Senjakala Di Madangkara
Kabut tipis melayang-layang di udara, menyelimuti badan gunung-gunung yang membentengi tanah Pasundan bagai sekumpulan raksasa tertidur. Sementara langit jingga di ufuk Timur diiringi hembusan angin semilir, perlahan-lahan mulai menyapu kegelapan malam dingin yang hanya tersisa beberapa jam lagi....
Kokok ayam jantan, kicauan burung bagai alunan musik penutup perjalanan panjang sang Dewi malam berikut para pengikutnya... menyambut datangnya sang fajar untuk memulai kehidupan baru di Madangkara dan sekitarnya. Sebuah kerajaan kecil dimana para penduduknya senantiasa hidup rukun, tentram dan damai juga sederhana.
Hari masih pagi... namun, jalanan ibukota sudah mulai dipadati oleh para penduduk yang rata-rata bekerja sebagai petani. Keceriaan, keramah tamahan, kesederhanaan dan gotong royong terpancar pada wajah masing-masing. Itu menandakan bahwa rakyat Madangkara di bawah kepemimpinan Sang Prabu Wanapati, hidup makmur dan sejahtera walau, ada perbedaan yang mencolok saat Brama Kumbara memimpin negeri kecil di tanah Pasundan itu.
Di sebelah Barat istana, telah dibangun rumah persinggahan para tamu kerajaan, juga para pembesar istana yang kebetulan tempat tinggalnya cukup jauh dari Madangkara lengkap dengan perabotan juga para pelayan dan para prajurit jaga.
Dari banyak rumah itu, terdapat sebuah rumah yang terlihat lain daripada yang lain.... mewah dan megah... hampir semua perabotan dan dinding bercat putih, kecuali pagar setinggi dua meter yang mengelilingi rumah itu. Hitam dan terdapat ukiran sepasang burung walet berwarna putih.
Di rumah inilah Shakila dan Permadi tinggal. Rumah ini diberi nama rumah walet putih. Sekilas rumah hanya terdiri dari satu bangunan saja, tapi, begitu memasuki halaman rumah barulah terlihat ada 2 bangunan berdiri disana. Di kanan kiri 2 bangunan itu dihiasi oleh berbagai macam jenis tanaman rimbun, sementara, di halaman belakang ... sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah sebuah tanah lapang cukup luas diselimuti oleh rerumputan hijau membentang dari ujung satu ke ujung lain. Sebagian masih tertutup oleh kabut, sebagian lagi tertimpa cahaya fajar yang merekah di ufuk Timur. Membelai butiran – butiran embun, memancarkan cahaya kemilau bagaikan hiasan pakaian dewa – dewi di kahyangan.
Angin berhembus perlahan, menerbangkan sebagian titik – titik embun yang kemudian memercik pada pipi seorang dara jelita yang saat itu duduk santai pada sebuah balai – balai bambu di halaman belakang salah satu rumah Walet Putih sambil memandangi deretan pegunungan. Ia tersentak sesaat manakala, titik – titik embun itu memercik pada kulit wajahnya yang sawo matang, untuk kemudian tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Senyum yang membuat siapa saja memandangnya seakan – akan terkena kekuatan sihir, senyum yang membuat kaum adam mabuk, tak bergeming bagai sebuah arca batu. Senyum seorang gadis muda nan jelita bernama Shakila.
“Kakang Permadi ... mau sampai kapan kau mematung di sana ?” suara merdu dan sebening air telaga itu ditujukan pada seorang pemuda tampan yang berdiri di bawah pohon cemara yang agak jauh dari tempat dimana Shakila duduk. Untuk sesaat pemuda itu masih berdiri terpaku, sepasang matanya seakan tak berkedip, mulutnya ternganga, ia bagai tak mendengar sapaan lembut dan ramah Shakila.
“Kakang Permadi, kemarilah ... sampai kapan kau mengagumi kecantikanku di tempat itu. Kemarilah, atau aku akan pergi,” kali ini Shakila mengeraskan suaranya membuat pemuda itu gugup dan buru – buru berjalan menghampiri Shakila.
“Pagi ini, kau tampak cantik sekali, Shakila.... wajahmu itu bagaikan bidadari yang turun dari Kahyangan,” Pemuda yang tidak lain dan tidak bukan itu adalah Permadi segera berjalan menghampiri Shakila dan duduk di samping dara jelita itu.
“Dasar mata keranjang. Beberapa waktu yang lalu kau juga melontarkan kata – kata yang sama terhadap Dewi Garnis. Sekarang kau melontarkan kata – kata itu padaku, apa kau tidak malu pada dirimu sendiri,”
“Tidak... itu memang benar, Shakila. Pagi ini kau tampak lebih cantik dan manis,” ujar Permadi.
“Ah, sudahlah jangan mengejek atau merayuku, simpan saja rayumu itu untuk Dewi Garnis. Bagaimana, apakah kau sudah bertindak sesuai dengan rencana yang telah kita susun dari semula ?” Shakila mulai memelankan suaranya demikian pula Permadi.
“Sudah. Aku sudah mengutus beberapa orang pembunuh bayaran untuk mengikuti perjalanan Widura kembali ke Blambangan. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk membungkam mulut dan membunuhnya, agar kelak tidak menghalangi rencana kita ke depan. Nah, kita sudah berhasil menyingkirkan orang Blambangan itu, Shakila .... Apa rencanamu selanjutnya ?”
“Tidak ada perubahan rencana, kakang .... Tetap saja pada rencana semula.... Aku akan mendekati Raden Bentar, dan kau mendekati Dewi Garnis. Keberhasilan ini akan semakin memudahkan kita untuk berjalan sesuai rencana. Sang Prabu Wanapati, raja tolol, congkak dan sombong itu, pasti akan menaruh kepercayaan penuh pada kita. Siapa tahu, beliau akan memberikan kedudukan penting di kalangan istana untuk kita. Itu akan lebih mudah lagi,”
“Kudengar dari beberapa orang penjaga, besok Prabu Wanapati akan memanggil kita ke Istana. Entah ada urusan apa. Mudah – mudahan dugaanmu benar, Shakila. Kalau itu terjadi, rencana besar kita pasti akan segera tercapai,” kata Permadi sambil tersenyum simpul, membuat Shakila heran.
“Mengapa airmuka kakang jadi aneh seperti itu ?” tanya Shakila sambil memandang penuh selidik. Ada rona merah menghias pipi pemuda itu. Shakila mengangguk – anggukkan kepala saat Permadi mencoba untuk menghindari tatapan tajam menusuk dari dara jelita itu, “Oh, jangan – jangan kakang .... Garnis .... Pasti itu yang ada di benak kakang. Dengan menjadi salah satu orang kepercayaan Prabu Wanapati, dan tinggal di istana, maka, kakang akan lebih sering bertemu dengan gadis pujaan kakang, bukan ? Dewi Garnis,”
Tebakan Shakila tepat.
Jika mereka menjadi salah seorang tokoh yang berpengaruh di lingkungan istana, maka, Permadi dan Dewi Garnis akan sering bertemu. Demikian pula Shakila, dia akan sering bertemu dengan Raden Bentar, tak perlu lagi menempuh perjalanan panjang dan jauh untuk saling bertemu dan berbincang – bincang di sebuah tempat.
“Raden Bentar dan Dewi Garnis, adalah ... selain mereka adalah orang – orang berpengaruh di Madangkara, juga berilmu paling tinggi... belum lagi Raden Paksi Jaladara yang entah dimana sekarang berada. Tanpa mereka, Madangkara bagai orang pincang berjalan di tanah yang terjal, tanah tandus, gersang dan kering. Maka, kita harus lebih dipercaya,” jelas Shakila.
“Kau benar, Shakila. Jika kita bisa mendapatkan kepercayaan dari mereka, bukannya tidak mungkin mereka akan sudi menurunkan sedikit saja ilmu kadigjayaan Salju Menyiram Bumi dan Cipta Dewi .... Kerajaan Kuntala kita akan berkibar lagi di Jawa Dwipa ini. Kau juga tidak tahan dengan kegagahan dan ketampanan Raden Bentar, bukan ?” goda Permadi.
“Cih, jangan sembarangan bicara... aku dekat dengan Raden Bentar, karena aku ingin tahu bagaimana pendapatnya tentang tindakan kita mengusir orang Blambangan itu dari Madangkara ini... Selain itu, jika beruntung, dia akan sudi menurunkan ilmu – ilmu kadigjayaannya padaku. Dan saat aku berhasil menguasainya, aku takkan membiarkan kakang bicara sembarangan lagi,” sahut Shakila sambil buru – buru membuang mukanya ke arah lain, menghindar dari tatapan Permadi yang seakan tajam bagai sebilah mata pisau.
Permadi tersenyum, ia paham apa sebenarnya yang menari – nari di benak dara jelita itu. Tak dapat diingkari Shakila memang menaruh hati pada Raden Bentar demikian pula Permadi yang terpikat oleh kecantikan Dewi Garnis. Akan tetapi, tugas berat seakan membebani bahu mereka, begitu beratnya hingga perasaan dan hati mereka seakan mati.
“Srek ! Srek !”
Mendadak telinga tajam Permadi mendengar suara gesekan dari arah yang agak jauh dimana mereka berada. Buru – buru, Permadi menoleh diikuti dengan Shakila. Dari rimbunan semak belukar, tampak sebuah bayangan berkelebat ringan, ringan sekali melompat dari dahan satu ke dahan lain, ranting satu ke ranting lain. Detik berikut, bayangan itu sudah melompat ke atap rumah. Gerakannya begitu gesit dan lincah bagai seekor tupai.
“Siapa itu ?!” seru Shakila sambil melentingkan tubuhnya ke atas pepohonan dan bergerak menyusul ke arah bayangan yang jaraknya lebih kurang 1 tombak di depannya, sementara, Permadi mengikuti dari belakang.
Kejar – mengejar pun terjadi, ilmu meringankan tubuh bayangan hitam itu tidak boleh dianggap sembarangan, ia melompat bagai terbang. Atap rumah dan pepohonan di sekitar seakan tidak menghalanginya malah dijadikan sebagai pendaratan yang empuk. Sementara, Permadi dan Shakila, mereka sesekali memiringkan, mencondongkan ataupun melompati ranting, dahan dan daun yang tumbuh secara sembarangan di depannya. Jelas sekali perbedaan tenaga dalam yang dimiliki oleh ketiga orang itu. Para Prajurit yang kebetulan berjaga atau berkeliling di sekitar istana, seakan tidak melihat apa yang tengah terjadi saat ini.
“Ilmu meringankan tubuhnya, tinggi sekali ... siapakah dia ?” tanya Permadi saat sudah berlari beriringan dengan Shakila.
“Mana aku tahu... kakang. Yang jelas kita akan mengetahuinya saat dia berhasil ditangkap. Jangan sampai kehilangan jejak,” sahut Shakila.
Permadi dan Shakila terus mengejar, tanpa terasa mereka sudah jauh meninggalkan ibukota Kerajaan Madangkara sementara, bayangan hitam itu masih terus berlompatan kesana – kemari, gerakannya semakin lama semakin lincah sementara, Permadi dan Shakila sepertinya tidak mampu lagi mengejarnya.
“Tunggu dulu, Shakila.... apa kau tidak curiga kalau ini sebuah jebakan ?” tanya Permadi yang mendadak berhenti dan mencegah Shakila untuk mengejar.
“Apa maksudmu ?” Shakila pun berhenti mengejar.
“Kita sudah mengejar bayangan itu sekian lama dan tanpa terasa ... pintu gerbang istana sudah jauh tertinggal di belakang sana. Hei, kini bayangan itu berhenti dan duduk di sebuah batu. Apakah kau lupa, jalanan ini mengarah kemana ?”
“Masa bodoh. Ayo, tunggu apalagi kita susul saja dia. Mungkin dia juga sudah lelah setelah berlari dan berlompatan kesana – kemari seperti kita. Yang penting, kita tangkap orang itu dan kita cari tahu apa alasannya datang ke Madangkara pagi – pagi buta,” sahut Shakila yang kemudian melangkah mendekat diikuti oleh Permadi dari belakang. Bayangan itu bersikap acuh tak acuh, tak peduli dengan kehadiran mereka. Namun, langkah – langkahnya terhenti saat bayangan itu berdiri sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah dua muda – mudi itu.
Baik Permadi maupun Shakila tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya karena tertutup oleh cadar hitam. Mendadak bayangan itu berdiri, menghentikan langkah – langkah muda – mudi yang kini berdiri satu tombak di depannya. Tubuhnya tinggi besar, tegap dan kekar, hembusan angin semilir memainkan tiap helai kain bajunya yang hitam panjang dan lebar. Ia memandangi Permadi dan Shakila dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Hmm, kalian masih muda, gagah, tampan dan cantik, tapi, mampu mengejarku hingga sampai di tempat ini,” kata bayangan hitam itu, “Jarang ada orang yang mampu mengejarku seperti kalian, luar biasa,”.
“Siapa kau, kisanak ? Apa maksudmu memancing kami ke tempat ini ?” tanya Shakila.
“Jika Anda bermaksud baik.... tentunya tidak akan mendatangi istana di pagi – pagi buta. Katakanlah, apa maksudmu datang ke Madangkara yang kami cintai ini,” kata Permadi.
“Ha.... ha... ha... ha... aku ragu kalian adalah orang – orang Madangkara. Gaya bahasa kalian lebih mirip orang Kuntala. Aku paham benar dengan watak dan karakter orang – orang Kuntala,”
Permadi dan Shakila saling pandang.... mereka sama sekali tidak menyangka bahwa orang misterius itu sepertinya mengetahui asal – usul mereka.
“Shakila, kita lengah,” ujar Permadi, “Sebelum dia menyebar berita tentang asal – usul kita, mungkin sebaiknya kita bunuh saja dia,”
“Maaf, kisanak.... kami takkan membiarkanmu lolos kali ini, kau telah mengetahui asal – usul kami.... itu artinya, kau harus mati di tangan kami,”
“Ha... ha... ha... ha... tergantung seberapa jauh ilmu kadigjayaan kalian. Seranglah aku darimanapun dan kapanpun kalian siap ... ha.... ha... ha....”
Permadi dan Shakila segera memasang kuda-kuda, mata mereka menyorot tajam ke arah sosok bercadar itu, bagai serigala kelaparan. Sementara, sosok itu hanya berdiri tegak bagaikan sebuah arca batu. Ia tampak tenang – tenang saja, di matanya kuda – kuda yang dipasang oleh Permadi dan Shakila bukanlah kuda – kuda yang tangguh, tapi, lebih mirip orang yang hendak menari.
_____ Bersambung _____
Ditulis oleh : ERIC K.
( Lumajang, Senin, 05 Juni 2023
Diedit pada hari Selasa, 06 Juni 2023 )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
anggita
Madangkara... kya nama kerajaannya Brama Kumbara 🤔😊
2024-09-07
0
Darko Benai
mantap thor..
2024-09-06
0
solihin 78
ya
2024-02-01
0