THE INNOCENT
Gadis itu memerah matanya. Tatapanya dingin. Kakinya terlihat gemetar. Jantungnya berdebar. Pandanganya kosong.
Angin berhembus kencang menerpa rambut lurus gadis itu. Membuatnya seperti bendera pusaka yang sedang berkibar. Entah apa yang dia ingin lakukan. Yang pasti ini bukanlah tempat yang tepat untuk bermain atau sekedar melepas penat.
Raut wajahnya sangat tegang. Sepertinya, dia sedang marah dengan keadaan.
Amanda, gadis 25 tahun yang berada dalam kebimbangan dan keputus asa-an. Dirinya terpojokkan dari kejamnya kehidupan. Hanya penderitaan dan kekecewaan yang selalu menemani di setiap detiknya.
TUHAN! Apa yang salah dalam diriku!
Jika Engkau menciptakanku hanya untuk luka, lalu kenapa Kau biarkan nyawa ini masih berada di tubuhku? Setiap langkah dalam hidupku, Kau biarkan terasa sakit. Setiap bahagia yang baru sebentar saja datang, Engkau ambil!
Engkau titipkan keindahan dalam diriku. Tapi, Engkau hempaskan kesenanganya! keluh gadis itu.
AKU LELAH. AKU INGIN MENGAKHIRI SEMUANYA!
Rasa sesak diulu hati, memaksanya untuk berteriak dengan tangis yang kuat. Suaranya begitu keras memecah ombak hingga ketengah pusaran gelombang.
Gadis itu sedang mengalami guncangan jiwa yang mendalam.
Bayang-bayang menyakitkan di masa kelam, masih lekat menghantui pikirannya. Dia ingin segera mengkhiri hidupnya. Namun, hati kecil masih menahan untuk tidak mengikuti egonya.
Dia berdiri di permukaan tebing yang menjulang tinggi ke arah bibir pantai. Persis di bawahnya, terdengar suara hempasan ombak menghantam batu-batu karang yang tajam.
Apapun yang jatuh kebawah sudah pasti hancur dan mati.
Air mata mengalir deras melewati celah-celah wajah putih dari gadis itu. Dia masih meratapi dirinya yang tidak bisa menerima takdir Tuhan yang sudah terjadi.
Aku ini bodoh! bodoh! bodoh!
Aku memang tidak sepantasnya hidup!
Dia masih menyalahkan dirinya. Terus dan terus. Hingga larut dalam masalahnya, tanpa sadar ada seorang pemuda dengan rambut ikal. Berbadan tegap. Berdiri persis disebelahnya, melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan.
Raut wajah laki-laki itu terlihat jelas kemarahannya.
Gadis itu hanya memicingkan wajah ketika menyadari kalau dia tidak sendiri.
Aaach kenapa selalu saja ada hal-hal yang menggangguku di saat aku ingin sendiri, gerutunya.
Pemuda itu tidak ingin menghalangi Amanda untuk mengakhiri hidupnya. Karena dia pun sama. Dia sepertinya ingin melakukan hal yang sama dengan Amanda. Sama-sama ingin mengakhiri hidupnya. Mungkin, tempat di mana saat ini mereka pijak, adalah tempat bagi sebagian orang untuk melepas nyawa dari raganya secara paksa. Entahlah. Mungkin.
"Bagaimana, saat aku menghitung sampai 3, kita melompat bersama." Tiba-tiba pemuda itu bersuara. Mengajak gadis yang ada di sebelahnya untuk terjun berdua.
Amanda mengerutkan keningnya. Namun dia tidak menoleh ke arah pemuda itu.
"Jadi, paling tidak aku tidak mati dengan sendiri," ujar pemuda itu dengan santainya.
Hah! siapa orang ini? dia pikir hal itu adalah permainan yang bisa kita ulang dari awal kalau kita kalah, gumam Amanda dalam hati.
"Satu, dua..." Pemuda itu mulai menghitung.
Dengan cepat Amanda memotongnya, "tunggu! tunggu!"
"Kenapa? bukankah semakin cepat akan semakin baik. Kita akan semakin bebas dari beban berat yang kita pikul selama ini," ujar pemuda itu.
Amanda menundukkan pandanganya. Entah apa yang membuat nyalinya sedikit menciut.
"Tap-tapi. Kenapa kamu mau melakukan itu?" tanya Amanda heran.
Pemuda itu membuang nafasnya sebelum dia bercerita, "waktu kecil, ayahku, aku dan adiku sering main ke pantai ini. Berlari di pinggir pantai menemani ayah yang sedang memancing ditengah laut. Sambil menunggu ayahku kembali dari perahu kecilnya, aku dan adikku selalu membuat istana dari pasir. Menjaganya hingga ayah kembali. Tapi, selalu saja istanaku itu hancur sebelum sempat ayahku melihatnya.
"Dan ayahku berkata. 'itulah kehidupan. Tidak ada yang kita bisa pertahankan selamanya. Walaupun sebenarnya, kita sudah berusaha untuk bisa menjaganya dengan kuat. Kita tidak tahu kapan sesuatu itu akan hilang diambil oleh pemilikNya',"
"Lantas apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidup kamu?" tanya gadis itu masih dengan keraguan.
"Seminggu setelah itu, ayahku meninggal karena sakit paru-paru yang dideritanya bertahun-tahun. Adikku, yang saat itu masih berusia 8 tahun tidak kuat merasakan hilangnya sosok seorang ayah. Dan dia mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tempat ini. Tubuhnya hancur, tidak berbentuk."
"Aku sekarang sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Untuk apa aku hidup kalau aku merada Tuhan tidak adil denganku!" pungkasnya.
Hal itu membuat Amanda mengerutkan kening dan membuang nafasnya.
"Apa yah rasanya ketika sampai dibawah sana?" tanya Amanda dengan menatap lurus kebawah.
"Mati. Tapi sebelum mati itu merenggutnya, kita akan merasakan sakit yang luar biasa. Sakit dari pecahnya pembuluh darah kita. Putusnya urat-urat saraf. Sobeknya kulit-kulit ini dan retaknya tulang kepala, kaki dan tangan. Lalu, satu persatu dalam setiap inci kita akan merasakan perihnya nyawa yang keluar perlahan dari tubuh ini," jawabnya.
Rasa ngilu sedikit membuat gadis itu mengerenyitkan kening dan menelan ludah.
Amanda terdiam. Seketika lututnya menjadi lemas. Membayangkan dirinya di bawah sana dengan tubuh yang berserakan dan darah yang bersimbah ruah.
Entah apa yang mendorong pemuda itu untuk bergerak. Tidak ada yang menyuruhnya. Tidak ada yang memerintahkan kepadanya. Ya, hanya keinginan sendiri. Keinginan pemuda itu untuk melangkahkan kakinya perlahan dan maju langkah per langkah menuju ujung dari tebing yang menjulang.
Amanda mulai terpancing nalurinya. Naluri sebagai seorang manusia. Lebih tepatnya, naluri lemah dari hati seorang perempuan.
"Hei! apa yang kamu lakukan!" pekik gadis itu dari tempatnya.
Kali ini gadis itu membuang egonya. Gadis itu mencoba menghentikan tindakan bodoh yang akan dilakukan oleh pemuda tersebut. Mencoba manahan pemuda asing yang tidak dikenalnya. Pemuda asing yang entah dari mana datangnya.
"Memangnya kenapa! bukankah kamu juga ingin melakukan hal yang sama denganku? mari kita lakukan sama-sama," pekiknya. Dan membuat darah Amanda mendesir.
"Stop!" Amanda mengucap dengan pita suara melengking terdengar.
"Kenapa! bukankah, dengan mengahiri hidup kita, kita akan melepas semua beban yang ada. Kita bisa bebas di alam sana. Bukankah, dengan kita mati, kita akan merasakan ketenangan? Hah!" seru pemuda itu. Seakan mendobrak hati Amanda.
Gadis itu menundukkan pandanganya. Kini ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya. Seperti ada yang mengetuk nuraninya untuk tidak melakukan itu.
Niat semula yang ingin mengakhiri hidupnya. Mengakhiri semua cerita-cerita dalam skenario Tuhan. Mengakhiri malam dan siang yang masih panjang. Mengakhiri beban yang menyumbat hingga membuat dadanya sesak. Kini, dia memilih untuk diam sesaat.
"Hah sudahlah. Kalau kamu tidak mau, biar aku yang lakukan sendiri," seru pemuda itu dengan kembali melanjutkan langkahnya.
"Hei! hei!" Dengan cepat Amanda mengangkat wajahnya dan menatap pemuda itu. "Jangan bodoh kamu!" kata gadis itu dengan lantang.
Mendengar ucapan itu, memancing laki-laki tersebut tersenyum sinis. "Kalau aku bodoh, lalu kata apa yang tepat untuk kamu? Bukankah, kamu juga ingin melakukan apa yang akan aku lakukan?" sindirnya.
Bagai anak panah yang menghujam jantung. Tepat di tengah-tengahnya. Menghentikan nafas berhembus. Perkataan itu mengingatkan dirinya untuk apa dia ketempat ini.
Tak berbeda dengan perempuan lain. Ketika masalah menyulutkanya, hanya air mata yang menjadi pelampiasan.
"Aku baru saja kehilangan pekerjaanku. Pekerjaan satu-satunya yang menghidupkan aku dan adiku. Dua minggu lalu, alam mengambil ibuku. Dan kekasihku pergi meninggalkanku setelah tau orang tuaku tidak meninggalkan warisan apa-apa untukku.
"Aku merasa Tuhan tidak adil denganku. Aku dilahirkan hanya untuk menjadi pecundang. Menjadi contoh gagal dalam drama kehidupan ini."
"ITULAH KENAPA AKU MAU AKHIRI SEMUANYAAAAA! AKU SUDAAAH GAAAAK TAHAAAN!"
Pita suara menarik kencang hingga menghasilkan getaran yang kuat. Bersamaan dengan terbangnya burung-burung liar yang sedang mencari makan dipinggiran pantai.
Tubuh Amanda merespon dari perintah otak untuk menggerakan kakinya melompat jauh ke dasar batu. Entah apa yang dipikirkanya. Tapi, hal ini sudah dilakukan.
Amanda sudah melayang. Menggantung bebas di antara puncak tebing dan batu karang. Tapi nasib baik masih berpihak dengannya. Tangan gadis itu berhasil digapai oleh laki-laki di sebelahnya. Yang baru saja berlari cepat mengejarnya.
Sebuah aksi cepat tangkap yang luar biasa. Sangat menggetarkan jiwa.
"Jangan BODOH KAMU!!! Apa yang kamu lakukan!" Perkataan itu berbalik menghujam Amanda. Dimana saat ini, matanya tercengang melihat dirinya melayang di udara.
Mulai terlihat dari raut wajah gadis itu menampakkan penuh ketakutan. Keringat dingin menjulur dari wajahnya yang mulai pucat. Tubuhnya gemetaran. Dan tak kalah juga, debar jantung yang berdetak 3 kali lebih cepat.
"Kalo kamu mati sekarang, kamu tidak akan bisa menolong adikmu. Siapa yang akan merawat adik kamu. Adikmu juga sudah kehilangan orang tuanya. Dan kamu bisa bayangkan, kalau dia mendengar kakaknya juga mati mengenaskan, hah!"
Mendengar hal itu, Amanda baru sadar kalau tindakanya salah. Dalam posisi yang sulit antara hidup dan mati, pikiranya baru terbuka.
"Sekarang, bantu aku menyelamatkan kamu. Karena aku tidak mau menjadi pembawa berita kematianmu kepada adikmu!" seru pemuda itu dengan tenaga yang hampir habis karena menahan berat dari tubuh Amanda.
Segala cara untuk bertahan dilakukan. Amanda mencoba menapakan kakinya di celah bebatuan dari tebing ini.
Tanpa rasa lelah dan putus asa, pemuda itu dengan sekuat tenaga menarik tubuh Amanda naik keatas.
Gadis itu mengikuti semua perkataan sang penyelamatnya.
Angin di atas tebing ini sangat dashat berhembus. Membuat tubuh sulit mendapatkan nyamanya. Pemuda itu sangat kewalahan menarik tubuh Amanda sampai ketempat semula.
Namun, memang takdir masih menyelamatkan gadis malang pemilik wajah cantik itu. Akhirnya, dengan susah payah dan perjuangan yang besar, pemuda itu berhasil menyelamatkannya.
Mandi keringat dan deru nafas yang berat di alami keduanya. Detak jantung berdebar kencang layaknya gendang yang sedang berdendang
"Hehahh...huhhh...heahh..." Pemuda itu mengatur nafasnya yang hampir habis.
Amanda terbaring lemas di atas tanah permukaan tebing dengan menatap awan yang tersenyum kepadanya. Dia masih mengatur pola nafas yang sudah berantakan.
Setelah merasa nafasnya kembali, pemuda itu mengangkat tubuhnya hingga terduduk. Lalu, mengambil sebatang rokok kemudian menghisapnya. Dia melihat Amanda yang masih terbaring lemas kehabisan nafas disebelahnya. Tanpa ragu dan basa basi dia berjalan pergi meninggalkan Amanda yang masih mengumpulkan oksigen masuk keparu-parunya.
"Hei...Tunggu!" tegur Amanda.
Melihat sang penyelamat melenggang begitu saja, hatinya terketuk untuk mengehentikannya. Amanda mencoba mengangkat tubuhnya untuk berdiri. "Hei! Terima kasih," ucapnya.
Tak ada balasan kata hanya lambaian tangan yang menjadi jawaban atas ucapan Amanda.
Lebih dari dua hisapan rokok, Amanda kembali berseru kepadanya, "aku belum tau nama kamu! Aku Amanda. Amanda raflesia."
Sambil terus berjalan pemuda itu berkata, "nama aku Raka. Terus lanjutkan hidupmu dan jangan pernah kembali ketempat ini lagi." Jari telunjuk pemuda itu diacungkan ke atas dan digerakan sedikit ke kanan kiri.
Benar-benar laki-laki aneh, bicara sambil berjalan tanpa menghiraukan perempuan cantik dibelakangnya.
Amanda tersenyum. Dia masih melihat kearah Raka hingga Raka hilang dari pandanganya.
-------------
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Rian Cappuchino
Kak mampir yuk kenovelku.Judulnya "Ray Stardust."
Kutunggu kedatanganmu.
Terima kasih
2021-02-02
1
MeiMei
awal cerita yg mendebarkan..lanjuttt 🙏👍
2020-09-19
1
Sari Istiqomah
assalamualaikum semangat berkarya thor
Aku sudah like ya,
mampir yuk keceritaku Dia Untukku. Terimah Kasih.
2020-09-18
1