HATI AMANDA

Hari ini aku harus mendapatkan pekerjan lagi. Demi masa depan Fahri. Dia harus melanjutkan sekolah. Aku harus berjuang. Harus!

Langit sepertinya mengerti dengan perasaan Amanda. Dia memerintahkan awan untuk berkumpul tepat diatas kepala Amanda. Melindungi dari sinar matahari yang panas menyengat.

Disini, ditanah ini, dipemakaman ayah bundanya, Amanda berjanji untuk tetap bertahan hidup. Taburan bunga dan air mata menyertai luka pilu mendalam seorang Amanda.

Tak kuasa menahan gejolak rindu dihati melihat kedua orang tuanya berada jauh dialam sana. Hanya sebait doa yang bisa dia sampaikan lewat lantunan yang terucap.

Amanda Raflesia, kini memulai hidup yang baru.

"Yuk dek. Kita pulang."

Berjalan melewati setapak tanah diantara makam, Amanda merangkul adiknya. Meninggalkan kediaman abadi kedua orang tuanya. Meninggalkan tanah yang menjadi tempat kembalinya seluruh manusia suatu saat nanti.

Tapi, Amanda tidak meninggalkan duka yang berkepanjangan. Tidak meninggalkan tangis yang terus meratapi kepergian orang tuanya. Karena dia masih mempunyai Fahri yang masih berusia 13 tahun dan hanya berharap kepada kakak satu-satunya ini.

Kisah lama yang jika dibuka akan menyakitkan. Kisah dimana Amanda lahir dari keluarga besar dan bahagia. Pernah merasakan hidup mewah dan penuh kesenangan. Tapi, setelah musibah menimpa ayahnya kehidupan Amanda berubah menjadi tak menentu.

"Kak, sekarang kita mau tinggal dimana?"

Ya, itu salah satunya. Pertanyaan yang sekarang mengganggu dibenaknya. Amanda juga sebenarnya tidak tau. Tapi, demi menjaga perasaan adiknya mau enggak mau dia terpaksa berbohong.

"Hmm...udah ayo ikut aja. Kakak mau kasih surprise untuk kamu," tuturnya berusaha menghibur.

Entah dari mana ucapan itu bisa keluar dari mulut manisnya. Entah dari mana kata-kata itu bisa yakin dia lantunkan. Tapi, Amanda hanya berpegang pada keyakinan Tuhan dan dirinya.

"Wah yang bener kak. Kita punya tempat tinggal lagi," balas Fahri senang.

Amanda tersenyum. "Iya dong."

Dia memeluk adik kecilnya. Didalam pelukan itu Amanda menangis. Dia menangis karena tidak tahu harus membawa adiknya kemana.

"Tapi, sebelumnya kamu harus temenin kakak dulu."

"Kemana kak?" Fahri penasaran.

"Udah kamu ikut aja, mau kan?"

Fahri tersenyum dan bersemangat. "Mau kak."

Dengan bermodalan ijazah D3 perhotelan, Amanda keliling perkantoran hotel, mencari kerja. Berharap, dia bisa mendapatkan pekerjaan agar bisa melanjutkan hidupnya dan adiknya.

Berharap, dia bisa mengakhiri penderitaan yang dialaminya saat ini. Ya, cuma sekedar angan-angan. Ternyata hasilnya jauh dari apa yang diharapkan.

Sudah beberapa gedung perkantoran dia datangkan mencoba untuk melamar pekerjaan. Tapi, belum satupun yang menanggapi lamaranya.

Belum satupun secercah harapan itu muncul. Sedangkan Hari semakin siang dan matahari semakin mengeluarkan sinarnya yang terik.

Tidak ada harapan sepertinya. Rasa kecewa terlihat diwajah gadis belia nan elok dipandang mata itu.

"Kak, aku laper...," keluh Fahri lirih sambil memegang perutnya.

Amanda membuka tas dan mengeluarkan dompet didalamnya. Mencari sisa-sisa rupiah yang ada.

Cuma 60 puluh ribu. Bagaimana bisa aku dan Fahri bertahan dengan uang segini. Ya Tuhan. Tolong kami, keluhnya membatin.

Walaupun harus meminta, mengemis atau menjadi pekerja kasar, apapun akan dia lakukan. Demi adik kecil yang enggak boleh kelaparan. Amanda tidak mau mengecewakan adiknya.

"Ya udah yuk kita makan."

Setapak demi setapak dilalui. Gang lewat gang dimasuki. Hingga sampai dijalan besar mereka menemukan tempat makan. Persis diujung jalan terlihat sebuah warung makan sederhana.

"Kita makan disana yah dek."

"Iya kak."

Warung nasi sederhana yang memang sesuai namanya. Dengan tampilan seadanya, sangat sederhana sekali. Dimana kebanyakan adalah sekumpulan supir-supir didalamya yang sedang meikmati hidangan yang ala kadarnya.

Sempat dia merasa ragu masuk ke dalam warung itu. Karena mata-mata supir memandang genit ke dirinya. Melihatnya dari atas sampai bawah. Layaknya perempuan malam yang berdiri didepan tamu dan siap untuk dijamah bersama.

Rasa tidak nyaman sudah mulai mengganggunya dengan situasi ini. Tapi, karena uangnya hanya cukup untuk makan ditempat ini, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.

Duduk dikursi kayu panjang bersama Fahri, Amanda hanya memperhatikan adiknya yang sangat lahap menyantap nasi dan telur bulat. Sedangkan dia sendiri hanya memesan segelas es teh manis untuk mengganjal perutnya.

Itu dilakukan karena Amanda harus berhemat dengan uang yang dia miliki. Yang tidak seberapa demi menjaga adiknya agar tidak kelaparan.

AMMM....JELB...

Nasi terakhir sudah habis dikunyah Fahri. Sudah masuk kedalam lambungnya yang gendut.

Dan Merekapun selesai mengisi perutnya yang hanya bertahan untuk beberapa waktu saja. Entah bagaimana dengan nanti. Dengan malam yang akan mengundang lapar yang amat sangat karena angin yang dingin.

"Makasih, Bu." Pembayaran untuk nasi dan telur bulat serta es teh manis selesai. Kemudian, mereka meninggalkan warung dan supir-supir genit itu.

Fahri memegang perut gendutnya yang sudah terisi penuh dengan nasi dan telur bulat. "Kak, aku udah kenyang." Amanda hanya tersenyum dan mengelus pipi cabi adiknya. "Iya sayang. Ya udah sekarang temenin Kakak lagi ya."

Kembali lagi berjalan, mencoba untuk mengadu nasib dengan mengandalkan Ijasah lama.

Setelah berjalan beberapa langkah, terlihat seorang perempuan dengan menggunakan baju seksi berdiri di pinggir jalan. Nampak seperti orang yang sedang menunggu Taxi yang ingin ditumpanginya.

"Kak, itu bukanya temen sekolah kakak dulu," tukas Fahri sambil menunjuk ke arah perempuan itu.

Angin surga sepertinya sedang menyibak rambut Amanda. Dia langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh adiknya. Selintas diingatanya, Amanda langsung mengenali siapa yang di maksud adiknya.

"Andin. Andin!" panggil Amanda dari kejauhan.

Merasa ada yang menyebut namanya, perempuan yang baru saja diteriaki oleh Amanda, menoleh ke arah suara yang memanggil namanya itu.

Dari kejauhan, perempuan yang bernama Adin masih samar-samar mengenali sosok yang memanggilnya. Dia berusaha menegaskan siapa yang sudah memanggil namanya.

Tak lama kemudian, dia baru menyadari kalau itu adalah Amanda sahabat sekolahnya dulu.

Dengan sedikit ragu dia menyapa. " Amanda!"

Ketika sudah dipastikan benar, Amanda melangkah cepat menghampiri Andin sambil menggandeng adiknya.

Seperti bertemu cincin yang hilang ditengah gurun pasir, mata Amanda memancarkan sinar kebahagian. "Astaga. Andin."

Balasan yang sama juga disampaikan oleh perempuan ini. "Amanda. Amanda Raflesia."

"Iya. Ini aku Amanda. Temen sekolah kamu, Ndin."

Dua merpati saling bertemu, dua sahabat saling memeluk. Entah bagaimana, mereka saling meluapkan rasa rindu.

"Gak nyangka udah lama banget enggak ketemu. Bisa ketemu disini," seru Amanda berlinang bahagia.

"Ya ampun Amanda. Aku hampir enggak ngenalin kamu. Ini si Fahri. Fahri yang waktu itu masih kecil?" Andin mencubit pipi Fahri.

"Iya," Fahri menimpali.

Andin dan Amanda adalah sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Andin berpisah dengan Amanda sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat pertama. Saat itu, Andin diajak orang tuanya pindah kesuatu tempat.

"Kamu tinggal dimana sekarang, Nda? Terus kamu mau kemana bawa tas sampe dua begini?"

Pertanyaan serupa yang masih melayang-layang dibenaknya. Mungkin, dengan Fahri dia bisa berbohong. Tetapi, dengan Andin dia tidak bisa menutupinya. Itu yang membuat Amanda diam tak bisa menjawab.

Andin sangat peka melihat mata Amanda yang sayu. Dia mengetahui dan kenal betul kalau sahabatnya sedang dalam masalah. Karena kedekatan mereka sewaktu sekolah dulu.

"Ya udah. Aku hari ini izin kerja dulu deh demi sahabat lama yang satu ini," ujar Andin sambil mencubit lembut pipi manis Amanda.

"Eh..eh..gak usah. Kamu kerja aja Ndin," tolak Amanda.

"Udah...mampir ke tempatku."

"Aa....akkk...aku-." Andin memotong ucapan Amanda. "Udaah hayuk." Kemudian, dia menarik tangan Fahri.

Dalam selimut tali persahabatan, Andin sama sekali tidak berubah. Bahkan, Andin yang menggandeng tangan adiknya Amanda dan mengajak Fahri berbincang ria menuju singgasananya.

"Fahri udah makan sayang?"

"Udah Kak. Baru aja."

Oh Tuhan...dalam lunturnya semangatku hari ini, Engkau tunjukkan kebesaranMu dengan menyentuh sedikit rasa bahagia dihatiku, bertemu sahabat yang sudah lama tidak aku jumpai..., syukur terucap dalam hati Amanda.

"Nah. Ini tempatku sekarang, Nda," seru Andin ketika sudah berada ditempatnya.

Mata terpana melihat sebuah bangunan bertingkat dihadapanya. Sebenarnya, bukan hal yang baru untuk Amanda melihat itu. Tetapi, dia hanya tidak menyangka kalau sahabatnya bisa menempati tempat semewah itu.

Iya, Andin menyebutnya apartemen.

Andin yang dikenalnya dulu adalah anak yang lahir dari keluarga yang sangat-sangat sederhana.

Tidak meremehkan, tetapi itulah kenyataanya. Rasa kagum dan senang terpancarkan dari bola mata yang indah membinar dipenglihatanya.

Rasa kagum dan bangga terhadap sahabatnya.

Andin menyangkutkan tas bermerk mahal di gantungan sebelah lemari bajunya setelah sampai diruangan apartemenya.

"Kamu tinggal sendiri disini, Ndin," ungkapnya kagum

Sambil menyiapkan minuman dingin di area dapurnya, Andin menjawab, "Iya. Aku udah lumayan lama pindah kesini."

"Tempat kamu enak banget Ndin. Bersih dan nyaman," pujinya.

"Lalu, orang tua kamu dimana Ndin?"

Bagai petir yang menyambar, pertanyaan basa-basi bagi semua orang menanyakan kabar orang tua dari sahabatnya, itu adalah hal biasa. Tetapi, buat Andin itu sama saja membuka luka lama.

"Ayahku udah nikah lagi sama janda anak satu. Mereka bertemu di club malam dan ibuku entah dimana sekarang. Sejak ayahku kawin lagi dan tinggal sama istri barunya, aku enggak betah dirumah. Ibu juga sudah enggak pernah ngabarin aku. Ya udah, aku memutuskan untuk tinggal sendiri".

"Oh-oh. Maaf, Ndin..."

Andin berjalan membawa minuman dingin ke sofa yang diduduki Amanda dan Fahri. "Enggak apa-apa. Ini minum dulu."

Amanda mengambil minuman dari tangan Andin. "Makasih, Ndin."

"Makasih, Kak Andin," Fahri menimpali.

" Terus bisa sampai punya tempat sebagus ini bagaimana ceritanya, Ndin?"

Setelah menghela nafas, dia bercerita tentang dirinya beberapa waktu silam dari A sampe Z.

"Ya ampun Andin...segitunya kah..."

Ternyata...bukan aku aja yang merasakan pahitnya hidup, lirihnya dalam hati.

"Ya begitulah aku sekarang, Nda." Andin mengakhiri ceritanya.

Andin sahabat yang dulu dikenalnya sangat lugu dan pemalu kalau bertemu laki-laki. Bahkan dia sampai berkeringat. Namun, sekarang dia bekerja di dunia malam. Hidup memang keras. Tidak memandang itu siapa.

"Kalau kamu sendiri gimana, Nda. Kerja apa kamu sekarang?"

Benak yang sudah hampir kosong kini terisi lagi dengan pertanyaan kedua yang entah bagaimana menjawabnya.

Amanda menoleh ke Andin. Matanya lembut menatap. Siap melepas butiran-butiran air yang tertahan sementara dikelopak mata.

"A-ku enggak kerja, Ndin." Dengan gugup dia menjawab.

"Orang tuaku sudah meninggal." Rasa pilu diulu hatinya memancing air matanya menetes.

Tak badai yang tak berlalu. Pertemuannya dengan Andin sudah diatur sama Yang Maha kuasa. Akan ada hikmah dalam setiap masalah. Pesan dari sang pencipta untuk mahklukNya yang lemah.

Bukan tanpa alasan Andin bertemu dengannya. Bukan tanpa tujuan Tuhan menggiring langkah Amanda kewarung sederhana.

Bukan juga Andin yang melihat sahabatnya sedang terguncang, dia tidak akan peduli kepadanya.

"Mau lagi jusnya, Nda?"

Amanda menggelengkan kepalanya.

Walaupun hanya sebatas bantuan kecil yang saat ini dia bisa lakukan. Tetapi Andin, tetaplah tulus membantu Amanda. "Kamu mau kerja kayak aku, Nda?"

Pertanyaan bodoh yang terucap dari mulut seorang Andin. Iya, bodoh, tapi itu dari hatinya. Hati yang ingin sekali membantu sahabatnya untuk bisa bangkit dari keterpurukanya.

Bukan maksud Andin menjerumuskan sahabatnya, tapi saat ini, hanya itu pekerjaan yang bisa ditawarkan. Menginggat Andin juga terlibat dalam pekerjaan itu. Lain halnya, jika Andin adalah seorang direksi utama dari sebuah perusahaan. Pasti dia akan menawarkan Amanda menjadi manager keuangan.

Seketika Amanda langsung tersendak minumanya.

"A-apa! Aku. Enggak. Aku enggak mau ah, Ndin."

Sifat manusiawi yang terjadi dalam diri Amanda. Bagaimana dia tidak terkejut mendengar pertanyaan konyol dari sahabatnya, sedangkan dia sendiri masih sangat menjaga dirinya tetap suci.

Walaupun, Amanda pernah bermadu kasih, dia tidak pernah ternodai.

Andin membelai rambut Amanda dengan jarinya. Berusaha terus meyakinkan sahabatnya.

"Amanda. Amanda sayang. Kalo kamu kerja kayak aku, kamu akan mendapatkan penghasilan besar.

"Kamu sama Fahri akan bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Bisa beli apartemen dan apapun yang kamu mau. Kamu bisa dapatkan," tuturnya sangat apa adanya.

"Uangnya banyak Nda. Kerjaan kamu hanya duduk manis. Misalkan ada tamu yang ngajak kamu tidur, kamu tinggal layanin. Tinggal pasrah. Telentang. Palingan 10 menit selesai. Terus terima uang. Enak kan," rayu Andin.

Amanda diam menundukan pandangnya. Mendengar sahabatnya sangat pandai bersilat lidah, pikiran dan hatinya mulai tidak sejalan.

Jelas dari lubuk hati yang sangat dalam dia menolak. Tetapi, pikiranya bisa menerima lantaran tuntutan hidup. Tuntutan yang harus bisa dipenuhi setiap harinya. Dan juga, dia masih mempunyai adik kecil yang harus tetap bertahan. Harus melanjutkan sekolahnya. Sungguh keputusan yang sulit untuk saat ini ditentukan.

Amanda berada dalam perasaan dilema yang mendalam. Dia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ijazah D3nya tidak memberikan hasil apa-apa.

"Ya udah. Kamu pikirkan aja dulu baik-baik. Sementara itu, kamu sama Fahri tinggal disni aja dulu sampai kamu memutuskan mau bagaimana kedepanya," cetus Andin menyarankan.

Angin segar kembali berpihak padanya, apa yang menjadi kejutan untuk adiknya, dia tidak usah repot-repot lagi mencari alasan untuk mewujudkan. Tetapi, Amanda bukan perempuan yang senang menerima bantuan begitu saja.

"Enggak, Ndin. Makasih. Aku jadi merepotkan kamu, Ndin. Enggak apa aku cari tempat tinggal sendiri aja," tolaknya.

Demi persahabatan dan juga rasa kasihan, Andin mencoba untuk merpertahankannya. "Amanda. Kamu tinggal sendiri itu mahal. Kamu sendiri kan bilang belum kerja.

"Aku enggak merasa direpotkan, Nda. Dulu jaman masih sekolah, kamu juga sering bantu aku untuk bisa jajan dijam istirahat. Kamu yang selalu kasih aku uang supaya aku enggak malu sama temen-teman karena enggak ikutan jajan."

Tak ada harapan lagi sepertinya untuk Amanda berkelit. Dia memang membutuhkan tempat tinggal sementara. Mengingat Fahri yang pasti tidak akan tahan dengan angin malam, hujan dan panas diluar sana.

"Tapi, Ndin..."

"Udah. Enggak ada tapi-tapi. Kamu harus disni sama Fahri," paksa Andin.

Tawaran yang memang bukan basa-basi belaka. Yang kebanyakan manusia melakukanya. Kebanyakan manusia yang enggan menolong sesama. Tapi, tidak dengan Andin. Dia benar-benar menolong. Benar-benar memaksa bukan karena Amanda akan membayarnya suatu saat kelak dan menjadi pemasukan sampingan untuk Andin. Tidak, Tidak seperti itu. Andin menolong karena hati yang kuat dari persahabatan yang terikat tulus sejak lama.

Itu terbukti dengan Andin membawa tas Amanda kedalam kamar. Dia benar-benar melakukanya. Berbagi ruang dengan Amanda ditempatnya.

"Ini kamar kamu sama Fahri. Sebelahnya kamar aku. Lagian, aku butuh temen. Aku udah lama sendirian. Hidup sendiri gak enak, Nda."

Tak ada kata yang pantas untuk diucapkan kepada sahabatnya itu saat ini. Tidak juga hanya dengan kata 'terima kasih.'

Yang Amanda lakukan adalah menghampiri Andin lalu dia memeluknya. Memeluk erat sahabat yang sudah menjadi malaikat penolongnya. Setelah malaikat sebelumnya hilang entah kemana.

"Andin. Makasih yah sudah mengizinkan aku tinggal disni. Nanti kalau aku sudah ada uang, aku akan cari tempat tinggal sendiri."

Sikap peduli Andin kepadanya, kembali mendobrak rasa didalam hati Amanda. Dobrakan yang sangat keras sehingga meluapkan air mata yang jatuh dengan sangat deras.

Tangan lembut Andin mengusap air yang sering mengalir dari dua bola mata yang indah. Bola mata yang dimiliki Amanda.

"Kamu enggak usah mikirin itu, Nda. Aku dulu banyak berhutang budi sama kamu, sama keluarga kamu. Keluarga kamu sudah banyak menolong aku, Nda. Sekarang, giliran aku membalasanya."

"An...diiin...." ucap Amanda terharu.

"Udah ah. Jangan nangis. Hilang nanti cantiknya," ledek Andin.

Pertarungan seru dua perasaan haru sudah diluapkan dengan akhir yang bahagia. Amanda sudah mendapatkan jawaban sementara dari pertanyaan adiknya dimakan ayah bunda tercinta tadi siang.

"Hi Fahri. Kak Andin ada sesuatu buat kamu. Yuk sini ikut," ajaknya.

Sebagai anak kecil yang baik dia akan mengikuti apapun yang dikatakan kakaknya, termasuk Andin yang sekarang menjadi kakak keduanya.

Fahri mengikuti Andin kekamarnya. Dia menggit jari setelah tau apa yang diterimanya. "Waooo. Mainan. Makasih ya Kak Andin," ucapnya senang.

Andin membelai rambut Fahri dengan lembut. "Sama-sama sayang."

Air hangat dikamar mandi Andin mengundangnya untuk menyegarkan tubuh Amanda. " Ndin, aku numpang mandi yah. Badanku gerah."

"Iya Nda. Handuknya ada dilaci gantung ya. Didalam kamar mandi."

****

Dalam ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Ruang yang tertata indah jauh dari angan-angannya. Mengingat sebelumnya hanya menyewa kontrakan kecil yang terlintas sejak dipemakaman ayah bundanya.

Baginya, bagaikan anak hilang yang diundang masuk kedalam istana kerajaan dan tidur beralaskan kasur yang empuk serta kain alas penutup yang sangat lembut.

Tidak ada sedikitpun melintas dipikiranya untuk bisa berbaring santai seperti ini sebelumnya.

Ya, dikamarnya, kamar baru yang baru saja ditempati karena pemberian dari sahabatnya. Membayar semua rasa lelah yang bergerumun hebat ditumbuh Amanda.

Entah bagaimana cara berucap syukur kepada yang Maha Kuasa. Entah bagaimana meluapkan rasa bahagia yang saat ini dia rasakan.

Amanda benar-benar mendapatkan angin surga yang menghantarkannya melangkah dari warung nasi sederhana hingga keapartemen yang mewah.

Satu masalah sudah bisa diatasinya. Tapi, hidup bukan hanya tidur saja. Dia butuh sesuatu yang lain untuk bertahan dihari esok.

Dia masih harus mencari pekerjaan yang bisa menjadi penopang hidupnya dan Fahri dikemudian hari.

Penawaran dari Andin masih belum diputuskannya. Pekerjaan yang akan membuat dirinya hina. Ya, sebagian menganggapnya begitu. Tapi, sebagian lain mereka bangga dengan profesi kerjanya.

Karena dari sanalah mereka bisa menafkahi keluarga dan orang-orang kesayangan. Tidak peduli halal atau haram, karena buat mereka yang penting perut kenyang.

Tidak dengan Amanda. Dia harus melawan keras hatinya untuk bisa menerima kenyataan bahwa itu adalah pekerjaan satu-satunya yang bisa dia dapatkan.

Tidak mudah untuk seorang Amanda memutuskan perkara itu dengan cepat. Apalagi mengingat cerita Andin yang harus rela kehilangan kehormatannya karena peristiwa dimalam pertama dia bekerja.

Resiko besar yang harus Amanda ambil untuk menerima pekerjaan yang sahabatnya tawarkan. Tetapi, tidak ada jalan lain kecuali menerimanya.

"Aku harus menerima pekerjaan ini atau tidak. Ya Tuhan. Tolong aku."

Disaat gejolak yang membuat hatinya berkecamuk, dia menoleh keadiknya yang masih asik dengan mainan baru.

"Kamu seneng yah Dek?"

Fahri hanya melempar senyum lebar dipipi cabinya.

"Kak. Kak Andin baik yah. Dia kasih mainan ini untuk aku," oceh Fahri senang.

Dalam rona diwajah adiknya, dia tahu betul kalau Fahri sedang bahagia. Bahagia untuk selamanya atau sementara, itu tergantung Amanda yang menentukan.

Tidak ada kepalsuan dalam senyum Fahri. Iya, dia sangat menikmati kebahagian yang meliputi hatinya saat ini. Kebahagian yang hampir saja pupus jika Tuhan tidak mengirimkan Andin bertemu denganya. Kebahagian yang akan sirna jika saja Tuhan tidak menetapkan hati Andin untuk menahannya.

"Tapi, kenapa Tuhan hanya memberikan satu pilihan untukku bekerja."

Entah apa rencana Tuhan, dia tidak pernah tau. Tidak juga Andin atau bahkan Fahri sekalipun akan tahu. Memang jalan cerita Tuhan selalu terlihat sangat menyakitkan. Tetapi, jika diikuti dengan hati akan berakhir dengan manis.

Memang, hidup bukanlah sebuah cerita yang dibuat oleh manusia layaknya sebuah skenario film yang akan selalu indah untuk setiap pelakon utamanya diakhir cerita. Tapi, suka enggak suka Amanda harus menerima takdir yang sudah ditetapkan Tuhan kepadanya.

"Kak. Tidur yuk. Fahri ngantuk."

Amanda mematikan lampu kamarnya. Dia memeluk Fahri sambil berbaring. Malam pertama dari hidupnya yang baru, Amanda merasakan tubuhnya lelah.

Iya. Aku harus kerja. Sementara aku belum dapat pekerjaan lain, tawaran dari Andin aku harus terima. Demi masa depan Fahri, batin Amanda.

Malampun semakin larut. Memperlihatkan keindahan Maha karya dari sang Pencipta. Sinaran bintang membuktikan kesempurnaan ketika gelap datang dan melengkapi langit ketika tidak ada sinar mentari.

Sebuah perpaduan saling melengkapi dalam kekurangan.

Alam mencontohkan pribadinya akan ada terang sehabis gelap. Akan ada putih setelah hitam. Akan ada hasil setelah proses yang dilewatkan.

Begitupun kehidupan Amanda. Akan berakhir indah atau sebaliknya tergantung dia yang menentukan.

Keesokan harinya, mentari sudah bertugas seperti biasa dari perintah sang Maha kuasa untuk menampakan wujudnya.

Dengan petimbangan yang matang dan harus melawan hati nurani, Amanda sudah mempunyai keputusan. Bersama Andin duduk disofa sambil menikmati sarapan ringan.

"Ndin. Aku coba ikut kamu ya."

Mendengar itu, seperti melihat bintang disiang hari, Andin tidak percaya. Dia tidak percaya kalau seorang Amanda mau menerima penawaran konyolnya. Perkataan yang begitu saja terlontar asal dari mulutnya. Karena kepolosan hati yang iba melihat keterpurukan sahabatnya.

Dia segera menoleh cepat ke arah Amanda yang berada di sampingnya.

"Kamu serius!"

Tak ada pilihan buat Amanda. "Iya. Aku serius. Kenapa memangnya?"

Tidak ada penawaran lain untuknya bisa menolak. Pilihan yang harus diambilnya. Ya, harus. Cerita panjang akan dimulai hari ini.

Cerita tentang Amanda yang akan merubah warna hidupnya. Merubah dirinya dari yang tidak biasanya. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kepada orang tuanya disurga sana.

Biarlah semua aku yang tanggung akibatnya. Semoga keputusan aku benar, ya Tuhan, gelisahnya dalam hati.

Setelah malam ini, mungkin namanya masih Amanda. Tetapi, tidak dengan dirinya. Amanda adalah gadis manis yang sangat menjaga prinsip dalam hidupnya. Sangat menjaga kesucian dalam kehormatannya.

Tapi, tidak dengan malam ini. Mungkin saja malam ini dia akan kehilangan semuanya. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang telah lama dia jaga.

Amanda merelakan semua demi masa depan adiknya. Sebuah itikad yang baik dari seorang anak manusia. Walaupun cara yang ditempuhnya salah.

Sore ini Andin akan mengajak Amanda pergi ketempat kerjanya bertemu dengan Mami Cleo. Begitulah kebanyakan orang yang memanggilnya. Entah siapa nama aslinya.

Tidak ada mami yang menjual anaknya. Tetapi, berbeda dengan Mami yang satu ini. Dia adalah penyalur perempuan untuk para laki-laki penggila hasrat.

Didepan cermin Amanda masih mematung diri. Melihat dirinya yang bukan dia sebenarnya. Melihat bayang-bayang dalam kehidupan yang akan dijalaninya setelah malam ini. Iya, Amanda akan menjadi gadis cantik milik bersama. Gadis cantik yang akan bisa dinikmati laki-laki hidung belang. Gadis cantik yang akan membiarkan tubuhnya terjamah dari laki-laki yang tidak pernah punya rasa cinta kepadanya. Label itu resmi akan dia dapatkan ketika dia menginjakkan langkah pertama ditempat itu.

"Ndin. Kamu yakin. Pakaian aku terlalu terbuka begini," ucapnya gelisah.

Dia masih berdiri didepan kaca dan melihat dirinya seperti seorang model majalah panas yang siap difoto.

Melihat sahabatnya murung dan cemas, Andin mendekatinya dan menatap cermin bersama. Dia membelai rambut Amanda dengan lembut penuh kasih sayang. Tidak ada sedikitpun hati kecilnya menginginkan Amanda mengalami apa yang dia alami. Tapi, sekali lagi, tidak ada pilihan untuk Amanda saat ini.

"Nda. Kita bekerja didunia malam, bukan diperkantoran. Dengan penampilan kita yang seperti ini, para tamu pengunjung akan lebih memperhatikan. lagipula, tempat kita bekerja menuntut penampilan untuk lebih meng...go...da."

Sedikit ceramah dari sahabatnya membuat Amanda kembali menghela nafasnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akan bekerja seperti ini. Dan berakhir dimalam yang panjang dengan pria-pria dalam ranjang.

"Kamu cantik, Nda. Cantik sekali," pujinya.

Sebatas pujian penyemangat untuk hatinya yang gelisah. Tapi memang benar, Amanda sungguh Maha karya Tuhan yang sangat indah.

Bagaimana tidak, Amanda diberkati kulit yang putih dan mulus tanpa noda. Rambut lurus panjang bak bintang iklan sampo. Pipi agak kemerah-merahan dengan lesung yang dalam, menyempurnakan senyumnya yang semakin manis. Amanda dianugerahi juga dengan gigi tertara rapih diantara sela-sela mulutnya. Dan bola mata yang bulat serta alis yang tebal.

Semua yang ada dalam dirinya akan membuat wanita lain iri kepadanya.

"Ya udah yuk berangkat. Mami udah nunggu. Kita mulai kerja nanti jam 7 malam. Tapi, sebelum itu biasanya mami akan mengarahkan kita dengan celotehan-celotehanya. Dan juga sebagian perempuan lain memaanfatkan waktu untuk merias diri sebelum bekerja."

Dengan langkah berat, Amanda terpaksa mengikuti sahabatnya. Dalam rasa bimbang dan penuh kecemasan dia terpaksa harus segera keluar dari kamar ini.

Diruang tamu dia melihat Fahri yang sedang bermain. "Dek. Kak Andin sama Kak Amanda berangkat kerja dulu ya. Kalau Fahri mau makan atau cari sesuatu, Kak Andin sudah siapkan semuanya dikulkas dan meja makan. Mmuaaacchh." Andin mencium Fahri kemudian disusul Amanda mencium Adiknya.

Tanpa rasa bersalah Fahri mengizinkan kakak-kakaknya pergi. Itu karena dia masih kecil. Dia belum tau apa-apa soal kehidupan malam. Dia belum tau bagaimana caranya melindungi kakak perempuanya. Ya, Fahri belum tau bagaimana menahan berat dalam hidup. Saat ini, dia hanya tau bagaimana cara makan dan bermain.

Itu saja sudah Amanda syukuri. Karena, mengingat Fahri 8 tahun yang lalu hidup penuh kecukupan. Dia pasti masih ingat bagaimana rasanya diantar sekolah dengan mobil mewah. Dia pasti masih ingat bagaimana rasanya makan diresto mahal. Dia juga pasti masih ingat bagaimana rasanya berlibur keluar negri.

Itu masih Amanda syukuri. Fahri tidak menuntut hidupnya kembali seperti dulu. Fahri tidak menutut harus tidur dikasurnya lagi. Fahri tidak menunutut harus pergi kenegri dongeng setiap bulannya. Itu saja sudah Amanda syukuri.

Sudah sampai dilobby apartemen dan mereka pergi menuju tempat kerja dengan menggunakan taxi.

Beberapa jam perjalanan, mereka sampai ditempat tujuan. Dada Amanda mulai berdebar ketika melangkahkan kaki ditempat yang masih sepi ini.

Tidak akan mungkin lagi untuk bisa kembali melangkah pulang. Perasaan takut harus dilawannya dengan kuat. Mereka lanjut menaiki lift menuju ruangan dimana tempat berkumpulnya para wanita pengumpul rupiah sedang berias diri.

Sebuah pintu sudah didepan mata. Pintu yang terlihat biasa bagi mereka yang sudah terbiasa. Tapi tidak dengan Amanda. Pintu itu bagaikan aksesnya untuk menuju neraka.

TOK...TOK...

Pintu neraka sudah terbuka bagi Amanda. Dia tidak bisa lari dari belenggu yang akan mengikatnya nanti.

Beridiri dihadapanya perempuan setengah matang yang mereka panggil Mami Cleo, sudah berada didepan pintu.

"Mammmiii....," sapa Andin dibarengi cium pipi kanan kiri dan kemudian, Andin masuk kedalam ruangan mengikuti Mami.

Para penghuni neraka terlihat jelas dimata Amanda. Mereka sedang mempercantik diri didepan kaca. Membuat darah Amanda semakin dingin.

Sudah biasa sepertinya Andin. Dia berjalan santai melenggang dan menyapa teman-temanya diruang ini. "Hai. Hai ladies. Sudah pada siap beraksi malam ini."

Amanda, dia masih menunggu diluar, didepan pintu. Hatinya merasa takut dan pikiranya terbang entah kemana.

Dari meja Mami Cleo, dia menatap Amanda penuh tanya. "Sapose itu. Orang baru?" tanyanya kepada Andin.

"Bentar Mam." Andin segera menghampiri Amanda yang masih mematung didepan pintu. Tangan Andin langsung menggandeng Amanda dan memperkenalkanya ke Mami.

Habis sudah hari perhitungan buat Amanda. Kali ini dia dihadapkan langsung dengan malaikat penjaga neraka. Amanda akan siap membara terbakar api yang tak nyata.

"Ini lo Mi. Yang tadi siang aku bilang ke Mami ditelpon. Cantik kan..." Andin memperagakan seperti sedang menjual barang mewah. Bersamaan dengan itu para penghuni neraka dengan kompak melirik kearah penghuni baru, yaitu Amanda.

"Ih cantiknya."

"Cantik banget...Semakin banyak deh saingan gue."

"Mam.......pus gue. Ini anak pasti banyak pelanggannya."

"Anjay. Kulit apa susu. Bersih banget."

Ramai celoteh miring bergunjing diantara mereka. Yang akan siap menghalangi penguni baru menikmati panasnya api dibawah sana.

Sang malaikat penjaga, Mami Cleo, berdiri dari tempat duduknya. Dia memutari tubuh Amanda melihat dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Matanya tajam sinis menatap penghuni baru yang siap mendobrak habis setan-setan dineraka. "Cantik. Mul...lus. Sexi," puji Mami.

"Masih perawan!"

Mendengar itu dari malaikat penjaga neraka, membuat darah Amanda mengalir cepat diseluruh tubuhnya. Hingga memompa jantung yang berdebar kencang. Membuat otot dimatanya menarik kuat terbelalak.

Pertanyaan konyol pertama yang baru saja dilontarkan dari sang penjaga, membuat Amanda semakin dingin membeku.

"Ya jelas masih lah Mi," sela Andin.

"Aku tuh tau siapa dia Mi. Mami gak usah khawatir soal itu. Yang penting-." Andin berdiri disamping Amanda dan merangkulnya.

"Kasih dia harga tinggi ya Mi."

"Hmm...Kita liat saja nanti bagaimana penawaranya," ketus Mami.

Malam ini, malam pertama Amanda menginjakkan kakinya dineraka dalam khayalnya. Tempat yang bernama XL ROAD BAR adalah tempat terpanas yang pernah Amanda datangkan.

Tidak pernah terlintas dibenaknya untuk menghampiri tempat ini. Tidak, berfikirpun tidak. Tapi, inilah kenyataanya sekarang. Kenyataan dimana Amanda kini berada. Kenyataan dimana Amanda kini harus bergantung nasib. Iya, ditempat ini. Ditempat ini dirinya akan bergantung untuk mendapatkan setumpuk uang.

Tepat jam 7 malam, Amanda sudah berada diruangan gelap dengan penerangan seadanya. Rasa pilu, takut, marah, semuanya berkecamuk di hatinya.

"Tugas pertama kamu adalah perhatikan tamu-tamu yang ingin memesan minuman. Jika ada yang ingin mengajak kamu untuk gabung disofa mereka, kamu ikuti. Jangan ditolak.

Dan, jangan pernah menerima ajakan tidur dengan tamu tanpa sepengetahuan Mami. Jelas." terang Mami Cleo.

Amanda mengangguk tanpa berani memandang wajah Mami.

"Jelas!" bentak Mami.

"Je-las. Jelas Mi," ucapnya gugup.

"Bagus." Mami Cleo kemudian pergi meninggalkan Amanda.

Mata Amanda tidak berhenti memperhatikan ruangan yang sangat besar ini. Tamu-tamu sudah mulai banyak berdatangan. Kebanyakan dari mereka adalah pejabat hingga pengusaha besar.

Dia melihat mereka seperti sekelompok srigala buas yang siap menerkam mangsa. Mereka sangat haus dan kelaparan akan belaian. Terbukti dari wanita-wanita yang duduk bersama mereka. Habis dijamah tanpa rasa cinta.

"Gimana, Nda. Asikkan...," tegur Andin yang baru saja berdiri disampingnya.

"Aku risih Ndin sebenarnya," keluh Amanda.

"Ah biasa itu awal-awal. Nanti kamu juga terbiasa." Dan kemudian, Andin berlalu dengan membawa sebotol minuman untuk tamunya.

------Bersambung------

Terpopuler

Comments

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

aduhh thor..

aku kok engga tega ya sama amanda😢

2020-08-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!