‘Semesta raya bergolak, aku terdiam,
Hatiku yang tersakiti bukan karena cinta, aku bungkam,
Di saat para sahabat, sanak kadang pergi
Hati serasa gundah gulana...
Di sana mereka berpesta pora ...
Aku membawa diriku yang terluka ...
Mereka tertawa penuh kepura – puraan,
Sementara, aku berjalan terseok – seok meratap sesal ...
Wahai Sang Dewi Purnacandra ...
Sinarilah aku dengan deepa keemasanmu ...
‘tuk menghapus segala noda kelabuku ...
Apakah deepamu sudah luntur oleh angkara murka ?
Oleh segala jenis kemunafikan di mayapada ini ....
Aku hanyalah sebutir debu yang tak berarti apa – apa ...
Dipermainkan oleh hembusan angin,
Yang kelak sirna oleh Sangkala ...
Namun, haruskah aku terdiam...
Saat BATARA KALA melahapku hidup – hidup ...
Wahai sang Bayu ...
Sebelum sukma terlepas dari ragaku ...
Takkan kubiarkan duniaku luluh lantak oleh bara sang penipu ....’
Nyanyian itu terdengar penuh keputus asaan dan amarah, mengiring sang raja siang ke peraduan, menyambut wajah rembulan tua yang menggantung rendah di langit jingga tertutup awan hitam tipis bercampur kabut dan udara dingin. Sekalipun demikian mampu menerangi jalanan lengang berbatu, penghubung perbatasan antara ibukota kerajaan Madangkara dengan Pajajaran, Sumedang larang dan Tanjung Singguru.
Deretan gunung dan per bukitan yang membentang dari ujung Timur hingga Selatan bagaikan sekumpulan raksasa sedang tidur sementara pepohonan besar, lebat dan tumbuh di tepi jalan, bagaikan sekumpulan prajurit dari dunia gaib berjaga di sepanjang jalan.
Dari kejauhan, terdengar derap langkah kaki kuda semakin lama semakin dekat. Derap langkah kuda itu berhenti di persimpangan jalan, seekor kuda kokoh berwarna putih ditunggangi oleh seorang pemuda gagah berpakaian abu – abu. Dialah ARYA WIDURA, yang telah meninggalkan ibukota Kerajaan Madangkara untuk kembali ke Blambangan.
“Aku sudah jauh meninggalkan Madangkara ... tidak mungkin kulanjutkan perjalanan di malam hari, kudaku juga butuh beristirahat barang semalam. Baik, akan kucari penginapan dulu,” kata Widura seorang diri.
Baru saja hendak beranjak dari tempat itu, telinganya mendengar suara mencurigakan. “Hm, mereka masih mengikutiku sampai kemari ... satu, dua, tiga ... lebih kurang ada 10 orang. Mereka menyebar ke segala penjuru dan gerakannya ringan sekali. Jelas, mereka bukanlah orang – orang sembarangan. Siapa mereka itu ? Apakah pembunuh – pembunuh bayaran suruhan Permadi ? Kalau memang demikian ... kebetulan sekali, akan kulampiaskan saja kekesalanku ini pada mereka,”
“Hei, siapakah kalian ? Tidakkah merasa letih sepanjang perjalanan tadi mengikutiku ?!” seru Widura.
Tidak ada jawaban. Widura tersenyum, “Baiklah, jika kalian tidak mau keluar, biarlah aku yang memaksa kalian keluar !!” sambil berkata demikian, ia melompat turun dari punggung kudanya, memungut beberapa batu dan melemparkan ke arah tamu – tamu tak diundang itu bersembunyi.
“WUT ...WWUUTT ...WWWUUUTTT ...”
Batu – batu itu membelah angin, meluncur dan menyebar ke empat penjuru mata angin. Beberapa batu tidak mengenai sasaran, akan tetapi, batu – batu yang lain berbalik menyerang ke arah Widura bahkan kecepatannya bertambah. Widura sama sekali tidak menyangka serangannya itu dapat dikembalikan dengan begitu mudahnya. Ada lebih kurang 6 buah batu menyerang balik, maka, dengan sigap Widura melompat menghindar.
“DUAR ! DDUUAARR !! DDDUUUAAARRR !!!”
Serangan balik itu berhasil dihindari, akan tetapi, pepohonan yang ada di belakang Widura jadi sasarannya. Beberapa pohon tumbang, sebagian ada yang rusak dan sebagian batu lagi menerpa ruangan kosong. Bersamaan dengan itu 10 sosok bayangan berkelebat, mendarat dan mengepung Widura dari berbagai penjuru, mereka semua mengenakan cadar dan pakaian serba hitam.
“Hm, akhirnya kalian menampakkan diri juga. Kalian pastilah orang – orang suruhan Permadi untuk membunuhku, bukan ?” tanya Widura sinis, “Berapa kalian dibayar untuk mencabut nyawaku ini, hah ?!”
Kesepuluh orang itu tidak menjawab, melainkan saling pandang. Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi besar maju dan tanpa banyak bicara, menerjang ke arah Widura dengan dua kepalan tangannya. Widura sudah bersiap – siap menyambut datangnya serangan melompat mundur beberapa tindak, untuk sementara ia mengambil posisi bertahan sambil mengukur kepandaian lawan.
Tubuh Widura berlompatan kesana – kemari untuk menghindari serangan lawan yang datang bertubi – tubi bagaikan gelombang air pasang, kemanapun tubuhnya bergerak, kepalan itu sudah bersiap menyambutnya. Tak ada jalan lain bagi Widura selain membentengi tubuhnya dengan tenaga dalam sambil sesekali menangkis dan menepiskan tinju lawannya.
Pertarungan sengit terjadi, nyaris saja kepalan atau tinju lawan itu mendarat di tubuhnya. Widura dapat merasakan terpaan udara panas saat kepalan lawan melewati wajah atau tubuhnya. Hingga suatu ketika, saat kepalan lawan datang dari arah kanan, Widura berkelit ke samping kiri, tapi, di samping kirinya sudah menghadang tinju lain, dan ...
“DASH !”
Kepalan itu mengenai dada Widura dengan telak. Widura terjengkang ke belakang, tubuhnya limbung sesaat untuk kemudian roboh. Untunglah, tenaga dalam Widura sudah mengalir ke sekujur tubuhnya, sehingga serangan tersebut tidak menyebabkan luka serius. Akan tetapi, tampaknya serangan lawan itu tidak berhenti sampai disitu, sosok bertubuh tinggi besar itu melompat tinggi ke udara, saat ia meluncur turun ke bawah, saat itu pula kepalan kanannya sudah melayang hendak menyambar batok kepala Widura.
“DDUUAARR !!”
Ledakan keras terjadi, semua orang menyangka bahwa Widura tewas seketika oleh serangan yang dahsyat itu akan tetapi, mereka dikejutkan dengan sesosok tubuh tinggi besar terlempar di udara, hanya sesaat saja setelah berputar dua kali di udara, tubuh itu mendarat dengan mulus di tanah dan di hadapannya berdiri sesosok tubuh lain berpakaian abu – abu. Dialah Widura, ia masih bisa bertahan terhadap serangan berbahaya itu.
“Seranganmu boleh juga. Aku tak menyangka, tubuhmu tinggi dan besar tapi gerakanmu lincah sekali. Pukulanmu beruntun tanpa henti, tak bisa kuanggap remeh. Baik, akan kutahan dengan TAPAK SAKETI-ku,” kata Widura.
“Tapak Saketi, katamu ? Huh, seandainya saja Brama Kumbara masih hidup, belum tentu ia mampu menahan KEPALAN BADAI GURUN-ku. Sudah lama aku ingin menjajal AJI TAPAK SAKETI itu,” sahut orang bertubuh tinggi besar itu.
“Baiklah. Sekalipun Tapak Saketi-ku tidak sedahsyat mendiang PRABU BRAMA KUMBARA, namun, sepertinya masih bisa menahan serangan KEPALAN BADAI GURUN milikmu,” ujar Widura sambil memasang kuda – kuda untuk merapal TAPAK SAKETI. Kaki kanannya menjejak bumi satu kali dan ditarik ke belakang membentuk setengah lingkaran sementara kaki kanannya bergerak maju, sedang kedua tapak tangannya disatukan dan ditarik ke dada, asap putih tipis mengepul keluar dari jari – jemarinya. Itulah AJI TAPAK SAKETI.
Di pihak lawan, orang bertubuh tinggi besar itu mengepalkan kedua tapak tangannya keras – keras, otot dan urat nadinya bertonjolan keluar. Ia mengaliri kepalan itu dengan tenaga dalamnya, detik berikut ia berseru keras, tubuhnya melambung tinggi ke udara dan melancarkan 3 pukulan secara beruntun ke arah Widura.
“WUSH ! WUSH ! WUSH !!”
Beberapa kilatan cahaya berwarna hitam meluncur deras bagai anak panah ke arah Widura yang masih berdiri tegak dan kokoh bagaikan batu karang sementara, berkas – berkas sinar itu semakin lama semakin dekat.
“HHIIAATTHH !!!”
Teriakan Widura membahana, dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata, ia mendorongkan telapak kanannya ke arah berkas – berkas sinar tersebut sementara tapak kirinya bergerak menyerang ke arah dada lawannya.
“DDUUAARR !!!”
Ledakan keras terjadi, baik Widura maupun pria bertubuh tinggi besar itu sama – sama terpental beberapa tombak ke belakang. Tubuh mereka sama – sama terbaring di tanah untuk sesaat lamanya. Perlahan – lahan tubuh Widura bergerak – gerak dan berhasil bangun terlebih dahulu sementara, pria bertubuh tinggi besar itu masih tergeletak di tanah. Nafas Widura naik turun, namun setelah mengatur pernafasannya, wajahnya tampak kembali segar.
“Luar biasa, ia memiliki tenaga dalam yang hebat, nyaris sama denganku. Seandainya tenaga dalamnya lebih tinggi dariku, belum tentu aku bisa merobohkannya,” desis Widura sambil mengamati lawannya yang masih terbaring lemah tak berdaya, entah tewas atau pingsan.
“Giliranku, orang Blambangan ...”
Seorang bertubuh cebol dan gemuk sudah berdiri berkacak pinggang di hadapan Widura, iapun mengenakan cadar hitam, “Chom – Chom, bukanlah tandinganmu, tapi, akulah yang pantas menjadi lawan tandingmu,” katanya. Setelah berkata demikian, mendadak tubuh si cebol itu seperti menghilang dari hadapan Widura, “Hei, dimana orang itu ?!” serunya.
Baru saja Widura menutup mulutnya, ia merasakan punggungnya seperti dihantam oleh sebuah benda yang cukup berat. Ia tersungkur ke tanah dari arah belakang terdengar suara tawa parau.
“Ha... ha... ha.... ha.... baru didorong sedikit saja sudah ambruk !”
Widura menoleh ke belakang, pria cebol itu sudah berdiri sambil menenteng sebuah tongkat besi berwarna hitam legam dan panjang. Tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya, pada salah satu ujungnya terdapat ukiran tulang tengkorak manusia.
“Cepat sekali gerakannya, tahu – tahu ia sudah berhasil menyerangku dari belakang, untung itu hanya sebuah tongkat besi ... jika tombak atau pedang, nyawaku bisa melayang,”
“Berdirilah, kau orang Blambangan.... hadapi aku jangan bengong saja,” tantang pria cebol itu, “Rasanya tidak seru kalau kau kubunuh tanpa adanya perlawanan sama sekali,”
“Baik. Waspadalah, kau !” seru Widura sambil bergerak cepat menerjang ke arah si cebol. Tapi, lagi – lagi menghilang dari pandangan Widura, “Tepat dugaanku, ia mengandalkan kecepatan gerak kaki untuk menghilang dan muncul kembali secara mendadak. Mata biasa tak mampu mengikuti kecepatan geraknya. Aku harus mengandalkan perubahan udara untuk mengetahui dimana dia akan muncul dan menyerang. Nah, masih mencoba menyerangku dari belakang. Baik, akan kuladeni,”
Dari arah belakang Widura, tongkat besi itu mendadak meluncur dengan kecepatan tinggi. Widura membalikkan badan, tapak kirinya yang sudah dialiri Aji Tapak Saketi bergerak menyambutnya. Dua orang itu sama – sama berteriak nyaring, tubuhnya mengapung di udara, dan ...
“HIATH !”
“DDUUAARR !!”
Telapak tangan Widura dan tongkat besi itu bertemu. Terdengar bunyi ledakan yang cukup keras. Mereka sama – sama terpental beberapa tombak ke belakang untuk kemudian jatuh terbanting. Widura merasakan bahu kirinya kebas, ia meringis kesakitan sambil menoleh kesana – kemari untuk mencari dimana lawannya berada. Sebelum terjatuh, ia masih sempat melihatnya jungkir balik dan tubuhnya masuk tanah setelah itu menghilang. Sebuah jurus langka menurut Widura. Ia sempat ragu lawannya ini bukan manusia. Ia tidak tahu bahwa jurus yang digunakan lawannya itu dulu sempat menggegerkan dunia persilatan dan satu – satunya orang yang memiliki jurus itu adalah RADEN SAMBA dari SANGGAM yang juga pernah menjadi kekasih DEWI MANTILI SI PEDANG SETAN. Nama jurus itu adalah RONGRONG BUMI.
Widura memusatkan seluruh panca inderanya untuk mencari keberadaan lawan. Ketemu. Ada desiran angin tajam berasal dari atas kepala, saat pandangannya beralih ke atas, tampak si Cebol menyeringai sementara ujung tongkatnya yang dihiasi dengan tengkorak kepala manusia terjulur lurus ke batok kepala Widura. Bukan hanya itu saja, sebuah benda hitam, runcing menebarkan aroma dan suara aneh, seperti suara rintihan tangis dan jeritan, semakin lama semakin dekat.
“Mampus, kau !!” teriak si Cebol.
Dengan gerakan setengah putus asa, Widura berkelit ke samping kiri, Gerakannya sedikit terlambat, ujung besi berwarna hitam itu berhasil menggores pipinya. Tidak berhenti sampai disitu, Si Cebol yang tapak kakinya sudah menapak di tanah, menggerakkan tongkat besinya dengan sangat cepat. Ujung tongkat itu mengarah ke dada Widura.
Tanpa adanya mata pisau di tongkat itu, mungkin Widura akan menahan serangan tersebut dengan TAPAK SAKETI-nya. Akan tetapi kali ini Widura memilih untuk menghindar. Bukan karena takut bentrok dengan sejata lawan, namun, ia merasa luka di pipinya tidak wajar. Pipinya seakan disengat ribuan lebat, panas, pedih dan gatal, menjalar ke seluruh wajah. PISAU ITU BERACUN. Pipi Widura mati rasa, ia mencoba mengeluarkan racun itu dengan tenaga dalamnya sambil menjaga jarak dari jangkauan tongkat, tapi, lawannya sengaja mempersempit jarak.
Widura terpaksa meladeni serangan demi serangan yang dilancarkan secara beruntun. Gerakannya menjadi lambat, selain racun yang menjalar di wajahnya, juga aroma dan bunyi aneh yang keluar saat tongkat itu digerakkan. Konsentrasi Widura terpecah – pecah membuat pertahanannya jebol. Tak terhitung berapa kali tongkat itu menghantam dan menyodok tubuhnya. Hingga akhirnya, sebuah tendangan keras mendarat di dada, membuatnya roboh.
“Ha... ha... ha... ha... ha..., akhirnya jawara Blambangan itu roboh tak berdaya di hadapan KI TENGKES DARI PADEPOKAN RAJABASA,” tawa Si Cebol menggelegar, sementara ia mengibas – ngibaskan jubahnya, bau aneh itu hilang seketika dan ia mengangkat tongkatnya tinggi – tinggi bersiap untuk melakukan serangan terakhir, “Selamat jalan, anak muda ....:
Tongkat besi itu meluncur deras ke arah batok kepala Widura, sementara, pemuda Blambangan itu sudah tak berdaya. Jarak antara tongkat besi dan kepala Widura tinggal beberapa jengkal lagi, nasib pemuda itu di ujung tanduk, akan tetapi, Si Cebol membelalakkan mata manakala ujung tongkatnya membentur sesuatu yang cukup keras.
“TTRRAANNGG !!”
Bunga api memercik, Si Cebol yang mengaku bernama KI TENGKES itu lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa ada sebuah golok lebar dan besar telah menahan laju tongkatnya. Si pemegang golok ternyata adalah temannya sendiri.
“MAHALI, Si GOLOK SETAN TERBANG ! Apa maksudmu menghalangiku membunuh pemuda ini ?” tanya si Cebol geram, “Bukankah, orang ini harus dibunuh seperti yang diperintahkan olehnya ?”
“Benar,” kata si pemegang golok yang dipanggil dengan nama Mahali itu, “Akan tetapi, aku tak suka caramu mengalahkan dia,” sambungnya.
“Apa pedulimu ? Yang penting dia harus dibunuh dengan cara apapun, setelah itu selesailah tugas kita. Bunuh, selesai,” sahut Ki Tengkes.
“Benar. Tapi, jika kau yang membunuhnya.... bagaimana dengan kami ? Bukankah kau sendiri yang mendapat untung ?”
“Oh, aku mengerti sekarang... jadi, kalian juga menginginkan bagian dari Juragan Gurindar, begitu ?” kata Ki Tengkes, “Maaf. Seumur hidupku yang kukejar adalah uang, emas, berlian dan permata. Masalah nama dan ketenaran adalah urutan kedua. Itulah sebabnya, saat Gurindar menawarkan pekerjaan ini dengan bayaran yang tinggi, tak ragu menerimanya. Nah, sebenarnya, aku saja sudah cukup untuk membunuh pemuda bernama Widura itu dan aku tidak butuh kalian. Ilmu anak muda ini, biasa – biasa saja, kepandaiannya jauh berada di bawahku... apalagi kau yang hanya pembunuh bayaran kelas teri,” kata Ki Tengkes sambil kembali hendak menghujamkan tongkatnya ke kepala Widura, namun ...
“Ttrraanngg !!”
Tangan Ki Tengkes kesemutan, tongkatnya nyaris terlepas dari pegangan oleh serangan yang tiba – tiba itu. Ia kini benar – benar naik pitam, sorot matanya menyala – nyala saat beradu pandang dengan MAHALI. “Jadi, kau berniat untuk mengadu jiwa denganku Mahali ?”
“Maaf, Tengkes ... kalau memang itu yang harus kita lakukan, akupun tidak akan segan – segan lagi. Kau pikir, hanya kau saja yang ingin uang ? Aku juga menginginkannya,” ujar Mahali Si golok Setan Terbang sambil menodongkan goloknya yang besar dan lebar itu lurus – lurus ke depan.
“Kurang ajar ! Terimalah seranganku ini ! Hiat !!”
Ki Tengkes berteriak lantang sambil melompat tinggi ke udara, tongkatnya bergerak cepat menyodok, memukul kesana – kemari setiap kali tongkat itu bergerak terdengar suara aneh di sela – sela deru angin juga terdengar suara seperti orang berteriak, menangis, merintih sesekali pula terdengar suara tawa. Mahali tidak tinggal diam, dengan goloknya, ia menangkis setiap serangan Ki Tengkes.
“Trang ! Ttrraanngg !! Tttrrraaannnggg !!!”
Dua senjata saling bertemu, berbenturan dan sesekali pula bergesekan. Benturan demi benturan menimbulkan percikan bunga – bunga api sementara, si pemiliknya berlompatan kesana – kemari ... bagai 2 sosok kelelawar raksasa terbang di angkasa. Sesekali mereka melompat mundur, sesekali pula mereka saling serang dengan gencar. Tanpa terasa puluhan jurus berlalu, tapi, tidak ada tanda – tanda siapa yang menang atau kalah. SEIMBANG.
Sementara itu, di tempat yang agak jauh dari arena pertarungan, tampak 2 sosok bayangan, berjalan mengendap – endap menghampiri Widura yang masih tergeletak tak berdaya. Mereka ternyata adalah Kentor dan Mamut abdi setia dari Raden Permadi. Mereka pun sudah sampai di tempat itu dan menyaksikan semua yang telah terjadi.
“Tor, mumpung mereka sedang bertarung, mari kita habisi saja pemuda bernama Widura itu,” kata Mamut.
“Ya, ini kesempatan baik, setelah kita bunuh, kita bawa saja kepalanya ke hadapan Juragan Gurindar,”
Baru saja ia hendak menyentuh tubuh Widura mendadak 2 kilatan cahaya putih meluncur ke arah mereka. “Hei, awas, Tor !!” teriak Mamut.
“SING ! SING !!”
Kentor dan Mamut nyaris saja terkena kilatan cahaya putih itu, untungnya, mereka masih sempat mengelak dan cahaya putih tersebut menancap tak jauh dari tempat dimana Widura terbaring. 2 buah pisau belati bergagang kayu berukiran ular kobra, senjata rahasia ciri khas milik MAHALI, SI GOLOK SETAN TERBANG.
“Kalian jangan coba – coba mendekati ataupun menyentuh orang itu atau nyawa kalian taruhannya,”
“Ma... Mahali, Si Golok Setan Terbang,” kata Mamut, “Gila... padahal dia sedang bertarung dengan Ki Tengkes. Tapi, ternyata perhatiannya tak luput dari tubuh anak muda ini,”
“Benar, Mut... 2 pisau itu adalah miliknya. Untung kita sempat mengelak... kalau tidak, kita pasti mati ditikam pisau itu,” sahut Kentor.
“Tak heran dia dijuluki SI GOLOK SETAN TERBANG, rupanya, selain pandai memainkan senjata tajam, juga bertelinga tajam. Bagaimana ini, Tor ? Apa yang harus kita lakukan, Tor ?” tanya Mamut.
“Sebenarnya, Gusti Raden Permadi Cuma memerintahkan kepada kita untuk mengawasi saja gerak – gerik pemuda yang bernamaWidura itu ? Bukan membunuhnya ? Semula aku berpikir dengan membawa kepalanya ke hadapan Juragan Gurindar, kita bisa mendapatkan banyak uang dan tidak perlu lagi mengikuti Gusti Raden Permadi dan Neng Shakila. Dengan uang itu kita bisa membuka tempat usaha sendiri. Tapi, kita lupa bahwa mereka, para pengepung Widura adalah orang – orang pilih tanding. Lebih baik kita melihat perkembangan selanjutnya saja daripada kehilangan nyawa. Bagaimana menurutmu, Mut ?”
“Terserah, Tor. Aku ikut kau sajalah. Hei, lihatlah, ada orang lain menghampiri Widura,” kata Mamut.
“I.. Iya. Tapi, siapa dia ? Tubuhnya tinggi kurus,” kata Kentor.
“Mana aku tahu, Tor... Wajahnya tertutup cadar. Nah... nah, lihatlah ada seberkas cahaya putih melesat ke arahnya,” ujar Mamut.
“Iya, aku tahu tapi, lihatlah dia menangkap cahaya itu dan melemparkan balik ke arah...
Mahali,”
“SING ! SSIINNGG !!”
“Mahali... kau pikir aku adalah orang bodoh seperti 2 orang tadi ? Tidak. Sekarang juga aku akan membunuh pemuda Blambangan ini dan meminta hakku pada Gurindar,” kata bayangan itu sambil mengangkat tangan kirinya yang membentuk cakar tinggi – tinggi ke udara dan bergerak cepat hendak menyambar dada Widura.
“Dia milikku keparat !” seru Mahali sambil mengayunkan tangan kirinya ke udara. Beberapa kilatan cahaya meluncur bak anak panah ke arah bayangan bertubuh tinggi kurus itu. Disusul kemudian oleh tubuhnya yang berkelebat cepat menyusul cahaya – cahaya yang berada di depannya. Akan tetapi, Ki Tengkes sudah menghadangnya.
“Urusanmu denganku belum selesai, Mahali !!” seru Ki Tengkes sambil memutar – mutarkan tongkat besinya. Suara deru angin yang aneh terdengar dan mengurung tubuh Mahali, bersamaan dengan itu tercium aroma aneh pula, menyebar ke pelbagai penjuru mata angin. Mahali masih tampak tenang, ia memegang goloknya erat – erat.
“Aku sudah bosan berurusan denganmu CEBOL RAJABASA. Nah, rasakanlah ini !! HIAATT ....” kata Mahali sambil memutar – mutarkan tubuhnya yang seakan dikelilingi oleh cahaya putih keperakan, meliuk – liuk bagai seekor naga.
Ki Tengkes terkesima, melihat tubuh Mahali yang berputar – putar di udara dikelilingi oleh kilatan benda tajam. Ia tampak bagai sebuah roda bergerigi atau cakra yang membelah udara. Ia berusaha menyambut serangan itu dengan tongkatnya. Tapi, sama sekali tak disangkanya dari putaran roda bergerigi itu meluncur kilatan – kilatan cahaya putih keperakan. Ada lebih kurang 5 cahaya, 2 cahaya meluncur ke arah bayangan hitam bertubuh tinggi kurus itu sementara yang lain meluncur deras ke kepala, dada dan lambung Ki Tengkes.
“SING ! SING ! SING !”
Ki Ten gkes tidak sempat mengelak, darah menyembur keluar dari kepala, dada dan lambungnya, maka seketika itu tubuhnya limbung, berkelonjotan dan akhirnya roboh tidak bergerak – gerak lagi, tongkat besinya hancur berantakan. Semua yang ada di tempat itu berseru ngeri terlebih setelah melihat bayangan hitam yang berada tak jauh dari Widura. Kepala terpisah dari tubuhnya yang bersimbah darah.
“Tor, pria cebol dan orang bertubuh tinggi kurus itu roboh. Hebar sekali, ya orang yang bernama Mahali itu ? Coba kalau kita nekat, mungkin nasib kita sama dengan mereka,” kata Mamut dengan suara gemetar.
“Sekarang, tinggal kita bertujuh, siapakah diantara kalian yang bersikeras ingin membunuh pemuda Blambangan itu ?” tanya Mahali kepada 6 sosok bayangan hitam yang berdiri tak jauh darinya.
Salah satu dari 6 bayangan itu melangkah maju. Dia bertubuh ramping. Dari perawakan tubuh dan suaranya yang cenderung merdu, siapapun bisa menebak bahwa, dia adalah seorang wanita, “Kali ini urusannya lain, Mahali...” ujarnya.
“Hm, aku tak menyangka bahwa diantara kita ada seorang wanita,” sahut Mahali.
“Terus, kenapa ? Apakah karena ada seorang atau lebih wanita diantara kita, lalu kau meremehkan orang yang berdiri di hadapanmu ?”
“Apakah kau juga menginginkan bayaran dari Juragan Gurindar ?” tanya Mahali, “Saranku, sebaiknya kau pergi dari sini tak pantas kiranya seorang wanita bekerja sebagai pembunuh bayaran,”
“Lancang sekali mulutmu, Mahali.... Apakah kau sudah lupa dengan apa yang diperintahkan oleh junjungan kita sebelum melakukan tugas ini ?”
“Tentu saja, aku mengingatnya : rapi, bersih dan jangan ada saksi. Sayangnya, aku sama sekali tidak beranggapan bahwa Gurindar itu adalah junjungan. Aku bekerja untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Dan aku selalu menjalan tugasku secara bersih, rapi, cermat dan teliti. Maka dari itu, aku tidak ingin berbagi hasil dengan siapapun. Apakah kau mengerti ?”
“Kalian berdua,” suara itu datang dari arah belakang, “Hentikan pertengkaran diantara orang sendiri,”
Mahali dan yang lain menoleh, si pemilik suara itu juga memiliki tubuh yang ramping namun tinggi badannya hanya terpaut sedikit saja dengan sosok yang berbicara dengan Mahali.
“Apakah pembunuh bayaran wanita sekarang lebih diminati daripada pria ?” tanya Mahali dengan nada mengejek.
“Tutup mulutmu dan lihatlah kesana dimana orang Blambangan itu tergeletak. Kemana dia ?”
“Kurang ajar, apakah dua orang tolol itu yang membawanya ?” sahut Mahali sambil melompat ke tempat dimana Widura tadi pingsan diikuti dengan yang lainnya.
“Kurasa, tidak... 2 orang itupun juga sudah tidak ada di tempat mereka berada. Mari kita menyebar dan mencarinya,”
Keenam sosok bayangan itu berkelebat dan mulai mencari. Tapi, Widura, Kentor dan Mamut berikut kuda tunggangan Widura sudah tidak kelihatan. Mahali geram sekali, berulang kali ia menyumpah – nyumpah. Tapi, tidak menemukan Widura.
..... Bersambung.....
Eric K.
( Lumajang, Senin, 24
Juli 2023 )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
solihin 78
lanjut kak
2024-01-20
0