon, dia paling tidak suka diajak mengobrol saat sedang makan.
Selain karena menjaga etika karena didikan Ibunya, Lami juga bisa lost feeling sama makanannya karena diganggu oleh orang lain.
"Emang kalau mau bantuin orang harus ada ada alasannya ya, Kak?"
"Hm. Ga mungkin kan lo tiba-tiba tertarik ikut beginian? Pasti ada satu hal yang mendasari niat lo sampe lo tergerak."
"Kalau gitu, jatohnya jadi ga ikhlas dong?"
"Selama masih bisa bantu, ya bantu. Ga harus nunggu sesuatu yang menggerakkan niat dulu baru turun membantu orang lain."
Senyap. Tak ada balasan dari Jales.
Ada senyum lebar yang terlukis diwajah tampannya.
Ah, perasaan apa ini?
Jantungnya... berdebar kencang hanya karena jawaban yang terkesan klasik?
Kok bisa?
"Oh iya, semoga ini juga bisa jawab pertanyaan Kakak pas di MedStore ya." Jawabnya kemudian kembali fokus menyantap makanan di hadapannya.
Jales yang awalnya ingin menyuapkan bakso kedalam mulutnya memilih urung, mengangkat alis sebagai tanda agar gadis itu kembali melanjutkan pembicaraan.
"Gue pengen jadi volunteer karena rasanya nyaman bisa berinteraksi dan bisa bagi apa yang gue punya dengan orang lain."
"Tapi kadang niat tulus kayak gitu malah dituduh karena ada sesuatu yang mendasari, agak kesal juga sih.... Makanya gue males ladenin pertanyaan-pertanyaan kayak gitu."
Jales benar-benar kehilangan fokus. Matanya terus menatap perempuan yang senyumnya tidak pernah hilang saat mengobrol.
Terlebih lagi lesung yang menghiasi kedua pipinya benar-benar membuat pemuda itu semakin jatuh dalam pesona.
Letkol Pandu yang terkenal punya anak tengah berandalan, ternyata menyimpan harta karun secantik ini?
Gadis didepannya akan jadi sangat sempurna, jika saja wajahnya tidak menyerupai Ari.
Memikirkan dia berjalan dengan Ari versi perempuan membuat dia bergidik geli.
Tapi itu, tidak menjadi alasan untuk berhenti mencari tahu tentang gadis dihadapannya.
Jales benar-benar harus pakai koneksi Ayah untuk mendekatkan mereka.
"Oh iya Kak, karena berhubung kak Ale udah balik ke kota ini, perbanyak komunikasi sama anak-anak lain ya, Kak. Rata-rata mereka pada ga ngenalin anak sulungnya Kapten Riswan."
"Hm. Nanti temenin gue ya buat interaksi sama yang lain."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments