[ TCH ]
Q.S. An-Nur ayat 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
~•~
Namaku Zulaikha Nur Humaira, seorang dokter spesialis onkologi di salah satu rumah sakit yang terletak di tengah kepadatan kota Jakarta. Lebih tepatnya di RS. Cempaka Putih.
Kesibukan harianku membuatku lupa akan sesuatu, usiaku. Aku tidak pernah memikirkan tentang penyempurna separuh agamaku. Iya, seorang suami. Aku belum memikirkan ke arah itu.
Banyak orang yang mengatakan bahwa usiaku sudah cukup matang untuk menikah. Tapi menurutku belum. Usiaku baru dua puluh enam tahun. Aku bahkan membiarkan adik laki-laki ku untuk menikah terlebih dahulu.
Aku tidak terlalu memusingkan perihal jodoh. Aku yakin, jodoh yang baik pasti datang pada saat yang tepat. Yang aku lakukan saat ini hanyalah bersabar, dan menjalani hidup seperti biasa. Banyak orang yang membutuhkan jasaku dan aku harus selalu siap untuk itu.
“Dokter! Dokter!” Seorang perempuan mengenakan seragam perawat tergesa-gesa menghampiriku di ruangan. Sontak aku mendongak menatapnya.
“Ada apa, Sus?” tanyaku. Dia terlihat tengah mengatur nafas.
“Pasien atas nama Qeisya Zamira kejang-kejang, Dok.”
Mendengar pernyataan wanita itu membuatku terkejut.
“Astagfirullahhalladzim,” gumamku pelan. Aku beralih meraih jas dokter yang ku sampirkan di kursi lalu melangkah keluar dari ruangan. Pikiranku berkecamuk memikirkan keadaan Qeisya. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Qeisya Zamira adalah salah satu pasien ku, ia mengidap penyakit Leukemia yang sudah memasuki stadium berbahaya. Kini gadis itu tengah menjalani kemoterapi untuk memulihkan keadaannya. Usianya baru menginjak lima belas tahun. Dia sangat periang, ada saja tingkahnya yang selalu membuatku tertawa.
Langkahku terhenti kala sampai di depan ruang rawat Qeisya, salah satu anggota keluarganya menahan langkahku. Seorang wanita paruh baya dengan hijab hitam. Dia adalah Mega—ibunda Qeisya.
“Tolong selamatkan putri saya, Dok,” ucapnya lirih dengan suara yang sedikit bergetar. Pipinya terlihat basah dengan cairan bening yang terus merembes keluar dari pelupuk mata.
Aku tersenyum, berusaha menenangkan Bu Mega yang terisak pelan. “Saya akan berusaha, Bu,” jawabku kemudian.
Dia mengangguk lemah. Tanpa berlama-lama lagi, aku segera melangkah masuk ke ruangan. Berharap Allah mau membantuku untuk menangani gadis cantik itu.
Qeisya masih kejang-kejang di bangsal. Dua orang perawat memegangi gadis itu, berusaha menahannya. Keadaan Qeisya semakin memburuk, ia sempat muntah darah pagi tadi.
Keluarganya kini sedang menunggu di luar ruangan. Raut wajah mereka benar-benar cemas. Aku harus bisa menolong Qeisya, aku tidak ingin mengecewakan mereka semua.
“Bantu aku, Ya Allah ....”
*****
Hampir tiga puluh menit aku berusaha menangani Qeisya, menyuntikkan obat yang bisa membuatnya tenang dan kembali membaik. Aku masih terus memeriksa keadaannya, memastikan agar gadis itu baik-baik saja.
Matanya terpejam, bibir pucatnya terkatup rapat. Ia sudah bisa beristirahat dengan tenang sekarang. Keadaannya pun sudah semakin membaik dari sebelumnya. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku sangat bersyukur tidak terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Tanganku terangkat untuk mengelus pelan puncak kepala Qeisya dengan surai rambut hitam kelam itu, menatap lamat wajah cantiknya yang terlihat damai saat terlelap. Hatiku terenyuh kala melihat banyak alat bantu yang menempel di tubuhnya. Jujur, hanya alat-alat itulah yang bisa menolong Qeisya saat ini.
Kanker darah yang ia derita sudah menginjak stadium tiga, aku sendiri bahkan tidak bisa menjamin berapa lama lagi ia bisa bertahan, namun aku harap dia tetap bertahan. Banyak orang yang menyayangi dan mengharapkannya untuk sembuh, termasuk aku.
Setelah merasa lebih tenang, aku segera melangkahkan kakiku keluar dari ruangan itu, menghampiri keluarga Qeisya dan memberikan kabar baik ini. Mereka langsung mendekat setelah aku keluar dari ruangan.
“Bagaimana kondisi Qeisya, Dok?” tanya Bu Mega padaku.
“Alhamdulillah, keadaan Qeisya sudah membaik, Bu, Pak.”
Raut wajah keduanya berubah 180 derajat, yang tadinya sendu kini terlihat berbinar. Bu Mega sontak menyentuh kedua tanganku dengan lembut.
“Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa anak saya, Dok.”
Aku membalas sentuhan lembut tangannya. “Atas izin Allah, Bu,” kataku sembari mengelus pelan punggung tangan wanita itu.
Dia tersenyum manis. Namun pelupuk matanya terlihat masih digenangi oleh cairan bening yang membentang. Aku tau dia shock atas kejadian ini. Dan aku harap kejadian ini tidak terulang lagi.
“Kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu, Pak,” pamitku kemudian.
Aku berlalu kala mendapat anggukan dari keduanya.
Berjalan di koridor, lantas aku mengeluarkan ponsel yang berada dalam saku jas. Jemariku lincah menggeser layar untuk mencari nama kontak mama. Aku akan menghubunginya dan memberitahu bahwa aku akan pulang hari ini. Sudah hampir sebulan aku tidak melihat wajah mamaku itu. Aku merindukannya, sungguh.
Seluruh atensiku tertuju ponsel yang ku genggam, membuat aku tidak seberapa memperhatikan jalanan. Hingga aku tersentak kala tak sengaja menabrak bahu seseorang dari arah berlawanan. Dan sialnya yang aku tabrak adalah seorang lelaki.
"Eh maaf, Pak," lirihku.
Ponsel yang ku genggam jatuh ke lantai begitu saja. Aku berjongkok, memungut ponselku tanpa menoleh kearah lelaki tadi. Aku hanya meliriknya sekilas setelah mengucap kata maaf. Ponselku mati dan layarnya pecah. Mengapa harus sekarang, Ya Allah?
“Eh, Mbak. Kalo jalan pake mata, dong. Jalan kok sambil main HP, sih? Emang nggak bisa nanti-nanti ya mainnya? Di rumah kek, di mana kek, kalo di jalan kan ngerugiin orang lain jadinya.”
Aku mendengarkan ocehannya dengan seksama. Dia lelaki, namun mengapa sangat cerewet? Perasaan yang dirugikan disini aku, bukan dia. Namun mengapa dia yang marah?
Aku tidak peduli dengan ocehannya, aku masih berjongkok, berusaha menghidupkan ponselku yang mati, mengetuk-ngetuk ponselku yang sudah tidak bernyawa.
Sebentar, mengapa lelaki itu sudah tidak bersuara?
“Maira?”
Aku langsung mendongak kala namaku disebut. Detik itu pula tatapan kami terkunci, netraku melebar kala mengetahui siapa yang tengah ku temui saat ini.
Aku berdiri dengan pelan, dengan posisi yang masih menatap kearahnya. Dia juga terlihat terkejut, sama sepertiku.
“Qa-qausar?”
-TBC-
[ TCH ]
“Takdir Allah terkadang lucu.”
*****
“Qa-qausar?” gumamku pelan.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Pemuda dengan kaos oblong dibalut kemeja kotak-kotak yang tidak di kancing, celana levis hitam dengan sepatu vans di kakinya, topi yang bertengger di kepalanya. Tak lupa juga dengan sepasang earphone di telinganya. Pemuda itu terlihat menyeret koper besar.
Aku tidak habis pikir, mengapa Allah kembali mempertemukanku dengan makhluk-Nya yang satu ini? Jantungku tiba-tiba saja berpacu lomba saat mata kami bertemu dan saling terkunci satu sama lain. Aku benci perasaan ini, aku benci dia.
Dengan segera ku putuskan pandanganku dengannya. Aku hanya tak ingin rasa itu kembali muncul. Tanpa berkata apapun, aku segera beranjak dari tempat itu. Namun aku tersentak kala ia mencekal tanganku dengan cepat.
“Mai, tunggu.”
Aku langsung menghempas kasar tangannya dari pergelangan tanganku. Sifatnya memang tidak pernah berubah sejak dulu, dia melakukan sesuatu sesuka hatinya saja, tanpa tahu apa yang dia lakukan telah menyakiti orang lain.
“Lepas. Jangan pernah sentuh saya!” peringatku tegas.
Berani-beraninya dia menyentuhku tanpa dosa.
“Sorry...” cicitnya.
Aku menatapnya tajam, sedangkan dia menatapku aneh. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Dia terus menatapku dari atas sampai bawah.
“Kamu dokter?” tanyanya membuatku memalingkan wajah kearah lain.
Aku tidak menjawab pertanyaan basa basi darinya. Menurutku, itu hanya akan membuang waktu, tenaga, dan meningkatkan emosi.
“Maaf, saya harus pergi. Saya ada urusan.”
Aku beranjak dari tempat itu dan membiarkan dia yang masih mematung. Aku tidak memperdulikannya, lagipula, aku sudah tidak punya urusan apa-apa lagi dengannya.
Aku kembali ke ruanganku dan mengemasi semua barang-barang ku. Aku akan segera pulang menemui mama dan papa.
Aku masih terbayang dengan kejadian tadi. Bayang-bayang Qausar berseliweran di otakku, memenuhi benakku dan menyesakkan rongga dadaku. Aku berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengannya sampai kapan pun.
*****
Aku memencet bel rumah orang tuaku. Kesibukanku di rumah sakit membuatku tidak ada waktu untuk berkunjung ke rumah ini.
Pintu terbuka, mamaku disana. Sorot matanya memancarkan keterkejutan.
“Maira?”
“Surprise!!”
Aku langsung menghambur ke pelukannya. Aku merindukan mama, sungguh.
“Kamu kok nggak bilang kalo mau pulang,Sayang?” Mama lalu melonggarkan pelukannya dariku.
Aku terkekeh pelan. “Sengaja, Ma. Biar surprise aja.”
“Yaudah. Ayo masuk.”
Aku mengangguk dan mulai melangkah memasuki rumah itu. Tidak ada yang berbeda, masih sama seperti saat terakhir aku kesini.
“Rasyid nggak pernah kesini, Ma?” tanyaku ketika sudah sampai di ruang tamu.
Aku mendudukkan diriku di sofa maroon, disusul oleh mama di sebelahku.
Dia terkekeh. “Kemarin Rasyid sama Syafira baru kesini, Maira.”
Rasyid adalah adikku satu-satunya. Dia sudah menikah beberapa bulan yang lalu dengan jodoh pilihan papa.
“Yah ... Mama kok nggak ngasih tau Mai, sih?”
“Kamu kan sibuk. Nggak enak dong mama ganggu.”
Aku terkekeh pelan mendengar penuturannya.
“Papa masih di kantor ya, Ma?” tanyaku sembari melirik arloji yang berada di tangan kiri.
“Iya, Mai. Kamu nginep, kan?”
Aku berpikir sejenak, kebetulan besok aku libur. Tidak ada salahnya jika aku menginap.
“Iya, Ma. Mai nginep,” jawabku mantap dan membuat mama mengembangkan senyum.
“Yaudah, kamu mandi dulu, gih. Badan kamu bau keringet.” Ia terkekeh pelan. Aku beralih menciumi bajuku, dan benar saja memang agak bau.
“Yaudah, Ma. Maira ke kamar dulu, ya?”
Mama mengangguk.
Aku berlalu sambil menenteng handbag milikku. Kakiku mulai melangkah menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamarku yang berada di lantai atas.
Aku memutar knop pintu dan mulai masuk ke dalam ruangan itu. Tampilannya masih sama saat ku tinggalkan sebulan yang lalu. Tidak ada yang berubah. Aku tersenyum dan langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku merindukan kasur empuk itu.
*****
Qausar.
Aku benar-benar tidak percaya bisa bertemu dengannya. Takdir Tuhan memang tidak pernah ku sangka. Semenjak aku pergi ke luar negeri delapan tahun yang lalu, aku belum pernah lagi bertemu dengannya.
Aku tidak menyangka kini dia benar-benar sudah menjadi seorang dokter. Cita-citanya sewaktu SMA kini sudah terwujud. Aku bahagia akan itu. Tapi mengapa dia bersikap sangat dingin padaku? Apa dia masih marah denganku? Masalah itu kan sudah lama sekali. Mengapa dia masih mengingatnya?
“Mas ....”
Suara parau itu menyapaku, seketika memecahkan lamunanku. Aku menoleh kearah bangsal, tempat dimana adikku terbaring. .
Matanya mengerjap, menyamarkan cahaya lampu dan terbuka sedikit demi sedikit.
“Qei? Kamu udah sadar?” ucapku, mengelus pelan puncak kepala Qeisya.
“Mas ... Jangan tinggalin Qeisya ....”
“Iya, Qei. Mas disini.”
Qeisya Zamira adalah adikku satu-satunya. Dia divonis mengidap penyakit leukemia 2 minggu yang lalu. Aku baru bisa menemuinya hari ini karena aku baru lepas landas dari Amerika siang tadi. Pekerjaan ku disana membuatku tidak punya waktu untuk Qeisya.
“Qausar.”
Suara bariton itu membuatku menoleh. Di ambang pintu ruangan terlihat seorang pria paruh baya yang tengah berdiri tegak. Dia Hendri—papaku.
“Iya, Pa.”
Aku sebenarnya masih malas berbicara dengannya. Kami sempat bertengkar hebat beberapa tahun lalu hingga dia mengusirku dari rumah, hanya karena masalah sepele. Dan hubungan kami pun masih sangat renggang sampai saat ini.
Dia melangkah mendekat ke arah bangsal. Wajahnya terlihat datar dan dingin, tatapannya pun masih tajam kearahku.
“Kenapa pulang?”
Bukannya menanya kabar, papa malah bertanya demikian.
Aku menghela nafas berat. “Mau jengukin Qeisya,” jawabku pelan.
Aku tidak mau Qeisya bertambah sakit jika melihatku kembali bertengkar dengan papa.
Dia diam tak bersuara lagi. Aku lega, karena dia tidak mengajakku untuk ribut disaat seperti ini.
“Mama mana, Mas?” tanya Qeisya dengan suara seraknya.
Aku beralih menatap lekat wajah cantik adikku yang terlihat pucat.
“Mama keluar sebentar, Qei.”
“Qei mau ketemu sama mama.”
“Mama disini, Sayang.” Itu suara mamaku—Mega. Ia kini sudah berada di ambang pintu ruangan. Ia mulai mendekat sambil membawa se-parcel buah untuk Qeisya.
Aku sontak berdiri dari kursiku dan mempersilakan mama untuk duduk.
“Ma ....”
“Iya, Nak?”
“Qeisya mau pulang ... Qeisya nggak kuat disini terus ....” rengeknya.
“Iya, Nak. Sebentar lagi Qeisya pulang,” ucap mama dan tentu saja mama berbohong. Qeisya masih harus disini selama beberapa minggu lagi untuk menjalani kemoterapi.
Mata Qeisya berbinar seketika. “Beneran, Ma?”
“Iya.”
Setelah sampai di bandara tadi, aku tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke sini untuk bertemu dengan adik kesayanganku.
“Qausar,” panggil mama.
Aku menoleh ke arahnya. “Iya, Ma?”
“Kamu pulang dulu ya, kamu pasti capek. Biar mama yang jagain Qeisya.”
Aku mengangguk patuh, karena memang aku sudah sangat lelah seharian ini. “Qausar pamit ya Ma, Pa.”
Mama mengangguk sambil mengembangkan senyum manis. Sedangkan papa hanya diam, tatapannya sinis ke arahku.
Dan aku, tidak peduli itu.
Aku beralih menatap Qeisya. “Qei, Mas pamit, ya? Kamu baik-baik disini.” Aku mengelus surai rambutnya.
Qeisya mengangguk lemah disertai dengan senyum manis yang memperlihatkan lesung pipinya.
Aku mengambil koperku dan segera beranjak dari ruangan itu. Supir pribadi mama sudah berada di depan ruangan untuk mengajakku pulang.
“Mari, Den,” ajaknya sambil meraih koperku.
Aku mengangguk, melangkah keluar dari rumah sakit menuju parkiran dan segera menaiki mobil hitam keluargaku yang terparkir rapi disana.
Mobil itu kini melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota di malam ini. Aku hanya diam duduk di jok belakang, menatap ke luar jendela sambil memperhatikan lampu-lampu jalanan.
Bayangan Maira tiba-tiba berseliweran di kepalaku. Aku merindukan gadis itu. Wajahnya masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan dia semakin cantik setelah menggunakan hijab seperti saat ini.
Aku harus menemuinya lagi, harus. Aku harus meminta maaf padanya atas kesalahanku di masa lalu.
-TBC-
[ TCH ]
"Rindu. Satu kata beribu arti."
*****
Sebuah mobil Avanza abu-abu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang mulai ramai dan bergabung dengan kendaraan lain.
Di kendarai oleh seorang perempuan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Blouse lengan panjang hitam di padukan dengan hijab segi empat coksu serta rok plisket coklat, tak lupa dengan flatshoes yang bertengger di kakinya.
Maira hari ini akan bertugas kembali di rumah sakit tempat kerjanya setelah mendapat libur sehari.
Ponsel pintar Maira yang berada dalam handbag nya berbunyi. Ia segera meraih ponsel tersebut, tertera nama 'Dana' disana.
Baru saja Maira ingin menggeser tombol hijau, tiba-tiba ponsel itu terjatuh dekat pedal mobil.
Maira menghela nafas panjang dan mencoba meraih ponselnya. Ia meraba menggunakan tangan kiri, namun tak kunjung menemukan ponsel tersebut.
"Mana sih."
Maira menunduk, melihat kebawah tanpa memperhatikan jalanan.
Ketemu. Maira langsung meraih benda pipih itu.
Brakk..
Ia menginjak rem mobilnya secara mendadak. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat.
"Astagfirullahhalladzim," gumamnya.
Gadis itu terbelalak sempurna, ia tersentak kaget.
"Aku nabrak orang ya?" gumamnya lagi.
Tidak berlama-lama lagi, Maira lalu melepas seat belt dan segera keluar dari mobil. Dengan langkah cepat ia menghampiri seseorang yang ia tabrak.
Seorang lelaki yang wajahnya tertutup dengan helm fullface tertindas dengan motor sport.
Maira yang melihat itu pun langsung membantu lelaki tersebut dengan sigap. Ia juga meminta bantuan beberapa warga sekitar yang tengah berada disitu.
"Makasih ya bapak-bapak karena udah bantuin saya. Mas ini biar saya yang tanggung jawab," ucap Maira pada warga yang tengah berkumpul.
"Lain kali hati-hati, Mbak," jawab salah satu dari mereka.
Maira mengangguk paham, mereka pun langsung bubar meninggalkan Maira bersama lelaki tadi.
"Mas nya nggak apa-apa? Saya bawa ke rumah sakit sekarang ya? Kebetulan saya dokter," tuturnya pelan. Guratan khawatir benar-benar terpancar dari Maira.
Lelaki itu hanya diam sambil menatap Maira dengan tatapan ... aneh.
Maira yang tak kunjung mendapat jawaban pun mengernyit bingung. Keningnya berkerut
"Mas nya masih syok? Kok diem aja? Tangannya terluka ya? Mari saya bawa ke rumah sakit," ajaknya buru-buru.
Pelan tapi pasti lelaki yang Maira tabrak mulai membuka helm fullface yang ia kenakan.
Mata Maira terbelalak sempurna kala helm itu terbuka. Bibir merah mudanya pun sudah tak terkatup rapat.
"Maira," panggil pemuda itu pelan dan seketika membuyarkan lamunan Maira.
Ia gelagapan. "M-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak papa?" tanyanya dengan segudang rasa bersalah.
"Nggak, Mai. Aku nggak papa kok." Qausar tersenyum simpul.
Maira mengangguk, dan kini tatapannya berubah datar.
"Kalo gitu saya permisi dulu, Assalamualaikum." Nada bicara Maira berubah dingin seketika. Maira segera membalikkan tubuhnya, mengayunkan kaki menuju mobil.
"Mai, tunggu!" Qausar menghentikan langkah Maira.
Gadis itu lalu berbalik badan. "Ya?"
"Tangan aku luka, kamu nggak mau tanggung jawab?"
"Bukannya tadi kamu bilang kamu nggak apa-apa?"
"Tapi ini salah kamu, kamu yang nabrak aku. Aku sekarang udah nggak bisa bawa motor, gimana dong?"
"Salah kamu sendiri."
"Kok salah aku? Jelas-jelas kamu yang nabrak aku dari belakang." Qausar tidak ingin kalah.
"Kamu menyalahkan saya?"
"Iya lah. Emang salah kamu."
"Jadi kamu mau apa sekarang?" Maira merendahkan nada bicaranya, namun masih dengan ekspresi wajah yang flat, tak lupa dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada.
Qausar menarik salah satu sudut bibirnya keatas. "Kamu harus anterin aku ke rumah sakit pake mobil kamu."
"Motor kamu kan masih baik-baik aja, Qausar."
"Aku-nya yang sakit, Mai! Bukan motor!"
Maira menghela nafas panjang, "Nggak. Kamu bawa motor kamu sendiri aja. Nanti saya jagain dari belakang."
"Mata kamu katarak ya, Mai? Tangan aku luka Mai, lukaaaa!!!" pekik Qausar sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang terluka akibat gesekan cukup keras dari aspal. Kemejanya pun terlihat sobek.
"Cuma luka ringan."
"Tapi tetep sakit."
"Kamu jangan manja, Qausar," ketus Maira merotasikan bola matanya.
"Tanggungjawab atau aku panggilin warga tadi biar nyeret kamu ke kantor polisi karena udah nabrak aku dan nggak mau tanggung jawab," ancam Qausar sambil menatap tajam pada Maira.
"Panggil aja."
Maira berbalik badan dan mulai melangkah meninggalkan Qausar yang masih mematung.
"Kamu mau kemana? Kamu belum tanggung jawab. Maira!" teriak Qausar pada Maira yang sudah masuk ke dalam mobil.
Tanpa peduli, gadis itu langsung menancap gas dan melesat pergi.
Qausar menatap tajam pada mobil Maira yang sudah mulai menjauh.
"Dasar Humaira! Sifat batunya nggak berubah sama sekali!"
*****
Humaira
Mengapa dunia ini sangat sempit sampai harus mempertemukanku kembali dengannya.
Orang yang pernah menorehkan rasa sakit yang mendalam di hatiku. Bahkan luka itu belum sembuh sampai saat ini.
Mobilku kini mulai memasuki parkiran rumah sakit tempatku bekerja. Aku segera memarkirkan mobilku dan segera masuk ke rumah sakit.
Aku tidak boleh egois, masih banyak orang yang membutuhkan jasaku di luar sana dan aku harus selalu siap untuk mereka. Aku berusaha untuk tidak memikirkan kejadian tadi, itu hanya akan membuat hatiku sakit kembali.
Aku mulai menapakkan kaki dikoridor rumah sakit menuju ke ruanganku.
Pikiranku berkecamuk, bayang-bayang Qausar selalu saja muncul di pikiranku, tergambar jelas bagai kaset yang diputar di layar lebar.
"Maira!"
Suara berat itu mengagetkanku dan membuatku menoleh menatapnya.
Seorang lelaki menggunakan jas dokter kini tengah berjalan cepat kearahku. Dia adalah Dana.
"Kamu dari mana aja? Kok nggak jawab panggilanku tadi?" tanyanya saat sampai si sebelahku.
Pradana Kusuma, teman sekaligus sahabatku. Dia adalah dokter spesialis ortopedi.
"Aku tadi nggak sengaja nabrak orang, Dan," jawabku sembari melanjutkan langkah ku yang tertunda.
Dana mengimbangi langkahku. "Terus gimana? Orang yang kamu tabrak baik-baik aja?"
"Dia nggak papa kok, lagian cuma lecet dikit."
Aku sebenarnya malas mengingat kejadian tadi. Tapi pertanyaan Dana memaksaku untuk kembali mengingat Qausar.
"Oh, syukur deh. Orangnya udah kamu bawa ke rumah sakit?" tanyanya lagi.
"Dia cuma luka dikit, Dan. Udah nggak usah bahas itu lagi. Aku mau ke ruanganku dulu. Assalamualaikum."
Aku segera berlalu meninggalkan Dana. Aku malas mengingat kejadian tadi. Sungguh, itu hanya membuat hatiku semakin nyeri.
"Maira! Nanti siang makan bareng, ya?!"
-TBC-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!