[ TCH ]
Q.S. Az-Zariyat ayat 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
*****
“Assalamualaikum, Qeisya,” ucapku ketika sampai di ruang rawat Qeisya.
Gadis itu terlihat melamun, menatap kosong ke samping. Dia hanya sendiri saat ini.
Dia lalu menoleh. “Waalaikumsalam, Kak Maira?!”
Netra yang tadinya layu seketika berbinar kala melihatku.
Aku mendekat ke bangsal. Mengelus pelan surai rambut Qeisya dan segera mengecek keadaan gadis itu menggunakan stetoskop yang aku bawa.
Dia hanya diam, mengulum senyumnya sambil menatapku intens.
Selesai. Syukurlah, keadaan gadis itu kini sudah semakin membaik. Aku lega karena keadaannya tidak seburuk beberapa hari yang lalu. Aku harap setiap hari akan ada peningkatan dan dia bisa segera sembuh.
Ia menarik kedua sudut bibirnya yang pucat dan membentuk lekukan indah. Senyum manis disertai dengan lesung pipi itu tidak pernah pudar dari wajah cantiknya.
“Kenapa, Qei? Kok ngeliatin Kakak?”
Qeisya tersenyum, tangannya mulai menyentuh tanganku dan menggenggamnya erat.
“Qei kangen sama Kak Maira.”
Aku segera duduk di kursi yang ada di samping bangsal, beralih mengelus punggung tangan mungil itu dengan pelan.
“Baru nggak ketemu sehari udah kangen?”
“Kalo nggak ada Kak Maira nggak seru!” jawabnya menggebu-gebu sambil mengerucutkan bibir bawahnya.
Aku terkekeh pelan melihat ekspresinya. “Nggak serunya gimana, tuh?”
“Pokoknya banyak gak serunya, deh! Masnya Qei juga gak seru, gak kayak Kak Maira.”
Sebentar. Mas? Qeisya punya mas? Sejak kapan?
Aku mengernyit bingung. “Qeisya punya mas?” tanyaku. Aku bahkan belum pernah melihat kakak lelaki Qeisya sebelumnya.
Gadis itu mengangguk. “Iya, Kak. Masnya Qei baru pulang dari Amerika dua hari yang lalu, dia emang udah lama nggak pulang. Tapi hari ini dia belum datang buat jengukin Qei. Nggak tau deh dia dimana sekarang.”
Aku hanya mengangguk paham.
“Kak Maira, masnya Qei ganteng loh!” ucapnya antusias.
“Oh ya?” Aku tahu jika aku seperti ini Qeisya akan lebih bersemangat lagi untuk bercerita.
“Iya, kak. Dia tu ganteng ... banget. Dia juga baik loh! Tapi sayang ...” Nada bicara Qeisya melemah. Binar matanya sirna dalam sekejap.
“Kenapa Qei?”
Helaan nafas berat terdengar. “Dia jarang banget pulang ke rumah. Kalo bukan gara-gara Qei sakit mungkin dia nggak pulang-pulang. Qei kangen deh bisa kayak dulu lagi sama mas.”
Aku tersenyum, kembali mengelus lembut puncak kepalanya dan berusaha menenangkan gadis itu. “Kan sekarang udah ada kak Maira yang nemenin Qeisya.”
Dia terkekeh kecil. “Hehe iya sih. Makasih ya kak karena Kak Maira udah mau jadi kakaknya Qei.”
“Sama-sama.”
“Oh ya, nama masnya Qeisya siapa?” tanyaku penasaran.
“Qei lupa nyebutin nama masnya Qei.” Dia menggaruk keningnya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi.
“Terus namanya siapa?”
“Namanya mas Qa—”
“Assalamualaikum.”
Ucapan Qeisya menggantung saat bu Mega tiba-tiba muncul di ambang pintu. Qeisya beralih menatap mamanya itu tanpa melanjutkan ucapannya.
“Mama?”
Bu Mega tersenyum dan melangkah mendekati bangsal Qeisya.
Aku segera berdiri dan memberikan ia tempat di samping Qeisya. Ia tersenyum kearahku.
“Kamu apa kabar hari ini, Sayang?” tanyanya pada Qeisya.
“Qei udah baik-baik aja kok, Ma. Kan ada kak Maira yang jagain Qei.” Dia tersenyum kearahku.
Bu Mega beralih menatap ku. “Terima kasih ya, Dok. Karena sudah jagain Qeisya.”
“Sama-sama, Bu. Memang sudah menjadi tugas saya untuk merawat Qeisya.”
Dia tersenyum.
“Kalau begitu saya pamit keluar dulu ya, Bu. Mau memeriksa pasien yang lain.”
“Iya, Dok. Sekali lagi terima kasih, ya.”
Aku mengangguk rdan beralih menatap Qeisya. “Qei, kak Maira keluar dulu ya? Kamu harus cepet sembuh, oke.”
“Siap 45 kak!” jawabnya bersemangat seraya meletakkan tangan kanannya di dekat pelipis mata.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Aku yakin, gadis itu pasti bisa sembuh suatu saat nanti. Semangatnya begitu besar untuk sembuh, dan aku janji akan membantunya.
*****
Qausar
Aku harus menemui Maira setelah aku menemui Qeisya, aku harus meminta pertanggungjawaban atas semua yang sudah ia perbuat. Aku tidak akan membiarkan dia lepas tanggung jawab begitu saja.
Aku mendorong pintu ruangan Qeisya dengan pelan. Mataku berbinar ketika melihat Qeisya tengah bersenda gurau dengan mama. Untung tidak ada papa disini, jadi aku bisa leluasa untuk bercanda dengan adik semata wayangku.
“Assalamualaikum.”
Keduanya menoleh. “Waalaikumsalam.”
Aku segera menghampiri bangsal adikku, lalu mencium punggung tangan mama dengan sopan.
“Mas dari mana aja? Kok baru nyampe? Terus tangan mas kok di perban?” Aku langsung mendapatkan pertanyaan beruntun dari Qeisya.
“Iya Nak, kok tangan kamu di perban? Kamu kecelakaan?” timpal mama.
Aku tersenyum kikuk, berusaha mengelak. “Nggak kok, aku nggak papa. Cuman jatuh aja tadi dari motor.” Aku hanya tidak ingin membuat mereka khawatir. Lagipula luka ku juga tidak parah.
“Kamu jatuh dari motor? Kok bisa?”
“Emm anu ... Tadi nggak sengaja keserempet,” jawabku terbata-bata.
“Lain kali hati-hati ya, Sar.”
Aku mengangguk pelan.
Mama berdiri dari duduknya. “Sar, kamu jagain Qeisya dulu, ya? Mama mau keluar sebentar.”
“Iya, Ma. Mama tenang aja.”
Mama keluar. Aku segera duduk di kursi itu.
“Mas beneran nggak papa, kan?” tanyanya lembut. Tatapannya terlihat sendu.
“Mas udah nggak papa, Qei. Cuma lecet dikit kok,” jawabku sambil mencubit hidung mancung Qeisya dengan gemas.
“Beneran?”
“Beneran, Qei.”
Qeisya mengangguk pelan namun wajahnya masih memancarkan kekhawatiran.
Seketika mata Qeisya berbinar, sepertinya Qeisya mengingat sesuatu yang membuatnya senang.
“Mas, mas, mas tau nggak?” ucapnya menggantung.
Aku mengernyit bingung. “Tau apa?”
“Dokter yang ngerawat Qei baik banget loh mas! Cantik lagi! Qei suka deh dirawat sama dia!”
“Massak?” tanyaku sambil mengerutkan keningku.
Qeisya mengangguk cepat. “Baik banget, Mas. Qei juga manggil dia kakak soalnya dia seumuran gitu sama mas. Mas harus ketemu sama dia pokoknya!” ucapnya antusias.
“Oh ya terus-terus dia juga masih single loh, Mas. Mas juga kan masih single, pokoknya cocok deh kalo nikah sama mas. Qei pengen deh punya kakak ipar kek dia!” tuturnya memanjang dan seketika membuat aku menatap datar padanya.
“Apaan sih, Qei. Kamu masih kecil nggak boleh mikirin kesitu.”
“Dih, kan bukan Qei yang pengen nikah! Qei maunya mas yang nikah! Udah tua juga, nggak inget umur deh!” ketus Qeisya sambil memutar bola matanya malas.
Aku terkekeh pelan. “Kamu jangan salah. Mas masih muda tau nggak. Umur mas aja baru 27.”
Aku mencubit kedua pipinya gembulnya dengan pelan.
“Ssshhh ... sakit Mas!” pekik Qeisya. Ia menepis kasar tanganku dari pipinya. Tatapannya kini berubah tajam.
“Mas pokoknya harus mau sama dia! Kalo nggak, Qei bakalan marah besar sama mas!” Qeisya bersedekap dada, tak lupa juga menggembungkan pipinya.
“Kok maksa?” godaku.
“Ihh ... Qei nggak mau tau! Mas pokoknya harus ketemu sama dokternya Qei!”
Qeisya sudah tidak terlihat seperti orang sakit saat ini. Wajahnya berbinar kala menceritakan tentang dokter itu. Pengaruh dokter tersebut benar-benar besar dalam diri Qeisya.
Aku menghela nafas panjang. “Yaudah. Mas mau deh ketemu sama dia.” Jangan salah, aku disini hanya ingin menyenangkan hati adikku.
Wajah Qeisya berbinar seketika.
“Beneran?!” tanyanya terkejut.
“Iya.”
Qeisya bersorak bahagia seketika. Aku harus mengalah demi adikku. Ya, aku akan menemui dokter tersebut, tapi nanti. Aku harus menemui Maira terlebih dulu untuk meminta pertanggungjawaban. Enak saja dia main pergi meninggalkanku tanpa merasa bersalah.
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments