Intimidasi

Kali pertama Arasya menginjakkan kaki di Jakarta kembali setelah belasan tahun lamanya, dia terenyuh. Banyak sekali yang berubah disana tapi tidak dengan rumah mereka dulu. Semua masih sama, hanya saja sekarang ada pagar besi yang tinggi.

Dihalaman itu dulu dia biasa berlarian bersama Kak Ran-nya. Ayah dan Mama akan tertawa senang sambil duduk dibawah pohon ceri atau pohon bungur. Akan ada banyak camilan dan buah segar yang bisa meraka makan bersama.

Sekarang hanya ada Arasya dan Kiran yang bersedih. Tidak ada lagi mama dan ayah.

Pagar itu terbuka lebar. Tenda hitam berdiri dihalaman, sementara suara alunan surah yasin dibacakan beramai - ramai.

Arasya memegangi dadanya. Nyeri sekali, sesak, dia kesulitan bernapas. Baru saja dua hari sebelumnya suasana ini ia lalui atas kepergian Oma Ratna. Dukanya masih sangat basah, sekarang dia sudah harus kehilangan lagi.

Seperti kebanyakan pelayat, Arasya juga menggunakan pakaian serba hitam. Sebuah kemeja lengan panjang polos dan juga celana kulot panjang hitam. Dia masuk dan membaur dengan para pelayat di halaman. Menyalami orang yang menyambut meski dia tidak kenal.

Dia berusaha datang sepagi mungkin meskipun baru sempat tidur dua jam saja. Itu pun karena matanya sudah sangat lelah sehabis menangis.

"Ayah! Rasya datang. Rasya rindu ayah!" lirih dia sampaikan isi hatinya begitu memasuki bagian dalam rumah dimana jenazah Ihsan dibaringkan.

"Kak...," Arasya mengenali Kak Ran yang menangis sesenggukkan. Disampingnya ada seorang pemuda dan sepasang paruh baya yang terlihat seperti suami istri.

Arasya ingin segera mendekat dan memeluk sang ayah. Juga ingin memeluk Kak Ran yang dia rindukan. Tapi banyaknya pelayat yang berkerumun disana menghalanginya.

Dia harus bersabar menunggu sampai ada sedikit ruang untuk mendekat. Tidak ada yang mengenalinya.

Akhirnya setelah menunggu sedikit lama dia bisa mendekat ke kasur yang digunakan untuk meletakkan jenazah.

Air mata Arasya tak terbendung. Dia menangis meskipun tak bersuara. Disekanya cepat buliran air mata, tapi tak kunjung surut.

"Rasya datang, Yah. Ini Arasya, anak ayah. Rasya rindu...," dia tidak peduli siapa yang ada disana. Dia memeluk sang ayah untuk terakhir kalinya.

"Jenazah akan dimandikan lalu dikafankan," suara seorang bapak - bapak yang ternyata adalah pengurus jenazah. Membuat Arasya terpaksa melepaskan pelukannya.

Ketika dia menegakkan punggung saat itulah tatapannya bertemu dengan Kak Ran dan seorang pemuda disampingnya.

Deg!

Dada Arsaya mencelos. Tatapan itu, tatapan yang tidak bisa dia artikan. Pemuda itu menatapnya dingin. Arasya cukup yakin ada maksud tersirat dari tatapan itu. Tapi apa? Apa mereka saling kenal, dia rasa tidak.

Anehnya Kak Ran menatapnya nanar. Seolah mengandung beban didalamnya.

"Kak Ran!" panggilnya dalam hati saja. Karena saat ini perasaan asing tiba - tiba saja menyelinap dihatinya.

Dia termangu ditengah keramaian itu.

Kak Ran pun bangkit dan meninggalkan tempat itu bersama pemuda tadi. Mungkin akan mendampingi proses memandikan jenazah.

Arasya mengikutinya. Dia juga ingin mendampingi sang ayah untuk terakhir kalinya. Tapi disana sudah banyak orang dan didominasi laki - laki. Jadi Arasya tidak bisa mendekat.

Maka dia kembali ke tengah - tengah rumah. Dimana orang - orang masih banyak membacakan surah yasin. Arasya juga ingin ikut membacakan surah yasin.

Namun ketika akan duduk seseorang memanggil namanya.

"Arasya?"

"Ya?" Arasya menoleh.

"Bisa ikut aku sebentar?"

Arasya diam. Dia tidak kenal siapa pemuda yang mengajaknya bicara.

Bukannya dia yang duduk disamping Kak Ran tadi? Apa ini calon suami Kak Ran?

Iya, itu Diko. Arasya memang belum mengenalnya. Belum sekalipun pernah melihat fotonya apalagi bertemu. Dia hanya tahu Kak Ran akan menikah, itu saja.

Tatapan dingin Diko kembali membuatnya mencelos. Itu cukup mengintimidasinya.

Arasya terpaksa ikut demi sopan santun. Bagaimana pun pemuda itu memintanya baik - baik.

Langkah kaki Diko membawanya ke teras belakang. Disana tidak ada orang.

Pemuda itu berhenti di tepi teras lalu menghadang langkah Arasya. Membuat mereka saling berhadapan dalam jarak yang cukup dekat.

"Maaf, kamu siapa?"

"Kamu Arasya?" pertanyaan Arasya malah dijawab dengan pertanyaan lagi.

Arasya mengangguk.

"Aku ingin minta tolong sesuatu sama kamu. Dengarkan baik - baik," kalimat menggantung ini sukses membuat Arasya penasaran.

"Ada apa?" sahut Arasya.

"Demi kebaikan kita semua. Jika Kinar meminta sesuatu atau menanyakan sesuatu yang aneh dan gak masuk akal, kamu harus menolaknya!" lagi - lagi kalimat itu terasa gantung dan tidak jelas.

"Maksudnya?" Arasya heran sekali. Baru ini ada orang meminta menolak sesuatu yang bahkan dia tidak tahu apa itu. "To the poin aja!" dia cukup kesal mendapat tatapan mengintimidasi itu lagi.

"Om Ihsan ingin kamu menj-"

"Diko! Mama cariin dari tadi loh. Ayo masuk, Kiran nanyain kamu tuh!" suara wanita paruh baya menginteruspi.

"Mami?"

Arasya ingin berbalik agar bisa melihat suara wanita itu. Tapi pemuda yang belum menyebutkan namanya itu menahan lengannya. Reflek Arasya menarik lengannya sebagai tanda pertanahan diri.

"Kamu..."

"Diko? Ngobrol sama siapa?" seru wanita itu dari tempatnya berdiri. Cukup jauh, mungkin di bagian samping rumah dekat gazebo kecil. Arasya merasa tidak yakin.

"Ingat! Kamu harus menolaknya!" kata pemuda itu lalu pergi meninggalkan Arasya yang kebingungan seorang diri.

"Aneh!" keluh Arasya.

Tak berapa lama kemudian semua orang berjalan kaki bersama membawa jenazah menuju mesjid terdekat untuk disalatkan. Arasya ikut dalam rombongan pelayan wanita. Dia masih belum berkesempatan bicara pada Kak Ran.

Saatnya rombongan pelayat dan anggota keluarga berangkat menuju area taman pemakaman umum. Arasya ikut bersama para pelayat yang adalah tetangga rumah.

"Kita belum kenalan ya. Saya Wati, tetangga sebelah Pak Ihsan yang rumahnya ada pohon mangga gede!" salah seorang penumpang mobil yang sama dengan Arasya mengajak kenalan.

"Saya Arasya, Bu," sahut gadis itu.

"Kenal Pak Ihsan dimana, ya?" tanya Bu Wati lagi.

"Sa-saya anak tirinya Ayah. Saya anak Bu Amirah...,"

"Masya Allah. Anaknya Amirah toh!"

"Oh, Ya?"

"Duh, udah lama gak ketemu!"

"Dari mana aja to kamu?"

"Rasya rasya dulu yang cadel bilang lacya itu ya?"

Seketika suasana hening didalam mobil Suv itu jadi ramai. Arasya kaget juga dengan reaksi yang tergolong hangat dan antusias itu. Cerita mengalir begitu saja tengang masa lalu dan masa kini.

Ternyata para tetangga masih ingat akan dirinya. Lalu mengapa Kak Ran terlihat dingin dan jaga jarak sejak melihat kedatangannya? Tidak rindukan Kak Ran padanya?

Sungguh, hati Arasya tak karuan jadinya.

Proses pemakaman dimulai.

Dengan isak tangis, jenazah ditanam diliang lahat. Perlahan mulai ditimbun tanah.

Disana Kiran dan Arasya kembali menangis tanpa suara. Hanya saja mereka tak saling berpelukan dan menguatkan. Kiran berada bersama Diko dan orang tuanya. Sedangkan Arasya sendirian diantara pelayat wanita yang bersamanya sejak berangkat dengan mobil tadi.

"Yang tabah, ya sayang!"

"Iya mami!"

"Diko. Mulai sekarang kamu jaga Kiran dengan baik!"

Sayup - sayup Arasya mendengar percakapan itu saat satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Dia masih ingin disana. Masih belum rela berpisah secepat itu dengan ayah tiri yang sangat dia hormati dan sayangi itu.

Suasana sudah mulai sepi. Hanya ada Kiran dan tiga orang yang Arasya duga adalah calon suami dan calon mertua Kiran.

"Kak!" Akhirnya dia berani memanggil Kak Ran dengan lantang.

"Rasya!" lemah sahutan Kak Ran masih bisa didengar Arasya.

Arasya tersenyum saat melihat segaris senyum tipis Kak Ran untuknya.

"Kak Ran!" Arasya bergegas mendekat. Dia ingin segera memeluk kakaknya itu.

"Siapa, sayang?" wanita paruh baya itu bertanya dengan penasaran.

"Adik aku, Mi," sahut Kiran dengan wajah sendunya.

Arasya sudah dekat sekali dengan Kak Ran. Tapi pemuda yang ada disamping Kak Ran menghalanginya dengan pasang badan didepan Kak Ran.

"Kamu sudah sangat lelah, Kiran. Ayo pulang dan istirahat!" kemudian lengan Kiran dituntun pergi.

Arasya jadi geram dengan pemuda itu.

"Tunggu, mas. Ini Arasya, dia...."

"Jangan banyak bicara dulu! Sekarang ayo cepat pulang. Udah gerimis tuh!"

Benar saja, gerimis mulai turun cukup intens. Rombongan Kiran akhirnya pergi.

Arasya tidak menyusul rombongan Kak Ran. Sekarang adalah momen yang tepat untuk melepas rindu dengan sang ayah. Dia sudah sendirian disana.

Tidak dia pedulikan gerimis yang mulai membasahinya. Dia duduk di samping papan nisan ayahnya. Mengusap papan bertuliskan nama sang ayah.

"Ayah! Selamat jalan. Rasya yakin ayah akan ditempatkan di surga yang indah. Karena ayah orang yang baik. Ayah jangan khawatir lagi. Rasya udah dewasa. Rasya akan jaga diri dengan baik."

Air matanya berjatuhan. Dia mengusapnya dengan punggung tangan.

"Titip salam buat Mama, Papa, Oma dan juga Adek ya, yah. Bilangin Rasya rindu, rindu banget!"

"Rasya gak apa - apa sendirian. Rasya kuat!"

"Ayah jangan khawatirin Kak Ran juga. Sepertinya dia udah ada yang jagain. Calon suaminya kayanya jagain dia banget, Yah. Ayah jangan takut," dia tumpahkan semua isi hatinya. Seperti yang biasa dia lakukan dulu - dulu.

Gerimis semakin rapat. Hujan mengguyur dengan lebat.

Arasya terpaksa pergi meskipun belum puas bercerita di pusara sang ayah. Dia basah kuyup dan berteduh di pos penjaga makam.

Akhirnya sebuah taksi yang melintas membawanya pergi dari sana. Dia bersyukur tidak perlu lama menunggu. Dia mulai kedinginan.

Taksi berhenti didepan rumah. Disana sudah sepi. Nampaknya para pelayat langsung pulang usai pemakaman tadi. Mungkin karena hujan turun.

Arasya sudah membayar ongkos taksi. Dia bersiap akan turun dan sudah buka pintu.

Deg!

Tatapan itu lagi. Dingin dan mengintimiadasi.

Pemuda itu, calon suami Kak Ran. Melihatnya datang.

"Hah?" Arasya melotot. Calon suami Kak Ran jelas - jelas melihatnya. Tapi pemuda itu malah menutup pintu pagar dan menguncinya.

Arasya semakin merasa ada yang tidak beres.

Dia merasa diintimidasi oleh calon suami Kak Ran.

"Ya sudah," akhirnya dia memutuskan kembali saja ke hotel tempatnya menginap. Lagi pula dia dalam keadaan basah kuyup. Arasya mulai merasa badannya tidak enak.

*

Terpopuler

Comments

🎀

🎀

ceritanya seru thor 😍😍 jangan lupa mampir yaa 🤗🤗

2024-05-06

0

Fitray Uni

Fitray Uni

di tunggu kunjungan baliknya kak, di karyaku Eva Ibrahim 🥰👍

2024-02-21

1

Rahma AR

Rahma AR

like

2024-01-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!