Babak Kedua

Pagi itu, di balairung istana Madangkara....

Para pejabat tinggi, abdi dalem, dan keluarga kerajaan sudah berkumpul, mereka duduk di dekat Prabu Wanapati. Sepasang mata raja muda itu berulang kali beralih ke pintu masuk, membalas penghormatan dari para tamu yang berdatangan. Semua sudah lengkap, para hulubalang, para menteri, sesepuh istana, utusan kerajaan – kerajaan kecil di wilayah Madangkara dan lainnya sudah duduk di tempatnya masing – masing, menunggu apa yang hendak dititahkan oleh junjungannya itu.

Berulang kali Raja Muda itu duduk, berdiri, berjalan kesana – kemari, keningnya berkerut, menggigiti bibirnya sendiri sambil sesekali meremas-remas tangannya. Ia tampak cemas, gelisah sementara, para pejabat yang sejak tadi memperhatikan gerak – geriknya, saling pandang dan saling bergumam. Ia tersenyum saat melihat hulu balang Ludika datang dan memberi hormat.

“Bagaimana, paman ? Apakah paman sudah menyampaikan titahku pada Shakila dan Permadi untuk datang ke Istana ? Dimana mereka ?” tanya Wanapati.

“Ampun, Gusti Prabu... hamba bersama dengan beberapa teman hamba sudah menjemput mereka di rumahnya, tapi, saat tiba disana ... rumah itu kosong. Permadi dan Shakila tidak ada disana,” kata Ludika.

Wanapati tampak geram, "Apa ? Tidak ada ? Kita sudah menunggu mereka lebih dari satu jam dan sampai kini belum juga nampak batang hidungnya. Ada apa sebenarnya, padahal hari ini aku akan mengangkatnya sebagai Kanuruhan, tanpa kehadiran mereka, upacara pelantikan tidak akan dilaksanakan,"

"Hei, Rayi Mas Prabu... " kata Raden Bentar, "Lihatlah ada beberapa orang prajurit datang tergopoh-gopoh..."

"Oh, itu prajurit yang hamba perintahkan untuk menjemput Permadi dan Shakila. Hai, prajurit masuklah... cepat laporkan apa yang sudah terjadi ? Mengapa Permadi dan Shakila tidak ikut bersamamu ?"

"Ampun, Gusti Prabu.... hamba sudah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuan Hulubalang untuk menjemput Tuan Permadi dan Gusti ayu Dewi Shakila... hamba mohon maaf... mereka berdua tidak ada di kediamannya,"

"Kurang ajar ! Berani sekali mereka meninggalkan Madangkara tanpa seijinku ! Perintahkan beberapa prajurit bersenjata lengkap, untuk mencari dan menangkap mereka !" ujar Prabu Wanapati gusar.

"Maaf, menyela Rayi Mas Prabu..." kata Raden Bentar, "Mungkin mereka ada urusan mendadak di luar sana... jadi, harap Rayi Mas Prabu jangan buru-buru mengambil tindakan,"

"Lalu, bagaimana menurutmu, kakang.... apakah harus didiamkan saja perbuatan mereka ? Jika dibiarkan, itu akan menjadi contoh yang buruk bagi para pejabat istana yang lain. Mereka adalah dua orang pejabat tinggi istana ini, kemanapun mereka pergi, harus seijinku... bukannya keluar tanpa kabar seperti ini. Mereka telah menghinaku,"

"Kendalikan diri Rayi Mas Prabu... kita tunggu dulu sebentar.... jika, masih menampakkan diri, hambalah yang akan mencarinya," ujar Raden Bentar.

Baru saja Raden Bentar menutup mulutnya, beberapa orang prajurit jaga muncul sementara di belakangnya tampak beberapa prajurit lain juga hadir sambil membawa dua buah tandu. Semua orang tersentak manakala mengetahui siapa yang terbaring di atas tandu itu. Permadi dan Shakila. Mereka terbaring lemas, tidak berdaya. Sekujur tubuhnya, matang biru, seperti habis dicengkeram oleh tangan-tangan raksasa, linglung dan pandangan matanya seakan kosong.

Permadi dan Shakila dibawa ke hadapan Prabu Wanapati. Kening raja muda itu berkerut, Raden Bentar dan Dewi Garnis membelalakkan mata melihat keadaan mereka.

"Apa yang terjadi pada mereka, Kakang Bentar ?" tanya Wanapati.

Raden Bentar tidak menjawab, ia menotok beberapa titik jalan darah di tubuh Permadi sementara Dewi Garnis juga melakukan hal yang sama pada Shakila.

Setelah mengurut tengkuk, pergelangan tangan dan punggung juga perut, Bentar dan Garnis menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Permadi dan Shakila.

Tak lama kemudian, dalam waktu yang bersamaan, Permadi dan Shakila memuntahkan darah merah kehitaman. Prabu Wanapati dan semua yang ada di Balairung istana bergidik menyaksikan kejadian itu.

Permadi dan Shakila membuka kedua belah kelopak matanya, masih terlihat sayu, lemas, tak bertenaga juga mungkin kaget atas apa yang telah menimpa mereka. Keadaan mereka, tidak memungkinkan menjelaskan apa yang sudah terjadi.

"Prajurit, dimana kalian menemukan mereka ?" tanya Prabu Wanapati kepada salah seorang prajurit yang duduk di lantai istana sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berani mengangkat atau bahkan menatap wajah junjungannya itu.

"Hamba, Gusti Prabu... kami sebenarnya, baru datang dari Tanjung Singguruh melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gusti Prabu beberapa waktu yang lalu. Kami pulang mengambil jalan pintas agar sampai di Madangkara tepat waktu... Hutan Kana Gini. Sebelah Timur kerajaan, disana kami kebetulan berpapasan dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dia meminta bantuan kami menuju Timur untuk melerai tiga orang yang sedang terlibat pertarungan sengit. Kami menurut, saat kami tiba di tempat yang dimaksud... kami hanya mendapatkan Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila tergeletak tak berdaya sementara pemuda yang meminta bantuan kami, sudah tidak bersama-sama dengan kami... maka, rombongan terpaksa dipecah, sebagian kembali ke istana dan melaporkan hal ini pada Panglima Kaupati, sebagian lagi menjaga Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila. Setelah mendapat keputusan dari Panglima Kaupati, kamipun membuat tandu untuk mengangkat tubuh mereka dan membawanya kemari," jelas prajurit itu.

"Kakang mas Raden Bentar, sebenarnya apa yang telah terjadi pada Shakila dan Permadi ?" tanya Wanapati.

"Kalau dilihat dari luka-luka yang dialami mereka... sepertinya, mereka terkena ajian serat jiwa. Tingkat pertama. Tapi, sedikit ganjil," jawab Raden Bentar, "Bagaimana menurut kak Garnis ?"

Dewi Garnis mengerutkan keningnya, "Benar. Ajian Serat Jiwa tingkat satu ... CAKRA MANGGILINGAN... Tetapi, terdapat perbedaan mencolok,"

"Di dunia ini, hanya beberapa orang yang benar-benar menguasai ajian serat jiwa sampai tingkat sepuluh... salah satunya adalah Ayahanda Brama Kumbara. Jikalau ada orang lain yang menguasainya, mereka semua sudah ditaklukkan oleh Ayahanda. Mengapa sekarang muncul lagi setelah sekian lama ajian itu boleh dibilang tidak ada yang menguasainya hingga tingkat sepuluh," ujar Bentar.

"Kak Bentar dan Kak Garnis, bukankah kalian juga termasuk orang-orang yang menguasai ajian Serat Jiwa itu ?" tanya Wanapati.

"Benar, tapi tidak menimbulkan luka sehalus ini... pemilik ajian ini, pasti memiliki tingkat kepandaian yang sama dengan Ayahanda," ujar Bentar.

"Kita harus menyelidikinya, Adi Bentar," Garnis mengusulkan.

"Tidak ada orang lain yang bisa menyamai ilmu kepandaian Ayahanda Brama. Itu tidak mungkin," sahut Wanapati. Raja muda itu mengalihkan pandangannya ke arah prajurit, "Prajurit... apakah kau masih ingat bagaimana perawakan tubuh orang yang kau maksud itu ?"

"Daulat, Gusti Prabu... orang itu mengenakan cadar hitam, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Tutur katanya begitu ramah dan sopan, dan pakaiannya bagai seorang brahmana, namun, berwarna hitam," jelas prajurit itu.

"Jadi, kau tak melihat wajahnya ?" tanya Wanapati lagi.

"Tidak, Gusti Prabu..."

"Hmm, tampaknya Madangkara ini mulai tidak aman... ada orang-orang yang sengaja membuat kerusuhan di Negeriku,"

"Ampun Gusti prabu," hulubalang Kaupati menyela, "Bagaimana jika hamba pergi untuk mencari tahu siapa orang itu ?"

Wanapati terpaku, wajahnya tampak tegang, tubuhnya bergetar hebat, ia mengepalkan kedua tangannya keras-keras hingga urat nadi dan otot-ototnya bertonjolan keluar. "Kurang ajar sekali orang itu, melukai dua orang istana... itu artinya, sama dengan melemparkan kotoran ke wajahku," desisnya geram. Ia menoleh ke arah Raden Bentar lalu bertanya.

"Kak Garnis , Kak Bentar... bagaimana menurut pendapatmu ?"

"Ampun, Gusti Prabu sebaiknya, biar hamba dan kak Garnis yang mencari tahu dimana keberadaan orang itu... bukannya hamba meremehkan kemampuan Hulubalang Kaupati... Sebaiknya, biarkan paman Kaupati di istana untuk berjaga-jaga. Madangkara membutuhkan tenaga, pikiran dan bantuan Paman Kaupati. Hamba khawatir akan keselamatan Gusti Prabu," jelas Bentar.

"Hmm, aku jadi teringat peristiwa dimana negeri kita kedatangan 2 orang biksu dari Tibet. Kekacauan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri, hanya karena kesalah pahaman belaka. Aku tidak menginginkan peristiwa itu terjadi lagi. Ibunda Dewi Paramitha, hamba mohon saran," kata Wanapati.

Dewi Paramitha, isteri pertama Brama Kumbara itu, sekalipun usianya sudah lanjut, namun, masih tetap jelita... tidak ada garis-garis ketuaan terpeta di wajahnya... sepasang matanya memancar penuh welas asih dan kebijaksanaan memandang ke arah putera dan puterinya secara bergantian... ia tersenyum.

"Ibu merasa, usul kakakmu Bentar itu bagus," kata Dewi Paramitha yang kemudian memandang ke arah Bentar dan Garnis yang tengah menundukkan wajah, secara bergantian.

"Bentar.... Garnis ....," sapanya lemah lembut.

"Daulat Ibunda," sahut mereka bersamaan.

"Menurut ibu, jika hanya mencari tahu identitas orang bercadar itu, mengapa kalian tidak menitahkan Paman Jalateja dan Jalatuka saja ? Mereka adalah dua diantara sekian banyak Panglima yang memiliki anak buah, tersebar di pelosok negeri ini,"

"Ampun Ibunda, Paman Jalateja dan Jalatuka masih bertugas menyelidiki kebenaran tentang kedatangan beberapa orang asing yang berasal dari Sunda Galuh... kami mendengar berita bahwa orang-orang Kuntala yang masih tersisa disana. Tersiar kabar bahwasannya, mereka kembali menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Madangkara," jelas Garnis.

"Kurang ajar !" seru Wanapati dengan suara gusar, "Orang-orang Kuntala itu, masih saja berani merongrong kewibawaan kerajaan Madangkara, ini tidak bisa dibiarkan," sambungnya.

"Mudah-mudahan itu hanya kabar burung semata, Gusti Prabu... para pendahulu kita, sudah bekerja keras menekan setiap pergerakan yang mencurigakan dan menghukum beberapa tokoh besar Kerajaan Kuntala. Bahkan, paman Kijara dan Paman Lugina sudah mengabdikan diri dan hidupnya kepada Madangkara yang kita cintai ini. Kalaupun masih ada yang ingin memberontak, kurasa itu adalah tindakan yang teramat sangat bodoh," kata Raden Bentar.

"Perkataanmu benar, kakang. Kalaupun Kuntala masih berani memberontak, kita akan membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Sejarah sudah membuktikan bahwa Madangkara, adalah sebuah negara besar. Terlalu tangguh untuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kuntala," ujar Wanapati.

“Hutan Kana Gini, letaknya tak jauh dari sini, jika perkiraan hamba tidak salah .... orang bercadar itu masih berada di sekitar hutan tersebut. Ibunda, Rayi Mas Prabu, hamba dan Kak Garnis berangkat dulu. Siapa tahu, masih sempat mengejarnya,” kata Bentar.

“Bentar, Garnis, berhati hatilah ...”pesan Dewi Paramitha.

“Baik, Ibunda,” ujar Garnis dan Bentar. Sekali jejak tubuh dua muda – mudi itu melesat meninggalkan balairung istana menyisakan hembusan angin dingin yang membuat tubuh semua orang menggigil. Dalam sekejab mata, tubuh Garnis dan Bentar sudah menghilang dari pandangan semua orang.

___

Dewi Garnis dan Raden Bentar tiba di pinggiran hutan Kana Gini, sepasang mata mereka menyapu ke setiap sudut hutan, sementara, kaki – kakinya sudah mulai menapaki rerumputan hijau yang membentang bagai permadani di sepanjang jalan menuju ke dalam area hutan.

“Seandainya, kita tidak memburu orang yang mencelakai Permadi dan Shakila, mungkin kita akan menghabiskan waktu bersama di tempat ini, kak Garnis...” kata Bentar.

“Kau Benar, Bentar... hutan ini begitu alami, jauh dari tangan – tangan kotor manusia yang congkak, sombong dan angkuh. Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu Ayahanda Brama di rumah Paman Ganggadara. Di tempat itu, suasananya mirip sekali dengan tempat ini. Di tempat itu pula, aku bertemu dengan Ayahanda Brama Kumbara, kukira itu mimpi, tapi, kenyataan. Hadir dengan segala kesederhanaannya, sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau adalah raja dengan segala kemewahannya,” jelas Dewi Garnis, sementara, Raden Bentar hanya melempar senyum.

Mereka kembali melangkah dengan penuh kewaspadaan menyusuri sepanjang jalan hutan itu sementara, semakin ke dalam mendadak hawa semakin dingin. Hawa dingin yang aneh, embun – embun yang masih menempel pada tanaman dan semak belukar perlahan – lahan berubah menjadi es, sementara, sebagian kabut yang masih menutupi hutan itu, perlahan – lahan berubah menjadi butiran – butiran salju.

“Salju Menyiram Bumi,” kata Bentar, “Kak Garnis, cepat alirkan tenaga dalammu ke sekujur tubuh dan aliran darahmu untuk membendung hawa dingin yang menusuk ini,”

Mereka berdua segera duduk bersila, dua tapak tangan menyatu diletakkan pada dada, sementara sepasang matanya terpejam.

Beberapa saat kemudian, saat membuka kelopak matanya, salju sudah turun dengan derasnya. Jika saja Garnis dan Bentar tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, tubuh mereka akan membeku oleh hawa dingin yang menusuk itu.

Langkah – langkah Raden Bentar dan Dewi Garnis tertahan, hembusan angin dingin itu semakin lama semakin kencang, sebagian tanaman di sekitar tempat itu perlahan – lahan berubah menjadi salju dan es. Jika dua muda – mudi itu tidak memiliki ilmu dan tenaga dalam yang cukup tinggi, mungkin nasibnya akan sama dengan tanaman – tanaman itu.

“Adi Bentar,” panggil Dewi Garnis.

“Ada apa, kak Garnis ?”

“Jika terus – menerus seperti ini, tidak akan ada habisnya. Lihatlah, tanaman dan pepohonan di sekitar kita tertutup oleh salju dan es. Jelas ada orang yang berulah. Dia bukanlah orang sembarangan. Menurutku, dialah yang menyerang Permadi dan Shakila,”

“Akan kucoba menggunakan ILMU IKATAN ROH tingkat pertama untuk mencari dimana orang itu. Yang jelas tidak jauh dari sini,” kata Bentar.

“Aku akan menggunakan CIPTA DEWI tingkat pertama untuk mengembalikan serangannya. Tapi, hei apa itu di depan kita,”

Raden Bentar segera mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Garnis. Sepasang matanya terbelalak, mulutnya ternganga, “Jagat Dewa Batara ....”

Dalam jarak lebih kurang 2 – 3 tombak di hadapan mereka tampak kepingan – kepingan es bertumpuk – tumpuk membentuk pusaran bak angin puting beliung bergerak semakin lama semakin dekat. Suaranya bagaikan raungan sosok raksasa, keras memekakkan telinga, membuat bergidik siapapun yang mendengarnya. 2 muda – mudi itu terpaku sesaat lamanya, tubuh mereka seakan tersedot. Tapi, dengan AJIAN PAKU INTI BUMI, kedua kaki mereka seakan terbenam di dalam tanah.

“Kak Garnis, tampaknya kita harus menggabungkan seluruh kepandaian yang kita miliki untuk menghancurkan badai es itu,”

CIPTA DEWI dan ANGIN ES bergabung menjadi satu. Tubuh 2 muda – mudi itu seakan dikelilingi oleh bola raksasa berwarna putih keperakan. Mereka sempat terdorong beberapa tindak. Otot dan urat nadi mereka bertonjolan keluar, wajah mereka menegang. Sesekali Badai es berhasil menekan pertahanan Garnis dan Bentar, sesekali pula mereka pun berhasil menekan badai es. Untuk sesaat dua muda – mudi itu berkutat sengit dengan badai es dan hawa dingin yang menusuk mereka berteriak nyaring, “ANGIN ES !! CIPTA DEWI !!”

“DDUUAARR !!!”

Sebuah ledakan keras terjadi, suaranya membahana ke seantero hutan KANA GINI. Tubuh Garnis dan Bentar terpental sejauh satu tombak, setelah bersalto dua kali, barulah mereka bisa memperbaiki posisi tubuhnya dan mendarat dengan mulus di tanah. Peristiwa yang menegangkan beberapa menit lalu perlahan – lahan kembali menjadi tenang. Akan tetapi, keadaan di sekeliling mereka berantakan.

“Kak Garnis, kakak tidak apa – apa ?” tanya Bentar.

“Tidak apa – apa, Bentar... bagaimana denganmu ?”

“Akupun tidak apa – apa, kak. Hanya saja aku heran, siapa pemilik ilmu tersebut. Jika diteruskan, hutan ini bisa hancur. Dia benar – benar luar biasa,” kata Bentar.

“Ilmu yang dirapalnya adalah gabungan dari Ajian Serat Jiwa tingkat satu dan Ajian Salju menyiram Bumi,” desis Garnis.

“Benar, kak Garnis... tadi Ilmu Ikatan Roh tadi belum sempat kurapal, aku akan mencobanya sekali lagi,” kata Bentar sambil kembali duduk bersila, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, matanya terpejam sementara bibirnya komat – kamit. Ilmu Ikatan Roh warisan Biksu Kampala dari Tibet itu telah dirapal.

ILMU IKATAN ROH terdiri dari beberapa tingkat yang masing – masing memiliki keistimewaan sendiri dan saling berhubungan. Tingkat pertama adalah membuka 7 Cakra : CAKRA MULADHARA ( Cakra Dasar ), melambangkan fondasi atau pusat energi dari tubuh fisik, kehidupan materi, dan semangat hidup seseorang. Pada tubuh manusia, cakra ini terletak di dasar tulang belakang atau tulang ekor.

CAKRA SEKS ( Cakra Swadhisthana ), berhubungan dengan reproduksi dan berperan penting terhadap aktivitas seksual seseorang. Cakra yang berada di tulang pelvis ini juga berhubungan dengan cakra tenggorokan yang berfungsi dalam penciptaan kreativitas atau ide. Seseorang dengan Swadhisthana yang baik akan memiliki pikiran lebih positif dan percaya diri. Sebaliknya, seseorang akan bersikap kasar, kurang kreatif, dan berpikir negatif jika Swadhisthana-nya buruk.

CAKRA MANIPURA Berada di sekitar pinggang dan pusar, cakra Manipura berperan dalam mempertahankan vitalitas seseorang.

Seseorang dengan Manipura buruk akan mengalami iri hati, rasa malu, dan perasaan tidak nyaman dalam diri. Namun, mereka yang memiliki cakra yang baik akan merasa aman, nyaman, bebas mengekspresikan jati dirinya, dan percaya diri.

CAKRA JANTUNG ( Cakra Anahata ). Menjadi penghubung antara cakra bawah dan atas, cakra jantung atau Anahata terbilang sangat penting dalam spiritual karena melambangkan simbol cinta kasih dan penyembuhan. Seperti namanya, cakra jantung memengaruhi kemampuan Anda untuk memberi dan menerima cinta, baik dari orang lain maupun diri sendiri. Semakin baik Anahata seseorang, ia akan semakin merasakan kasih sayang dan empati dalam dirinya. Sementara, seseorang dengan Anahata yang buruk akan mengalami kesulitan membuka diri dan dipenuhi rasa sombong dan egois.

CAKRA TENGGOROKAN ( Cakra Vishuddha ) Serupa dengan namanya, cakra ini terletak di tenggorokan manusia. Cakra tenggorokan atau Vishuddha merupakan pusat terciptanya kreativitas dan hubungan sesama manusia. Ketika berfungsi dengan baik, seseorang dapat mengekspresikan dirinya dengan benar dan jelas. Namun, jika seseorang memiliki Vishuddha yang buruk, ia akan merasa kesulitan menemukan kata-kata tepat untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

CAKRA AJNA atau yang dikenal dengan mata ketiga. Berada di antara kedua mata, tepatnya di dahi manusia, Ajna dapat mentransfer energi ke kedua mata, hidung, dan kelenjar pituitari. Masalah emosional di area ini meliputi intuisi, imajinasi, kebijaksanaan, kemampuan untuk berpikir, dan membuat keputusan. Merupakan titik pemusatan dan pengatur cakra-cakra di bawahnya

CAKRA MAHKOTA cakra tertinggi yang berada di atas kepala, tepatnya pada area otak dan sistem saraf (ubun-ubun). Sahasrara melambangkan kemampuan seseorang untuk terhubung sepenuhnya secara spiritual. Jika berkembang secara sempurna, ia dapat memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Sayangnya, Sahasrara juga punya dampak negatif bagi seseorang, misalnya mudah depresi, stres, serta sulit memahami sesuatu dan mengasingkan diri.

Tingkat pertama dari Ilmu Ikatan Roh diberi nama MENYATU DENGAN ALAM. Dengan membuka ketujuh cakra tersebut, membiarkan udara yang ada di alam semesta ini masuk dan mengalir ke dalam tubuh maka mampu membuat kelima organ dalam seakan terlindungi dari berbagai serangan dari luar. Singkatnya, mampu menjadikan tubuh kita sebagai perisai. Dari situlah, akan muncul sebuah energi mengalir, ke setiap urat nadi dan pembuluh darah. Energi tersebut dipusatkan pada satu titik, yang nantinya bisa dijadikan senjata yang mematikan.

Dulu sewaktu BIKSU KAMPALA bertanding dengan BRAMA KUMBARA, ia merapal ilmu Ikatan Roh tingkat pertama ini dengan menggunakan dahan, ranting dan daun sebagai senjata. Ia menamai tingkat pertama ini dengan sebutan PAKU MEGA. Jika Brama Kumbara bukan orang yang sakti mandraguna, pastilah akan tewas seperti para pendekar lainnya.

“SING ! SING ! SING !”

Kini Bentar merapal ilmu itu dengan menggunakan daun dan kerikil sebagai senjata dan melemparkannya ke depan tepat dimana Badai Es itu datang. Akan tetapi, daun es itu mengapung di udara, membuat Bentar dan Garnis terpana. Perlahan – lahan daun itu berbalik dan menyerang ke arah mereka.

“SING ! SING ! SING !”

“DUAR ! DDUUAARR !! DDDUUUAAARRR !!!”

Desiran angin dingin dan tajam menerpa wajah putera – puteri Madangkara itu. Mereka berhasil menghindari serangan balik tersebut, tapi tidak bagi pepohonan dan bebatuan yang berada di belakang mereka. Pepohonan dan bebatuan itu hancur berantakan.

“Bedebah !!” umpat Garnis wajahnya merah padam dan sepasang matanya yang bak memancarkan bara api, nyalang... menatap lurus ke depan.

“Hm, yang mampu mengembalikan ILMU PAKU MEGA di dunia ini, mungkin hanya Ramanda Brama dan Guru Kampala. Tapi, kini ada satu orang lagi yang mampu mematahkan serangan itu. Aku benar – benar penasaran dibuatnya,” kata Raden Bentar sambil tertawa tawar.

“Sebaiknya kita menyerang bersamaan, jika terus - menerus seperti ini, kita bisa mati konyol,” kata Garnis geram bercampur kesal.

“Serangan kita tanggung, kak... mungkin kita terlalu meremehkan lawan, kak. Tampaknya, kita harus menggabungkan semua jurus yang telah kita pelajari selama ini,” ujar Bentar, “Hebat sekali orang ini. Sayangnya, dia tidak mau menampakkan diri. Maka, akulah yang harus menemuinya lewat ILMU IKATAN ROH,”

“Iya, benar. Kita harus mengubah cara kita bertarung, Adi Bentar,” kata Garnis untuk kemudian mendekatkan bibir ke telinga Raden Bentar dan berbisik. Bentar menganggukkan kepala.

..._____...

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

woouu., ada raden Bentar juga👏

2024-09-07

0

solihin 78

solihin 78

siapa kah cadar hitam

2024-01-20

0

solihin 78

solihin 78

nah ini benar Dewi pramita itu istri pertama dalam.kisah singgasana berdarah ya istri pertama tapi di Kisah titisan darah biru berubah jadi istri kedua demikian isi dialog dalam SS hehehe

2024-01-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!