Andiko Mandala, 31 tahun. Seorang pengusaha muda yang sukses dalam karir dan kehidupan asmara.
Diusianya yang matang ini dirinya akan segera mempersunting Kiranti Adelia, 29 tahun. Kiran, begitu perempuan itu disapa. Putri sahabat karib kedua orang tua Andiko. Mereka memang dijodohkan, tidak ada alasan bagi Diko untuk menolaknya. Kiran gadis yang cantik, baik dan perhatian. Lagi pula sejak awal pertemuan mereka, rasa nyaman selalu hadir diantara mereka.
Namun jelang hari bahagia itu, kabar buruk datang begitu saja.
Andiko bergegas menuju salah satu rumah sakit swasta terbaik di ibu kota. Ihsan, calon ayah mertuanya itu tiba - tiba mengalami serangan jantung fatal.
Sepanjang lorong rumah sakit Diko berdoa, semoga Om Ihsan segera sadar dan pulih.
Ceklek!
Diko membuka pintu ruang tunggu pasien ICU dengan hati - hati.
Disana Kiran termenung seorang diri. Duduk bersandar pada kursi besi yang dingin.
"Kiran!" Diko mendekat dan mengamati wajah calon istrinya lebih jauh.
Kiran terlihat sangat terpukul. Andiko sangat tahu itu. Kiran hanya punya Om Ihsan disisinya. Setahu Andiko, Kiran punya satu adik perempuan yang tinggal diluar negri. Tapi sepanjang mereka saling mengenal sosok adik perempuan itu tidak pernah muncul.
Kiran menoleh dengan wajah sayu dan mata sembabnya.
"Mas Diko! Ayah, mas...," agaknya tiada kata yang bisa menggambarkan kesedihannya. Kalut, sang ayah selama ini tidak pernah cerita kalau sebenarnya punya penyakit jantung koroner.
Seorang dokter keluar dari ruangan ICU bersama seorang perawat. Kiran berdiri dan berlari menuju dokter itu.
"Mari ikut keruangan saya," kata dokter yang kelihatan sudah senior itu.
Kiran memaksakan kakinya, menyeret langkah mengikuti dokter spesialis jantung yang menangani ayahnya itu. Kiran takut dengan apa yang akan disampaikan dokter itu.
"Tenang dulu, Ran," Diko mengiringi langkah Kiran menuju ruangan dokter.
Keduanya duduk dengan gugup menunggu kalimat sang dokter.
Kiran rasa bibirnya sudah sangat kering sekarang. Ingin rasanya dia segera mendesak dokter didepannya ini, tapi bibirnya kaku.
Dokter Ardi, nama dokter itu seperti yang tertera di name tag yang tergantung dilehernya. Dokter Ardi menununjuk ke layar komputer yang baru dia tampilkan.
"Ini area yang ditandai titik putih menggumpal ini adalah penyumbatan serius pada pembuluh menuju jantung. Ada tiga titik yang sayangnya sudah terlambat untuk ditangani. Kita tidak bisa pasang ring karena sumbatan sudah parah," terang dokter Ardi menjelaskan hasil rontgen.
Jatuh sudah air mata Kiran. Sedari subuh tadi saat dia menemukan sang ayah tidak sadarkan diri di atas sajadah sampai sore ini dia berusaha kuat dan tidak menangis.
"Ya Allah, ayah...," lirih sekali.
Diko mengusap bahu Kiran memberinya sedikit kekuatan.
"Maaf, dok. Apa ada solusi lain?" Diko bertanya penuh harap.
Sebetulnya dia juga sangat sedih dan takut. Om Ihsan dan dia sangat dekat, meski tanpa adanya hubungan dengan Kiran sekalipun. Om Ihsanlah yang mendukungnya sejauh ini. Membangun bisnis yang awalnya ditentang orang tuanya.
Dokter Ardi menghela napas berat. Membuat Kiran dan Diko kian gugup dan takut.
"Pada kasus ini satu - satunya jalan hanya operasi bypass. Tapi sekali lagi, saya minta maaf...," jeda ini membuat air mata Kiran semakin banjir membasahi pipinya.
Sementara Diko terus berusaha menguatkannya dengan menggenggam tangannya.
"Usia Pak Ihsan dan kondisi tubuhnya secara keseluruhan yang sudah melemah tidak memungkinkan untuk menjalani operasi ini," tutur Dokter Ardi dengan tidak enak. Dia pun menjelaskan, jika resiko gagal dan meninggal dimeja operasi akan sangat besar.
Usai mendengar penjelasan dokter dua insan itu kembali ke ruang tunggu ICU. Dari kejauhan Kiran memandangi sosok sang ayah yang terbaring tak berdaya dengan ventilator dan beberapa kabel yang menempel didadanya.
"Kita bisa minta pendapat dokter lain. Aku akan cari dokter terbaik," tutur Diko yang berdiri disamping Kiran.
Kiran terdiam. Bukannya dia menyerah, hanya saja apa yang dikatakan dokter sangat logis. Kiran tau akhir - akhir ini ayahnya sering terlihat kurang sehat. Tapi ayahnya pandai sekali menyembunyikan fakta kondisi kesehatannya. Dia menyesal, merasa tidak berguna.
"Jujur, aku nggak tahu harus gimana, mas. Dokter bilang bahkan ayah dipindahkan ke rumah sakit lainpun akan sangat berbahaya," karena dokter Ardi bilang bisa saja sang ayah mendapat serangan jantung diperjalanan.
Sampai tengah malam Diko dengan setia menunggui Om Ihsan dan Kiran. Perempuan itu terlelap dengan wajah yang sudah sangat lelah. Diko meminjamkan bahunya agar Kiran bersandar disana.
Seorang perawat terlihat berlarian keluar dari ruangan ICU. Membuat Diko cemas seketika. Dia ingin memeriksa bilik ICU Om Ihsan tapi tidak tega menganggu tidur Kiran.
Namun beberapa saat kemudian dokter Ardi datang dengan terburu - buru. Masuk ke ICU itu.
Perasaan Diko semakin tidak menentu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk pada calon mertuanya itu.
Benar saja, hampir sejam kemudian dokter Ardi memberi tahunya kalau Om Ihsan kembali mendapat serangan jantung.
Kiran yang terbangunpun tak kuasa menahan rasa sedihnya. Dia kembali menangis. Rasa takut begitu nyata menggerotinya.
"Kita lihat perkembangannya. Mudah - mudahan pasien bisa melewati malam ini!" ujar dokter Ardi. Setelah menepuk bahu Diko diapun berlalu.
.
Keesokan harinya Kiran dibuat senang. Menjelang siang sang ayah siuman dan mencarinya.
"Ayah jangan banyak ngomong dulu, Ya. Please, ayah harus sembuh," pinta Kiran dengan lembut. Dia menggenggam tangan ayahnya dengan takut.
Tapi tidak. Bagi Ihsan ini adalah kesempatan terkahirnya. Dengan susah payah dia menyampaikan maksudnya. Meskipun Kiran melarangnya bicara dan ingin memakaikan kembali ventilator.
"Ayah sangat sayang Kiran..."
Kiran mengangguk cepat dengan air mata berderai. Ini seperti pesan terakhir ayahnya. Entah mengapa dia merasa seperti itu.
"Ayah juga sangat sayang adikmu, Arasya..."
"Diko!"
"Iya, Om. Diko disini!"
"Kiran!"
"Iya, ayah...," Kiran semakin erat menggemam tangan ayahnya.
"Pada saat kamu menikahi Kiran nanti. Nikahi juga Arasya. Jadikan keduanya istrimu. Arasya anak tiri Om. Tapi bagi Om dia adalah anak kandung," terengah, ayah Kiran itu susah payah merangkai kalimatnya agar tersampaikan dengan baik.
Diko dan Kiran sudah jelas sangat terkejut.
Diko bahkan baru tahu kalau adik Kiran itu bukanlah adik kandungnya.
"Ayah jangan bicara lagi. Ayah istirahat aja. Ayah ngelantur...ayah pasti capek," rasanya Kiran ingin lari dari kenyataan ini.
Kenapa ayahnya meminta hal yang sangat sulit?
"Ayah tahu. Ini sulit. Tapi ini permintaan terakhir ayah..."
"Om!" tegur Diko.
"Kamu pernah berjanji akan mengabulkan satu permintaan om. Sekarang waktunya!"
Diko ingat. Dulu saat dia pertama kali menang tender besar dengan perusahaan konstruksinya yang masih baru. Saat itu Om Ihsan yang berjuang bersamanya. Dijatuh bangunnya dia selalu ada Om Ihsan yang menguatkan dan memberi arahan. Sebagai rasa terima kasihnya dia berjanji akan mengabulkan satu permintaan Om Ihsan. Apa pun itu!
"Jika Kiran bersedia. Aku akan memenuhi janji itu, Om." Dengan berat hati Diko memberi jawaban yang melegakan Om Ihsan. Dia berharap Kiran akan menolak.
Sungguh dia tidak pernah bercita - cita punya dua istri. Menikah itu berat, dia tahu itu.
Sementara Kiran mengalah pada sang ayah. Dia sudah pernah kehilangan, berkali - kali. Rasa sakit itu masih membekas dalam dirinya. Tapi ini ayahnya. Memintanya disaat - saat seperti ini. Kiran sangat menyayangi ayahnya.
"Kiran akan setuju...kalau, kalau Rasya juga bersedia dinikahi Mas Diko!"
Deg!
Diko terbeliak sempurna. Bola matanya seakan kau lompat keluar.
Kiran? Bagaimana mungkin?
Senyum lega terukir diwajah Om Ihsan. Diko gundah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti gadis yang bernama Arasya itu bersedia menikah dengannya.
"Ayah sayang Kiran. Kiran akan bahagia!" begitu kata Om Ihsan.
Kiran tersedu lalu memeluk sang ayah yang sedang tersenyum. Menumpahkan rasa campur aduk dalam hatinya.
Tiiit! Tiiiiiit!
Garis - garis di mesin EKG yang terhubung ke tubuh sang ayah menjadi datar memanjang. Dengan suara nyaring yang menakautkan bagi siapa saja.
"Om! Dokter!" Diko berseru dan memencet tombol darurat di dinding tepat diatas ranjang Om Ihsan.
"Ayah! Ayah! Jangan...jangan tinggalin Kiran, yah....," Kiran menangis dengan pilu. Dia meraung.
Dokter datang dan melakukan apa yang perlu dilakukan. Tapi takdir mengatakan lain.
Setiap yang bernyawa pasti akan kembali pada Tuhannya.
"Tepat pada pukul sebelas siang, Kamis, tujuh Januari, pasien Ihsanul Taqwa dinyatakan meninggal dunia"
Kiran tak kuasa menahan kesedihannya. Dia terhuyung dan tak sadarkan diri saat perawat nenutup kain ke wajah ayahnya yang sudah almarhum.
*
Tbc.
2 Januari 2023.
Disebuah bandara internasional Minang Kabau,
di Kota Padang, seorang perempuan cantik menggandeng wanita sepuh. Seorang air port helper datang dan membantunya menggeret koper sampai ke gerbang kedatangan. Disana sudah kenunggu supir travel yang dikirim dari rumah Oma Ratna.
Arasya Dwina Putri, perempuan 26 tahun itu baru saja kembali ke tanah air. Bersama omanya, Ratna. Mereka kembali atas permintaan Oma Ratna yang ingin menghabiskan sisa - sisa waktu di Indonesia. Tanah kelahirannya di Padang, menyimpan cerita dan kenangan berharga untuk Oma Ratna.
Arasya memandangi jalanan dengan segenap rindu. Padang adalah kota kelahiran ibunya, Amirah. Dia sendiri lahir dan menghabiskan waktu kanak - kanaknya di Jakarta.
Jakarta, menyimpan sejuta kenangan sepuluh tahun pertama kehidupannya. Kenangan antara dirinya, ibunya, ayah tiri yang dianggap ayah kandungnya dan kakak tirinya, Kiranti.
Lama di Paris membuatnya terheran - heran dengan perubahan wajah Kota Padang. Meskipun tidak semegah kota lainnya, Padang tetap mempesona dengan segala yang terhampar dikota itu.
Arasya, Rasya, Ara, berbagai panggilan nama dia dapatkan dari orang sekelilingnya. Tapi kalau di keluarga besar neneknya dia dipanggil Ara. Orang minang memang begitu, suka memanggil nama dengan pendek saja.
Yulia akan dipanggil Yul.
Elfira akan dipanggil Ira.
Rahmi akan dipanggil Ami.
Rumah tua Oma Ratna berada diwilayah kampus universitas kebanggaan orang Sumatera Barat. Tepatnya di kecamatan Pauh, Limau Manis. Disanalah berdiri Universitas Andalas, kampus yang berdiri diatas lahan bebukitan yang didatarkan. Pekarangan kampus sangatlah luas dan hijau. Di dekat gerbang kampus itulah rumah Oma Ratna.
Bagian depan rumah sudah disulap dan disewakan pada pedagang nasi padang. Sedangkan bagian belakang masih utuh menjadi tempat tinggal yang apabila Arasya tidak pulang akan dihuni oleh Ante Dewi, adik satu - satunya almarhumah mamanya. Ante Dewi janda tanpa anak. Sehingga Arasya tidak punya sepupu dekat.
"Ondeh mande! Amak! Ara!" Ante Dewi menyongsong Arasya dan Oma Ratna dengan antusias. Matanya berair dan merah. Agaknya dia sudah rindu sekali dengan dua orang yang baru datang itu.
Ante Dewi memeluk mereka bergantian. Arasya betah dipeluk tantenya yang dia panggil Ante itu. Wanita itu lebih tua sebelas tahun saja darinya.
"Ante gimana kabarnya? Udah nemu jodoh lagi belum?" celetuk Arasya membuat tawa Ante Dewi dan Oma Ratna pecah seketika.
"Ck! Belumlah. Ara kan belum bawain bule pesenan Ante," balas Ante Dewi. Tawa merekapun pecah lagi.
Lantai dua dan tiga bangunan rumah Oma Ratna sudah disulap jadi kamar kos - kosan. Disana kos - kosan dan ruko atau toko adalah hal lumrah karena sangat dekat dengan area kampus yang mahasiswanya ada ribuan.
Arasya dan Oma Ratna beristirahat melepas penat diruang tengah. Mereka tertidur sampai pukul dua.
"Ondeh! Banyak bana sambanyo. Tabik salero makan amak! (Ondeh! Banyak banget lauknya. Bangkit selera makan ibu!)
Arasya tak ketinggalan menikmati hidangan khas minang yang tersaji dimeja makan. Ada ayam pop khas rumah makan minang. Gulai cancang daging, rendang, samba lado tanak, lotek dan yang paling menggoda adalah samba lado jengkol lado mudo.
"Beli dimana, Nte?" Arasya tahu saja kalau Ante Dewi masih belum jago masak, jadi tidak pede kalau masak banyak sendirian.
"Ah! Jangan buka kartu dong!" sahut Ante Dewi.
Sebagai orang minang adalah aib kalau seorang perempuan bila tidak pandai masak. Bukan aib besar sih, cuma malu saja kalau diketahui banyak orang.
Tapi sepertinya keturunan Oma Ratna tidak ada yang jago masak termasuk Arasya dan Ante Dewi.
"Makanya itu toko didepan Ante sewakan ke pengusaha rumah makan!" tebak Arasya lagi.
"Tahu aja Ara!"
Oma Ratna bersyukur dihari tua ini dapat hidup dengan layak dan berkecukupan. Walaupun tidak banyak harta, setidaknya ada rumah yang hangat untuk berlindung.
Saat mereka baru saja selesai menikmati cita rasa masakan minang yang menggugah selera itu pintu diketuk dari luar.
"Biar Ara yang buka!" Arasya bergegas usai mengelap tangannya yang basah dengan serbet.
Seseorang mengucapkan salam dan dijawab ramah Arasya.
"Siapa ya, uni?" tanya Arasya.
Wanita baya yang baru datang itu menerobos masuk meninggalkan Arasya yang kebingungan. Dia berteriak - teriak memanggil Ante Dewi dan Oma Ratna. Setelah itu beberapa orang entah kapan masuknya ikut berbicara dengan hebohnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang berusia kepala empat.
Selanjutnya, terjadi keributan yang tak disangka - sangka sebelumnya. Saudara Oma Ratna dan anak - anaknya datang begitu mendengar kepulangan Oma Ratna dan Arasya. Meributkan pembagian tanah pusaka yang sekarang berdiri rumah Oma Ratna diatasnya.
Tanah sedikit itu telah menjadi pemicu keributan antar saudara. Sepergi orang - orang itu Oma Ratna menangis. Tidak menyangka masalah yang sudah dianggap selesai pada saat arasya masih SMA itu kembali mencuat.
"Ini salah Amak, Wi. Kalau saja Amak tak pinjam pitih si Dalima tu, ndak akan jadi begini!" Oma Ratna teringat akar permasalahan ini. Ia menggadaikan sertifikat tanah jatahnya pada sang kakak karena butuh biaya besar untuk berobat Ante Dewi yang saat itu mengalami kecelakaan tragis dan lumpuh, suaminya yang baru beberapa tahun juga meninggal setelah dirawat berbulan - bulan.
"Bukannya uangnya sudah Oma ganti?"
"Hanya separuhnya. Waktu itu Oma kamu dapat keringanan dari suaminya. Tapi sekarang suaminya udah gak ada. Dia juga baru keluar banyak duit buat masukin cucunya ke akpol!" banyak lanjutan cerita Ante Dewi. Yang jelas semua itu membuat Oma Ratna jadi banyak pikiran.
Arasya ikut pusing. Oma Ratna baru saja kembali dari Paris setelah ikut dengannya yang bekerja disana selama kurang lebih tiga tahun. Awalnya Arasya sendirian melanjutkan pendidikan, mengejar cita - cita disana sebagai fashion designer. Sejak lulus SMA hingga lulus kuliah dia dipercaya Oma Ratna bisa menjaga diri sendiri.
Tapi kemudian ada beberapa orang pria lokal disana yang mendekati Arasya. Oma Ratna jadi cemas dan memutuskan menemani Arasya disana. Setidaknya dia bisa memantau dari dekat keadaan cucunya satu - satunya itu.
Sekarang mereka kembali dan disambut masalah besar. Mereka butuh uang sejumah dua ratus juta untuk mengganti sisa utang Oma Ratna yang ternyata tidak diikhlaskan Dalima.
Arasya jadi bingung bagaimana menghadapi masalah ini. Selama ini uang tabungannya sudah diinvesgasikan membangun kos - kosan.
Selepas isya mereka berkumpul menghitung berapa uang yang bisa dikumpulkan jika menjual simpanan emas.
"Mungkin sekiar empat puluh juta ada, mak," ujar Ante Dewi setelah mengkalkulasi jumlah emas dengan harga emas saat ini.
Semua itu sudah gabungan dari emas simpanan Oma Ratna dan Ante Dewi. Mereka memang sudah banyak menghabiskan uang untuk pengobatan Ante Dewi dan Almarhum suaminya sepuluh tahun yang lalu.
"Digabung sisa tabunganku jadi sekitar sembilan puluh juta. Masih kurang seratus sepuluh lagi," gumam Arasya.
"Kalau uang sewa kos dan ruko bulan ini dikumpul bisa nambah sepuluh jutaan," tambah Ante Dewi.
Arasya yakin masalah ini bisa diatasi. Asal Nenek Dalima mau memberi waktu, mereka pasti bisa membayar. Sehingga Nenek Dalima tidak akan menuntut lagi soal tanah dan rumah Oma Ratna.
"Masalahnya Uwo Dalima ini kekeuh pengen uangnya secepat mungkin. Dia minta besok uangnya udah ada. Katanya buat biaya nikahan anaknya yang bungsu, yang bujang lapuk itu," cela Ante Dewi diujung kalimatnya.
"Hush! Kamu, ngatain orang!" tegur Oma Ratna.
Hari berlalu, keributan kembali terjadi. Kali ini lebih besar karena sejak awal niat Nenek Dalima tidak baik. Dia sudah silau melihat rumah Oma Dalima yang sudah disulap Arasya jadi ruko dan kos - kosan dengan tiga puluh kamar. Berharap dapat bagian besar apabila Oma Ratna menyerahkannya untuk bayar utangnya.
Oma Ratnapun jatuh sakit. Demam tinggi selama beberapa hari. Hingga akhirnya dibawa kerumah sakit.
Mungkin memang sudah waktunya. Ajal menjemput Oma Ratna. Beliau menghembuskan napas terakhir sesaat setelah mendapat perawatan medis.
"Padahal kita udah usaha. Udah pinjam uang ke bank. Tinggal nunggu dikit lagi pasti cair!" Arasya menyayangkan sikap keluarga Oma Ratna yang tidak sabaran.
Sekarang Oma Ratna sudah tiada. Mereka hanya tinggal berdua. Para kerabat tidak bisa diandalkan dan dijadikan tempat bersandar, mereka cuma peduli uang.
Bohong kalau Arasya tidak sedih. Sekarang ia kembali merasakan kehilangan seperti saat belasan tahun lalu. Saat dia kehilangan Ibunya dan adik yang ada dalam kandungan ibunya. Keharmonisan keluarga yang dulu ada juga telah sirna.
Dia berjanji akan menghargai dengan sangat keluarganya yang tersisa.
Arasya dan Ante Dewi berpelukan disamping tanah pusara yang masih basah.
"Sekarang Ante cuma punya kamu, Ara. Janji ya, kita harus hidup bahagia!" pinta Ante Dewi lalu menggeratkan lagi pelukan mereka.
Arasya mengangguk. Iya, dia berjanji akan hidup bahagia.
Besoknya Arasya berpamitan pada Ante Dewi. Dia ingin mengurus pinjaman dari bank yang katanya sudah disetujui usai ditinjau. Maskipun sangat disayangkan mereka tetap akan melanjutkan proses ini. Menggadaikan rumah Oma Ratna lalu membayar utang Oma Ratna. Agar permasalahan ini segera selesai dan tidak memberatkan Oma Ratna diakhirat.
Tapi sepulangnya dari bank malah ada kejutan lainnya. Kejutan yang membuat jantung Arasya serasa mau copot.
Ayah tirinya, yang sudah dia anggap ayah kandung telah berpulang kepangkuan ilahi.
Sungguh selama beberapa tahun tidak bertemu dan hanya berkomunikasi via telepon, dia sangat rindu. Baik pada Ayah dan juga kakak tirinya Kiran.
Dia sudah berencana menemuinya. Dia hanya akan beristirahat selama beberapa hari usai perjalanan panjangnya di Paris. Ini masa cutinya, dia sudah menyusun jadwal agar bisa berkunjung diwaktu yang tepat. Sekaligus menghadiri pernikahan Kiran yang akan diadakan kurang dari sebulan lagi.
Malam itu juga Arasya mengemas beberapa pakaiannya. Dia harus segera berangkat ke Jakarta agar bisa bertemu sang ayah untuk terakhir kalinya. Proses pemakaman akan dilakukan esok hari. Untunglah Arasya dapat tiket pesawat meskipun dengan harga mahal.
Urusan utang piutang Oma Ratna akan dia serahkan sepenuhnya Ante Dewi. Dia juga ingin Ante dewi didampingi pengacara agar semua masalah dapat selesai dengan baik dan tidak ada permasalahan lainnya dikemudian hari.
Hanya butuh sekitar satu jam mengudara. Arasya sudah bisa menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta.
"Jakarta, aku kembali!"
*
Tbc
Kali pertama Arasya menginjakkan kaki di Jakarta kembali setelah belasan tahun lamanya, dia terenyuh. Banyak sekali yang berubah disana tapi tidak dengan rumah mereka dulu. Semua masih sama, hanya saja sekarang ada pagar besi yang tinggi.
Dihalaman itu dulu dia biasa berlarian bersama Kak Ran-nya. Ayah dan Mama akan tertawa senang sambil duduk dibawah pohon ceri atau pohon bungur. Akan ada banyak camilan dan buah segar yang bisa meraka makan bersama.
Sekarang hanya ada Arasya dan Kiran yang bersedih. Tidak ada lagi mama dan ayah.
Pagar itu terbuka lebar. Tenda hitam berdiri dihalaman, sementara suara alunan surah yasin dibacakan beramai - ramai.
Arasya memegangi dadanya. Nyeri sekali, sesak, dia kesulitan bernapas. Baru saja dua hari sebelumnya suasana ini ia lalui atas kepergian Oma Ratna. Dukanya masih sangat basah, sekarang dia sudah harus kehilangan lagi.
Seperti kebanyakan pelayat, Arasya juga menggunakan pakaian serba hitam. Sebuah kemeja lengan panjang polos dan juga celana kulot panjang hitam. Dia masuk dan membaur dengan para pelayat di halaman. Menyalami orang yang menyambut meski dia tidak kenal.
Dia berusaha datang sepagi mungkin meskipun baru sempat tidur dua jam saja. Itu pun karena matanya sudah sangat lelah sehabis menangis.
"Ayah! Rasya datang. Rasya rindu ayah!" lirih dia sampaikan isi hatinya begitu memasuki bagian dalam rumah dimana jenazah Ihsan dibaringkan.
"Kak...," Arasya mengenali Kak Ran yang menangis sesenggukkan. Disampingnya ada seorang pemuda dan sepasang paruh baya yang terlihat seperti suami istri.
Arasya ingin segera mendekat dan memeluk sang ayah. Juga ingin memeluk Kak Ran yang dia rindukan. Tapi banyaknya pelayat yang berkerumun disana menghalanginya.
Dia harus bersabar menunggu sampai ada sedikit ruang untuk mendekat. Tidak ada yang mengenalinya.
Akhirnya setelah menunggu sedikit lama dia bisa mendekat ke kasur yang digunakan untuk meletakkan jenazah.
Air mata Arasya tak terbendung. Dia menangis meskipun tak bersuara. Disekanya cepat buliran air mata, tapi tak kunjung surut.
"Rasya datang, Yah. Ini Arasya, anak ayah. Rasya rindu...," dia tidak peduli siapa yang ada disana. Dia memeluk sang ayah untuk terakhir kalinya.
"Jenazah akan dimandikan lalu dikafankan," suara seorang bapak - bapak yang ternyata adalah pengurus jenazah. Membuat Arasya terpaksa melepaskan pelukannya.
Ketika dia menegakkan punggung saat itulah tatapannya bertemu dengan Kak Ran dan seorang pemuda disampingnya.
Deg!
Dada Arsaya mencelos. Tatapan itu, tatapan yang tidak bisa dia artikan. Pemuda itu menatapnya dingin. Arasya cukup yakin ada maksud tersirat dari tatapan itu. Tapi apa? Apa mereka saling kenal, dia rasa tidak.
Anehnya Kak Ran menatapnya nanar. Seolah mengandung beban didalamnya.
"Kak Ran!" panggilnya dalam hati saja. Karena saat ini perasaan asing tiba - tiba saja menyelinap dihatinya.
Dia termangu ditengah keramaian itu.
Kak Ran pun bangkit dan meninggalkan tempat itu bersama pemuda tadi. Mungkin akan mendampingi proses memandikan jenazah.
Arasya mengikutinya. Dia juga ingin mendampingi sang ayah untuk terakhir kalinya. Tapi disana sudah banyak orang dan didominasi laki - laki. Jadi Arasya tidak bisa mendekat.
Maka dia kembali ke tengah - tengah rumah. Dimana orang - orang masih banyak membacakan surah yasin. Arasya juga ingin ikut membacakan surah yasin.
Namun ketika akan duduk seseorang memanggil namanya.
"Arasya?"
"Ya?" Arasya menoleh.
"Bisa ikut aku sebentar?"
Arasya diam. Dia tidak kenal siapa pemuda yang mengajaknya bicara.
Bukannya dia yang duduk disamping Kak Ran tadi? Apa ini calon suami Kak Ran?
Iya, itu Diko. Arasya memang belum mengenalnya. Belum sekalipun pernah melihat fotonya apalagi bertemu. Dia hanya tahu Kak Ran akan menikah, itu saja.
Tatapan dingin Diko kembali membuatnya mencelos. Itu cukup mengintimidasinya.
Arasya terpaksa ikut demi sopan santun. Bagaimana pun pemuda itu memintanya baik - baik.
Langkah kaki Diko membawanya ke teras belakang. Disana tidak ada orang.
Pemuda itu berhenti di tepi teras lalu menghadang langkah Arasya. Membuat mereka saling berhadapan dalam jarak yang cukup dekat.
"Maaf, kamu siapa?"
"Kamu Arasya?" pertanyaan Arasya malah dijawab dengan pertanyaan lagi.
Arasya mengangguk.
"Aku ingin minta tolong sesuatu sama kamu. Dengarkan baik - baik," kalimat menggantung ini sukses membuat Arasya penasaran.
"Ada apa?" sahut Arasya.
"Demi kebaikan kita semua. Jika Kinar meminta sesuatu atau menanyakan sesuatu yang aneh dan gak masuk akal, kamu harus menolaknya!" lagi - lagi kalimat itu terasa gantung dan tidak jelas.
"Maksudnya?" Arasya heran sekali. Baru ini ada orang meminta menolak sesuatu yang bahkan dia tidak tahu apa itu. "To the poin aja!" dia cukup kesal mendapat tatapan mengintimidasi itu lagi.
"Om Ihsan ingin kamu menj-"
"Diko! Mama cariin dari tadi loh. Ayo masuk, Kiran nanyain kamu tuh!" suara wanita paruh baya menginteruspi.
"Mami?"
Arasya ingin berbalik agar bisa melihat suara wanita itu. Tapi pemuda yang belum menyebutkan namanya itu menahan lengannya. Reflek Arasya menarik lengannya sebagai tanda pertanahan diri.
"Kamu..."
"Diko? Ngobrol sama siapa?" seru wanita itu dari tempatnya berdiri. Cukup jauh, mungkin di bagian samping rumah dekat gazebo kecil. Arasya merasa tidak yakin.
"Ingat! Kamu harus menolaknya!" kata pemuda itu lalu pergi meninggalkan Arasya yang kebingungan seorang diri.
"Aneh!" keluh Arasya.
Tak berapa lama kemudian semua orang berjalan kaki bersama membawa jenazah menuju mesjid terdekat untuk disalatkan. Arasya ikut dalam rombongan pelayan wanita. Dia masih belum berkesempatan bicara pada Kak Ran.
Saatnya rombongan pelayat dan anggota keluarga berangkat menuju area taman pemakaman umum. Arasya ikut bersama para pelayat yang adalah tetangga rumah.
"Kita belum kenalan ya. Saya Wati, tetangga sebelah Pak Ihsan yang rumahnya ada pohon mangga gede!" salah seorang penumpang mobil yang sama dengan Arasya mengajak kenalan.
"Saya Arasya, Bu," sahut gadis itu.
"Kenal Pak Ihsan dimana, ya?" tanya Bu Wati lagi.
"Sa-saya anak tirinya Ayah. Saya anak Bu Amirah...,"
"Masya Allah. Anaknya Amirah toh!"
"Oh, Ya?"
"Duh, udah lama gak ketemu!"
"Dari mana aja to kamu?"
"Rasya rasya dulu yang cadel bilang lacya itu ya?"
Seketika suasana hening didalam mobil Suv itu jadi ramai. Arasya kaget juga dengan reaksi yang tergolong hangat dan antusias itu. Cerita mengalir begitu saja tengang masa lalu dan masa kini.
Ternyata para tetangga masih ingat akan dirinya. Lalu mengapa Kak Ran terlihat dingin dan jaga jarak sejak melihat kedatangannya? Tidak rindukan Kak Ran padanya?
Sungguh, hati Arasya tak karuan jadinya.
Proses pemakaman dimulai.
Dengan isak tangis, jenazah ditanam diliang lahat. Perlahan mulai ditimbun tanah.
Disana Kiran dan Arasya kembali menangis tanpa suara. Hanya saja mereka tak saling berpelukan dan menguatkan. Kiran berada bersama Diko dan orang tuanya. Sedangkan Arasya sendirian diantara pelayat wanita yang bersamanya sejak berangkat dengan mobil tadi.
"Yang tabah, ya sayang!"
"Iya mami!"
"Diko. Mulai sekarang kamu jaga Kiran dengan baik!"
Sayup - sayup Arasya mendengar percakapan itu saat satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Dia masih ingin disana. Masih belum rela berpisah secepat itu dengan ayah tiri yang sangat dia hormati dan sayangi itu.
Suasana sudah mulai sepi. Hanya ada Kiran dan tiga orang yang Arasya duga adalah calon suami dan calon mertua Kiran.
"Kak!" Akhirnya dia berani memanggil Kak Ran dengan lantang.
"Rasya!" lemah sahutan Kak Ran masih bisa didengar Arasya.
Arasya tersenyum saat melihat segaris senyum tipis Kak Ran untuknya.
"Kak Ran!" Arasya bergegas mendekat. Dia ingin segera memeluk kakaknya itu.
"Siapa, sayang?" wanita paruh baya itu bertanya dengan penasaran.
"Adik aku, Mi," sahut Kiran dengan wajah sendunya.
Arasya sudah dekat sekali dengan Kak Ran. Tapi pemuda yang ada disamping Kak Ran menghalanginya dengan pasang badan didepan Kak Ran.
"Kamu sudah sangat lelah, Kiran. Ayo pulang dan istirahat!" kemudian lengan Kiran dituntun pergi.
Arasya jadi geram dengan pemuda itu.
"Tunggu, mas. Ini Arasya, dia...."
"Jangan banyak bicara dulu! Sekarang ayo cepat pulang. Udah gerimis tuh!"
Benar saja, gerimis mulai turun cukup intens. Rombongan Kiran akhirnya pergi.
Arasya tidak menyusul rombongan Kak Ran. Sekarang adalah momen yang tepat untuk melepas rindu dengan sang ayah. Dia sudah sendirian disana.
Tidak dia pedulikan gerimis yang mulai membasahinya. Dia duduk di samping papan nisan ayahnya. Mengusap papan bertuliskan nama sang ayah.
"Ayah! Selamat jalan. Rasya yakin ayah akan ditempatkan di surga yang indah. Karena ayah orang yang baik. Ayah jangan khawatir lagi. Rasya udah dewasa. Rasya akan jaga diri dengan baik."
Air matanya berjatuhan. Dia mengusapnya dengan punggung tangan.
"Titip salam buat Mama, Papa, Oma dan juga Adek ya, yah. Bilangin Rasya rindu, rindu banget!"
"Rasya gak apa - apa sendirian. Rasya kuat!"
"Ayah jangan khawatirin Kak Ran juga. Sepertinya dia udah ada yang jagain. Calon suaminya kayanya jagain dia banget, Yah. Ayah jangan takut," dia tumpahkan semua isi hatinya. Seperti yang biasa dia lakukan dulu - dulu.
Gerimis semakin rapat. Hujan mengguyur dengan lebat.
Arasya terpaksa pergi meskipun belum puas bercerita di pusara sang ayah. Dia basah kuyup dan berteduh di pos penjaga makam.
Akhirnya sebuah taksi yang melintas membawanya pergi dari sana. Dia bersyukur tidak perlu lama menunggu. Dia mulai kedinginan.
Taksi berhenti didepan rumah. Disana sudah sepi. Nampaknya para pelayat langsung pulang usai pemakaman tadi. Mungkin karena hujan turun.
Arasya sudah membayar ongkos taksi. Dia bersiap akan turun dan sudah buka pintu.
Deg!
Tatapan itu lagi. Dingin dan mengintimiadasi.
Pemuda itu, calon suami Kak Ran. Melihatnya datang.
"Hah?" Arasya melotot. Calon suami Kak Ran jelas - jelas melihatnya. Tapi pemuda itu malah menutup pintu pagar dan menguncinya.
Arasya semakin merasa ada yang tidak beres.
Dia merasa diintimidasi oleh calon suami Kak Ran.
"Ya sudah," akhirnya dia memutuskan kembali saja ke hotel tempatnya menginap. Lagi pula dia dalam keadaan basah kuyup. Arasya mulai merasa badannya tidak enak.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!