2 Januari 2023.
Disebuah bandara internasional Minang Kabau,
di Kota Padang, seorang perempuan cantik menggandeng wanita sepuh. Seorang air port helper datang dan membantunya menggeret koper sampai ke gerbang kedatangan. Disana sudah kenunggu supir travel yang dikirim dari rumah Oma Ratna.
Arasya Dwina Putri, perempuan 26 tahun itu baru saja kembali ke tanah air. Bersama omanya, Ratna. Mereka kembali atas permintaan Oma Ratna yang ingin menghabiskan sisa - sisa waktu di Indonesia. Tanah kelahirannya di Padang, menyimpan cerita dan kenangan berharga untuk Oma Ratna.
Arasya memandangi jalanan dengan segenap rindu. Padang adalah kota kelahiran ibunya, Amirah. Dia sendiri lahir dan menghabiskan waktu kanak - kanaknya di Jakarta.
Jakarta, menyimpan sejuta kenangan sepuluh tahun pertama kehidupannya. Kenangan antara dirinya, ibunya, ayah tiri yang dianggap ayah kandungnya dan kakak tirinya, Kiranti.
Lama di Paris membuatnya terheran - heran dengan perubahan wajah Kota Padang. Meskipun tidak semegah kota lainnya, Padang tetap mempesona dengan segala yang terhampar dikota itu.
Arasya, Rasya, Ara, berbagai panggilan nama dia dapatkan dari orang sekelilingnya. Tapi kalau di keluarga besar neneknya dia dipanggil Ara. Orang minang memang begitu, suka memanggil nama dengan pendek saja.
Yulia akan dipanggil Yul.
Elfira akan dipanggil Ira.
Rahmi akan dipanggil Ami.
Rumah tua Oma Ratna berada diwilayah kampus universitas kebanggaan orang Sumatera Barat. Tepatnya di kecamatan Pauh, Limau Manis. Disanalah berdiri Universitas Andalas, kampus yang berdiri diatas lahan bebukitan yang didatarkan. Pekarangan kampus sangatlah luas dan hijau. Di dekat gerbang kampus itulah rumah Oma Ratna.
Bagian depan rumah sudah disulap dan disewakan pada pedagang nasi padang. Sedangkan bagian belakang masih utuh menjadi tempat tinggal yang apabila Arasya tidak pulang akan dihuni oleh Ante Dewi, adik satu - satunya almarhumah mamanya. Ante Dewi janda tanpa anak. Sehingga Arasya tidak punya sepupu dekat.
"Ondeh mande! Amak! Ara!" Ante Dewi menyongsong Arasya dan Oma Ratna dengan antusias. Matanya berair dan merah. Agaknya dia sudah rindu sekali dengan dua orang yang baru datang itu.
Ante Dewi memeluk mereka bergantian. Arasya betah dipeluk tantenya yang dia panggil Ante itu. Wanita itu lebih tua sebelas tahun saja darinya.
"Ante gimana kabarnya? Udah nemu jodoh lagi belum?" celetuk Arasya membuat tawa Ante Dewi dan Oma Ratna pecah seketika.
"Ck! Belumlah. Ara kan belum bawain bule pesenan Ante," balas Ante Dewi. Tawa merekapun pecah lagi.
Lantai dua dan tiga bangunan rumah Oma Ratna sudah disulap jadi kamar kos - kosan. Disana kos - kosan dan ruko atau toko adalah hal lumrah karena sangat dekat dengan area kampus yang mahasiswanya ada ribuan.
Arasya dan Oma Ratna beristirahat melepas penat diruang tengah. Mereka tertidur sampai pukul dua.
"Ondeh! Banyak bana sambanyo. Tabik salero makan amak! (Ondeh! Banyak banget lauknya. Bangkit selera makan ibu!)
Arasya tak ketinggalan menikmati hidangan khas minang yang tersaji dimeja makan. Ada ayam pop khas rumah makan minang. Gulai cancang daging, rendang, samba lado tanak, lotek dan yang paling menggoda adalah samba lado jengkol lado mudo.
"Beli dimana, Nte?" Arasya tahu saja kalau Ante Dewi masih belum jago masak, jadi tidak pede kalau masak banyak sendirian.
"Ah! Jangan buka kartu dong!" sahut Ante Dewi.
Sebagai orang minang adalah aib kalau seorang perempuan bila tidak pandai masak. Bukan aib besar sih, cuma malu saja kalau diketahui banyak orang.
Tapi sepertinya keturunan Oma Ratna tidak ada yang jago masak termasuk Arasya dan Ante Dewi.
"Makanya itu toko didepan Ante sewakan ke pengusaha rumah makan!" tebak Arasya lagi.
"Tahu aja Ara!"
Oma Ratna bersyukur dihari tua ini dapat hidup dengan layak dan berkecukupan. Walaupun tidak banyak harta, setidaknya ada rumah yang hangat untuk berlindung.
Saat mereka baru saja selesai menikmati cita rasa masakan minang yang menggugah selera itu pintu diketuk dari luar.
"Biar Ara yang buka!" Arasya bergegas usai mengelap tangannya yang basah dengan serbet.
Seseorang mengucapkan salam dan dijawab ramah Arasya.
"Siapa ya, uni?" tanya Arasya.
Wanita baya yang baru datang itu menerobos masuk meninggalkan Arasya yang kebingungan. Dia berteriak - teriak memanggil Ante Dewi dan Oma Ratna. Setelah itu beberapa orang entah kapan masuknya ikut berbicara dengan hebohnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang berusia kepala empat.
Selanjutnya, terjadi keributan yang tak disangka - sangka sebelumnya. Saudara Oma Ratna dan anak - anaknya datang begitu mendengar kepulangan Oma Ratna dan Arasya. Meributkan pembagian tanah pusaka yang sekarang berdiri rumah Oma Ratna diatasnya.
Tanah sedikit itu telah menjadi pemicu keributan antar saudara. Sepergi orang - orang itu Oma Ratna menangis. Tidak menyangka masalah yang sudah dianggap selesai pada saat arasya masih SMA itu kembali mencuat.
"Ini salah Amak, Wi. Kalau saja Amak tak pinjam pitih si Dalima tu, ndak akan jadi begini!" Oma Ratna teringat akar permasalahan ini. Ia menggadaikan sertifikat tanah jatahnya pada sang kakak karena butuh biaya besar untuk berobat Ante Dewi yang saat itu mengalami kecelakaan tragis dan lumpuh, suaminya yang baru beberapa tahun juga meninggal setelah dirawat berbulan - bulan.
"Bukannya uangnya sudah Oma ganti?"
"Hanya separuhnya. Waktu itu Oma kamu dapat keringanan dari suaminya. Tapi sekarang suaminya udah gak ada. Dia juga baru keluar banyak duit buat masukin cucunya ke akpol!" banyak lanjutan cerita Ante Dewi. Yang jelas semua itu membuat Oma Ratna jadi banyak pikiran.
Arasya ikut pusing. Oma Ratna baru saja kembali dari Paris setelah ikut dengannya yang bekerja disana selama kurang lebih tiga tahun. Awalnya Arasya sendirian melanjutkan pendidikan, mengejar cita - cita disana sebagai fashion designer. Sejak lulus SMA hingga lulus kuliah dia dipercaya Oma Ratna bisa menjaga diri sendiri.
Tapi kemudian ada beberapa orang pria lokal disana yang mendekati Arasya. Oma Ratna jadi cemas dan memutuskan menemani Arasya disana. Setidaknya dia bisa memantau dari dekat keadaan cucunya satu - satunya itu.
Sekarang mereka kembali dan disambut masalah besar. Mereka butuh uang sejumah dua ratus juta untuk mengganti sisa utang Oma Ratna yang ternyata tidak diikhlaskan Dalima.
Arasya jadi bingung bagaimana menghadapi masalah ini. Selama ini uang tabungannya sudah diinvesgasikan membangun kos - kosan.
Selepas isya mereka berkumpul menghitung berapa uang yang bisa dikumpulkan jika menjual simpanan emas.
"Mungkin sekiar empat puluh juta ada, mak," ujar Ante Dewi setelah mengkalkulasi jumlah emas dengan harga emas saat ini.
Semua itu sudah gabungan dari emas simpanan Oma Ratna dan Ante Dewi. Mereka memang sudah banyak menghabiskan uang untuk pengobatan Ante Dewi dan Almarhum suaminya sepuluh tahun yang lalu.
"Digabung sisa tabunganku jadi sekitar sembilan puluh juta. Masih kurang seratus sepuluh lagi," gumam Arasya.
"Kalau uang sewa kos dan ruko bulan ini dikumpul bisa nambah sepuluh jutaan," tambah Ante Dewi.
Arasya yakin masalah ini bisa diatasi. Asal Nenek Dalima mau memberi waktu, mereka pasti bisa membayar. Sehingga Nenek Dalima tidak akan menuntut lagi soal tanah dan rumah Oma Ratna.
"Masalahnya Uwo Dalima ini kekeuh pengen uangnya secepat mungkin. Dia minta besok uangnya udah ada. Katanya buat biaya nikahan anaknya yang bungsu, yang bujang lapuk itu," cela Ante Dewi diujung kalimatnya.
"Hush! Kamu, ngatain orang!" tegur Oma Ratna.
Hari berlalu, keributan kembali terjadi. Kali ini lebih besar karena sejak awal niat Nenek Dalima tidak baik. Dia sudah silau melihat rumah Oma Dalima yang sudah disulap Arasya jadi ruko dan kos - kosan dengan tiga puluh kamar. Berharap dapat bagian besar apabila Oma Ratna menyerahkannya untuk bayar utangnya.
Oma Ratnapun jatuh sakit. Demam tinggi selama beberapa hari. Hingga akhirnya dibawa kerumah sakit.
Mungkin memang sudah waktunya. Ajal menjemput Oma Ratna. Beliau menghembuskan napas terakhir sesaat setelah mendapat perawatan medis.
"Padahal kita udah usaha. Udah pinjam uang ke bank. Tinggal nunggu dikit lagi pasti cair!" Arasya menyayangkan sikap keluarga Oma Ratna yang tidak sabaran.
Sekarang Oma Ratna sudah tiada. Mereka hanya tinggal berdua. Para kerabat tidak bisa diandalkan dan dijadikan tempat bersandar, mereka cuma peduli uang.
Bohong kalau Arasya tidak sedih. Sekarang ia kembali merasakan kehilangan seperti saat belasan tahun lalu. Saat dia kehilangan Ibunya dan adik yang ada dalam kandungan ibunya. Keharmonisan keluarga yang dulu ada juga telah sirna.
Dia berjanji akan menghargai dengan sangat keluarganya yang tersisa.
Arasya dan Ante Dewi berpelukan disamping tanah pusara yang masih basah.
"Sekarang Ante cuma punya kamu, Ara. Janji ya, kita harus hidup bahagia!" pinta Ante Dewi lalu menggeratkan lagi pelukan mereka.
Arasya mengangguk. Iya, dia berjanji akan hidup bahagia.
Besoknya Arasya berpamitan pada Ante Dewi. Dia ingin mengurus pinjaman dari bank yang katanya sudah disetujui usai ditinjau. Maskipun sangat disayangkan mereka tetap akan melanjutkan proses ini. Menggadaikan rumah Oma Ratna lalu membayar utang Oma Ratna. Agar permasalahan ini segera selesai dan tidak memberatkan Oma Ratna diakhirat.
Tapi sepulangnya dari bank malah ada kejutan lainnya. Kejutan yang membuat jantung Arasya serasa mau copot.
Ayah tirinya, yang sudah dia anggap ayah kandung telah berpulang kepangkuan ilahi.
Sungguh selama beberapa tahun tidak bertemu dan hanya berkomunikasi via telepon, dia sangat rindu. Baik pada Ayah dan juga kakak tirinya Kiran.
Dia sudah berencana menemuinya. Dia hanya akan beristirahat selama beberapa hari usai perjalanan panjangnya di Paris. Ini masa cutinya, dia sudah menyusun jadwal agar bisa berkunjung diwaktu yang tepat. Sekaligus menghadiri pernikahan Kiran yang akan diadakan kurang dari sebulan lagi.
Malam itu juga Arasya mengemas beberapa pakaiannya. Dia harus segera berangkat ke Jakarta agar bisa bertemu sang ayah untuk terakhir kalinya. Proses pemakaman akan dilakukan esok hari. Untunglah Arasya dapat tiket pesawat meskipun dengan harga mahal.
Urusan utang piutang Oma Ratna akan dia serahkan sepenuhnya Ante Dewi. Dia juga ingin Ante dewi didampingi pengacara agar semua masalah dapat selesai dengan baik dan tidak ada permasalahan lainnya dikemudian hari.
Hanya butuh sekitar satu jam mengudara. Arasya sudah bisa menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta.
"Jakarta, aku kembali!"
*
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🎀
penulisannya bagus banget thor, detail, udah kaya baca novel asli aja,
oh ya jgn lupa mampir di karyaku ya 🤗
2024-05-06
0
Fitray Uni
salam kenal Ara, ketemu orang awak di sini... 🥰👍😄
2024-02-19
1
wahhh thor, susunan kata nya bagus bgt,,, bisa baca sekalian belajar inimah 😅
2024-02-18
1