Tasbih Cinta Humaira
[ TCH ]
Q.S. An-Nur ayat 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
~•~
Namaku Zulaikha Nur Humaira, seorang dokter spesialis onkologi di salah satu rumah sakit yang terletak di tengah kepadatan kota Jakarta. Lebih tepatnya di RS. Cempaka Putih.
Kesibukan harianku membuatku lupa akan sesuatu, usiaku. Aku tidak pernah memikirkan tentang penyempurna separuh agamaku. Iya, seorang suami. Aku belum memikirkan ke arah itu.
Banyak orang yang mengatakan bahwa usiaku sudah cukup matang untuk menikah. Tapi menurutku belum. Usiaku baru dua puluh enam tahun. Aku bahkan membiarkan adik laki-laki ku untuk menikah terlebih dahulu.
Aku tidak terlalu memusingkan perihal jodoh. Aku yakin, jodoh yang baik pasti datang pada saat yang tepat. Yang aku lakukan saat ini hanyalah bersabar, dan menjalani hidup seperti biasa. Banyak orang yang membutuhkan jasaku dan aku harus selalu siap untuk itu.
“Dokter! Dokter!” Seorang perempuan mengenakan seragam perawat tergesa-gesa menghampiriku di ruangan. Sontak aku mendongak menatapnya.
“Ada apa, Sus?” tanyaku. Dia terlihat tengah mengatur nafas.
“Pasien atas nama Qeisya Zamira kejang-kejang, Dok.”
Mendengar pernyataan wanita itu membuatku terkejut.
“Astagfirullahhalladzim,” gumamku pelan. Aku beralih meraih jas dokter yang ku sampirkan di kursi lalu melangkah keluar dari ruangan. Pikiranku berkecamuk memikirkan keadaan Qeisya. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Qeisya Zamira adalah salah satu pasien ku, ia mengidap penyakit Leukemia yang sudah memasuki stadium berbahaya. Kini gadis itu tengah menjalani kemoterapi untuk memulihkan keadaannya. Usianya baru menginjak lima belas tahun. Dia sangat periang, ada saja tingkahnya yang selalu membuatku tertawa.
Langkahku terhenti kala sampai di depan ruang rawat Qeisya, salah satu anggota keluarganya menahan langkahku. Seorang wanita paruh baya dengan hijab hitam. Dia adalah Mega—ibunda Qeisya.
“Tolong selamatkan putri saya, Dok,” ucapnya lirih dengan suara yang sedikit bergetar. Pipinya terlihat basah dengan cairan bening yang terus merembes keluar dari pelupuk mata.
Aku tersenyum, berusaha menenangkan Bu Mega yang terisak pelan. “Saya akan berusaha, Bu,” jawabku kemudian.
Dia mengangguk lemah. Tanpa berlama-lama lagi, aku segera melangkah masuk ke ruangan. Berharap Allah mau membantuku untuk menangani gadis cantik itu.
Qeisya masih kejang-kejang di bangsal. Dua orang perawat memegangi gadis itu, berusaha menahannya. Keadaan Qeisya semakin memburuk, ia sempat muntah darah pagi tadi.
Keluarganya kini sedang menunggu di luar ruangan. Raut wajah mereka benar-benar cemas. Aku harus bisa menolong Qeisya, aku tidak ingin mengecewakan mereka semua.
“Bantu aku, Ya Allah ....”
*****
Hampir tiga puluh menit aku berusaha menangani Qeisya, menyuntikkan obat yang bisa membuatnya tenang dan kembali membaik. Aku masih terus memeriksa keadaannya, memastikan agar gadis itu baik-baik saja.
Matanya terpejam, bibir pucatnya terkatup rapat. Ia sudah bisa beristirahat dengan tenang sekarang. Keadaannya pun sudah semakin membaik dari sebelumnya. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku sangat bersyukur tidak terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Tanganku terangkat untuk mengelus pelan puncak kepala Qeisya dengan surai rambut hitam kelam itu, menatap lamat wajah cantiknya yang terlihat damai saat terlelap. Hatiku terenyuh kala melihat banyak alat bantu yang menempel di tubuhnya. Jujur, hanya alat-alat itulah yang bisa menolong Qeisya saat ini.
Kanker darah yang ia derita sudah menginjak stadium tiga, aku sendiri bahkan tidak bisa menjamin berapa lama lagi ia bisa bertahan, namun aku harap dia tetap bertahan. Banyak orang yang menyayangi dan mengharapkannya untuk sembuh, termasuk aku.
Setelah merasa lebih tenang, aku segera melangkahkan kakiku keluar dari ruangan itu, menghampiri keluarga Qeisya dan memberikan kabar baik ini. Mereka langsung mendekat setelah aku keluar dari ruangan.
“Bagaimana kondisi Qeisya, Dok?” tanya Bu Mega padaku.
“Alhamdulillah, keadaan Qeisya sudah membaik, Bu, Pak.”
Raut wajah keduanya berubah 180 derajat, yang tadinya sendu kini terlihat berbinar. Bu Mega sontak menyentuh kedua tanganku dengan lembut.
“Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa anak saya, Dok.”
Aku membalas sentuhan lembut tangannya. “Atas izin Allah, Bu,” kataku sembari mengelus pelan punggung tangan wanita itu.
Dia tersenyum manis. Namun pelupuk matanya terlihat masih digenangi oleh cairan bening yang membentang. Aku tau dia shock atas kejadian ini. Dan aku harap kejadian ini tidak terulang lagi.
“Kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu, Pak,” pamitku kemudian.
Aku berlalu kala mendapat anggukan dari keduanya.
Berjalan di koridor, lantas aku mengeluarkan ponsel yang berada dalam saku jas. Jemariku lincah menggeser layar untuk mencari nama kontak mama. Aku akan menghubunginya dan memberitahu bahwa aku akan pulang hari ini. Sudah hampir sebulan aku tidak melihat wajah mamaku itu. Aku merindukannya, sungguh.
Seluruh atensiku tertuju ponsel yang ku genggam, membuat aku tidak seberapa memperhatikan jalanan. Hingga aku tersentak kala tak sengaja menabrak bahu seseorang dari arah berlawanan. Dan sialnya yang aku tabrak adalah seorang lelaki.
"Eh maaf, Pak," lirihku.
Ponsel yang ku genggam jatuh ke lantai begitu saja. Aku berjongkok, memungut ponselku tanpa menoleh kearah lelaki tadi. Aku hanya meliriknya sekilas setelah mengucap kata maaf. Ponselku mati dan layarnya pecah. Mengapa harus sekarang, Ya Allah?
“Eh, Mbak. Kalo jalan pake mata, dong. Jalan kok sambil main HP, sih? Emang nggak bisa nanti-nanti ya mainnya? Di rumah kek, di mana kek, kalo di jalan kan ngerugiin orang lain jadinya.”
Aku mendengarkan ocehannya dengan seksama. Dia lelaki, namun mengapa sangat cerewet? Perasaan yang dirugikan disini aku, bukan dia. Namun mengapa dia yang marah?
Aku tidak peduli dengan ocehannya, aku masih berjongkok, berusaha menghidupkan ponselku yang mati, mengetuk-ngetuk ponselku yang sudah tidak bernyawa.
Sebentar, mengapa lelaki itu sudah tidak bersuara?
“Maira?”
Aku langsung mendongak kala namaku disebut. Detik itu pula tatapan kami terkunci, netraku melebar kala mengetahui siapa yang tengah ku temui saat ini.
Aku berdiri dengan pelan, dengan posisi yang masih menatap kearahnya. Dia juga terlihat terkejut, sama sepertiku.
“Qa-qausar?”
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments