Bidadari
Andiko Mandala, 31 tahun. Seorang pengusaha muda yang sukses dalam karir dan kehidupan asmara.
Diusianya yang matang ini dirinya akan segera mempersunting Kiranti Adelia, 29 tahun. Kiran, begitu perempuan itu disapa. Putri sahabat karib kedua orang tua Andiko. Mereka memang dijodohkan, tidak ada alasan bagi Diko untuk menolaknya. Kiran gadis yang cantik, baik dan perhatian. Lagi pula sejak awal pertemuan mereka, rasa nyaman selalu hadir diantara mereka.
Namun jelang hari bahagia itu, kabar buruk datang begitu saja.
Andiko bergegas menuju salah satu rumah sakit swasta terbaik di ibu kota. Ihsan, calon ayah mertuanya itu tiba - tiba mengalami serangan jantung fatal.
Sepanjang lorong rumah sakit Diko berdoa, semoga Om Ihsan segera sadar dan pulih.
Ceklek!
Diko membuka pintu ruang tunggu pasien ICU dengan hati - hati.
Disana Kiran termenung seorang diri. Duduk bersandar pada kursi besi yang dingin.
"Kiran!" Diko mendekat dan mengamati wajah calon istrinya lebih jauh.
Kiran terlihat sangat terpukul. Andiko sangat tahu itu. Kiran hanya punya Om Ihsan disisinya. Setahu Andiko, Kiran punya satu adik perempuan yang tinggal diluar negri. Tapi sepanjang mereka saling mengenal sosok adik perempuan itu tidak pernah muncul.
Kiran menoleh dengan wajah sayu dan mata sembabnya.
"Mas Diko! Ayah, mas...," agaknya tiada kata yang bisa menggambarkan kesedihannya. Kalut, sang ayah selama ini tidak pernah cerita kalau sebenarnya punya penyakit jantung koroner.
Seorang dokter keluar dari ruangan ICU bersama seorang perawat. Kiran berdiri dan berlari menuju dokter itu.
"Mari ikut keruangan saya," kata dokter yang kelihatan sudah senior itu.
Kiran memaksakan kakinya, menyeret langkah mengikuti dokter spesialis jantung yang menangani ayahnya itu. Kiran takut dengan apa yang akan disampaikan dokter itu.
"Tenang dulu, Ran," Diko mengiringi langkah Kiran menuju ruangan dokter.
Keduanya duduk dengan gugup menunggu kalimat sang dokter.
Kiran rasa bibirnya sudah sangat kering sekarang. Ingin rasanya dia segera mendesak dokter didepannya ini, tapi bibirnya kaku.
Dokter Ardi, nama dokter itu seperti yang tertera di name tag yang tergantung dilehernya. Dokter Ardi menununjuk ke layar komputer yang baru dia tampilkan.
"Ini area yang ditandai titik putih menggumpal ini adalah penyumbatan serius pada pembuluh menuju jantung. Ada tiga titik yang sayangnya sudah terlambat untuk ditangani. Kita tidak bisa pasang ring karena sumbatan sudah parah," terang dokter Ardi menjelaskan hasil rontgen.
Jatuh sudah air mata Kiran. Sedari subuh tadi saat dia menemukan sang ayah tidak sadarkan diri di atas sajadah sampai sore ini dia berusaha kuat dan tidak menangis.
"Ya Allah, ayah...," lirih sekali.
Diko mengusap bahu Kiran memberinya sedikit kekuatan.
"Maaf, dok. Apa ada solusi lain?" Diko bertanya penuh harap.
Sebetulnya dia juga sangat sedih dan takut. Om Ihsan dan dia sangat dekat, meski tanpa adanya hubungan dengan Kiran sekalipun. Om Ihsanlah yang mendukungnya sejauh ini. Membangun bisnis yang awalnya ditentang orang tuanya.
Dokter Ardi menghela napas berat. Membuat Kiran dan Diko kian gugup dan takut.
"Pada kasus ini satu - satunya jalan hanya operasi bypass. Tapi sekali lagi, saya minta maaf...," jeda ini membuat air mata Kiran semakin banjir membasahi pipinya.
Sementara Diko terus berusaha menguatkannya dengan menggenggam tangannya.
"Usia Pak Ihsan dan kondisi tubuhnya secara keseluruhan yang sudah melemah tidak memungkinkan untuk menjalani operasi ini," tutur Dokter Ardi dengan tidak enak. Dia pun menjelaskan, jika resiko gagal dan meninggal dimeja operasi akan sangat besar.
Usai mendengar penjelasan dokter dua insan itu kembali ke ruang tunggu ICU. Dari kejauhan Kiran memandangi sosok sang ayah yang terbaring tak berdaya dengan ventilator dan beberapa kabel yang menempel didadanya.
"Kita bisa minta pendapat dokter lain. Aku akan cari dokter terbaik," tutur Diko yang berdiri disamping Kiran.
Kiran terdiam. Bukannya dia menyerah, hanya saja apa yang dikatakan dokter sangat logis. Kiran tau akhir - akhir ini ayahnya sering terlihat kurang sehat. Tapi ayahnya pandai sekali menyembunyikan fakta kondisi kesehatannya. Dia menyesal, merasa tidak berguna.
"Jujur, aku nggak tahu harus gimana, mas. Dokter bilang bahkan ayah dipindahkan ke rumah sakit lainpun akan sangat berbahaya," karena dokter Ardi bilang bisa saja sang ayah mendapat serangan jantung diperjalanan.
Sampai tengah malam Diko dengan setia menunggui Om Ihsan dan Kiran. Perempuan itu terlelap dengan wajah yang sudah sangat lelah. Diko meminjamkan bahunya agar Kiran bersandar disana.
Seorang perawat terlihat berlarian keluar dari ruangan ICU. Membuat Diko cemas seketika. Dia ingin memeriksa bilik ICU Om Ihsan tapi tidak tega menganggu tidur Kiran.
Namun beberapa saat kemudian dokter Ardi datang dengan terburu - buru. Masuk ke ICU itu.
Perasaan Diko semakin tidak menentu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk pada calon mertuanya itu.
Benar saja, hampir sejam kemudian dokter Ardi memberi tahunya kalau Om Ihsan kembali mendapat serangan jantung.
Kiran yang terbangunpun tak kuasa menahan rasa sedihnya. Dia kembali menangis. Rasa takut begitu nyata menggerotinya.
"Kita lihat perkembangannya. Mudah - mudahan pasien bisa melewati malam ini!" ujar dokter Ardi. Setelah menepuk bahu Diko diapun berlalu.
.
Keesokan harinya Kiran dibuat senang. Menjelang siang sang ayah siuman dan mencarinya.
"Ayah jangan banyak ngomong dulu, Ya. Please, ayah harus sembuh," pinta Kiran dengan lembut. Dia menggenggam tangan ayahnya dengan takut.
Tapi tidak. Bagi Ihsan ini adalah kesempatan terkahirnya. Dengan susah payah dia menyampaikan maksudnya. Meskipun Kiran melarangnya bicara dan ingin memakaikan kembali ventilator.
"Ayah sangat sayang Kiran..."
Kiran mengangguk cepat dengan air mata berderai. Ini seperti pesan terakhir ayahnya. Entah mengapa dia merasa seperti itu.
"Ayah juga sangat sayang adikmu, Arasya..."
"Diko!"
"Iya, Om. Diko disini!"
"Kiran!"
"Iya, ayah...," Kiran semakin erat menggemam tangan ayahnya.
"Pada saat kamu menikahi Kiran nanti. Nikahi juga Arasya. Jadikan keduanya istrimu. Arasya anak tiri Om. Tapi bagi Om dia adalah anak kandung," terengah, ayah Kiran itu susah payah merangkai kalimatnya agar tersampaikan dengan baik.
Diko dan Kiran sudah jelas sangat terkejut.
Diko bahkan baru tahu kalau adik Kiran itu bukanlah adik kandungnya.
"Ayah jangan bicara lagi. Ayah istirahat aja. Ayah ngelantur...ayah pasti capek," rasanya Kiran ingin lari dari kenyataan ini.
Kenapa ayahnya meminta hal yang sangat sulit?
"Ayah tahu. Ini sulit. Tapi ini permintaan terakhir ayah..."
"Om!" tegur Diko.
"Kamu pernah berjanji akan mengabulkan satu permintaan om. Sekarang waktunya!"
Diko ingat. Dulu saat dia pertama kali menang tender besar dengan perusahaan konstruksinya yang masih baru. Saat itu Om Ihsan yang berjuang bersamanya. Dijatuh bangunnya dia selalu ada Om Ihsan yang menguatkan dan memberi arahan. Sebagai rasa terima kasihnya dia berjanji akan mengabulkan satu permintaan Om Ihsan. Apa pun itu!
"Jika Kiran bersedia. Aku akan memenuhi janji itu, Om." Dengan berat hati Diko memberi jawaban yang melegakan Om Ihsan. Dia berharap Kiran akan menolak.
Sungguh dia tidak pernah bercita - cita punya dua istri. Menikah itu berat, dia tahu itu.
Sementara Kiran mengalah pada sang ayah. Dia sudah pernah kehilangan, berkali - kali. Rasa sakit itu masih membekas dalam dirinya. Tapi ini ayahnya. Memintanya disaat - saat seperti ini. Kiran sangat menyayangi ayahnya.
"Kiran akan setuju...kalau, kalau Rasya juga bersedia dinikahi Mas Diko!"
Deg!
Diko terbeliak sempurna. Bola matanya seakan kau lompat keluar.
Kiran? Bagaimana mungkin?
Senyum lega terukir diwajah Om Ihsan. Diko gundah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti gadis yang bernama Arasya itu bersedia menikah dengannya.
"Ayah sayang Kiran. Kiran akan bahagia!" begitu kata Om Ihsan.
Kiran tersedu lalu memeluk sang ayah yang sedang tersenyum. Menumpahkan rasa campur aduk dalam hatinya.
Tiiit! Tiiiiiit!
Garis - garis di mesin EKG yang terhubung ke tubuh sang ayah menjadi datar memanjang. Dengan suara nyaring yang menakautkan bagi siapa saja.
"Om! Dokter!" Diko berseru dan memencet tombol darurat di dinding tepat diatas ranjang Om Ihsan.
"Ayah! Ayah! Jangan...jangan tinggalin Kiran, yah....," Kiran menangis dengan pilu. Dia meraung.
Dokter datang dan melakukan apa yang perlu dilakukan. Tapi takdir mengatakan lain.
Setiap yang bernyawa pasti akan kembali pada Tuhannya.
"Tepat pada pukul sebelas siang, Kamis, tujuh Januari, pasien Ihsanul Taqwa dinyatakan meninggal dunia"
Kiran tak kuasa menahan kesedihannya. Dia terhuyung dan tak sadarkan diri saat perawat nenutup kain ke wajah ayahnya yang sudah almarhum.
*
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
eilha rahmah
gak kebayang gimana rasanya jadi Kiran, nyesek banget pastinya... /Sob/
2024-11-18
0
hyacinth
awalan nya aja udh segereget ini Thor semangatttt yaaaaaaa
ouh iya aku juga punya karya lho ayo mampir Thor kita saling mendukung 😁🥰😘
2024-07-24
0
🕷️Mac_Cron🕸️
rasanya kok nyesek mendengar kiran bakal di poligami. Emang gak ada pria lain ya Thor yang mau nikahin adiknya? Jalan pikiran bapaknya gimana sih..
jangan lupa mampir juga di karyaku ya Thor.
2024-06-23
0