Part 3

"Lah siang-siang ngopi mbak?." tanya seorang karyawan laki-laki bernama Alex.

Nabila seketika menoleh ke arah sumber suara yang ada di belakangnya. "Ah tidak mas, ini milik pak Edwin." jawab Nabila sambil tersenyum ramah.

"Oh mbak nya ini sekretaris barunya pak Edwin ya?."

"Iya mas, baru berangkat hari ini."

"Hati-hati dan banyak sabar mbak kalau jadi sekretarisnya pak Edwin, karena dia itu terkenal CEO galak dan arogan." ucap Alex yang kini sudah berdiri di samping Nabila.

Nabila yang mendengar ucapan Alex merasa setuju, selain bosnya itu galak dan cuek, Edwin juga terlihat egois.

"Memang ada apa dengan pak Edwin, mas?." Nabila yang ingin tahu lebih jauh tentang Edwin, agar dia bisa berjaga-jaga jika ada kekerasan antara atasan dan bawahan. "Memang dia suka memukul?."

"Kalau mukul sih kayaknya engga mbak.. tapi saya juga kurang tahu sih, secara saya bukan sekretarisnya. Tapi asal mbak tahu ya, baru kemarin loh pak Edwin itu dapet sekretaris baru. Tapi baru berangkat dua hari langsung di pecat. Entah salahnya apa saya kurang tahu. Pak Edwin juga sering gonta-ganti sekretaris bahkan satu bulan bisa ganti empat kali."

"Empat kali?." Nabila yang terkejut saat mendengar ucapan Alex.

"Iya mbak.. banyak yang menjadi sekretaris pak Edwin tapi banyak yang ngga betah, dan mengundurkan diri, karena tidak kuat dengan tekanan pak Edwin. Mereka banyak yang menyerah menjadi sekretaris pak Edwin. Yang lama hingga bertahun-tahun ya hanya pak Hendrik saja yang sekarang menjabat sebagai manajer di kantor ini."

"Pak Hendrik dulu juga sekretarisnya pak Edwin?."

"Iya.. dan pak Hendrik lah yang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Namun tuan Remon selaku pemilik perusahaan ini yaitu ayah dari pak Edwin memberikan jabatan baru kepada pak Hendrik sebagai manajer, dan setelah itu pak Edwin selalu bergonta-ganti sekretaris karena tidak cocok mungkin." Alex yang bercerita panjang kali lebar kepada Nabila.

"Oh ternyata begitu ya.." Nabila seketika mengangguk kan kepalanya.

"Bahkan pak Edwin itu di isukan tidak tertarik dengan perempuan mbak."

"Hah..." Nabila yang lebih terkejut. "Maksud mas, pisang makan pisang gitu?."

"Katanya sih mbak.. soalnya pak Edwin tidak pernah mempunyai sekretaris perempuan dari dulu. Terakhir punya sekretaris perempuan kemarin namun udah di pecat, bahkan kabar-kabarnya pak Edwin belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun."

Nabila yang mendengar ucapan Alex seketika terdiam, ia merasa tidak percaya jika Edwin menyukai sesama jenis. Karena tubuh Edwin yang gagah, wajah yang maco dan maskulin sangat tidak cocok untuk menyukai sesama jenis.

"Ya sudah mbak, saya duluan ya, mbaknya semangat." ucap Alex lalu berlalu pergi dan Nabila hanya membalas dengan senyuman.

"Masa iya sih laki-laki setampan pak Edwin suka sesama jenis? kayanya kok ngga mungkin ya..Tapi entahlah."

Saat Nabila masih mengaduk kopi susu di atas meja, tiba-tiba ponselnya berdering di saku rok span nya. Nabila seketika segera meraih ponselnya dan segera mengangkat nya.

"Nomor siapa ini?." ucap Nabila yang melihat nomor tak di kenal, lalu mencoba untuk mengangkatnya.

"Halo."

"Lama sekali cuman buat kopi! ini sudah jam berapa? hampir istirahat kamu juga belum kembali! ngapain aja di sana!." teriak Edwin dari sambungan telefon.

Nabila yang mendengar teriakan Edwin seketika menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Maaf pak.. tadi bingung cari di mana letak dapur kantor dan HRD, tapi ini sudah mau ke atas lagi."

"Cepat! jika kamu tidak sampai dalam waktu lima menit, saya gantung kamu di pohon salak."

"Iya pak.." Nabila seketika mematikan sambungan telfon begitu saja.

"Aduh.. aku kira nomor siapa? ternyata nomor pak Edwin." Nabila yang sudah membawa secangkir kopi menuju ke lantai dua belas.

"Ting.." lift yang sudah terbuka tepat di lantai dua belas. Kini Nabila terus berlari namun dengan hati-hati agar kopi tidak tumpah.

Dengan nafas ngos-ngosan Nabila masuk ke dalam ruang direktur.

"Ini pak kopinya, silahkan di minum." Nabila yang sudah meletakkan satu cangkir kopi di depan Edwin.

"Lama sekali sih, ngapain aja di sana? tidur?." Edwin yang menatap Nabila secara tajam.

"Maaf pak, tadi nyari ruang HRD juga lama."

"Di suruh buat kopi aja lima tahun sendiri, ini kamu kasih sianida tidak? nanti saya kamu racuni lagi."

"Astagfirullah pak, jangan prasangka buruk, itu tidak baik, lagi pula saya juga tidak punya sianida, tadi belum sempat beli."

"Apa? kamu bicara apa? coba ulangi lagi."

Nabila seketika mengulum senyum. "Ah tidak pak.. tidak.. saya tidak bicara apa-apa."

Edwin seketika meraih secangkir kopi tersebut untuk menikmatinya. Namun tiba-tiba.

"Burrrr.." Edwin seketika menyemburkan kopi begitu saja hingga mengenai Nabila.

"Kamu gila ya.. kamu mau bikin saya mati!." pekik Edwin yang semakin marah kepada Nabila.

"Kenapa pak? apa kopinya tidak enak?."

"Nih rasain kopi buatan kamu." Edwin yang menyodorkan kopi ke arah Nabila. "Tuh kopi apa obat? pait bener, kamu bisa ngga sih buat kopi sebenarnya? buat kopi aja ngga becus, apa lagi jadi sekretaris saya!."

Nabila yang mendengar ucapan Edwin seketika teringat bahwa dia lupa memasukan susu dan juga gula ke dalam kopi karena terlalu sibuk mengobrol dengan Alex.

"Maaf pak, tadi saya lupa memberikan susu dan juga gula, karena terburu-buru."

"Ganti! dan buat yang baru." perintah Edwin lagi.

"Hah.. Jadi saya harus kembali lagi ke lantai satu pak?."

"Menurut kamu? salah siapa buat kopi saja tidak becus. Kan saya tadi sudah bilang, jika tidak sesuai keinginan saya, saya tidak mau."

Nabila seketika menghembuskan nafasnya dengan pasrah.

"Kenapa? kamu tidak mau? kalau tidak mau, pintu masih terbuka lebar untuk kamu pulang."

"Hehe tidak pak.. saya akan buatkan bapak kopi yang baru, permisi pak." Nabila yang sudah meraih cangkir kopi di atas meja, lalu berjalan pergi keluar dari ruangan direktur.

"Hahaha.. emang enak.. Aku kerjain, lagian siapa suruh mau jadi sekretarisku. Lihat saja berapa lama kamu akan kuat menjadi sekretaris ku." Edwin yang tertawa puas melihat Nabila tersiksa.

Dengan langkah lelah dan wajah yang kesal Nabila kembali masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai satu. "Sebenarnya aku di sini itu bekerja sebagai sekretaris atau budak sih? gini amat kerjanya, suruh buat kopi segala." Nabila yang kembali menggerutu karena Edwin.

Hendrik yang melihat Nabila dari arah ruangannya, seketika menjadi merasa kasihan. "Hah.. bagaimana sekretaris bisa betah sama tu anak. Sekretaris hanya di suruh ini itu, Edwin memang benar-benar kelewatan." Hendrik yang sudah beranjak berdiri untuk masuk ke dalam ruang direktur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!