"Ndin. Andin bangun. Bangun Ndin."
Amanda menepuk-nepuk wajah Andin yang terkapar parah akibat begitu banyak minuman berakohol yang ditegaknya dan Andin masih belum sadarkan diri. Jelas saja, semalam dia habis berpesta dengan tamu langganan yang menyewa satu room untuk mereka menghabiskan malam. Jadi, yah beginilah hasilnya, badanya tidak bisa menerima literan air keras yang mengalir dalam darahnya.
"Hahahaa. Asssss..ikkk Bos, teruss."
Entah apa yang diucapkannya. Dengan mulut yang berkicau tanpa menyadari apa yang dikatakan. Untung saja semalam Amanda masih menemaninya dan berhasil membawa pulang hingga sampai dikamar. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Andin berada diantara sekumpulan pemuda yang akan siap menggilirnya. Ah, membayangkan saja sudah tidak menyamankan hati.
Demi persahabatan, ya, itu Amanda lakukan karena rasa sayangnya sebagai teman. Kalau saja bukan Amanda, mungkin lain cerita dan Andin tidak akan melantur dikamarnya, tetapi, dikamar hotel. Dan selanjutnya, sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi dimana ikan segar berada dihadapan kucing liar, akan habis dinikmati.
Uwwweeeeekssss!
Andin memuntahkan isi perutnya. Berbagai macam bentuk keluar mengotori kain alas kasur. Bau aroma tak sedap mulai mengganggu pernafasan Amanda.
"Astaga Andin!" Amanda ngedumel.
Melihat sahabatnya seperti itu, membuat Amanda ingin cepat-cepat menyelesaikan perkerjaanya. Kepala Andin diangkat dan diletakan di atas bantal. Baju Andin satu persatu dilepas dari tubuhnya. Dia sudah tidak tahan dengan bau yang menyengat, karena membuatnya sedikit mual.
Layaknya seorang ibu yang sedang memandikan bayi pertamanya. Dan juga, seperti suster yang merawat pasienya. Amanda sangat telaten dan rapih sekali mengurus sahabatnya. Kini, Andin sudah terkapar berbaring tanpa busana. Dia membersihkan kotoran ditubuh Andin dengan handuk kecil dan air hangat.
Tanpa rasa pamrih atau ingin dibilang baik. Tanpa rasa ingin dibilang perhatian. Atau hal lainya. Tidak, Amanda tidak seperti itu. Dia melakukan dengan ikhlas. Dia menunjukan sikap kemulian seorang sahabat kepada sahabatnya. Dia memberikan contoh arti pertemanan yang sesungguhnya.
Dia memiliki hati yang lembut. Amanda membuktikannya malam ini. Membuktikan arti seorang sahabat yang selalu ada dalam setiap perkara. Tidak perduli susah atau sedang bahagia.
Amanda mengajarkan bagaimana untuk bisa berterima kasih kepada seseorang yang sudah membantunya. Bukan dengan hanya basa-basi pengucapan semata. Dia menunjukan sikap balas budi kepada Andin yang sudah baik memberikan tempat tinggal sementara untuk dia dan adiknya.
Ya, dia adalah Amanda Raflesia yang mungkin sudah sangat langka ditemukan gadis sepertinya saat ini. Dimana dalam keadaan sulit, dia masih bisa membantu sesama. Walaupun, itu bukan materi yang dia berikan. Tetapi, dia melakukan hal yang belum tentu gadis cantik lainya bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Amanda. Hatinya sangat tersentuh melihat seseorang yang sedang membutuhkan bantuanya. Iya, hanya dia yang memiliki. Hanya Hati Amanda.
Dengan upaya yang lumayan memakan tenaga, dengan menahan rasa mual yang menyumbat dikerongkongannya, Amanda berhasil melakukan tugasnya. Bukan tugas wajib memang, tetapi, tugas yang karena kebesaran hatinya untuk menolong sesama. Maka dari itu, dia mampu melakukannya. Dan kemudian, dia mengambil baju dilemari Andin dan memakaikan kembali ketubuh mungil Andin, setelah dia membersihkan kotoran muntah di tubuh dan kasurnya.
Pekerjaan yang tidak bisa dikatakan ringan. Apalagi, menyangkut yang namanya kotoran manusia. Walaupun, bukan kotoran yang keluar dalam setiap harinya karena sisa-sisa makanan yang tidak digunakan dalam tubuh. Tetapi tetap saja, yang sifatnya berbau tidak sedap akan sejalan dengan yang namanya kotoran.
Setelah semua dipastikan beres, dia mematikan lampu dan menutup pintu kamar Andin. Andin masih terkulai lemas tak sadarkan diri. Tapi, sekarang dia bisa tidur nyenyak dengan pakaian bersih.
"Andin, Andin," gumanya.
Seperti biasa, Amanda duduk disofa dimana pertama kali datang ketempat ini. Merenung sejenak tentang apa yang sudah dilakukanya malam ini. Malam panjang yang sedikit mulai terasa berat baginya, karena sudah ada beberapa tamu pelanggan bar yang mulai melirik pendatang baru, yaitu dirinya, Amanda.
Tidak terasa sudah seminggu Amanda bekerja di tempat itu. Tapi, dengan kepiawaianya dia masih menjaga tubuhnya tetap suci. Walaupun, harus memutar otak dengan cepat untuk menghindari sergapan para pengejar hasrat bertindak. Dia harus menolak dengan cara halus. Jika tidak, tamu akan melapor kepada Mami cleo dan kalau itu sampai terjadi, semakin panjang malam tanpa bintang untuk Amanda.
Beberapa kali dia harus melayani tamu-tamu disofa dengan setumpuk botol beralkohol. Dalam gelap yang menerangi diruangan, ditambah efek dari minuman, semakin membuat adrenalin melaju kencang. Terutama para lelaki, dia akan semakin bergairah. Apalagi, ditemani wanita sexi yang berada dalam sofa yang sama, sungguh akan memancing syahwat keluar tanpa permisi. Namun, yang dilakukanya hanyalah menenami tamu bersenang-senang menikmati minuman tanpa dia harus menyentuh minuman itu. Ya, dia gadis yang sangat pandai. Dengan caranya dia bisa melewati satu minggu tanpa masuk setetespun alkohol kedalam tubuhnya.
Masih beruntung, memang bisa dibilang seperti itu. Amanda masih dalam perlindungan Tuhan. Tapi, hari masih panjang. Dan malam masih akan terus berlanjut. Belum tentu awan yang teduh akan setia menemaninya setiap waktu.
Malam kini semakin larut. Tanpa tersadar, Amanda pulas lelap tertidur di sofa.
****
"Oh Tuhan. Kenapa dengan perasaanku saat ini. Apa mungkin aku masih bisa menjaga semuanya malam ini?"
Diruang ini, ruangan yang menurut Amanda adalah ruang kecil untuk persiapan sebelum masuk keneraka dibawah sana. Ruang yang masih dengan aura menakutkan untuk diri seorang Amanda. Diruang ini, ruang dimana ketika berada didalamnya, kulit Amanda terasa mati dan darahnya berhenti. Ya, diruang yang penuh dengan alat rias serta wangi parfum yang menyengat sampai menusuk ke hidung. Ruang yang mempersiapkan para pelayan-pelayan syahwat berias diri. Amanda akan memulai lagi malamnya yang melelahkan.
Dia tidak merias diri, atau memakai parfum. Dia hanya duduk dimeja rias bersama Andin. Menatap cermin dan melihat dirinya seperti bukan dia. Melihat Amanda yang dulu bukan seperti apa yang dilihatnya dicermin itu. Melihat dirinya yang lugu, bukan seperti sekarang yang palsu. Palsu karena melihat dirinya sangat terbuka. Terbuka dari pakaian yang menuntutnya untuk bisa bekerja disini.
Cermin itu jujur, jujur menampakan apa adanya. Jujur seperti dirinya yang menjerit ketika melihat dia dicermin. Jujur ketika melihat dirinya tidak bisa melawan hatinya. Iya, Amanda sangat jujur. Karena kejujuranya, dia harus bisa menerima kenyataan bahwa sekarang dia harus merelakan masa mudanya. Masa bahagianya demi masa depan adiknya.
Masih sama seperti sebelumnya, detak jantung berdebar kuat ketika dirinya berada diruang ini. Karena, ini adalah awal dari malam yang akan menegangkan dalam setiap malamnya.
"Nda, makasih ya. Aku janji malam ini gak akan teler lagi. Hehehe."
"Hmm...yakin," tegasnya, tanpa berpaling dari cermin yang ada dihadapanya.
"Yakin banget," balas Andin.
DEG!
Kakinya sudah kembali menapakkan dilantai yang sama. Mendengar suara musik yang sama dan tempat yang sama. Tetapi, ada yang berbeda. Hari ini memang berbeda dengan sebelumnya. Dimana tempat ini sudah di pesan khusus oleh pengusaha besar yang sedang merayakan keberhasilnya. Sungguh sangat padat dan ramai hingga habis seluruh sofa ditempat ini penuh terisi oleh undanganya.
Gelisah dari sebelumnya mulai terasa kuat. Dihari-hari biasa yang tidak seramai ini saja, Amanda sudah lemas dibuatnya. Tidak bisa dibayangkan dengan malam ini. Amanda mengepal tanganya memandangi sekeruman manusia berkumpul dalam gelap disatu tempat.
"Oh Tuhan..."
Lemah bibirnya mengucap. Tidak akan ada gunanya mengeluh disaat ini. Dia harus menghadapi atau akan pulang tanpa membawa uang.
"Bos muda tuh. Ganteng, Nda," sodor Andin.
Andin menunjukan sesorang yang berada di sofa besar.
Dari tempat duduknya dibelakang meja barista, Amanda menepis ucapan Andin. "Ah, enggak mau. Aku enggak suka." Lalu kemudian, Andin berlalu menuju keramaian.
Tidak akan membuat Amanda membuka perasaannya dalam tempat seperti ini. Bukan karena hanya sebatas tampan, Amanda bisa jatuh hati. Apalagi, laki-laki yang dikenalnya berada disini, ditempat ini, tempat dimana kebanyakan pria tidak bisa menghargai namanya cinta.
Dimana kebanyakan pria, tidak pernah kenal bagaimana caranya menghargai wanita. Dimana kebanyakan pria, tidak pernah tau dengan perasaan wanita.
Bagaimana mungkin Amanda bisa jatuh cinta. Jatuh cinta dengan pria yang hanya semata-mata melihat wanita adalah barang murahan. Barang yang bisa dipegang tanpa harus dibeli. Barang yang bisa dipakai tanpa harus dirawat dan dikasihi. Hanya dengan setumpuk uang, mereka bisa menikmati dan setelah itu, mereka pergi.
Tidak, tidak dengan Amanda. Tidak dengan hanya uang bisa memiliki hati Amanda. Amanda sangat mahal untuk bisa dibeli. Amanda sangat sulit untuk bisa dimiliki.
"Oh Tuhan, tidak..."
Hati cemas berubah menjadi gelisah, melihat Mami menuju Amanda. Tangan mengepal mulai bergetar tak akan tahu apa yang akan disampaikan mami.
"Si bos mau ngomong sama kamu," kata Mami Cleo yang sudah ada dihadapan Amanda.
Tepat ditengah sasaran, anak panah menghujam jantungnya, membuat bibirnya kelu dan tak kuat berkata-kata. Otot mata tegang tak terkendali, membuat Amanda melotot memandang Mami. Saat ini, kaki sudah lemas sepertinya tempurung sudah lepas dari rangka lututnya.
"Amanda Raflesia!" Teriak mami dikupingnya.
Mau menangis, percuma, karena ini bukan saat yang tepat untuk bisa meluapkan rasa haru. Percuma, karena akan membuat dirinya semakin susah. Amanda hanya bisa menjawab apa yang dikatakan mami.
"Oh. I-iya Mam.Ma-maf. Kenapa mam," ucapnya gugup.
"Bengong aja. Dari tadi orang bicara gak didengerin. Kalau mau bengong jangan disni, dikuuburan sana!" omel Mami.
Tak bisa membalas auman singa betina dihadapanya. Dia pasrah menghadapi semua. "Ma-maaaf. Maaf mam."
"Sekarang kamu ke meja bos. Dia mau bicara sama kamu," perintah Mami.
Deg!! Deg!!!
Jantung Amanda semakin berdebar.
"Dia berani bayar mahal untuk kamu. Jangan kamu sia-siakan."
Bagai malam yang takkan kembali siang. Habis sudah satu purnama, habis sudah cerita Amanda. Mendengar pernyataan lantang dari Mami, membuat telinga Amanda perih mendengar. Hatinya berkecamuk hebat melawan rasa takut yang berselimut kuat. Wajahnya memerah menampakan rasa cemas yang luar biasa.
Singa betina sudah menunjukkan taringnya, tidak akan bisa merpati kecil selamat darinya. Bagaimana bisa, sang merpati keluar hidup-hidup dari cengkraman kuat singa yang memegangnya. Secara rahang mulutnya sudah terbuka, hanya pasrah yang bisa Amanda lakukan.
"Buruan sana. Malah bengong lagi!" bentak mami.
"I-iiya. Mam."
Amanda bergerak dari tempatnya menuju meja yang mereka sebut si Bos. Ya, memamg bos. Karena dia yang memodali semua acara malam ini. Mengundang lebih ratusan rekan-rekannya untuk memeriahkan malam keberhasilan dirinya.
Dengan langkah berat Amanda tetap harus mematuhi perintah Mami Cleo
"Oh, Tuhan...tolong aku..."
Langkahnya sudah hampir mendekati orang yang memanggil dirinya.
"Maa-maaaf. Ba-pak panggil saya," sapa Amanda ketika sudah berada ditempat laki-laki yang memanggilnya.
Tampan, muda dan bersih. Iya, itu yang dilihat dari tatapan awal kepada laki-laki itu. Sungguh benar-benar menggoda wanita. Dengan badan tegap dan gagah, ditambah bulu-bulu kecil menghiasi dikedua pipi, sungguh sangat menawan sekali pemuda ini.
Masih dibilang pemuda, karena terlihat dari penampakan wajahnya, memang dia masih muda. Mungkin sekitaran 30 tahunan. Tidak salah, kalau Andin baru saja berkata dia tampan dan rupawan.
Amanda masih mematung dihadapanya, melihat seorang pemuda berdasi dengan jas hitam yang keliatan mahal. Pemuda yang jarang sekali dilihatnya akhir-akhir ini.
Tetapi, itu tidak sama sekali mengurangi rasa takut dan cemasnya. Bagaimanapun juga, pemuda itu ditemuinya ditempat seperti ini. Ya, mungkin saja dia sama dengan yang lainya. Cuma bedanya, dia tampan dan sangat kaya.
Laki-laki yang dipanggil bos hanya melihat Amanda dari tempat duduknya. Disofa ini, hanya ada dia dan dua orang pemuda lainya. Tidak ada wanita satupun. Entah kenapa dia tidak mengajak wanita kedalam kelompoknya. Sedangkan disofa lain, sangat banyak sekali wanita penghibur bergabung dengan kelompok rekan-rekannya.
Diam berdiri, Amanda tidak berani menatap wajah pemuda tampan yang ada didepanya. Tanganya selalu memegang baju dibelahan dada yang sedikit terbuka.
Astaga Tuhan. Aku takut.
Ucapan keluh hanya bisa dia sampaikan dalam hati. Tidak ada teman atau siapapun yang bisa mendengarkan apalagi menolongnya. Mereka semua sedang asik dengan permainannya masing-masing.
Hanya Amanda yang baru saja akan memulai permainannya.
"Sini duduk," ajak laki-laki itu dengan santun.
Bukan cuma tampangnya saja yang tampan, tetapi juga ucapannya sangat lembut sekali. Tangan masih gemetar menutupi dadanya yang sedikit terbuka, Amanda masih mematung, masih belum bergerak dari posisi beridirinya, disamping sofa dekat pemuda itu menapakan pantatnya.
Pandangaanya tertunduk, dia benar-benar sangat merasakan takut yang hebat. Takut yang luar biasa. Takut yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Ayo sini duduk disebelah saya. Kamu gak usah takut."
Dengan berat hati, dengan rasa cemas yang dashat, dengan kaki yang mulai lemas, dengan pikiran yang bercampur aduk, dengan Wajah yang mulai pucat, dengan darah yang terus mengalir cepat, dengan debar jantung yang berderu hebat, Amanda mengikuti ajakan pemuda tersebut.
"Mau minum apa?"
Entah basa-basi atau apa. Yang pasti, dalam keadaan yang berat, dalam posisi yang sulit, rasa haus dan lapar akan tidak terasa.
"En-ggak usah Pak. Terima kasih," jawab Amanda gugup.
Melihat merpati kecil yang cantik, sayang rasanya kalau hanya dipandang. Pemuda tersebut menggeser pinggulnya dan semakin dekat dengan Amanda. Dia sudah mulai menunjukan dinginya salju yang membuat merpati tidak akan tahan didekatnya. Tanganya menyibak rambut Amanda yang menutupi wajah akibat menunduk. "Kenapa wajah cantiknya di sembunyikan begitu."
Kata-kata manis yang terucap bukan dari seorang kekasih yang disayangnya. Bukan dari sang pujaan hati yang sedang merayunya dikala sedih. Bukan juga dari ayahnya yang sedang menghiburnya dikala duka. Tetapi, kata-kata manis itu dari seorang laki-laki asing yang baru dikenalnya. Laki-laki asing yang baru dilihatnya. Bukan rasa haru yang Amanda rasakan, melainkan Amanda semakin ketakutan.
Tak kuasa menahan lara yang begitu kuat menendang dalam jiwanya. Air mata merpati kecil menjadi gulungan salju yang berbulir-bulir mengalir disela-sela pipinya. Membasahi sayapnya yang tak kuat untuk dikepakkan hingga terbang melihat kebebasan.
"Kenapa kamu menangis? Bukanya kamu sudah pengalaman dengan yang seperti ini."
Tidak ada senyum yang terlukis diwajah Amanda malam ini. Merpati kecil ini hanya menutupkan wajahnya dengan sayapnya yang lemah.
"Maa-maaf Pak. Sa-saya belum-."
Tak ada lagi kata-kata yang harus diucapkannya malam ini. Itu yang membuatnya dia berhenti sebelum menyelesaikan perkataanya. Percuma, yah baginya percuma. Percuma menjelaskan semua yang memang belum pernah Amanda lakukan. Melihat dirinya bekerja ditempat ini, sulit rasanya untuk membuat orang percaya kalau dirinya masih terjaga.
Pemuda dengan tanpa rasa dosa, dia mulai tidak kerasaan menghadapi Amanda yang tidak seperti wanita lainnya. Dimana kebanyakan wanita, terutama yang bekerja didunia malam seperti ini, akan membuatnya bahagia apabila ada tamu besar yang mengundangnya bergabung satu meja.
Ya, karena mereka akan berfikir, jika saja selesai dengan senda gurau, mereka akan mendapatkan materi yang banyak sebagai bayaran atas jasa menenami.
Tetapi tidak dengan Amanda. Dia bahkan menghindari, kalau bisa, dia akan menolak siapapun yang akan mengajaknya gabung dalam satu sofa bersama.
Dalam penasaran yang tinggi, pemuda dengan jas dan dasi yang membuat penampilanya memukau, dia mengajak Amanda kelain tempat. "Ok. Mungkin karena disini ramai ya. Kalau begitu kita pindah aja ke hotel. Saya sudah membayar kamu ke Mami Cleo dengan harga tinggi."
Ratusan pedang menebas tubuh Amanda, membuatnya menderita sebelum akhirnya mati. Apa yang baru saja didengarnya membuat dirinya seperti mayat hidup yang berjalan. Hati berkecamuk hebat melawan pikiran yang gelap. Dia tidak menyangka akan berakhir semuanya malam ini. Malam yang masih panjang dengan laki-laki yang baru saja dia kenal, akan berakhir disebuah ranjang.
Tidak ada celah kali ini baginya untuk bertahan. Apa yang ditakutinya selama ini, nampak jelas sudah didepan mata. Lingkaran mata belo Amanda lebar menatap kedepan.
Tidak juga Andin yang bisa menolongnya.
Mati aku! hilang sudah semua yang aku jaga selama ini, batin Amanda menangis perih.
Kali ini, Amanda tidak berdaya melawan keadaan. Dirinya seakan kehabisan oksigen sehingga membuatnya sesak nafas. Ingin rasanya lari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin lari untuk seorang merpati tanpa sayap dari sergapan binatang buas.
Bagaikan srigala yang sudah menggigit mangsanya. Amanda digiring keluar menuju parkir mobil yang terletak didalam basement.
Dari meja lain, Andin hanya menyaksikan Amanda di bawa oleh Bos muda. Mata lrih penuh cemas melihat sahabat kesaayangan dibawa binatang buas.
Basa basi terima kasih untuk pelanggan kepada penjual. Sebelum berangkat pergi, dia bertemu dengan Mami cleo untuk pamit.
"Kali ini, barangnya super bagus," bisiknya ditelinga Mami.
Mendengar pelangganya senang dan puas, Mami cleo tersenyum bahagia. "Iya dong. Buat si Bos mah pasti dikasih yang terbaik."
Sang srigala membawa merpati masuk kedalam sedan Limosin mewah menuju tempat untuk bersenang-senang. Duduk berhadap-hadapan dengan Bos muda dalam sebuah mobil mewah, membuat Amanda mati kutu. Tidak ada lagi apapun yang bisa dirasakannya, semuanya mati rasa.
Sedan mewah pun berjalan memecah angin ditengah malam menuju hotel. Melintasi padatnya kota metropolitan.
45 menit berlalu, roda karet menghentikan putaranya persis disebuah bagunan mewah nampak dari depan. Dengan lampu-lampu indah menerangi disekitar pelataran bangunan. Mata tajam Amanda membaca dengan jelas nama tempat yang ada di hadapanya, AMFA HOTEL. Sebuah hotel mewah berbintang. Dengan lantai yang bertingkat-tingkat dan luas yang bermeter-meter persegi, membuat darahnya semakin dingin membeku.
Berjalan dari lantai dasar mereka menuju lift membawa naik hingga ke lantai 12. Melewati lorong-lorong kecil dengan ukiran klasik yang sangat unik, mereka berhenti di sebuah pintu yang bertuliskan N12-4.
DEG!
Tidak ada bedanya saat pertama kali dibawa dari tempat kerjanya, jantung Amanda belum berhenti dari degupnya. Kemudian, Amanda melihat sebuah ruangan besar dengan fasilitas mewah ada dihadapannya. Walaupun, kaki masih berdiri didepan pintu, tetapi semua isi dalam kamar terlihat jelas. Terlihat sangat jelas bagaimana kemewahan didalamnya.
Tak ada rasa lagi didalam diri Amanda. Tubuhnya sudah mati rasa. Kini dia hanyalah mayat hidup yang sedang berjalan. Mayat hidup yang sedang dikendalikan sama pemiliknya.
Tidak ada lagi yang bisa dia pertahankan, melihat apa yang sudah ada dihadapannya, dia harus merelakan semuanya. Ya, merpati kecil akan kehilangan kehormatannya malam ini.
"Silahkan masuk," kata laki-laki yang sudah dulu masuk kekamar.
Tak ada cara lagi untuk mencari celah, terpaksa Amanda mengikuti semua arahan dari yang orang menggenggamnya. Amanda sudah pasrah.
Duduk di pinggiran kasur nan empuk, Amanda diam tak bergeming. Perasaannya bercampur aduk melimpah ruah.
Bos muda belum melakukan aktifitas apa-apa dengan tubuh mulus gadis cantik ini. Dia hanya membuka jas mahalnya dan menggantungkan di gantungan baju. Lalu, membuka mesin pendingin minuman dan mengambil beberapa minuman.
"Minum," kata Bos menawarkan.
Amanda menggelengkan kepalanya. Masih sama seperti sebelumnya, jawabanya tetap tidak.
"Nama kamu siapa?" tanyanya dengan melembut.
Suara parau karena sesak dada yang sangat berat. Serta bibir yang hampir tidak bisa mengucap, Amanda menjawab, "Amanda."
"Siapa?"
Amanda menaikan sedikit suaranya. "Amanda. Amanda Pak."
"Oh Amanda. Bagus namanya seperti orangnya. Cantik," pujinya.
Bos muda mengeluarkan sebungkus rokok dalam sakunya dan membakar sebatang rokok lalu dihisapnya. "Kamu sudah berapa lama kerja disana?"
"Ba-baru. Ba-ru dua ming-gu Pak." Jawabya sangat gugup.
Asap rokok yang tebal menggulung dari hisapan sebatang rokok kretek, membuat
Amanda berat bernafas. Matanya perih lantaran asap yang mengudara bersamaan dengan pendingin udara yang menghembus diruang kamar. Dia sangat gelisah, keringat kecil sedikit demi sedikit keluar disekujur tubuhnya. Suasana yang sangat membuat dirinya tidak nyaman.
"Kenapa kamu takut." Bos muda mengambil tisu didekat tempat duduknya dan mematikan rokok.
"Sa-saya takut pak. Saya belum pernah melakukanya." Berat bibir mengucap dengan sesegukan karena sisa-sisa tangis yang masih meradang, dia meladeni makhluk asing disamping dirinya.
Sudah tidak sanggup rasanya berdialog dengan manusia yang akan merenggut kehormatanya. Sudah, sudah akhiri sajalah segera biar aku bisa pulang. Akhiri saja dengan cepat. Biar, biar semua selesai dan aku bebas dari malam yang buruk.
Sudah, cepat!
Itu yang ada didalam benaknya saat ini. Dia sudah muak dengan basa-basi semua ini.
CEPAT!!! batinya menjerit.
Tak ada lagi rasa sakit yang pernah dia alami selain rasa sakit yang dia terima malam ini. Tidak juga dengan rasa sakit kehilangan orang tuanya.
"Kenapa kamu kerja di tempat itu?" tanya si bos.
Tiba-tiba pertanyaan itu membuat kecamuk dihatinya berhenti sejenak. Pertanyaan yang aneh, sungguh aneh terdengar. Dimana seorang pria berduaan dengan wanita malam seharusnya mereka mengoyang ranjang yang masih tenang. Bukan malah menananykan kenapa. Kenapa? dan kenapa?
Apa yang harus aku jawab, Tuhan...
Apa yang harus aku katakan, Tuhan...
Apa aku harus menjawab, kalau aku butuh uang. Atau aku harus menjawab kalau adikku butuh makan dan sekolah.
Sungguh aku dalam keadaan yang berat. Tapi, tapi dia enggak akan menerima jawaban dalam diamku. Aku harus katakan, " Sa-saya. Saya terpaksa pak. Karena saya butuh uang buat hidup dan sekolah adik saya."
Biarlah terderngar seperti alasan lama yang sudah sering terucapkan oleh kebanyakan orang dikala terdesak. Biarlah semua terdengar itu seperti dibuat-buat. Biar, biarkan saja. Tetapi, memang itu adanya.
Pikiran dan hatinya beradu kuat dalam diri Amanda.
"Kamu sendiri pernah sekolah?"
Ohh...stop! kenapa terus begini. Bukankah dia ingin menjamah diriku. Sudah cepat lakukan.....Amanda menangis dalam diamnya. Dia menjerit dalam batinya.
Pentingkah pertanyaan itu aku jawab. Aku sudah enggak tahan. Sepertinya, lebih baik aku mati dijurang sana waktu itu, daripada harus menanggung malu seperti ini. Tapi, aku tetap tak bisa diam untuk memberi jawaban.
"Per-pernah Pak." Akhirnya dia memilih untuk menjawab.
"Sampai ditingkat apa?"
Entah apa maksud dari semua ini, dia merasa seperti tersangka yang sedang diintrogasi. Lelah dalam dirinya sudah tak terasa.
Astaga, apa yang dia mau...
Aku sudah enggak tahan...Tolong, tolong lakukan dengan cepat. Lalu, biarkan aku pulang.
Tak henti-henti batinya menjerit keras dalam dirinya. Tak henti-hentinya jiwa bergejolak hebat dalam tubuhnya.
"Di-diploma pak." Kembali lagi, dia berusaha menjawab.
Bos muda berdiri dari tempat duduknya. "What! seriously," ucapnya kagum. "Diploma apa?"
Astaga ada apa dengan orang ini...
Apa dia merasa aneh dengan apa yang didengarnya...
Oh, tidak. Tidaaaaak!!!!
"Perhotelan Pak," balas Amanda.
"Really. I don't belive it." Dia kembali duduk disamping Amanda.
Oh pliss... stop. Usaikan permainan ini.
"Kalo kamu lulusan perhotelan, kenapa kerja di tempat hiburan malam."
Tidakkah dia tahu bahwa aku sedang tertekan. Oh..tidak jangan lakukan seperti anda adalah sahabat saya. Berbicara seolah saya adalah anak anda. Apa yang ingin dia mau sebenarnya...
Apa harus aku yang memulai agar dia paham dan segera melakukan lalu selesai.
Sudah pak..sudah...saya sudah lelah dengan semua permainan ini...
Tak henti-hentinya Amanda melawan gelisah yang bersarang didadanya.
"Saya udah berusaha melamar. Tapi, belum ada yang menerima pak. Dan kebetulan, temen saya mengajak kerja disana."
"Hmm. Begini." Bos muda menatap Amanda.
"Besok, kamu datang kesini. Bawa lamaran kamu lengkap."
Amanda mendadak bingung. "Mak-maksudnya pak."
"Kamu masih mau kerja di perhotelan?" tanyanya.
Apa maksudnya dari ini semua. Bukankah dia mengajak ku untuk bercinta. Tetapi...
Amanda mengangkat wajahnya. Rasa cemasnya seketika hilang.
Kali ini dia berani menatap langsung mata Bos. "Saya ma-mau Pak. Saya mau kerja di perhotelan Pak."
"Nah begitu dong. Wajah cantik kamu jangan disembunyikan terus," godanya.
"Ini kartu nama saya. Besok kamu bisa hubungi saya kembali." Bos muda memberikan kartu namanya ke Amanda. Amanda menerima kartu nama yang diberikan oleh Bos muda. Wajah takutnya berubah menjadi senyum kecil yang manis.
Amanda membaca tulisan-tulisan yang ada dikartu nama yang dipegangnya. Dan dia baru mengetahui, kalau nama laki-laki yang dihadapanya adalah Fandy Erlangga Putra. Direksi utama Hotel AMFA. Hotel yang dimana kini dirinya berada.
"Sekarang kamu pulang. Ini ada sedikit uang untuk pegangan kamu. Urusan Mami cleo biar saya yang urus. Besok kamu jangan telat jam 7 pagi sudah harus ada disni. Karena saya harus memperkenalkan kamu ke Pak Riko selaku manager hotel ini," ujar Pak Fandy.
Amanda menerima segepok uang dalam amplop. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah dialaminya.
"Terima kasih pak. Terima kasih sekali. Bapak orang baik," ucap Amanda bahagia.
"Sama-sama Amanda." Pak Fandy tersenyum.
Amanda kembali pulang diantar kan oleh ajudan Pak Fandy dengan menggunakan mobil yang sama.
Apa, apa maksud semua ini. Apa ini bagian dari rencana Tuhan menjebloskan aku kedalam pekerjaan malam. Pekerjaan yang sampai kakiku berdarah aku kejar, tapi tidak aku dapatkan. Tapi, malah aku dapatkan setelah pertarungan berat dalam hatiku malam ini.
Singguh Tuhan jika mempunyai rencana, datang tanpa terduga-duga. Dia bisa memberinya kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Ya Tuhan. Terima kasih. Engkau menunjukan kebesaranMu untuk hambaMu yang rendah ini. Fahri, kamu bisa sekolah lagi dek. Kakak udah dapet kerjaan seperti keinginan kakak.
Linangan air mata bahagia mengiri suka dalam kepulangan Amanda dari kamar hotel tanpa tersentuh sedikitpun.
Sementara itu, Fandy Erlangga masih didalam kamar yang sama. Berdiri menghadap jendela kaca. Ke arah luar hotel. Menikmati pemandangan malam yang tenang.
Dengan ponsel di telinganya, dia sedang berbicara sama sesorang. "Target sudah saya amankan."
Pembiacaraanpun terputus dan wajahnya senyum puas.
----------- bersambung------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Orinda Hamesty
ribu yttttttttttgguiipppllllllll PBB kaabuuiiuiijuo
2020-09-18
1
Fita Gray
di amankan di mana yak?
2020-08-06
2
Raka Dwi Raffasya
waduh suruhan siapa tuh
2020-08-03
2