Tidak Peduli

Rasanya ini sudah akhir zaman. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa hari pernikahan Kiran dan Andiko akan segera digelar, seminggu lagi.

Kiran sudah mengirimkan semua undangan kepada semua orang yang ada didaftarnya. Syukurlah waktu itu saat sang ayah meninggal, undangan belum selesai dicetak. Sehingga perubahan rencana dapat dikondisikan.

Mereka memutuskan menunda resepsi. Apalagi ada amanat sang ayah yang harus disampaikan. Soal menjadikan Arasya istri kedua Andiko, menjadikan Arasya madunya Kiran.

Soal penundaan resepsi ini dapat dimaklumi oleh keluarga Diko. Karena Kiran masih dalam suasana berduka. Begitupun keluraga Kiran yang memang hanya segelintir orang.

Hanya saja, alasan terkuat penundaan ini hanya diketahui oleh Kiran dan Diko saja. Hanya mereka yang mendengar pesan terakhir Ihsan sebelum meninggal.

"Hanya karena nggak ada saksi lain bukan berarti kita bisa mengabaikan wasiat ayah, Mas. Aku nggak bisa, aku akan tetap kasih tau Arasya!" tegas Kiran saat mereka bertemu hari ini.

Diko menyugar rambutnya kebelakang lalu meraup wajahnya. Dia sungguh gelisah. Kiran tidak mau dibujuk untuk menyembunyikan wasiat Om Ihsan.

"Coba kamu pikirin lagi, Kiran. Apa kamu sanggup dipoligami? Aku aja nggak bisa, aku nggak yakin. Aku benar - benar nggak bisa!" kekeuh Diko.

Mereka bicara dimobil. Hari ini jadwal fitting terakhir kebaya dan jas pengantin untuk hari akad nanti.

Kiran terdiam. Sungguh, dia juga tidak yakin dengan semua itu.

Apa aku bisa menjalankan pernikahan dengan poligami? Tapi ini amanat Ayah. Permintaan Ayah yang terakhir.

Hati aku sakit!

"Aku nggak ngerti kenapa Om Ihsan meminta hal nggak masuk akal ini," keluh Diko untuk kesekian kalinya.

Ya, sama. Aku juga nggak ngerti!

Tapi bukan itu yang terlontar dari bibir Kiran kemudian.

"Tapi kamu udah janji di depan Ayah, mas."

Diko mendesah frustasi. Dia tidak tahu harus bagaimana? Kalau dipikir - pikir ada banyak pria diluar sana yang mepraktekan poligami. Tapi, ada banyak istri yang tersakiti dalam poligami. Lalu ada banyak rumah tangga yang akhirnya hancur karena poligami. Namun banyak juga lelaki yang memimpikan punya lebih dari satu istri.

Ah! Enggak! Sejak kapan gue punya niat buat berbagi cinta?

Cinta?

Diko menepis kuat pikiran - pikiran aneh dikepalanya.

Cinta? Sejujurnya dia juga belum yakin sudah mencintai Kiran atau belum. Mereka belum terlalu lama melakukan pendekatan. Kenal memang sudah sejak beberapa tahun ini, tapi mereka dulu memang jarang sekali bertemu. Keluarga Diko dulunya semua tinggal di Bandung. Baru beberapa tahun ini pindah ke Jakarta.

"Udah dulu bahas ini. Kepala aku sakit!" Diko memutuskan sepihak.

"Tapi..."

"Aku harap kamu nggak gegabah dengan ngasih tau hal ini ke orang lain!" ultimatum itu jelas menghambat niat Kiran untuk segera memberi tahu Arasya.

Sebetulnya, Kiran juga berharap jika Arasya akan menolak. Logikanya, mana ada perempuan yang rela dipoligami? Sama adik sendiri lagi, walaupun adik tiri. Kiran takut tidak bisa menjalaninya dan merusak hubungan persaudaraannya dengan Arasya.

Tapi, momen - momen terakhirnya dengan sang ayah masih melekat kuat dikepalanya. Permintaan ayahnya itu terus terngiang setiap harinya.

Akhirnya mereka berpisah sampai hari akad tiba nanti.

Kiran sendirian dirumah. Biasanya sih ada Bi Tuti, pembantu yang biasa menginap juga. Cuma Bi Tuti sedang cuti karena menantunya mau lahiran. Jadilah dia kesepian sekarang.

Saat akan mematikan lampu ruang keluarga sebelum bersiap tidur, Kiran tidak sengaja menyenggol vas bunga di nakas. Alhasil vasnya jatuh, untung tidak pecah karena ada karpet cukup tebal disana.

Kiran mengembalikan lagi vas itu ketempat semula. Namun ada yang menarik perhatiannya. Dari dalam nakas ada selembar kertas yang mencuat keluar dari celah pintunya.

Penasaran, Kiran membuka nakas itu.

"Surat?" sebuah amplop warna krem berhasil dia temukan.

Amlopnya tidak disegel. Entah kenapa dia tertarik untuk membukanya.

Ada dua lembar kertas disana. Satu tertuliskan namanya dan satu lagi nama Arasya. Dia hapal betul tulisan tangan ayahnya yang tegak bersambung itu.

"Kapan ayah nulis ini?" mata Kinar jadi mengembun, perih, rasanya mau nangis kencang.

Untuk Kiranti Adelia.

Kiran, putri kesayangan Ayah.

Kalau kamu baca ini, bisa jadi Ayah udah nggak ada didunia ini.

Kinar, jangan terlalu lama bersedih. Nikmati hidup kamu, janji sama Ayah kamu akan bahagia, ya!

Tentang wasiat ayah. Ini permintaan ayah. Tapi kamu dan Arasya berhak menentukan pilihan.

Ayah sayang Kiran.

Surat itu pendek. Tapi cukup untuk menggambarkan perasaan sang ayah padanya.

Suara sang ayah terus menggema ditelinganya.

Ayah sayang Kiran.

Sama seperti disurat terakhir ayahnya.

"Sampai sekarang Kiran nggak tau. Kenapa ayah kasih wasiatnya begitu? Kalau ayah sayang Kiran. Kenapa ayah minta arasya jadi madu Kiran, Yah?"

Kiran terus bertanya - tanya.

Ada apa sebenarnya? Apa alasan sang ayah memintanya berbagi suami dengan adik tirinya sendiri.

Kiran tidak tahu apa jawabannya meski sudah memikirkan ribuan kali sejak hari itu.

Sekarang dia juga ragu akan mengambil keputusan apa. Menuruti saran Diko untuk menyembunyikan wasiat ayahnya atau berterus terang.

Kadang - kadang hatinya yakin ingin jujur pada Arasya. Kadang pula dia takut.

Karena itulah sampai sekarang dia tidak berani menangkat panggilan telepon atau video call dari Arasya. Dia hanya mengirim pesan. Bilang kalau dia sibuk mempersiapkan pesta pernikahan.

Ditempat lain, malam ini disebuah club malam yang berisik dengan suara musik keras. Diko duduk sendirian. Dia tidak minum dan belum pernah minum minuman memabukkan itu. Dia disana karena menunggu teman - temannya.

Beberapa gadis malam datang menghampiri. Ingin mendekat dan menyentuhnya, tapi dia tolak dengan halus.

Diko bersyukur dibesarkan dalam keluarga yang konservatif. Sehingga dirinya terjaga dari hal yang kurang baik baginya.

Dia heran. Kenapa teman - temannya itu suka sekali nongkrong ditempat berisik ini.

"Yooooo...udah lama, bro?" Isa si arsitek andalan diperusahaan Diko. Teman sejak kuliah dulu. Dia masih jomblo tapi punya banyak gebetan.

"Gila calon manten! Makin bersinar aja lo!" ini Akmal, yang paling normal selain Diko. Dia sudah punya istri.

"Si Tommy tuh. Patah hati berat, dia kan naksir Kiranti udah lama tapi malah lo yang dapat," Lucas yang bicara, dia sudah bertunangan dengan seorang akris cantik ibu kota.

Diko menerima satu persatu salam jotos kawannya yang baru datang bersamaan. Biasanya sih mereka berangkat dengan satu mobil kalau akhir pekan begini, malas nyetir karena sering kena macet. Rumah mereka juga berdekatan, Diko sendiri yang agak jauh dari rumah teman - temannya.

"Suntuk amat muka lo. Kalau Tommy liat bisa - bisa dia ngamuk sama lo!" Lucas sedikit heran dengan wajah kusut Diko malam ini.

"Kenapa emang?" tanya Diko malas.

"Pakai nanya! Lo tuh, kaya nggak bahagia mau nikahin Kiran. Akhir - akhir ini muka lo galau terus," aku Lucas yang diangguki Akmal dan Isa.

"Si Tommy jadi malas liat muka lo. Dia udah rela patah hati tapi lo malah kaya orang banyak pikiran gini. Kenapa sih?" Akmal penasaran juga.

"Nothing! Cuma mikirin biaya nikahan sekarang tuh mahal, ya?" sahut Diko asal yang membuat teman - temannya berseru kesal.

Masa iya? Pemilik perusahaan kontruski lengkap dengan jasa arsitekturnya itu ngeluh soal biaya nikahan. Rasanya nggak mungkin.

"Ngomong - ngomong kok diundangannya gak ada tanggal resepsi?" celetuk Akmal yang ingat kecerewetan Alecia istrinya yang menyuruhnya bertanya saat bertemu Diko. Alecia dan Kiran pernah bekerja dikantor yang sama. Hanya saja Kiran sudah mengundurkan diri sejak sebulan yang lalu. Mau fokus mempersiapkan diri jadi istri.

Kening Diko berkerut. Temannya itu peka juga. Ada yang tidak beres.

"Oh, itu. Karena Kiran masih berduka aja. Jadi diundur!" alasan yang tepat sekaligus meyakinkan. Sudah disepakati dengan Kiran. Mereka akan jawab sama apa bila ada yang tanya. Lagi pula itu benar, Kiran masih berduka. Dia saja yang bukan anak Om Ihsan juha kehilangan. Apa lagi Kiran yang anaknya. Dan bisa juga Arasya masih bersedih.

Arasya?

F*ck!

Diko menyumpahi diri sendiri. Bisa - bisanya dia teringat Arasya lagi. Ya, sejak hari pemakaman Om Ihsan itu dia terus teringat wajah sendu dan kuyu Arasya. Harusnya dia tidak peduli, kan?

Ya. Diko harus tetap begitu! Tidak peduli. Supaya jiwanya tetap sehat.

Tapi kamu udah janji didepan ayah, mas!

Diko menggeram frustasi.

Baik Kiran, wajah Arasya yang sendu dan kuyu serta momen terakhir bersama Om Ihsan membuat kepalanya penuh.

*

Tbc.

Terpopuler

Comments

Rahma AR

Rahma AR

keren diko

2024-01-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!