[ TCH ]
“Takdir Allah terkadang lucu.”
*****
“Qa-qausar?” gumamku pelan.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Pemuda dengan kaos oblong dibalut kemeja kotak-kotak yang tidak di kancing, celana levis hitam dengan sepatu vans di kakinya, topi yang bertengger di kepalanya. Tak lupa juga dengan sepasang earphone di telinganya. Pemuda itu terlihat menyeret koper besar.
Aku tidak habis pikir, mengapa Allah kembali mempertemukanku dengan makhluk-Nya yang satu ini? Jantungku tiba-tiba saja berpacu lomba saat mata kami bertemu dan saling terkunci satu sama lain. Aku benci perasaan ini, aku benci dia.
Dengan segera ku putuskan pandanganku dengannya. Aku hanya tak ingin rasa itu kembali muncul. Tanpa berkata apapun, aku segera beranjak dari tempat itu. Namun aku tersentak kala ia mencekal tanganku dengan cepat.
“Mai, tunggu.”
Aku langsung menghempas kasar tangannya dari pergelangan tanganku. Sifatnya memang tidak pernah berubah sejak dulu, dia melakukan sesuatu sesuka hatinya saja, tanpa tahu apa yang dia lakukan telah menyakiti orang lain.
“Lepas. Jangan pernah sentuh saya!” peringatku tegas.
Berani-beraninya dia menyentuhku tanpa dosa.
“Sorry...” cicitnya.
Aku menatapnya tajam, sedangkan dia menatapku aneh. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Dia terus menatapku dari atas sampai bawah.
“Kamu dokter?” tanyanya membuatku memalingkan wajah kearah lain.
Aku tidak menjawab pertanyaan basa basi darinya. Menurutku, itu hanya akan membuang waktu, tenaga, dan meningkatkan emosi.
“Maaf, saya harus pergi. Saya ada urusan.”
Aku beranjak dari tempat itu dan membiarkan dia yang masih mematung. Aku tidak memperdulikannya, lagipula, aku sudah tidak punya urusan apa-apa lagi dengannya.
Aku kembali ke ruanganku dan mengemasi semua barang-barang ku. Aku akan segera pulang menemui mama dan papa.
Aku masih terbayang dengan kejadian tadi. Bayang-bayang Qausar berseliweran di otakku, memenuhi benakku dan menyesakkan rongga dadaku. Aku berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengannya sampai kapan pun.
*****
Aku memencet bel rumah orang tuaku. Kesibukanku di rumah sakit membuatku tidak ada waktu untuk berkunjung ke rumah ini.
Pintu terbuka, mamaku disana. Sorot matanya memancarkan keterkejutan.
“Maira?”
“Surprise!!”
Aku langsung menghambur ke pelukannya. Aku merindukan mama, sungguh.
“Kamu kok nggak bilang kalo mau pulang,Sayang?” Mama lalu melonggarkan pelukannya dariku.
Aku terkekeh pelan. “Sengaja, Ma. Biar surprise aja.”
“Yaudah. Ayo masuk.”
Aku mengangguk dan mulai melangkah memasuki rumah itu. Tidak ada yang berbeda, masih sama seperti saat terakhir aku kesini.
“Rasyid nggak pernah kesini, Ma?” tanyaku ketika sudah sampai di ruang tamu.
Aku mendudukkan diriku di sofa maroon, disusul oleh mama di sebelahku.
Dia terkekeh. “Kemarin Rasyid sama Syafira baru kesini, Maira.”
Rasyid adalah adikku satu-satunya. Dia sudah menikah beberapa bulan yang lalu dengan jodoh pilihan papa.
“Yah ... Mama kok nggak ngasih tau Mai, sih?”
“Kamu kan sibuk. Nggak enak dong mama ganggu.”
Aku terkekeh pelan mendengar penuturannya.
“Papa masih di kantor ya, Ma?” tanyaku sembari melirik arloji yang berada di tangan kiri.
“Iya, Mai. Kamu nginep, kan?”
Aku berpikir sejenak, kebetulan besok aku libur. Tidak ada salahnya jika aku menginap.
“Iya, Ma. Mai nginep,” jawabku mantap dan membuat mama mengembangkan senyum.
“Yaudah, kamu mandi dulu, gih. Badan kamu bau keringet.” Ia terkekeh pelan. Aku beralih menciumi bajuku, dan benar saja memang agak bau.
“Yaudah, Ma. Maira ke kamar dulu, ya?”
Mama mengangguk.
Aku berlalu sambil menenteng handbag milikku. Kakiku mulai melangkah menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamarku yang berada di lantai atas.
Aku memutar knop pintu dan mulai masuk ke dalam ruangan itu. Tampilannya masih sama saat ku tinggalkan sebulan yang lalu. Tidak ada yang berubah. Aku tersenyum dan langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku merindukan kasur empuk itu.
*****
Qausar.
Aku benar-benar tidak percaya bisa bertemu dengannya. Takdir Tuhan memang tidak pernah ku sangka. Semenjak aku pergi ke luar negeri delapan tahun yang lalu, aku belum pernah lagi bertemu dengannya.
Aku tidak menyangka kini dia benar-benar sudah menjadi seorang dokter. Cita-citanya sewaktu SMA kini sudah terwujud. Aku bahagia akan itu. Tapi mengapa dia bersikap sangat dingin padaku? Apa dia masih marah denganku? Masalah itu kan sudah lama sekali. Mengapa dia masih mengingatnya?
“Mas ....”
Suara parau itu menyapaku, seketika memecahkan lamunanku. Aku menoleh kearah bangsal, tempat dimana adikku terbaring. .
Matanya mengerjap, menyamarkan cahaya lampu dan terbuka sedikit demi sedikit.
“Qei? Kamu udah sadar?” ucapku, mengelus pelan puncak kepala Qeisya.
“Mas ... Jangan tinggalin Qeisya ....”
“Iya, Qei. Mas disini.”
Qeisya Zamira adalah adikku satu-satunya. Dia divonis mengidap penyakit leukemia 2 minggu yang lalu. Aku baru bisa menemuinya hari ini karena aku baru lepas landas dari Amerika siang tadi. Pekerjaan ku disana membuatku tidak punya waktu untuk Qeisya.
“Qausar.”
Suara bariton itu membuatku menoleh. Di ambang pintu ruangan terlihat seorang pria paruh baya yang tengah berdiri tegak. Dia Hendri—papaku.
“Iya, Pa.”
Aku sebenarnya masih malas berbicara dengannya. Kami sempat bertengkar hebat beberapa tahun lalu hingga dia mengusirku dari rumah, hanya karena masalah sepele. Dan hubungan kami pun masih sangat renggang sampai saat ini.
Dia melangkah mendekat ke arah bangsal. Wajahnya terlihat datar dan dingin, tatapannya pun masih tajam kearahku.
“Kenapa pulang?”
Bukannya menanya kabar, papa malah bertanya demikian.
Aku menghela nafas berat. “Mau jengukin Qeisya,” jawabku pelan.
Aku tidak mau Qeisya bertambah sakit jika melihatku kembali bertengkar dengan papa.
Dia diam tak bersuara lagi. Aku lega, karena dia tidak mengajakku untuk ribut disaat seperti ini.
“Mama mana, Mas?” tanya Qeisya dengan suara seraknya.
Aku beralih menatap lekat wajah cantik adikku yang terlihat pucat.
“Mama keluar sebentar, Qei.”
“Qei mau ketemu sama mama.”
“Mama disini, Sayang.” Itu suara mamaku—Mega. Ia kini sudah berada di ambang pintu ruangan. Ia mulai mendekat sambil membawa se-parcel buah untuk Qeisya.
Aku sontak berdiri dari kursiku dan mempersilakan mama untuk duduk.
“Ma ....”
“Iya, Nak?”
“Qeisya mau pulang ... Qeisya nggak kuat disini terus ....” rengeknya.
“Iya, Nak. Sebentar lagi Qeisya pulang,” ucap mama dan tentu saja mama berbohong. Qeisya masih harus disini selama beberapa minggu lagi untuk menjalani kemoterapi.
Mata Qeisya berbinar seketika. “Beneran, Ma?”
“Iya.”
Setelah sampai di bandara tadi, aku tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke sini untuk bertemu dengan adik kesayanganku.
“Qausar,” panggil mama.
Aku menoleh ke arahnya. “Iya, Ma?”
“Kamu pulang dulu ya, kamu pasti capek. Biar mama yang jagain Qeisya.”
Aku mengangguk patuh, karena memang aku sudah sangat lelah seharian ini. “Qausar pamit ya Ma, Pa.”
Mama mengangguk sambil mengembangkan senyum manis. Sedangkan papa hanya diam, tatapannya sinis ke arahku.
Dan aku, tidak peduli itu.
Aku beralih menatap Qeisya. “Qei, Mas pamit, ya? Kamu baik-baik disini.” Aku mengelus surai rambutnya.
Qeisya mengangguk lemah disertai dengan senyum manis yang memperlihatkan lesung pipinya.
Aku mengambil koperku dan segera beranjak dari ruangan itu. Supir pribadi mama sudah berada di depan ruangan untuk mengajakku pulang.
“Mari, Den,” ajaknya sambil meraih koperku.
Aku mengangguk, melangkah keluar dari rumah sakit menuju parkiran dan segera menaiki mobil hitam keluargaku yang terparkir rapi disana.
Mobil itu kini melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota di malam ini. Aku hanya diam duduk di jok belakang, menatap ke luar jendela sambil memperhatikan lampu-lampu jalanan.
Bayangan Maira tiba-tiba berseliweran di kepalaku. Aku merindukan gadis itu. Wajahnya masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan dia semakin cantik setelah menggunakan hijab seperti saat ini.
Aku harus menemuinya lagi, harus. Aku harus meminta maaf padanya atas kesalahanku di masa lalu.
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments