Gadis itu memerah matanya. Tatapanya dingin. Kakinya terlihat gemetar. Jantungnya berdebar. Pandanganya kosong.
Angin berhembus kencang menerpa rambut lurus gadis itu. Membuatnya seperti bendera pusaka yang sedang berkibar. Entah apa yang dia ingin lakukan. Yang pasti ini bukanlah tempat yang tepat untuk bermain atau sekedar melepas penat.
Raut wajahnya sangat tegang. Sepertinya, dia sedang marah dengan keadaan.
Amanda, gadis 25 tahun yang berada dalam kebimbangan dan keputus asa-an. Dirinya terpojokkan dari kejamnya kehidupan. Hanya penderitaan dan kekecewaan yang selalu menemani di setiap detiknya.
TUHAN! Apa yang salah dalam diriku!
Jika Engkau menciptakanku hanya untuk luka, lalu kenapa Kau biarkan nyawa ini masih berada di tubuhku? Setiap langkah dalam hidupku, Kau biarkan terasa sakit. Setiap bahagia yang baru sebentar saja datang, Engkau ambil!
Engkau titipkan keindahan dalam diriku. Tapi, Engkau hempaskan kesenanganya! keluh gadis itu.
AKU LELAH. AKU INGIN MENGAKHIRI SEMUANYA!
Rasa sesak diulu hati, memaksanya untuk berteriak dengan tangis yang kuat. Suaranya begitu keras memecah ombak hingga ketengah pusaran gelombang.
Gadis itu sedang mengalami guncangan jiwa yang mendalam.
Bayang-bayang menyakitkan di masa kelam, masih lekat menghantui pikirannya. Dia ingin segera mengkhiri hidupnya. Namun, hati kecil masih menahan untuk tidak mengikuti egonya.
Dia berdiri di permukaan tebing yang menjulang tinggi ke arah bibir pantai. Persis di bawahnya, terdengar suara hempasan ombak menghantam batu-batu karang yang tajam.
Apapun yang jatuh kebawah sudah pasti hancur dan mati.
Air mata mengalir deras melewati celah-celah wajah putih dari gadis itu. Dia masih meratapi dirinya yang tidak bisa menerima takdir Tuhan yang sudah terjadi.
Aku ini bodoh! bodoh! bodoh!
Aku memang tidak sepantasnya hidup!
Dia masih menyalahkan dirinya. Terus dan terus. Hingga larut dalam masalahnya, tanpa sadar ada seorang pemuda dengan rambut ikal. Berbadan tegap. Berdiri persis disebelahnya, melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan.
Raut wajah laki-laki itu terlihat jelas kemarahannya.
Gadis itu hanya memicingkan wajah ketika menyadari kalau dia tidak sendiri.
Aaach kenapa selalu saja ada hal-hal yang menggangguku di saat aku ingin sendiri, gerutunya.
Pemuda itu tidak ingin menghalangi Amanda untuk mengakhiri hidupnya. Karena dia pun sama. Dia sepertinya ingin melakukan hal yang sama dengan Amanda. Sama-sama ingin mengakhiri hidupnya. Mungkin, tempat di mana saat ini mereka pijak, adalah tempat bagi sebagian orang untuk melepas nyawa dari raganya secara paksa. Entahlah. Mungkin.
"Bagaimana, saat aku menghitung sampai 3, kita melompat bersama." Tiba-tiba pemuda itu bersuara. Mengajak gadis yang ada di sebelahnya untuk terjun berdua.
Amanda mengerutkan keningnya. Namun dia tidak menoleh ke arah pemuda itu.
"Jadi, paling tidak aku tidak mati dengan sendiri," ujar pemuda itu dengan santainya.
Hah! siapa orang ini? dia pikir hal itu adalah permainan yang bisa kita ulang dari awal kalau kita kalah, gumam Amanda dalam hati.
"Satu, dua..." Pemuda itu mulai menghitung.
Dengan cepat Amanda memotongnya, "tunggu! tunggu!"
"Kenapa? bukankah semakin cepat akan semakin baik. Kita akan semakin bebas dari beban berat yang kita pikul selama ini," ujar pemuda itu.
Amanda menundukkan pandanganya. Entah apa yang membuat nyalinya sedikit menciut.
"Tap-tapi. Kenapa kamu mau melakukan itu?" tanya Amanda heran.
Pemuda itu membuang nafasnya sebelum dia bercerita, "waktu kecil, ayahku, aku dan adiku sering main ke pantai ini. Berlari di pinggir pantai menemani ayah yang sedang memancing ditengah laut. Sambil menunggu ayahku kembali dari perahu kecilnya, aku dan adikku selalu membuat istana dari pasir. Menjaganya hingga ayah kembali. Tapi, selalu saja istanaku itu hancur sebelum sempat ayahku melihatnya.
"Dan ayahku berkata. 'itulah kehidupan. Tidak ada yang kita bisa pertahankan selamanya. Walaupun sebenarnya, kita sudah berusaha untuk bisa menjaganya dengan kuat. Kita tidak tahu kapan sesuatu itu akan hilang diambil oleh pemilikNya',"
"Lantas apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidup kamu?" tanya gadis itu masih dengan keraguan.
"Seminggu setelah itu, ayahku meninggal karena sakit paru-paru yang dideritanya bertahun-tahun. Adikku, yang saat itu masih berusia 8 tahun tidak kuat merasakan hilangnya sosok seorang ayah. Dan dia mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tempat ini. Tubuhnya hancur, tidak berbentuk."
"Aku sekarang sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Untuk apa aku hidup kalau aku merada Tuhan tidak adil denganku!" pungkasnya.
Hal itu membuat Amanda mengerutkan kening dan membuang nafasnya.
"Apa yah rasanya ketika sampai dibawah sana?" tanya Amanda dengan menatap lurus kebawah.
"Mati. Tapi sebelum mati itu merenggutnya, kita akan merasakan sakit yang luar biasa. Sakit dari pecahnya pembuluh darah kita. Putusnya urat-urat saraf. Sobeknya kulit-kulit ini dan retaknya tulang kepala, kaki dan tangan. Lalu, satu persatu dalam setiap inci kita akan merasakan perihnya nyawa yang keluar perlahan dari tubuh ini," jawabnya.
Rasa ngilu sedikit membuat gadis itu mengerenyitkan kening dan menelan ludah.
Amanda terdiam. Seketika lututnya menjadi lemas. Membayangkan dirinya di bawah sana dengan tubuh yang berserakan dan darah yang bersimbah ruah.
Entah apa yang mendorong pemuda itu untuk bergerak. Tidak ada yang menyuruhnya. Tidak ada yang memerintahkan kepadanya. Ya, hanya keinginan sendiri. Keinginan pemuda itu untuk melangkahkan kakinya perlahan dan maju langkah per langkah menuju ujung dari tebing yang menjulang.
Amanda mulai terpancing nalurinya. Naluri sebagai seorang manusia. Lebih tepatnya, naluri lemah dari hati seorang perempuan.
"Hei! apa yang kamu lakukan!" pekik gadis itu dari tempatnya.
Kali ini gadis itu membuang egonya. Gadis itu mencoba menghentikan tindakan bodoh yang akan dilakukan oleh pemuda tersebut. Mencoba manahan pemuda asing yang tidak dikenalnya. Pemuda asing yang entah dari mana datangnya.
"Memangnya kenapa! bukankah kamu juga ingin melakukan hal yang sama denganku? mari kita lakukan sama-sama," pekiknya. Dan membuat darah Amanda mendesir.
"Stop!" Amanda mengucap dengan pita suara melengking terdengar.
"Kenapa! bukankah, dengan mengahiri hidup kita, kita akan melepas semua beban yang ada. Kita bisa bebas di alam sana. Bukankah, dengan kita mati, kita akan merasakan ketenangan? Hah!" seru pemuda itu. Seakan mendobrak hati Amanda.
Gadis itu menundukkan pandanganya. Kini ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya. Seperti ada yang mengetuk nuraninya untuk tidak melakukan itu.
Niat semula yang ingin mengakhiri hidupnya. Mengakhiri semua cerita-cerita dalam skenario Tuhan. Mengakhiri malam dan siang yang masih panjang. Mengakhiri beban yang menyumbat hingga membuat dadanya sesak. Kini, dia memilih untuk diam sesaat.
"Hah sudahlah. Kalau kamu tidak mau, biar aku yang lakukan sendiri," seru pemuda itu dengan kembali melanjutkan langkahnya.
"Hei! hei!" Dengan cepat Amanda mengangkat wajahnya dan menatap pemuda itu. "Jangan bodoh kamu!" kata gadis itu dengan lantang.
Mendengar ucapan itu, memancing laki-laki tersebut tersenyum sinis. "Kalau aku bodoh, lalu kata apa yang tepat untuk kamu? Bukankah, kamu juga ingin melakukan apa yang akan aku lakukan?" sindirnya.
Bagai anak panah yang menghujam jantung. Tepat di tengah-tengahnya. Menghentikan nafas berhembus. Perkataan itu mengingatkan dirinya untuk apa dia ketempat ini.
Tak berbeda dengan perempuan lain. Ketika masalah menyulutkanya, hanya air mata yang menjadi pelampiasan.
"Aku baru saja kehilangan pekerjaanku. Pekerjaan satu-satunya yang menghidupkan aku dan adiku. Dua minggu lalu, alam mengambil ibuku. Dan kekasihku pergi meninggalkanku setelah tau orang tuaku tidak meninggalkan warisan apa-apa untukku.
"Aku merasa Tuhan tidak adil denganku. Aku dilahirkan hanya untuk menjadi pecundang. Menjadi contoh gagal dalam drama kehidupan ini."
"ITULAH KENAPA AKU MAU AKHIRI SEMUANYAAAAA! AKU SUDAAAH GAAAAK TAHAAAN!"
Pita suara menarik kencang hingga menghasilkan getaran yang kuat. Bersamaan dengan terbangnya burung-burung liar yang sedang mencari makan dipinggiran pantai.
Tubuh Amanda merespon dari perintah otak untuk menggerakan kakinya melompat jauh ke dasar batu. Entah apa yang dipikirkanya. Tapi, hal ini sudah dilakukan.
Amanda sudah melayang. Menggantung bebas di antara puncak tebing dan batu karang. Tapi nasib baik masih berpihak dengannya. Tangan gadis itu berhasil digapai oleh laki-laki di sebelahnya. Yang baru saja berlari cepat mengejarnya.
Sebuah aksi cepat tangkap yang luar biasa. Sangat menggetarkan jiwa.
"Jangan BODOH KAMU!!! Apa yang kamu lakukan!" Perkataan itu berbalik menghujam Amanda. Dimana saat ini, matanya tercengang melihat dirinya melayang di udara.
Mulai terlihat dari raut wajah gadis itu menampakkan penuh ketakutan. Keringat dingin menjulur dari wajahnya yang mulai pucat. Tubuhnya gemetaran. Dan tak kalah juga, debar jantung yang berdetak 3 kali lebih cepat.
"Kalo kamu mati sekarang, kamu tidak akan bisa menolong adikmu. Siapa yang akan merawat adik kamu. Adikmu juga sudah kehilangan orang tuanya. Dan kamu bisa bayangkan, kalau dia mendengar kakaknya juga mati mengenaskan, hah!"
Mendengar hal itu, Amanda baru sadar kalau tindakanya salah. Dalam posisi yang sulit antara hidup dan mati, pikiranya baru terbuka.
"Sekarang, bantu aku menyelamatkan kamu. Karena aku tidak mau menjadi pembawa berita kematianmu kepada adikmu!" seru pemuda itu dengan tenaga yang hampir habis karena menahan berat dari tubuh Amanda.
Segala cara untuk bertahan dilakukan. Amanda mencoba menapakan kakinya di celah bebatuan dari tebing ini.
Tanpa rasa lelah dan putus asa, pemuda itu dengan sekuat tenaga menarik tubuh Amanda naik keatas.
Gadis itu mengikuti semua perkataan sang penyelamatnya.
Angin di atas tebing ini sangat dashat berhembus. Membuat tubuh sulit mendapatkan nyamanya. Pemuda itu sangat kewalahan menarik tubuh Amanda sampai ketempat semula.
Namun, memang takdir masih menyelamatkan gadis malang pemilik wajah cantik itu. Akhirnya, dengan susah payah dan perjuangan yang besar, pemuda itu berhasil menyelamatkannya.
Mandi keringat dan deru nafas yang berat di alami keduanya. Detak jantung berdebar kencang layaknya gendang yang sedang berdendang
"Hehahh...huhhh...heahh..." Pemuda itu mengatur nafasnya yang hampir habis.
Amanda terbaring lemas di atas tanah permukaan tebing dengan menatap awan yang tersenyum kepadanya. Dia masih mengatur pola nafas yang sudah berantakan.
Setelah merasa nafasnya kembali, pemuda itu mengangkat tubuhnya hingga terduduk. Lalu, mengambil sebatang rokok kemudian menghisapnya. Dia melihat Amanda yang masih terbaring lemas kehabisan nafas disebelahnya. Tanpa ragu dan basa basi dia berjalan pergi meninggalkan Amanda yang masih mengumpulkan oksigen masuk keparu-parunya.
"Hei...Tunggu!" tegur Amanda.
Melihat sang penyelamat melenggang begitu saja, hatinya terketuk untuk mengehentikannya. Amanda mencoba mengangkat tubuhnya untuk berdiri. "Hei! Terima kasih," ucapnya.
Tak ada balasan kata hanya lambaian tangan yang menjadi jawaban atas ucapan Amanda.
Lebih dari dua hisapan rokok, Amanda kembali berseru kepadanya, "aku belum tau nama kamu! Aku Amanda. Amanda raflesia."
Sambil terus berjalan pemuda itu berkata, "nama aku Raka. Terus lanjutkan hidupmu dan jangan pernah kembali ketempat ini lagi." Jari telunjuk pemuda itu diacungkan ke atas dan digerakan sedikit ke kanan kiri.
Benar-benar laki-laki aneh, bicara sambil berjalan tanpa menghiraukan perempuan cantik dibelakangnya.
Amanda tersenyum. Dia masih melihat kearah Raka hingga Raka hilang dari pandanganya.
-------------
Bersambung
Hari ini aku harus mendapatkan pekerjan lagi. Demi masa depan Fahri. Dia harus melanjutkan sekolah. Aku harus berjuang. Harus!
Langit sepertinya mengerti dengan perasaan Amanda. Dia memerintahkan awan untuk berkumpul tepat diatas kepala Amanda. Melindungi dari sinar matahari yang panas menyengat.
Disini, ditanah ini, dipemakaman ayah bundanya, Amanda berjanji untuk tetap bertahan hidup. Taburan bunga dan air mata menyertai luka pilu mendalam seorang Amanda.
Tak kuasa menahan gejolak rindu dihati melihat kedua orang tuanya berada jauh dialam sana. Hanya sebait doa yang bisa dia sampaikan lewat lantunan yang terucap.
Amanda Raflesia, kini memulai hidup yang baru.
"Yuk dek. Kita pulang."
Berjalan melewati setapak tanah diantara makam, Amanda merangkul adiknya. Meninggalkan kediaman abadi kedua orang tuanya. Meninggalkan tanah yang menjadi tempat kembalinya seluruh manusia suatu saat nanti.
Tapi, Amanda tidak meninggalkan duka yang berkepanjangan. Tidak meninggalkan tangis yang terus meratapi kepergian orang tuanya. Karena dia masih mempunyai Fahri yang masih berusia 13 tahun dan hanya berharap kepada kakak satu-satunya ini.
Kisah lama yang jika dibuka akan menyakitkan. Kisah dimana Amanda lahir dari keluarga besar dan bahagia. Pernah merasakan hidup mewah dan penuh kesenangan. Tapi, setelah musibah menimpa ayahnya kehidupan Amanda berubah menjadi tak menentu.
"Kak, sekarang kita mau tinggal dimana?"
Ya, itu salah satunya. Pertanyaan yang sekarang mengganggu dibenaknya. Amanda juga sebenarnya tidak tau. Tapi, demi menjaga perasaan adiknya mau enggak mau dia terpaksa berbohong.
"Hmm...udah ayo ikut aja. Kakak mau kasih surprise untuk kamu," tuturnya berusaha menghibur.
Entah dari mana ucapan itu bisa keluar dari mulut manisnya. Entah dari mana kata-kata itu bisa yakin dia lantunkan. Tapi, Amanda hanya berpegang pada keyakinan Tuhan dan dirinya.
"Wah yang bener kak. Kita punya tempat tinggal lagi," balas Fahri senang.
Amanda tersenyum. "Iya dong."
Dia memeluk adik kecilnya. Didalam pelukan itu Amanda menangis. Dia menangis karena tidak tahu harus membawa adiknya kemana.
"Tapi, sebelumnya kamu harus temenin kakak dulu."
"Kemana kak?" Fahri penasaran.
"Udah kamu ikut aja, mau kan?"
Fahri tersenyum dan bersemangat. "Mau kak."
Dengan bermodalan ijazah D3 perhotelan, Amanda keliling perkantoran hotel, mencari kerja. Berharap, dia bisa mendapatkan pekerjaan agar bisa melanjutkan hidupnya dan adiknya.
Berharap, dia bisa mengakhiri penderitaan yang dialaminya saat ini. Ya, cuma sekedar angan-angan. Ternyata hasilnya jauh dari apa yang diharapkan.
Sudah beberapa gedung perkantoran dia datangkan mencoba untuk melamar pekerjaan. Tapi, belum satupun yang menanggapi lamaranya.
Belum satupun secercah harapan itu muncul. Sedangkan Hari semakin siang dan matahari semakin mengeluarkan sinarnya yang terik.
Tidak ada harapan sepertinya. Rasa kecewa terlihat diwajah gadis belia nan elok dipandang mata itu.
"Kak, aku laper...," keluh Fahri lirih sambil memegang perutnya.
Amanda membuka tas dan mengeluarkan dompet didalamnya. Mencari sisa-sisa rupiah yang ada.
Cuma 60 puluh ribu. Bagaimana bisa aku dan Fahri bertahan dengan uang segini. Ya Tuhan. Tolong kami, keluhnya membatin.
Walaupun harus meminta, mengemis atau menjadi pekerja kasar, apapun akan dia lakukan. Demi adik kecil yang enggak boleh kelaparan. Amanda tidak mau mengecewakan adiknya.
"Ya udah yuk kita makan."
Setapak demi setapak dilalui. Gang lewat gang dimasuki. Hingga sampai dijalan besar mereka menemukan tempat makan. Persis diujung jalan terlihat sebuah warung makan sederhana.
"Kita makan disana yah dek."
"Iya kak."
Warung nasi sederhana yang memang sesuai namanya. Dengan tampilan seadanya, sangat sederhana sekali. Dimana kebanyakan adalah sekumpulan supir-supir didalamya yang sedang meikmati hidangan yang ala kadarnya.
Sempat dia merasa ragu masuk ke dalam warung itu. Karena mata-mata supir memandang genit ke dirinya. Melihatnya dari atas sampai bawah. Layaknya perempuan malam yang berdiri didepan tamu dan siap untuk dijamah bersama.
Rasa tidak nyaman sudah mulai mengganggunya dengan situasi ini. Tapi, karena uangnya hanya cukup untuk makan ditempat ini, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
Duduk dikursi kayu panjang bersama Fahri, Amanda hanya memperhatikan adiknya yang sangat lahap menyantap nasi dan telur bulat. Sedangkan dia sendiri hanya memesan segelas es teh manis untuk mengganjal perutnya.
Itu dilakukan karena Amanda harus berhemat dengan uang yang dia miliki. Yang tidak seberapa demi menjaga adiknya agar tidak kelaparan.
AMMM....JELB...
Nasi terakhir sudah habis dikunyah Fahri. Sudah masuk kedalam lambungnya yang gendut.
Dan Merekapun selesai mengisi perutnya yang hanya bertahan untuk beberapa waktu saja. Entah bagaimana dengan nanti. Dengan malam yang akan mengundang lapar yang amat sangat karena angin yang dingin.
"Makasih, Bu." Pembayaran untuk nasi dan telur bulat serta es teh manis selesai. Kemudian, mereka meninggalkan warung dan supir-supir genit itu.
Fahri memegang perut gendutnya yang sudah terisi penuh dengan nasi dan telur bulat. "Kak, aku udah kenyang." Amanda hanya tersenyum dan mengelus pipi cabi adiknya. "Iya sayang. Ya udah sekarang temenin Kakak lagi ya."
Kembali lagi berjalan, mencoba untuk mengadu nasib dengan mengandalkan Ijasah lama.
Setelah berjalan beberapa langkah, terlihat seorang perempuan dengan menggunakan baju seksi berdiri di pinggir jalan. Nampak seperti orang yang sedang menunggu Taxi yang ingin ditumpanginya.
"Kak, itu bukanya temen sekolah kakak dulu," tukas Fahri sambil menunjuk ke arah perempuan itu.
Angin surga sepertinya sedang menyibak rambut Amanda. Dia langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh adiknya. Selintas diingatanya, Amanda langsung mengenali siapa yang di maksud adiknya.
"Andin. Andin!" panggil Amanda dari kejauhan.
Merasa ada yang menyebut namanya, perempuan yang baru saja diteriaki oleh Amanda, menoleh ke arah suara yang memanggil namanya itu.
Dari kejauhan, perempuan yang bernama Adin masih samar-samar mengenali sosok yang memanggilnya. Dia berusaha menegaskan siapa yang sudah memanggil namanya.
Tak lama kemudian, dia baru menyadari kalau itu adalah Amanda sahabat sekolahnya dulu.
Dengan sedikit ragu dia menyapa. " Amanda!"
Ketika sudah dipastikan benar, Amanda melangkah cepat menghampiri Andin sambil menggandeng adiknya.
Seperti bertemu cincin yang hilang ditengah gurun pasir, mata Amanda memancarkan sinar kebahagian. "Astaga. Andin."
Balasan yang sama juga disampaikan oleh perempuan ini. "Amanda. Amanda Raflesia."
"Iya. Ini aku Amanda. Temen sekolah kamu, Ndin."
Dua merpati saling bertemu, dua sahabat saling memeluk. Entah bagaimana, mereka saling meluapkan rasa rindu.
"Gak nyangka udah lama banget enggak ketemu. Bisa ketemu disini," seru Amanda berlinang bahagia.
"Ya ampun Amanda. Aku hampir enggak ngenalin kamu. Ini si Fahri. Fahri yang waktu itu masih kecil?" Andin mencubit pipi Fahri.
"Iya," Fahri menimpali.
Andin dan Amanda adalah sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Andin berpisah dengan Amanda sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat pertama. Saat itu, Andin diajak orang tuanya pindah kesuatu tempat.
"Kamu tinggal dimana sekarang, Nda? Terus kamu mau kemana bawa tas sampe dua begini?"
Pertanyaan serupa yang masih melayang-layang dibenaknya. Mungkin, dengan Fahri dia bisa berbohong. Tetapi, dengan Andin dia tidak bisa menutupinya. Itu yang membuat Amanda diam tak bisa menjawab.
Andin sangat peka melihat mata Amanda yang sayu. Dia mengetahui dan kenal betul kalau sahabatnya sedang dalam masalah. Karena kedekatan mereka sewaktu sekolah dulu.
"Ya udah. Aku hari ini izin kerja dulu deh demi sahabat lama yang satu ini," ujar Andin sambil mencubit lembut pipi manis Amanda.
"Eh..eh..gak usah. Kamu kerja aja Ndin," tolak Amanda.
"Udah...mampir ke tempatku."
"Aa....akkk...aku-." Andin memotong ucapan Amanda. "Udaah hayuk." Kemudian, dia menarik tangan Fahri.
Dalam selimut tali persahabatan, Andin sama sekali tidak berubah. Bahkan, Andin yang menggandeng tangan adiknya Amanda dan mengajak Fahri berbincang ria menuju singgasananya.
"Fahri udah makan sayang?"
"Udah Kak. Baru aja."
Oh Tuhan...dalam lunturnya semangatku hari ini, Engkau tunjukkan kebesaranMu dengan menyentuh sedikit rasa bahagia dihatiku, bertemu sahabat yang sudah lama tidak aku jumpai..., syukur terucap dalam hati Amanda.
"Nah. Ini tempatku sekarang, Nda," seru Andin ketika sudah berada ditempatnya.
Mata terpana melihat sebuah bangunan bertingkat dihadapanya. Sebenarnya, bukan hal yang baru untuk Amanda melihat itu. Tetapi, dia hanya tidak menyangka kalau sahabatnya bisa menempati tempat semewah itu.
Iya, Andin menyebutnya apartemen.
Andin yang dikenalnya dulu adalah anak yang lahir dari keluarga yang sangat-sangat sederhana.
Tidak meremehkan, tetapi itulah kenyataanya. Rasa kagum dan senang terpancarkan dari bola mata yang indah membinar dipenglihatanya.
Rasa kagum dan bangga terhadap sahabatnya.
Andin menyangkutkan tas bermerk mahal di gantungan sebelah lemari bajunya setelah sampai diruangan apartemenya.
"Kamu tinggal sendiri disini, Ndin," ungkapnya kagum
Sambil menyiapkan minuman dingin di area dapurnya, Andin menjawab, "Iya. Aku udah lumayan lama pindah kesini."
"Tempat kamu enak banget Ndin. Bersih dan nyaman," pujinya.
"Lalu, orang tua kamu dimana Ndin?"
Bagai petir yang menyambar, pertanyaan basa-basi bagi semua orang menanyakan kabar orang tua dari sahabatnya, itu adalah hal biasa. Tetapi, buat Andin itu sama saja membuka luka lama.
"Ayahku udah nikah lagi sama janda anak satu. Mereka bertemu di club malam dan ibuku entah dimana sekarang. Sejak ayahku kawin lagi dan tinggal sama istri barunya, aku enggak betah dirumah. Ibu juga sudah enggak pernah ngabarin aku. Ya udah, aku memutuskan untuk tinggal sendiri".
"Oh-oh. Maaf, Ndin..."
Andin berjalan membawa minuman dingin ke sofa yang diduduki Amanda dan Fahri. "Enggak apa-apa. Ini minum dulu."
Amanda mengambil minuman dari tangan Andin. "Makasih, Ndin."
"Makasih, Kak Andin," Fahri menimpali.
" Terus bisa sampai punya tempat sebagus ini bagaimana ceritanya, Ndin?"
Setelah menghela nafas, dia bercerita tentang dirinya beberapa waktu silam dari A sampe Z.
"Ya ampun Andin...segitunya kah..."
Ternyata...bukan aku aja yang merasakan pahitnya hidup, lirihnya dalam hati.
"Ya begitulah aku sekarang, Nda." Andin mengakhiri ceritanya.
Andin sahabat yang dulu dikenalnya sangat lugu dan pemalu kalau bertemu laki-laki. Bahkan dia sampai berkeringat. Namun, sekarang dia bekerja di dunia malam. Hidup memang keras. Tidak memandang itu siapa.
"Kalau kamu sendiri gimana, Nda. Kerja apa kamu sekarang?"
Benak yang sudah hampir kosong kini terisi lagi dengan pertanyaan kedua yang entah bagaimana menjawabnya.
Amanda menoleh ke Andin. Matanya lembut menatap. Siap melepas butiran-butiran air yang tertahan sementara dikelopak mata.
"A-ku enggak kerja, Ndin." Dengan gugup dia menjawab.
"Orang tuaku sudah meninggal." Rasa pilu diulu hatinya memancing air matanya menetes.
Tak badai yang tak berlalu. Pertemuannya dengan Andin sudah diatur sama Yang Maha kuasa. Akan ada hikmah dalam setiap masalah. Pesan dari sang pencipta untuk mahklukNya yang lemah.
Bukan tanpa alasan Andin bertemu dengannya. Bukan tanpa tujuan Tuhan menggiring langkah Amanda kewarung sederhana.
Bukan juga Andin yang melihat sahabatnya sedang terguncang, dia tidak akan peduli kepadanya.
"Mau lagi jusnya, Nda?"
Amanda menggelengkan kepalanya.
Walaupun hanya sebatas bantuan kecil yang saat ini dia bisa lakukan. Tetapi Andin, tetaplah tulus membantu Amanda. "Kamu mau kerja kayak aku, Nda?"
Pertanyaan bodoh yang terucap dari mulut seorang Andin. Iya, bodoh, tapi itu dari hatinya. Hati yang ingin sekali membantu sahabatnya untuk bisa bangkit dari keterpurukanya.
Bukan maksud Andin menjerumuskan sahabatnya, tapi saat ini, hanya itu pekerjaan yang bisa ditawarkan. Menginggat Andin juga terlibat dalam pekerjaan itu. Lain halnya, jika Andin adalah seorang direksi utama dari sebuah perusahaan. Pasti dia akan menawarkan Amanda menjadi manager keuangan.
Seketika Amanda langsung tersendak minumanya.
"A-apa! Aku. Enggak. Aku enggak mau ah, Ndin."
Sifat manusiawi yang terjadi dalam diri Amanda. Bagaimana dia tidak terkejut mendengar pertanyaan konyol dari sahabatnya, sedangkan dia sendiri masih sangat menjaga dirinya tetap suci.
Walaupun, Amanda pernah bermadu kasih, dia tidak pernah ternodai.
Andin membelai rambut Amanda dengan jarinya. Berusaha terus meyakinkan sahabatnya.
"Amanda. Amanda sayang. Kalo kamu kerja kayak aku, kamu akan mendapatkan penghasilan besar.
"Kamu sama Fahri akan bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Bisa beli apartemen dan apapun yang kamu mau. Kamu bisa dapatkan," tuturnya sangat apa adanya.
"Uangnya banyak Nda. Kerjaan kamu hanya duduk manis. Misalkan ada tamu yang ngajak kamu tidur, kamu tinggal layanin. Tinggal pasrah. Telentang. Palingan 10 menit selesai. Terus terima uang. Enak kan," rayu Andin.
Amanda diam menundukan pandangnya. Mendengar sahabatnya sangat pandai bersilat lidah, pikiran dan hatinya mulai tidak sejalan.
Jelas dari lubuk hati yang sangat dalam dia menolak. Tetapi, pikiranya bisa menerima lantaran tuntutan hidup. Tuntutan yang harus bisa dipenuhi setiap harinya. Dan juga, dia masih mempunyai adik kecil yang harus tetap bertahan. Harus melanjutkan sekolahnya. Sungguh keputusan yang sulit untuk saat ini ditentukan.
Amanda berada dalam perasaan dilema yang mendalam. Dia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ijazah D3nya tidak memberikan hasil apa-apa.
"Ya udah. Kamu pikirkan aja dulu baik-baik. Sementara itu, kamu sama Fahri tinggal disni aja dulu sampai kamu memutuskan mau bagaimana kedepanya," cetus Andin menyarankan.
Angin segar kembali berpihak padanya, apa yang menjadi kejutan untuk adiknya, dia tidak usah repot-repot lagi mencari alasan untuk mewujudkan. Tetapi, Amanda bukan perempuan yang senang menerima bantuan begitu saja.
"Enggak, Ndin. Makasih. Aku jadi merepotkan kamu, Ndin. Enggak apa aku cari tempat tinggal sendiri aja," tolaknya.
Demi persahabatan dan juga rasa kasihan, Andin mencoba untuk merpertahankannya. "Amanda. Kamu tinggal sendiri itu mahal. Kamu sendiri kan bilang belum kerja.
"Aku enggak merasa direpotkan, Nda. Dulu jaman masih sekolah, kamu juga sering bantu aku untuk bisa jajan dijam istirahat. Kamu yang selalu kasih aku uang supaya aku enggak malu sama temen-teman karena enggak ikutan jajan."
Tak ada harapan lagi sepertinya untuk Amanda berkelit. Dia memang membutuhkan tempat tinggal sementara. Mengingat Fahri yang pasti tidak akan tahan dengan angin malam, hujan dan panas diluar sana.
"Tapi, Ndin..."
"Udah. Enggak ada tapi-tapi. Kamu harus disni sama Fahri," paksa Andin.
Tawaran yang memang bukan basa-basi belaka. Yang kebanyakan manusia melakukanya. Kebanyakan manusia yang enggan menolong sesama. Tapi, tidak dengan Andin. Dia benar-benar menolong. Benar-benar memaksa bukan karena Amanda akan membayarnya suatu saat kelak dan menjadi pemasukan sampingan untuk Andin. Tidak, Tidak seperti itu. Andin menolong karena hati yang kuat dari persahabatan yang terikat tulus sejak lama.
Itu terbukti dengan Andin membawa tas Amanda kedalam kamar. Dia benar-benar melakukanya. Berbagi ruang dengan Amanda ditempatnya.
"Ini kamar kamu sama Fahri. Sebelahnya kamar aku. Lagian, aku butuh temen. Aku udah lama sendirian. Hidup sendiri gak enak, Nda."
Tak ada kata yang pantas untuk diucapkan kepada sahabatnya itu saat ini. Tidak juga hanya dengan kata 'terima kasih.'
Yang Amanda lakukan adalah menghampiri Andin lalu dia memeluknya. Memeluk erat sahabat yang sudah menjadi malaikat penolongnya. Setelah malaikat sebelumnya hilang entah kemana.
"Andin. Makasih yah sudah mengizinkan aku tinggal disni. Nanti kalau aku sudah ada uang, aku akan cari tempat tinggal sendiri."
Sikap peduli Andin kepadanya, kembali mendobrak rasa didalam hati Amanda. Dobrakan yang sangat keras sehingga meluapkan air mata yang jatuh dengan sangat deras.
Tangan lembut Andin mengusap air yang sering mengalir dari dua bola mata yang indah. Bola mata yang dimiliki Amanda.
"Kamu enggak usah mikirin itu, Nda. Aku dulu banyak berhutang budi sama kamu, sama keluarga kamu. Keluarga kamu sudah banyak menolong aku, Nda. Sekarang, giliran aku membalasanya."
"An...diiin...." ucap Amanda terharu.
"Udah ah. Jangan nangis. Hilang nanti cantiknya," ledek Andin.
Pertarungan seru dua perasaan haru sudah diluapkan dengan akhir yang bahagia. Amanda sudah mendapatkan jawaban sementara dari pertanyaan adiknya dimakan ayah bunda tercinta tadi siang.
"Hi Fahri. Kak Andin ada sesuatu buat kamu. Yuk sini ikut," ajaknya.
Sebagai anak kecil yang baik dia akan mengikuti apapun yang dikatakan kakaknya, termasuk Andin yang sekarang menjadi kakak keduanya.
Fahri mengikuti Andin kekamarnya. Dia menggit jari setelah tau apa yang diterimanya. "Waooo. Mainan. Makasih ya Kak Andin," ucapnya senang.
Andin membelai rambut Fahri dengan lembut. "Sama-sama sayang."
Air hangat dikamar mandi Andin mengundangnya untuk menyegarkan tubuh Amanda. " Ndin, aku numpang mandi yah. Badanku gerah."
"Iya Nda. Handuknya ada dilaci gantung ya. Didalam kamar mandi."
****
Dalam ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Ruang yang tertata indah jauh dari angan-angannya. Mengingat sebelumnya hanya menyewa kontrakan kecil yang terlintas sejak dipemakaman ayah bundanya.
Baginya, bagaikan anak hilang yang diundang masuk kedalam istana kerajaan dan tidur beralaskan kasur yang empuk serta kain alas penutup yang sangat lembut.
Tidak ada sedikitpun melintas dipikiranya untuk bisa berbaring santai seperti ini sebelumnya.
Ya, dikamarnya, kamar baru yang baru saja ditempati karena pemberian dari sahabatnya. Membayar semua rasa lelah yang bergerumun hebat ditumbuh Amanda.
Entah bagaimana cara berucap syukur kepada yang Maha Kuasa. Entah bagaimana meluapkan rasa bahagia yang saat ini dia rasakan.
Amanda benar-benar mendapatkan angin surga yang menghantarkannya melangkah dari warung nasi sederhana hingga keapartemen yang mewah.
Satu masalah sudah bisa diatasinya. Tapi, hidup bukan hanya tidur saja. Dia butuh sesuatu yang lain untuk bertahan dihari esok.
Dia masih harus mencari pekerjaan yang bisa menjadi penopang hidupnya dan Fahri dikemudian hari.
Penawaran dari Andin masih belum diputuskannya. Pekerjaan yang akan membuat dirinya hina. Ya, sebagian menganggapnya begitu. Tapi, sebagian lain mereka bangga dengan profesi kerjanya.
Karena dari sanalah mereka bisa menafkahi keluarga dan orang-orang kesayangan. Tidak peduli halal atau haram, karena buat mereka yang penting perut kenyang.
Tidak dengan Amanda. Dia harus melawan keras hatinya untuk bisa menerima kenyataan bahwa itu adalah pekerjaan satu-satunya yang bisa dia dapatkan.
Tidak mudah untuk seorang Amanda memutuskan perkara itu dengan cepat. Apalagi mengingat cerita Andin yang harus rela kehilangan kehormatannya karena peristiwa dimalam pertama dia bekerja.
Resiko besar yang harus Amanda ambil untuk menerima pekerjaan yang sahabatnya tawarkan. Tetapi, tidak ada jalan lain kecuali menerimanya.
"Aku harus menerima pekerjaan ini atau tidak. Ya Tuhan. Tolong aku."
Disaat gejolak yang membuat hatinya berkecamuk, dia menoleh keadiknya yang masih asik dengan mainan baru.
"Kamu seneng yah Dek?"
Fahri hanya melempar senyum lebar dipipi cabinya.
"Kak. Kak Andin baik yah. Dia kasih mainan ini untuk aku," oceh Fahri senang.
Dalam rona diwajah adiknya, dia tahu betul kalau Fahri sedang bahagia. Bahagia untuk selamanya atau sementara, itu tergantung Amanda yang menentukan.
Tidak ada kepalsuan dalam senyum Fahri. Iya, dia sangat menikmati kebahagian yang meliputi hatinya saat ini. Kebahagian yang hampir saja pupus jika Tuhan tidak mengirimkan Andin bertemu denganya. Kebahagian yang akan sirna jika saja Tuhan tidak menetapkan hati Andin untuk menahannya.
"Tapi, kenapa Tuhan hanya memberikan satu pilihan untukku bekerja."
Entah apa rencana Tuhan, dia tidak pernah tau. Tidak juga Andin atau bahkan Fahri sekalipun akan tahu. Memang jalan cerita Tuhan selalu terlihat sangat menyakitkan. Tetapi, jika diikuti dengan hati akan berakhir dengan manis.
Memang, hidup bukanlah sebuah cerita yang dibuat oleh manusia layaknya sebuah skenario film yang akan selalu indah untuk setiap pelakon utamanya diakhir cerita. Tapi, suka enggak suka Amanda harus menerima takdir yang sudah ditetapkan Tuhan kepadanya.
"Kak. Tidur yuk. Fahri ngantuk."
Amanda mematikan lampu kamarnya. Dia memeluk Fahri sambil berbaring. Malam pertama dari hidupnya yang baru, Amanda merasakan tubuhnya lelah.
Iya. Aku harus kerja. Sementara aku belum dapat pekerjaan lain, tawaran dari Andin aku harus terima. Demi masa depan Fahri, batin Amanda.
Malampun semakin larut. Memperlihatkan keindahan Maha karya dari sang Pencipta. Sinaran bintang membuktikan kesempurnaan ketika gelap datang dan melengkapi langit ketika tidak ada sinar mentari.
Sebuah perpaduan saling melengkapi dalam kekurangan.
Alam mencontohkan pribadinya akan ada terang sehabis gelap. Akan ada putih setelah hitam. Akan ada hasil setelah proses yang dilewatkan.
Begitupun kehidupan Amanda. Akan berakhir indah atau sebaliknya tergantung dia yang menentukan.
Keesokan harinya, mentari sudah bertugas seperti biasa dari perintah sang Maha kuasa untuk menampakan wujudnya.
Dengan petimbangan yang matang dan harus melawan hati nurani, Amanda sudah mempunyai keputusan. Bersama Andin duduk disofa sambil menikmati sarapan ringan.
"Ndin. Aku coba ikut kamu ya."
Mendengar itu, seperti melihat bintang disiang hari, Andin tidak percaya. Dia tidak percaya kalau seorang Amanda mau menerima penawaran konyolnya. Perkataan yang begitu saja terlontar asal dari mulutnya. Karena kepolosan hati yang iba melihat keterpurukan sahabatnya.
Dia segera menoleh cepat ke arah Amanda yang berada di sampingnya.
"Kamu serius!"
Tak ada pilihan buat Amanda. "Iya. Aku serius. Kenapa memangnya?"
Tidak ada penawaran lain untuknya bisa menolak. Pilihan yang harus diambilnya. Ya, harus. Cerita panjang akan dimulai hari ini.
Cerita tentang Amanda yang akan merubah warna hidupnya. Merubah dirinya dari yang tidak biasanya. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kepada orang tuanya disurga sana.
Biarlah semua aku yang tanggung akibatnya. Semoga keputusan aku benar, ya Tuhan, gelisahnya dalam hati.
Setelah malam ini, mungkin namanya masih Amanda. Tetapi, tidak dengan dirinya. Amanda adalah gadis manis yang sangat menjaga prinsip dalam hidupnya. Sangat menjaga kesucian dalam kehormatannya.
Tapi, tidak dengan malam ini. Mungkin saja malam ini dia akan kehilangan semuanya. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang telah lama dia jaga.
Amanda merelakan semua demi masa depan adiknya. Sebuah itikad yang baik dari seorang anak manusia. Walaupun cara yang ditempuhnya salah.
Sore ini Andin akan mengajak Amanda pergi ketempat kerjanya bertemu dengan Mami Cleo. Begitulah kebanyakan orang yang memanggilnya. Entah siapa nama aslinya.
Tidak ada mami yang menjual anaknya. Tetapi, berbeda dengan Mami yang satu ini. Dia adalah penyalur perempuan untuk para laki-laki penggila hasrat.
Didepan cermin Amanda masih mematung diri. Melihat dirinya yang bukan dia sebenarnya. Melihat bayang-bayang dalam kehidupan yang akan dijalaninya setelah malam ini. Iya, Amanda akan menjadi gadis cantik milik bersama. Gadis cantik yang akan bisa dinikmati laki-laki hidung belang. Gadis cantik yang akan membiarkan tubuhnya terjamah dari laki-laki yang tidak pernah punya rasa cinta kepadanya. Label itu resmi akan dia dapatkan ketika dia menginjakkan langkah pertama ditempat itu.
"Ndin. Kamu yakin. Pakaian aku terlalu terbuka begini," ucapnya gelisah.
Dia masih berdiri didepan kaca dan melihat dirinya seperti seorang model majalah panas yang siap difoto.
Melihat sahabatnya murung dan cemas, Andin mendekatinya dan menatap cermin bersama. Dia membelai rambut Amanda dengan lembut penuh kasih sayang. Tidak ada sedikitpun hati kecilnya menginginkan Amanda mengalami apa yang dia alami. Tapi, sekali lagi, tidak ada pilihan untuk Amanda saat ini.
"Nda. Kita bekerja didunia malam, bukan diperkantoran. Dengan penampilan kita yang seperti ini, para tamu pengunjung akan lebih memperhatikan. lagipula, tempat kita bekerja menuntut penampilan untuk lebih meng...go...da."
Sedikit ceramah dari sahabatnya membuat Amanda kembali menghela nafasnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akan bekerja seperti ini. Dan berakhir dimalam yang panjang dengan pria-pria dalam ranjang.
"Kamu cantik, Nda. Cantik sekali," pujinya.
Sebatas pujian penyemangat untuk hatinya yang gelisah. Tapi memang benar, Amanda sungguh Maha karya Tuhan yang sangat indah.
Bagaimana tidak, Amanda diberkati kulit yang putih dan mulus tanpa noda. Rambut lurus panjang bak bintang iklan sampo. Pipi agak kemerah-merahan dengan lesung yang dalam, menyempurnakan senyumnya yang semakin manis. Amanda dianugerahi juga dengan gigi tertara rapih diantara sela-sela mulutnya. Dan bola mata yang bulat serta alis yang tebal.
Semua yang ada dalam dirinya akan membuat wanita lain iri kepadanya.
"Ya udah yuk berangkat. Mami udah nunggu. Kita mulai kerja nanti jam 7 malam. Tapi, sebelum itu biasanya mami akan mengarahkan kita dengan celotehan-celotehanya. Dan juga sebagian perempuan lain memaanfatkan waktu untuk merias diri sebelum bekerja."
Dengan langkah berat, Amanda terpaksa mengikuti sahabatnya. Dalam rasa bimbang dan penuh kecemasan dia terpaksa harus segera keluar dari kamar ini.
Diruang tamu dia melihat Fahri yang sedang bermain. "Dek. Kak Andin sama Kak Amanda berangkat kerja dulu ya. Kalau Fahri mau makan atau cari sesuatu, Kak Andin sudah siapkan semuanya dikulkas dan meja makan. Mmuaaacchh." Andin mencium Fahri kemudian disusul Amanda mencium Adiknya.
Tanpa rasa bersalah Fahri mengizinkan kakak-kakaknya pergi. Itu karena dia masih kecil. Dia belum tau apa-apa soal kehidupan malam. Dia belum tau bagaimana caranya melindungi kakak perempuanya. Ya, Fahri belum tau bagaimana menahan berat dalam hidup. Saat ini, dia hanya tau bagaimana cara makan dan bermain.
Itu saja sudah Amanda syukuri. Karena, mengingat Fahri 8 tahun yang lalu hidup penuh kecukupan. Dia pasti masih ingat bagaimana rasanya diantar sekolah dengan mobil mewah. Dia pasti masih ingat bagaimana rasanya makan diresto mahal. Dia juga pasti masih ingat bagaimana rasanya berlibur keluar negri.
Itu masih Amanda syukuri. Fahri tidak menuntut hidupnya kembali seperti dulu. Fahri tidak menutut harus tidur dikasurnya lagi. Fahri tidak menunutut harus pergi kenegri dongeng setiap bulannya. Itu saja sudah Amanda syukuri.
Sudah sampai dilobby apartemen dan mereka pergi menuju tempat kerja dengan menggunakan taxi.
Beberapa jam perjalanan, mereka sampai ditempat tujuan. Dada Amanda mulai berdebar ketika melangkahkan kaki ditempat yang masih sepi ini.
Tidak akan mungkin lagi untuk bisa kembali melangkah pulang. Perasaan takut harus dilawannya dengan kuat. Mereka lanjut menaiki lift menuju ruangan dimana tempat berkumpulnya para wanita pengumpul rupiah sedang berias diri.
Sebuah pintu sudah didepan mata. Pintu yang terlihat biasa bagi mereka yang sudah terbiasa. Tapi tidak dengan Amanda. Pintu itu bagaikan aksesnya untuk menuju neraka.
TOK...TOK...
Pintu neraka sudah terbuka bagi Amanda. Dia tidak bisa lari dari belenggu yang akan mengikatnya nanti.
Beridiri dihadapanya perempuan setengah matang yang mereka panggil Mami Cleo, sudah berada didepan pintu.
"Mammmiii....," sapa Andin dibarengi cium pipi kanan kiri dan kemudian, Andin masuk kedalam ruangan mengikuti Mami.
Para penghuni neraka terlihat jelas dimata Amanda. Mereka sedang mempercantik diri didepan kaca. Membuat darah Amanda semakin dingin.
Sudah biasa sepertinya Andin. Dia berjalan santai melenggang dan menyapa teman-temanya diruang ini. "Hai. Hai ladies. Sudah pada siap beraksi malam ini."
Amanda, dia masih menunggu diluar, didepan pintu. Hatinya merasa takut dan pikiranya terbang entah kemana.
Dari meja Mami Cleo, dia menatap Amanda penuh tanya. "Sapose itu. Orang baru?" tanyanya kepada Andin.
"Bentar Mam." Andin segera menghampiri Amanda yang masih mematung didepan pintu. Tangan Andin langsung menggandeng Amanda dan memperkenalkanya ke Mami.
Habis sudah hari perhitungan buat Amanda. Kali ini dia dihadapkan langsung dengan malaikat penjaga neraka. Amanda akan siap membara terbakar api yang tak nyata.
"Ini lo Mi. Yang tadi siang aku bilang ke Mami ditelpon. Cantik kan..." Andin memperagakan seperti sedang menjual barang mewah. Bersamaan dengan itu para penghuni neraka dengan kompak melirik kearah penghuni baru, yaitu Amanda.
"Ih cantiknya."
"Cantik banget...Semakin banyak deh saingan gue."
"Mam.......pus gue. Ini anak pasti banyak pelanggannya."
"Anjay. Kulit apa susu. Bersih banget."
Ramai celoteh miring bergunjing diantara mereka. Yang akan siap menghalangi penguni baru menikmati panasnya api dibawah sana.
Sang malaikat penjaga, Mami Cleo, berdiri dari tempat duduknya. Dia memutari tubuh Amanda melihat dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Matanya tajam sinis menatap penghuni baru yang siap mendobrak habis setan-setan dineraka. "Cantik. Mul...lus. Sexi," puji Mami.
"Masih perawan!"
Mendengar itu dari malaikat penjaga neraka, membuat darah Amanda mengalir cepat diseluruh tubuhnya. Hingga memompa jantung yang berdebar kencang. Membuat otot dimatanya menarik kuat terbelalak.
Pertanyaan konyol pertama yang baru saja dilontarkan dari sang penjaga, membuat Amanda semakin dingin membeku.
"Ya jelas masih lah Mi," sela Andin.
"Aku tuh tau siapa dia Mi. Mami gak usah khawatir soal itu. Yang penting-." Andin berdiri disamping Amanda dan merangkulnya.
"Kasih dia harga tinggi ya Mi."
"Hmm...Kita liat saja nanti bagaimana penawaranya," ketus Mami.
Malam ini, malam pertama Amanda menginjakkan kakinya dineraka dalam khayalnya. Tempat yang bernama XL ROAD BAR adalah tempat terpanas yang pernah Amanda datangkan.
Tidak pernah terlintas dibenaknya untuk menghampiri tempat ini. Tidak, berfikirpun tidak. Tapi, inilah kenyataanya sekarang. Kenyataan dimana Amanda kini berada. Kenyataan dimana Amanda kini harus bergantung nasib. Iya, ditempat ini. Ditempat ini dirinya akan bergantung untuk mendapatkan setumpuk uang.
Tepat jam 7 malam, Amanda sudah berada diruangan gelap dengan penerangan seadanya. Rasa pilu, takut, marah, semuanya berkecamuk di hatinya.
"Tugas pertama kamu adalah perhatikan tamu-tamu yang ingin memesan minuman. Jika ada yang ingin mengajak kamu untuk gabung disofa mereka, kamu ikuti. Jangan ditolak.
Dan, jangan pernah menerima ajakan tidur dengan tamu tanpa sepengetahuan Mami. Jelas." terang Mami Cleo.
Amanda mengangguk tanpa berani memandang wajah Mami.
"Jelas!" bentak Mami.
"Je-las. Jelas Mi," ucapnya gugup.
"Bagus." Mami Cleo kemudian pergi meninggalkan Amanda.
Mata Amanda tidak berhenti memperhatikan ruangan yang sangat besar ini. Tamu-tamu sudah mulai banyak berdatangan. Kebanyakan dari mereka adalah pejabat hingga pengusaha besar.
Dia melihat mereka seperti sekelompok srigala buas yang siap menerkam mangsa. Mereka sangat haus dan kelaparan akan belaian. Terbukti dari wanita-wanita yang duduk bersama mereka. Habis dijamah tanpa rasa cinta.
"Gimana, Nda. Asikkan...," tegur Andin yang baru saja berdiri disampingnya.
"Aku risih Ndin sebenarnya," keluh Amanda.
"Ah biasa itu awal-awal. Nanti kamu juga terbiasa." Dan kemudian, Andin berlalu dengan membawa sebotol minuman untuk tamunya.
------Bersambung------
Hujan deras mengguyur lebat di kota metropolitan. Sekerumunan awan hitam mengumpul dalam satu titik. Ditemani dengan sinar pekat dan bunyi guntur berderu hebat.
Cuaca malam ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan perempuan yang bernama Nina. Ya, Nina Anggara Putri, perempuan cantik dengan tinggi semampai. Perempuan yang sangat ambisius dalam segala hal yang diinginkannya.
Tidak ada kata tidak untuk seorang Nina. Apapun itu, dia harus bisa dapatkan jika dia menyukainya. Nina salah satu perempuan paling cantik dikantornya. Ya, bisa dibilang mungkin satu-satunya yang paling cantik. Bukan karena tidak ada yang sebaya denganya, melainkan banyak sekali yang seumuran denganya.
Itu karena Nina terlahir dari keluarga konglomerat tingkat pertama. Dari situlah dirinya sangat terawat karena sangat mudah mendapatkan perawatan dari tempat-tempat ternama didalam atau luar negri. Bercerita tentang siapa dan apa latar keluarganya, sangat panjang sekali. Anak yang dilahirkan mendekat dari yang namanya sempurna, mungkin bisa dianugerahkan ke Nina.
Diusia 25 tahun, adalah usia kematangan untuk setiap makhluk yang bernama wanita. Usia matang dan subur bagi seorang Nina.
Kesempurnaan memang hanya milik Tuhan. Tapi, Nina mungkin salah satu mahluk yang Tuhan percaya untuk bisa merasakan indahnya dunia. Bagaimana tidak, selain dirinya sangat kaya melimpah ruah. Dia juga mempunyai pasangan yang sangat kaya tidak terjamah nilainya rupiahnya.
Sayang. Aku udah keluar kantor. Kamu jangan telat jemput. Ok
Pesan whasap Nina ke Reffan.
Jalinan asmara yang sudah sangat lama dijalankan dengan kekasihnya. Reffan Adi Saputra adalah nama kebanggan yang selalu ada dalam hati Nina. Tidak banyak yang mengenalnya. Itu karena Reffan memang jarang bergaul berkenalan dengan teman-teman Nina.
Hanya ada dua temannya yang bisa dibilang akrab dengan Reffan, yaitu, Jihan dan Andra. Reffan memang sedikit tertutup pribadinya. Bahkan masih banyak hal-hal yang sampai sekarang Nina belum ketahui tentang diri kekasihnya.
"Nin. Aku duluan ya. Dagh," kata salah satu temen kantor Nina yang baru saja melenggang pulang karena sudah mendapatkan taxi yang dipesannya.
"Bye. Hati-hati...," balas Nina.
Nina menunggu Reffan kekasihnya di lobby kantor tempat dia bekerja. Ditemani beberapa karyawan lain dan security kantor.
Sebagai seorang manager keuangan, Nina dikenal baik oleh rekan-rekanya. Juga sebagai teman curhat yang sangat bisa diandalkan. Apalagi curhatan sahabat untuk masalah uang, pasti akan selalu mencari Nina. Berbeda dengan Jihan yang merupakan sahabat dekat dan selalu ada bersamanya dalam suka dan duka.
Nina memang baru bekerja di perusahaan ini. Tapi sudah cukup untuknya membuat namanya naik sampai ketingkat direksi. Ya, selain karena kecantikanya, Nina juga sangat pintar. Maka dari itu, dia ditempatkan diposisi yang kebanyakan orang sulit mendapatkanya. Selain itu, dia juga didukung dari ijasah S2 diuniversitas ternama di eropa. Wajar kalau perusahaan nasional memberi mudah untuknya bekerja.
Menjadi kebanggan suatu perusahaan jika ada karyawannya pernah menuntut ilmu diperguruan tinggi luar negri. Sebenarnya itu adalah pandangan yang salah. Tidak semua perguruan tinggi luar negri bagus. Terbukti dari banyaknya warga-warga lokal negara ini yang bisa memenangkan kompetisi pelajaran tingkat dunia. Padahal, mereka bukan bersekolah diluar melainkan mereka hanya mengenyam sekolah didalam negeri tercinta.
Sebelumnya, Nina pernah bekerja di perushaan milik ayahnya. Tapi, karena perushaan itu sudah mulai menurun, ayahnya menjual salah satu perusahaan terbaiknya. Tapi, itu tidak membuat ayah Nina bangkrut.
Ayah Nina seorang pengusaha sukses yang mempunyai lebih dari 10 perusahaan besar. 5 perusahaan ayahnya berhasil menembus 10 besar ranking perusahaan terbaik diasia. Wow, prestasi yang sangat luar biasa.
Prestasi yang juga membanggakan Nina dan ayahnya. Prestasi yang tidak semua pengusaha-pengusaha lain bisa dapatkan. Memang Tuhan, jika sudah punya ketetapan, tidak akan melihat siapa orangnya. Karena Tuhan punya alasan tersendiri untuk menaikan derajat seorang hamba.
Keputusan Nina untuk mandiri memang keinginan dia sendiri. Maka dari itu, ketika ayahnya menawarkan bekerha diperusahaan lain miliknya, Nina menolak. 'Aku enggak mau dibilang anak yang bisa hidup cuma karena harta orang tua.' Kata Nina kepada ayahnya beberapa waktu silam.
"Hai mbak Nina. Belum pulang?" tanya Securiti yang sedang berjalan-jalan mengecek gedung.
"Oh. Belum pak. Saya belum dijemput," balas Nina.
"Oh begitu. Ya sudah saya kembali bekerja yah mbak." Kemudian Pak security itu pergi.
Nina mulai gelisah dengan belum munculnya batang hidung kekasihnya. Bertanya-tanya penuh harap. Tidak seperti biasanya kekasihnya datang terlambat menjemput sang pujaan hati. Berkali-kali Nina mencoba menelpon, tetap masih tidak ada jawaban dari Reffan.
"Apa sih maunya ini anak. Di telpon enggak diangkat. Diwhatsapp enggak dibales," gerutunya kesal.
Cantik, bukan berarti harus lembut. Nina memang mempunyai watak yang keras. Sifat yang dari dulu sudah ada dijiwa raganya, mendarah daging. Ya, kalau ditanya kekuranganya, mungkin itu adalah salah satunya. Sifat yang keras, ambisius juga sangat emosional.
Sudah lebih dari satu jam Nina menunggu di lobby kantor membuat hatinya mulai gelisah tak karuan.
"Bagus! sekarang malah mati telponya." Kesalnya memuncak.
Sudah lelah terasa, Nina memutuskan untuk pulang sendiri mengingat Reffan tidak bisa di hubungi. Dia mencari Taxi di luar lobby kantor. Dan beberapa saat kemudian, Taxi biru itu datang.
"Kejalan alam pesanggarahan cinere yah Pak," ujarnya kepada supir Taxi.
Si burung biru berjalan menembus kemacetan dalam gelapnya malam serta derasnya hujan. Memperlihatkan betapa lihainya sayap-sayap sibiru menyalip keras kendaraan yang lain.
Berselimut dalam gelapnya malam serta udara dingin dimobil, hati Nina masih gundah dengan kekasihnya yang tidak datang menjemput.
Kilometer per kilometer roda taxi berputar menuju alamat yang dituju. Deras hujan masih tak kunjung henti. Nina duduk dibangku belakang. Dia bersandar ke jendela kiri mobil. Matanya memandangi jalan sesak nan padat.
Bercampur lamunan dan gelisah, seketika itu, telpon genggam ditanganya bergetar. Melihat dengan cepat siapa gerangan yang menghubunginya. Berharap sang kekasih yang menghubungi, ternyata, harapan tinggal harapan. Di hidupkan layar dari ponselnya itu dan terdapat notifikasi pesan masuk dari salah satu kerabat Reffan yang juga dikenalnya.
"Andra!" gumam Nina.
Dengan cepat dia membaca isi dari pesan masuk yang bersumber dari Andra sahabatnya itu.
Nin. Ada kabar buruk. Maaf kalo aku sampaikan lewat pesan, karena aku lagi dimotor. Reffan kecelakaan. Mobilnya tabrakan dan sekarang dia dibawa ke RS. Imam Handoyo. Kamu segera kesana sekarang ya. Kita ketemu disana.
Bagai kilat yang menyambar raga, sekujur darah mengalir cepat. Sukma dalam jiwa bergejolak hebat, melawan sesak didada secara tiba. Hati tak kuasa menahan luka hingga perih yang terluapkan dari sisa emosi kini meneteskan air mata. Nina lemah tak berdaya.
Tangan bergetar hebat, kaki tak bisa beranjak. Nina benar-benar dalam guncangan yang kuat.
Pak supir yang melihat Nina seperti kesetrum dan menangis, dia mencoba untuk menegurnya.
"Mbak. Mbak baik-baik aja, kan," kata pak supir taxi.
Dengan mulut berat mengucap."Pak...Putar balik sekarang ke Rumah Sakit Imam Handoyo."
"Ba-baik, Mbak."
Pak supirpun memutarkan mobilnya berbelok arah menuju Rumah Sakit Imam Handoyo.
"Re-Reffan. Plis Reffan...Kamu baik-baik aja. Pliss...."
Nina menangis sesegukan. Tak kuasa menahan pilu yang mendalam seorang diri. Dia menghubungi Jihan sahabatnya.
"Halo.. han. Jihan...Han, Reffan... han...Reffan kecelakaan.. Sekarang di Rumah Sakit Imam Handoyo," ucapnya lirih penuh isak tangis.
"Ok. Aku kesana sekarang yah beb," balas Jihan diseberang telpon.
Beberapa saat kemudian, Nina sampai di RS Imam Handoyo. Dia bergegas masuk ke bagian IGD dimana itu ruangan Reffan sedang ditangani dokter.
Karena tim doketer ahli sedang bekerja, Nina tidak diizinkan untuk masuk kedalam. Dia hanya bisa menunggu diluar ruangan sambil melihat dari balik kaca transparan ruangan operasi tersebut.
Belum ada siapa-siapa di lorong ruang tunggu pengunjung pasien. Hanya jari menempel dibibirnya yang saat ini menahan cemas untuk sementara. Ya, Nina sangat panik. Panik kalau harus menghadapi kenyataan pahit yang akan diterimanya.
Jihan yang baru saja dikabarinya juga belum kunjung datang. Tak banyak yang dia bisa lakukan hanya duduk, berdiri, duduk, sangat gelisah.
Hari ini akan menjadi malam yang panjang untuk seorang Nina. Menghadapi Reffan yang sedang meregang nyawa.
Tak lama kemudian, Jihan sampai dan langsung memeluk Nina.
"Kok bisa. Gimana ceritanya?" tanyanya khawatir.
Sambil menangis dipelukan Jihan, Nina menjawab, "A-ku juga gak tau Han. Tadi siang Reffan masih baik-baik aja. Dia masih chat aku ngajak pulang bareng dan-. Dan-."
Nina tidak kuat melanjutkan ceritanya. Rasa sesak yang kuat didada menahannya untuk bersuara. Nina hanya bisa mengatakan dengan air mata.
Sebagai teman dan sahabat yang baik, Jihan membantu menenangkan Nina. Dia membiarkan bajunya basah akibat dari derasnya air mata Nina yang mengalir. Membiarkan sahabat meluapkan kegundahaanya. Meluapkan kesedihanya. Bahkan jika perlu, meluapkan kemarahannya.
Pintu ruang operasi pun terbuka. Bersamaan dengan itu datang seorang dokter yang menangani operasi Reffan.
"Siapa keluarga dari pak Reffan?" tanya dokter separuh baya tersebut.
Nina segera cepat menghampiri Dokter itu. "Orang tuanya berada diluar negri Dok. Saya Nina. Saya pacarnya Dok. Gimana keadaan pacar saya Dok..."
Dalam berita berat, tidak banyak yang bisa orang katakan. Termasuk Dokter, dia hanya menghela nafas panjang memberi makna yang sangat dalam.
"Gimana dok!" desak Nina.
"Bu Nina. Kami sudah berupaya sepenuhnya. Tapi, takdir menentukan lain. Maaf, pak Reffan tidak bisa kami selamatkan," ujar dokter itu.
"REFFAN!!!"
Jeritan kencang dari seorang Nina nyaring bergema. Terdengar hampir ke seluruh ruangan Rumah Sakit ini. Nina begitu terguncang hebat. Hati dan jiwanya runtuh seketika. Membuat Jihan kesulitan menenangkanya. Begitupun Andra yang baru saja tiba. Dengan susah payah mereka berupaya untuk menenangkan sahabat yang ditinggal mati kekasihnya.
Tidak kuat menahan beban didada, dan kemudian, tubuh Nina menggelepak. Nina sudah tidak sadarkan diri.
Benar-benar tepat pada waktunya. Karena kedua sahabatnya sudah berada disampingnya. Sudah siap sepenuh jiwa raga membantu Nina.
Jihan dan Andra menggotong Nina untuk dibawa keruangan pasien, dengan maksud untuk mengistirahatkan sejenak, sembari menyadarkan Nina yang baru saja tidak sadarkan diri.
Cukup lama Nina terbaring layaknya koma. Beruntung dia punya sahabat yang masih setia menemani disampingnya.
Sahabat yang benar-benar ada disaat Nina membutuhkannya. Bukan seperti teman-teman lain yang satu atap dikantor, yang hanya ada jika membicarakan masalah rupiah.
Setelah sadar, dia merasakan kepalanya terasa sedikit pusing. Karena darah yang mengalir belum sempurna mengisi kepalanya untuk mengalirkan oksigen keotaknya.
Teringat Reffan yang sudah tak bernyawa, Nina berusaha untuk bangkit dari kasur pasien. Tapi, Andra dan Jihan menghalanginya.
"Nin. Kondisi kamu juga belum stabil. Sabar dulu yah," ujar Jihan.
"Iyah Nin. Kita semua juga kehilangan Reffan. Sekarang, yang paling penting kamu harus pulih dulu," Andra menimpali.
Ninapun mengalah karena mendengar nasihat baik dari kedua sahabatnya. Ya, mau nanti atau sekarang sama saja, tidak akan merubah keadaan. Tidak akan merubah Reffan akan menjadi hidup kembali.
Akhirnya, dia kembali berbaring di kasur mengikuti saran terbaik dari teman-teman yang berada disampingnya.
Reffan sudah tidak ada lagi. Sudah tertutup cerita bersama Reffan mulai hari ini, bersamaan dengan tertutupnya jasad Reffan dengan kain putih.
Nina hanya bisa mengenangnya dalam sisa-sisa memori diingatanya.
Tidak ada senyum yang membuat hari-harinya menyenangkan. Tidak ada tawa dan canda diantara keduanya. Tidak ada lagi sedan hitam yang pintunya terbuka tepat jam 7 malam didepan lobby kantornya. Tidak ada balasan pesan darinya. Tidak ada lagi semuanya.
Kini hanya tinggal namanya yang masih berada dicelah-celah hati Nina. Hanya sepenggal sisa-sisa kalimat yang tertulis dipesan yang sudah terbaca. Hanya sebuah foto romantis yang terpajang dikamar Nina.
ya, itu semua hanya sisa-sisa kenangan bersamanya.
Bersambung-------------
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!