[ TCH ]
"Rindu. Satu kata beribu arti."
*****
Sebuah mobil Avanza abu-abu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang mulai ramai dan bergabung dengan kendaraan lain.
Di kendarai oleh seorang perempuan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Blouse lengan panjang hitam di padukan dengan hijab segi empat coksu serta rok plisket coklat, tak lupa dengan flatshoes yang bertengger di kakinya.
Maira hari ini akan bertugas kembali di rumah sakit tempat kerjanya setelah mendapat libur sehari.
Ponsel pintar Maira yang berada dalam handbag nya berbunyi. Ia segera meraih ponsel tersebut, tertera nama 'Dana' disana.
Baru saja Maira ingin menggeser tombol hijau, tiba-tiba ponsel itu terjatuh dekat pedal mobil.
Maira menghela nafas panjang dan mencoba meraih ponselnya. Ia meraba menggunakan tangan kiri, namun tak kunjung menemukan ponsel tersebut.
"Mana sih."
Maira menunduk, melihat kebawah tanpa memperhatikan jalanan.
Ketemu. Maira langsung meraih benda pipih itu.
Brakk..
Ia menginjak rem mobilnya secara mendadak. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat.
"Astagfirullahhalladzim," gumamnya.
Gadis itu terbelalak sempurna, ia tersentak kaget.
"Aku nabrak orang ya?" gumamnya lagi.
Tidak berlama-lama lagi, Maira lalu melepas seat belt dan segera keluar dari mobil. Dengan langkah cepat ia menghampiri seseorang yang ia tabrak.
Seorang lelaki yang wajahnya tertutup dengan helm fullface tertindas dengan motor sport.
Maira yang melihat itu pun langsung membantu lelaki tersebut dengan sigap. Ia juga meminta bantuan beberapa warga sekitar yang tengah berada disitu.
"Makasih ya bapak-bapak karena udah bantuin saya. Mas ini biar saya yang tanggung jawab," ucap Maira pada warga yang tengah berkumpul.
"Lain kali hati-hati, Mbak," jawab salah satu dari mereka.
Maira mengangguk paham, mereka pun langsung bubar meninggalkan Maira bersama lelaki tadi.
"Mas nya nggak apa-apa? Saya bawa ke rumah sakit sekarang ya? Kebetulan saya dokter," tuturnya pelan. Guratan khawatir benar-benar terpancar dari Maira.
Lelaki itu hanya diam sambil menatap Maira dengan tatapan ... aneh.
Maira yang tak kunjung mendapat jawaban pun mengernyit bingung. Keningnya berkerut
"Mas nya masih syok? Kok diem aja? Tangannya terluka ya? Mari saya bawa ke rumah sakit," ajaknya buru-buru.
Pelan tapi pasti lelaki yang Maira tabrak mulai membuka helm fullface yang ia kenakan.
Mata Maira terbelalak sempurna kala helm itu terbuka. Bibir merah mudanya pun sudah tak terkatup rapat.
"Maira," panggil pemuda itu pelan dan seketika membuyarkan lamunan Maira.
Ia gelagapan. "M-maaf, saya nggak sengaja. Kamu nggak papa?" tanyanya dengan segudang rasa bersalah.
"Nggak, Mai. Aku nggak papa kok." Qausar tersenyum simpul.
Maira mengangguk, dan kini tatapannya berubah datar.
"Kalo gitu saya permisi dulu, Assalamualaikum." Nada bicara Maira berubah dingin seketika. Maira segera membalikkan tubuhnya, mengayunkan kaki menuju mobil.
"Mai, tunggu!" Qausar menghentikan langkah Maira.
Gadis itu lalu berbalik badan. "Ya?"
"Tangan aku luka, kamu nggak mau tanggung jawab?"
"Bukannya tadi kamu bilang kamu nggak apa-apa?"
"Tapi ini salah kamu, kamu yang nabrak aku. Aku sekarang udah nggak bisa bawa motor, gimana dong?"
"Salah kamu sendiri."
"Kok salah aku? Jelas-jelas kamu yang nabrak aku dari belakang." Qausar tidak ingin kalah.
"Kamu menyalahkan saya?"
"Iya lah. Emang salah kamu."
"Jadi kamu mau apa sekarang?" Maira merendahkan nada bicaranya, namun masih dengan ekspresi wajah yang flat, tak lupa dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada.
Qausar menarik salah satu sudut bibirnya keatas. "Kamu harus anterin aku ke rumah sakit pake mobil kamu."
"Motor kamu kan masih baik-baik aja, Qausar."
"Aku-nya yang sakit, Mai! Bukan motor!"
Maira menghela nafas panjang, "Nggak. Kamu bawa motor kamu sendiri aja. Nanti saya jagain dari belakang."
"Mata kamu katarak ya, Mai? Tangan aku luka Mai, lukaaaa!!!" pekik Qausar sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang terluka akibat gesekan cukup keras dari aspal. Kemejanya pun terlihat sobek.
"Cuma luka ringan."
"Tapi tetep sakit."
"Kamu jangan manja, Qausar," ketus Maira merotasikan bola matanya.
"Tanggungjawab atau aku panggilin warga tadi biar nyeret kamu ke kantor polisi karena udah nabrak aku dan nggak mau tanggung jawab," ancam Qausar sambil menatap tajam pada Maira.
"Panggil aja."
Maira berbalik badan dan mulai melangkah meninggalkan Qausar yang masih mematung.
"Kamu mau kemana? Kamu belum tanggung jawab. Maira!" teriak Qausar pada Maira yang sudah masuk ke dalam mobil.
Tanpa peduli, gadis itu langsung menancap gas dan melesat pergi.
Qausar menatap tajam pada mobil Maira yang sudah mulai menjauh.
"Dasar Humaira! Sifat batunya nggak berubah sama sekali!"
*****
Humaira
Mengapa dunia ini sangat sempit sampai harus mempertemukanku kembali dengannya.
Orang yang pernah menorehkan rasa sakit yang mendalam di hatiku. Bahkan luka itu belum sembuh sampai saat ini.
Mobilku kini mulai memasuki parkiran rumah sakit tempatku bekerja. Aku segera memarkirkan mobilku dan segera masuk ke rumah sakit.
Aku tidak boleh egois, masih banyak orang yang membutuhkan jasaku di luar sana dan aku harus selalu siap untuk mereka. Aku berusaha untuk tidak memikirkan kejadian tadi, itu hanya akan membuat hatiku sakit kembali.
Aku mulai menapakkan kaki dikoridor rumah sakit menuju ke ruanganku.
Pikiranku berkecamuk, bayang-bayang Qausar selalu saja muncul di pikiranku, tergambar jelas bagai kaset yang diputar di layar lebar.
"Maira!"
Suara berat itu mengagetkanku dan membuatku menoleh menatapnya.
Seorang lelaki menggunakan jas dokter kini tengah berjalan cepat kearahku. Dia adalah Dana.
"Kamu dari mana aja? Kok nggak jawab panggilanku tadi?" tanyanya saat sampai si sebelahku.
Pradana Kusuma, teman sekaligus sahabatku. Dia adalah dokter spesialis ortopedi.
"Aku tadi nggak sengaja nabrak orang, Dan," jawabku sembari melanjutkan langkah ku yang tertunda.
Dana mengimbangi langkahku. "Terus gimana? Orang yang kamu tabrak baik-baik aja?"
"Dia nggak papa kok, lagian cuma lecet dikit."
Aku sebenarnya malas mengingat kejadian tadi. Tapi pertanyaan Dana memaksaku untuk kembali mengingat Qausar.
"Oh, syukur deh. Orangnya udah kamu bawa ke rumah sakit?" tanyanya lagi.
"Dia cuma luka dikit, Dan. Udah nggak usah bahas itu lagi. Aku mau ke ruanganku dulu. Assalamualaikum."
Aku segera berlalu meninggalkan Dana. Aku malas mengingat kejadian tadi. Sungguh, itu hanya membuat hatiku semakin nyeri.
"Maira! Nanti siang makan bareng, ya?!"
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments