[ TCH ]
“Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu.”
-Hadits riwayat At-Tirmidzi.
*****
Aku berjalan di koridor rumah sakit, netraku menyapu bersih apapun yang berada disini. Aku berniat untuk mencari Maira, aku yakin dia ada di sekitar sini.
“Aku cari sampai ke lubang cacing kamu, Maira.”
Langkahku berhenti mendadak, netraku langsung terpaku pada sosok perempuan dengan jas dokter berdiri tidak jauh di depanku. Itu Maira, ia terlihat sedang tertawa bersama seorang lelaki.
“I found you, Mai.”
Aku mulai melangkah mendekat kearahnya.
“Ekhem!”
Deheman keras dariku sukses membuat keduanya menoleh. Netra Maira melebar kala melihatku, tawa renyah tadi musnah dalam sekejap, tergantikan dengan raut wajam masam yang sangat tidak enak untuk di pandang.
“Hai, Maira!” sapaku sok ramah. Memang aku ramah sih sebenarnya.
“Temen kamu, Mai?” tanya lelaki yang berdiri di samping Maira.
Maira menggeleng. “Aku nggak kenal,” ujarnya tanpa rasa bersalah disertai dengan tatapan sinis ke arahku.
Senyumku musnah. Bisa-bisanya aku tidak diakui oleh mantan sendiri! Oh, come on. Dimana harga diri seorang Qausar Zaidan? Namun aku berusaha sabar, Maira sungguh menguji emosiku.
“Kamu belum tanggung jawab, Mai,” ucapku datar.
Lelaki tadi terbelalak, ia terlihat kaget. Biasa aja kali.
“Kamu udah apain dia, Mai? Kamu jangan bikin malu aku deh! Kamu udah berbuat macem-macem sama dia? Astaga, Maira! Sadar Mai, sadar!” pekiknya keras.
“Apa sih!” sergah Maira cepat.
Tatapannya kini jatuh padaku. Hanya tatapan sinis dan raut wajah flat yang aku dapatkan darinya. Selalu seperti itu.
“Kamu mau apa?” tanyanya dingin.
Aku lalu mengembangkan senyum tipis. “Tanggung jawab kamu. Liat nih.” Aku menunjukkan pergelangan tanganku yang diperban. “Kamu yang udah buat aku kek gini.”
Dia merotasikan bola matanya. Andai bukan Maira, mungkin sudah ku tenggelamkan di rawa-rawa.
“Jangan lebay.”
“Lebay kamu bilang? Kamu yang udah nabrak aku tapi nggak mau tanggung jawab. Terus kamu bilang aku lebay?” cerocos ku tidak terima.
“Tangan kamu masih utuh, kan?” tanyanya angkuh. Mengapa setelah sekian lama tidak bertemu, Maira malah berubah menjadi sesosok gadis yang sangat dingin? Namun pertanyaannya adalah, apa itu hanya berlaku padaku saja?
“Oh jadi Mas ini yang kamu tabrak, Mai. Kamu kenal, kan? Kok kamu bilang nggak kenal tadi?” cicit lelaki itu lagi.
Ternyata dia tahu tentang Maira yang menabrakku. Begitu terbukanya kah Maira pada lelaki ini? Ada hubungan apa dia dengan Maira? Jangan bilang kalau ... No! Nggak boleh!
Maira tidak menjawab pertanyaan lelaki itu melainkan kembali beralih menatap kearahku.
“Ikut saya,” ajaknya.
Aku terkesiap detik itu juga. “Mau kemana?”
“Pergi dari sini. Kita jangan berdebat disini.”
Mataku berbinar. Akhirnya gadis itu mau mengalah juga.
“Oke!”
“Dana, kamu juga ikut.”
What? Kenapa dia harus mengajak lelaki itu? Kalau seperti ini aku tidak akan bisa leluasa untuk berbicara dengan Maira. Wait, siapa tadi namanya? Dana? Sungguh tidak menarik.
Dana mengangguk.
“Kenapa dia harus ikut sih, Mai? Kenapa nggak kita berdua aja?” protesku.
“Berduaan itu nggak baik, nanti yang ketiga setan.”
Aku menghela nafas panjang. Memang benar sih. Tidak apa lah yang penting Maira masih mau berbicara denganku.
“Oke, fine.”
*****
Maira mengajak ku ke cafe yang berada di dekat rumah sakit. Kami bertiga kini berada di satu meja persegi yang sama. Aku berhadapan langsung dengan Dana sedangkan Maira di sebelahnya. Kami masing-masing hanya memesan segelas jus.
Tidak ada perbincangan yang terjadi selama beberapa saat, sebelum pada akhirnya Dana membuka suara.
“Nama lo siapa? Kenalin, gue Pradana Kusuma, lo bisa panggil gue Dana. Gue dokter spesialis ortopedi. Gue temen sekaligus sahabatnya Maira,” ucap pemuda itu sambil mengulurkan tangannya padaku.
Aku menerima uluran tangannya. “Qausar,” jawabku singkat.
“Qausar doang? Nggak ada lanjutannya gitu?”
Huft! Teman Maira memang sangat kepo.
Sedangkan Maira, ia hanya diam sambil menyeruput jus avocado yang berada di depannya. Menyebalkan bukan?
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar menghadapi Dana.
“Kenalin, gue Qausar Zaidan Firdaus, umur 27, jenis kelamin laki-laki, gue sebelumnya tinggal di Amerika, gue kesini karena ada anggota keluarga gue yang sakit, dan .... gue mantannya Maira.”
Uhuk uhuk!
Naira tersedak, tatapannya yang tajam beralih menusuk netraku.
Dana menganga mendengar jawaban ku.
“Ja-jadi lo... Ma-mantannya Maira?” tanyanya terbata-bata.
“Iya,” jawabku acuh.
Aku mendapat plototan tajam dari Maira, sangat tajam. Apa dia marah karena aku sudah memberitahukan status kami yang sebenarnya? Apa aku salah? Hmm ... ku rasa tidak. Bukankah berbohong itu dosa? Karena aku tidak ingin berdosa, makanya aku bicara jujur.
Dana beralih menatap lekat pada Maira. Binar keterkejutan benar-benar terpancar dari wajahnya. Aku puas!
“Beneran mantan kamu, Mai?”
Maira memilih bungkam, tidak menjawab pertanyaan Dana. Auranya terlihat menyeramkan, namun di mataku ia semakin menggemaskan.
“Cepetan ngomong, kamu mau apa sekarang,” ucapnya datar.
Aku tersenyum lebar. “Jalan sama aku.”
“Saya tidak bisa,” ketusnya.
Ucapannya sukses membuat senyumku memudar.
“Kenapa?” tanyaku menggebu.
“Semuanya sudah berbeda. Saya bukan Humaira anak abege yang bisa kamu ajak jalan sesukamu. Tanggung jawab saya besar sekarang.”
Mulutku terbungkam rapat.
Memang benar apa yang di katakan Maira barusan. Tapi apa aku salah jika hanya ingin mengajaknya jalan. Lagipula aku tidak akan macam-macam.
“Dengerin.” Dana nimbrung.
“Nyamber aja lo!”
Maira terlihat melirik arloji yang ada di tangan kirinya. Apakah dia sudah akan pergi dari sini?
“Dan, udah waktunya kita balik ke rumah sakit. Jam makan siang udah selesai.”
“Oke.”
Humaira beranjak dari kursinya tanpa berpamitan denganku.
“Mai, gimana?” tanyaku cepat membuatnya berbalik. Ia mengangkat salah satu alisnya kearahku.
“Yang tadi.”
“Maaf, saya nggak bisa. Saya akan tanggung jawab atas kesalahan saya, tapi tidak dengan cara seperti itu. Assalamualaikum.”
Maira dan Dana berlalu pergi meninggalkan ku sendiri di cafe ini.
“Waalaikumsalam,” jawabku malas.
“Aku nggak akan nyerah buat deketin kamu lagi, Mai.”
*****
Humaira
Mengapa aku harus berurusan lagi, lagi dan lagi dengan Qausar Zaidan Firdaus. Mengapa juga dia harus membongkar status kami yang sebenarnya didepan Dana. Lihat sekarang. Dana tidak henti-hentinya mengoceh.
“Mai, Qausar beneran mantan kamu, ya?”
“Kapan kalian pacaran? Kok aku nggak tau?”
“Bukannya kamu nggak pernah pacaran ya, Mai?”
“Terus kok dia bisa ngomong gitu?”
“Mai, jawab aku dong!”
“Maira!”
Telingaku sudah panas mendengar ocehan Dana. Sepanjang jalan menuju rumah sakit dia tidak henti-hentinya bertanya padaku.
Memoriku berputar mengingat kejadian beberapa waktu silam. Aku sebenarnya sudah tidak ingin mengingatnya lagi. Namun Qausar membuatku kembali mengingat rasa sakit itu kembali.
Apa memorinya tidak berputar? Apa dia tidak merasa bersalah sedikitpun? Dunia ini memang sempit. Aku yang berusaha mati-matian untuk tidak bertemu lagi dengan Qausar kini malah harus berurusan dengannya.
“Maira!!” teriak Dana tepat di telingaku.
Aku tersentak kaget, jantungku berpacu lomba seketika. Aku benar-benar hanyut dalam pikiranku sampai tidak menyadari kini aku telah berada di rumah sakit.
“Kamu ngelamun ya, Mai?”
Aku berusaha mengubah mimik wajahku agar tidak terlihat gugup. “Nggak, Dan.”
Dana memanggut.
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
Aku menghela nafas panjang. “Nggak usah dibahas lagi, Dan. Permisi aku mau ke ruanganku dulu. Assalamualaikum.”
Aku segera berlalu meninggalkannya.
“Waalaikumsalam,” jawabnya pelan namun masih bisa ku tangkap jelas. Aku sepertinya tidak perlu menjawab pertanyaan unfaedah yang ia lontarkan. Karena itu hanya akan membuka luka yang sudah ku kubur dalam-dalam.
Aku memasuki ruanganku, meletakkan ponselku diatas meja dan langsung duduk di kursi kerja. Kepala ku berdenyut. Aku memijit pelan pelipis mataku yang terasa nyeri. Ini semua gara-gara Qausar.
“Aku membencinya.”
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments