Dewi Garnis menyilangkan kedua tapak tangannya di depan dada, matanya terpejam rapat, bibirnya komat – kamit dan beberapa saat kemudian, tubuhnya bagai dikelilingi oleh cahaya kuning keemasan. Mendadak angin berhembus semakin lama semakin kencang. BAYU BAJRA telah dirapal sementara, Bentar hanya duduk diam bagai sebongkah arca batu, sepasang matanya seakan menyapu ke setiap sudut hutan. ILMU IKATAN ROH tingkat dua dirapal. BERSATU DENGAN ALAM.
Pada tahap kedua ini, sekalipun tubuh Bentar berada di tempat itu, akan tetapi roh atau sukmanya berada di tempat lain.Seluruh panca inderanya dipusatkan pada alam sekitar. Jika sudah berada pada tahap ini, maka, dia mampu berkomunikasi dengan alam. Seluruh cahaya adalah mata, setiap desiran angin adalah tarikan dan hembusan nafas. Seluruh alam adalah PANCA INDERA. Dengan demikian yang tak kasat mata menjadi nampak. Apa yang tidak terdengar menjadi terdengar. Maka Raden Bentar mampu mendeteksi dimana keberadaan lawannya.
Dari ubun – ubun Bentar mengepul asap putih tipis, melayang – layang di udara, menyebar ke segala penjuru mata angin. Sementara, AJI BAYU BAJRA mengiring asap tersebut, hingga terhenti pada sesosok bayangan hitam duduk bersila. Begitu tenang dan santai di pucuk sebuah pohon cemara. Jaraknya 10 tombak dari tempat Raden Bentar dan Garnis berada. Sosok itu mengenakan pakaian sebagaimana dikenakan oleh para begawan dan bercadar hitam.
“Selamat datang, orang – orang gagah ... aku sudah menunggu kedatangan kalian. Kembalilah kau ke tubuhmu, panggillah pula saudaramu kemari. Aku takkan kemana – mana,”
“Bagaimana, Adi Bentar ? Apakah kau sudah menemukan dimana orang itu berada ?” kata Garnis saat tubuh Raden Bentar sudah mulai bergerak.
“Sudah, kak Garnis. Dia duduk di salah satu pucuk daun pohon cemara 10 tombak di depan kita. Dia juga ingin bertemu dengan Kak Garnis,”
“Hm, baiklah. Marilah kita ke tempat dimana dia berada...” ujar Garnis.
Dua putera – puteri kerajaan Madangkara segera bergegas meninggalkan tempat itu. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, mereka melompat di antara bebatuan, pohon demi pohon, hingga akhirnya sampailah di tempat dimana orang bercadar hitam itu berada.
“Hm... Ramanda kalian pastilah bangga memiliki putera – puteri sakti mandraguna seperti kalian. Bentar dan Garnis,”
Suara itu berat, penuh karisma dan berwibawa, membuat sekujur tubuh Raden Bentar bergetar hebat, sebuah perasaan yang mengingatkan pada ayah angkatnya BRAMA KUMBARA. Sementara Garnis yang semula kesal dan naik darah karena semua ilmu kadigjayaannya dimentahkan oleh orang bercadar itu, jadi salah tingkah. Keadaannya sama dengan Raden Bentar.
Orang bercadar itu sama sekali tidak merasa terusik dengan kedatangan 2 muda – mudi itu, ia tetap duduk tenang sedang sepasang matanya menatap lurus jauh ke depan seakan hendak menembus cakrawala yang jauh disana.
“Duduklah di sampingku, wahai orang – orang gagah. Itu ada ranting menyeruak diantara rimbunan daun cemara,” Perkataannya ini dimaksudkan untuk menguji setinggi mana ilmu Peringan Tubuh Bentar dan Garnis. Rasanya tidak mungkin duduk pada ranting - ranting kecil itu, sebab, apabila orang tersebut tidak memiliki ilmu kepandaian apa – apa, ranting itu patah dan orang itu akan jatuh terbanting di tanah, tewas seketika.
“Apa kalian takut ?” tanya orang itu.
Bentar dan Garnis saling pandang, menganggukkan kepala, melompat ringan, mendarat dan segera duduk di ranting – ranting tersebut. Kini di atas pohon cemara itu telah duduk 3 orang berilmu tinggi. Sepintas, mereka bak 3 ekor burung hinggap pada dedaunan dan ranting, akan tetapi, jika diamati lebih lanjut, orang bercadar itu sebenarnya tidak duduk di pucuk daun cemara melainkan jarak antara pucuk daun dengan pantatnya hanya sebatas beberapa inci saja. IA MELAYANG.
“Bentar, Ilmu Ikatan Rohmu mulai tumpul, tak sedahsyat dulu sewaktu kau kembali dari Tibet, apakah kau jarang melatihnya ?” tanya orang bercadar itu, “Pantas saja nenek Lejar bisa mengalahkanmu beberapa waktu yang lalu,”
“Benar, Tuan... saya jarang melatihnya. Bagaimana Anda bisa tahu ?” tanya Bentar.
Orang itu tidak menjawab. Ia diam sesaat lalu kembali berkata, kali ini perkataannya ditujukan kepada Dewi Garnis. “Dan kau Garnis, sejak kapan kau menguasai Aji Bayu Bajra ? Sayangnya, masih mentah. BAYU BAJRA, mirip sekali GELOMBANG PRAHARA milik Saudara Kampala dari Tibet. Jika dua ilmu tersebut bertemu, sulit rasanya menentukan siapa yang lebih unggul,”
“Maaf, tuan...” sapa Raden Bentar hormat, “Anda tahu banyak tentang ilmu – ilmu kadigjayaan milik Ramanda Brama dan Biksu Kampala, guru saya. Jika kami boleh tahu, siapakah nama Anda dan Apa maksud kedatangan Anda ke Madangkara ini ?”
“Madangkara, diambang kehancuran,”
Singkat, jelas dan padat. Itulah kata – kata yang terlontar dari mulut orang bercadar itu. Bagaikan petir menggelegar di siang bolong, begitulah perasaan dua putera – puteri angkat Brama Kumbara itu.
Mereka tersentak, “Apa maksud Anda, Tuan ?” tanya Bentar dan Garnis bersamaan.
“Saya kira, keluarga besar kerajaan Madangkara masih ingat dengan peristiwa PATIH KANDARA, bukan ?!” ujar orang bercadar itu.
Beberapa tahun yang lalu, setelah Brama Kumbara mengundurkan diri sebagai Raja Madangkara dan menunjuk Wanapati sebagai raja. Karena dialah satu – satunya pewaris tahta kerajaan walau ditentang banyak pihak, karena menurut mereka Wanapati masih terlalu muda dan belum berpengalaman. Bagi mereka yang cocok menggantikan Brama adalah Raden Bentar. Namun, titah raja bagai sabda para Dewa yang tidak dapat atau tidak boleh ditentang. Siapa yang berani melawan titah Raja sama saja menggali kubur sendiri dan dianggap sebagai pemberontak.
Setelah menjadi Raja, Madangkara bergolak. Di daerah – daerah kecil terjadi pemberontakan, musuh – musuh Brama yang masih menyimpan dendam terhadap Madangkara bermunculan, yakni orang – orang Kuntala yang dipimpin oleh Bu Karti berikut antek – anteknya. Puncaknya adalah terjadinya perang saudara antara Prabu Wanapati dengan Raden Paksi Jaladara ( putera adik tiri Brama Kumbara, GUSTI AYU DEWI MANTILI SI PEDANG SETAN ).
Sebenarnya, perang itu tak perlu terjadi jika seandainya Prabu Wanapati tidak terhasut oleh bujukan KANDARA, orang Kuntala yang berhasil menyusup ke istana dan menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh di lingkungan istana, PATIH. Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai Mahapatih, Kandara berhasil menciptakan konflik di kalangan istana dalam hal ini Prabu Wanapati dan Raden Paksi Jaladara.
Dalam upayanya mendamaikan Wanapati dan Paksi Jaladara, Raden Bentar dan ibunya Dewi Paramitha harus rela pindah ke Kadipaten Singkur yang jaraknya dengan Madangkara, cukup jauh. Di tengah perjalanan, rombongan Raden Bentar dihadang oleh kaki tangan Kandara. Raden Bentar sendiri terluka oleh Ajian Serat Jiwa tingkat delapan : BAYU BAJRA milik Kandara yang dilontarkan dari jarak jauh. Tubuh Raden Bentar melayang tinggi ke udara, saat hendak terbanting, Rajawali raksasa tunggangan Brama datang menyambar dan membawanya ke Goa Pantai Selatan. Disinilah Bentar menyembuhkan luka – lukanya dan memperdalam ajian Serat Jiwa dan Lampah Lumpuh.
Selesai memperdalam 2 ilmu tersebut Bentar kembali melanjutkan petualangannya sekaligus mencari Kandara untuk menutut balas. Akan tetapi, terdengar kabar bahwa Kandara sudah tewas di tangan SOMA WIKARTA, seorang murid Mantili yang berkhianat, bersekutu dengan MARIBA, SI KELABANG HITAM dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa.
Demi mengembalikan citra dan nama baik Padepokan Gunung Wangsit milik Bibinya, DEWI MANTILI, Bentar mencari Soma Wikarta. Adalah takdir jualah yang mempertemukan Bentar dengan Soma. 2 tokoh ini terlibat pertarungan sengit dan Soma Wikarta berhasil dikalahkan, membuat pria itu bertobat dan menjadikannya sebagai orang yang setia sampai mati terhadap Dewi Mantili dan Madangkara. Ingatan – ingatan itu muncul begitu saja di benak Bentar bagaikan slide sebuah adegan film yang diputar berulang – ulang.
“Tuan... tampaknya, Anda tahu banyak tentang kejadian yang menimpa Kerajaan Madangkara. Siapa sebenarnya Anda ini ?” tanya Bentar.
Diam bagai sebongkah arca batu, demikianlah reaksi orang bercadar itu. Raden Bentar tahu bahwa orang ini, tidak ingin namanya diketahui oleh orang lain. Maka, Bentar mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.
“Maaf, Tuan... Apakah benar Anda yang telah melukai Permadi dan Shakila dengan Ajian Serat Jiwa tingkat satu CAKRA MANGGILINGAN ?” tanya Bentar.
“Benar. Alasannya, sederhana... mereka adalah orang – orang Kuntala yang menyusup ke Madangkara,” sahut orang bercadar itu.
“Jangan bicara sembarangan !” ujar Garnis geram, “Madangkara sampai kini baik – baik saja... lalu kau datang dan mengacau ! Apa sebenarnya maksud kedatanganmu ?!”
“Tuan... itu tidak mungkin,” kata Bentar, “Mereka ikut berjuang bersama kami saat Kerajaan SITU GILANG menyerbu Madangkara. Mereka pulalah yang turut membongkar rencana jahat RADEN BENTAR palsu atau RADEN KUDA SENGARA dari kadipaten BANYU ABANG. Tidak mungkin apabila mereka adalah orang – orang dari Kuntala,”
Wajah Dewi Garnis merah padam, biar bagaimanapun juga ia tidak mempercayai apa yang dikatakan orang bercadar hitam itu. Ia tertawa sinis, “Hei, orang asing ... siapa kau sebenarnya ? Atas dasar apa kau menuduh Permadi dan Shakila itu adalah orang Kuntala ? Jika kau tidak memiliki bukti – bukti yang kuat, jangan asal tuduh ! Atau, jangan – jangan diantara kau dan Permadi ada dendam sehingga kau memfitnahnya sedemikian rupa. Masihkah kau belum puas setelah melukai mereka dengan ajian Serat Jiwa-mu itu ?!”
“Tidakkah kalian berpikir, semua kejadian itu berhubungan ?! ....”
Suara itu dialiri oleh tenaga dalam yang tinggi, membuat muda – mudi itu terdiam seketika. Orang bercadar itu memalingkan wajah ke arah mereka, tatap matanya menyorot tajam penuh kewibawaan dan karisma, membuat siapapun tidak berani beradu pandang dengannya.
“Garnis, apakah kau masih ingat siapakah pemilik GELANG KEMALA NAGA HIJAU ini,” kata sosok bercadar hitam itu sambil mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya ke depan hidung Garnis. Bukan hanya Dewi Garnis tetapi juga Raden Bentar, mereka sama – sama membelalakkan mata, “Ge... Ge... Gelang Kemala Naga Hijau ...” serunya bersamaan.
“I... Itu adalah gelang Kemala Naga Hijau milik ... milik ... milik KakangWidura ! Darimana kau mendapatkannya ?” tanya Garnis.
“Tuan, apa yang sudah terjadi padanya ? Dimanakah dia sekarang ? Apakah dia baik – baik saja ?” Bentar juga ikutan bertanya.
“Dalam perjalanan menuju Blambangan, Widura dihadang oleh orang – orang suruhan Permadi,” sahut orang bercadar itu sambil menyerahkan gelang berwarna hijau tua itu ke arah Garnis. Buru – buru Garnis menyambar dan mengamati gelang itu lekat – lekat. “Iya... ini benar – benar milik Kakang Widura,” katanya sambil merogoh saku dan mengeluarkan sebuah gelang berwarna hijau muda, “Gelang berwarna hijau muda ini adalah milikku. Kami membelinya di pasar tak jauh dari ibukota sebelum kembali ke Madangkara. Bagaimana ini bisa berada di tanganmu, orang asing ?”
“Apa yang terjadi di Madangkara, tidak luput dari pengamatanku, anak muda. Aku tahu semuanya, termasuk pemberontakan yang dipimpin oleh Adipati Pulungan. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan oleh SEPASANG WALET PUTIH... Permadi dan kau, Garnis. Harus kuakui, pemuda yang bernama Permadi itu luar biasa cerdik, licin, dan cerdas. Gelagatnya mirip sekali dengan Kandara. Hubunganmu dengan Widura kembali diuji, Garnis ” jelas orang bercadar itu.
“Tuan, tadi Anda berkata bahwa kakang Widura dihadang oleh orang – orang suruhan Permadi sewaktu kembali menuju Blambangan. Apakah itu benar ?” tanya Bentar.
“Aku tadi sudah mengatakannya. Gelang Naga Kemala hijau itu buktinya. Dalam perjalanan menuju Blambangan, Widura dihadang oleh 10 orang pendekar berilmu tinggi. Mereka adalah pembunuh – pembunuh bayaran suruhan Permadi dan kawan – kawannya. Semula aku tidak ingin ikut campur, akan tetapi, mengingat hubunganku dengan Brama Kumbara dan juga Widura, boleh dibilang Widura memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Madangkara, terpaksalah aku turun tangan ...”
Berikut ini adalah yang diceritakan orang bercadar itu kepada Bentar dan Garnis.
_____
Setelah memadamkan pemberontakan Adipati Pulungan, kepulangan Garnis dan Permadi disambut meriah oleh rakyat Madangkara. Sementara itu, Widura yang curiga dengan asal – usul Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala berusaha untuk mencegah penobatan gelar kehormatan dari Prabu Wanapati. Hal itu semata – mata dimaksudkan untuk mencegah masuknya kembali orang – orang Kuntala yang berniat merongrong kewibawaan Kerajaan Madangkara.
Demi mengumpulkan bukti – bukti untuk membongkar kedok Permadi dan Shakila, Widura rela meninggalkan Madangkara menuju Banten Girang yang jaraknya cukup jauh dari Madangkara. Sekalipun dibantu dengan Ranti, salah seorang Kuntala yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi gerak – gerik Widura, pria asal Blambangan itu tidak mendapatkan keterangan sedikit pun tentang Permadi dan akhirnya kembali ke Madangkara dengan tangan hampa.
Sekembalinya ke Madangkara, Widura dan Ranti dihadang oleh sepasukan prajurit khusus Madangkara. Mereka terlibat perselisihan, Widura nyaris diseret oleh kuda – kuda dalam keadaan terikat, akan tetapi, muncullah Raden Bentar. Ranti dibebaskan dan kembali ke Banten Girang sementara Widura harus menjalani proses persidangan yang dihadiri Permadi dan Shakila.
Setelah melalui proses persidangan yang cukup rumit dan memakan waktu yang panjang, maka, diputuskan bahwa Widura harus kembali ke Blambangan. Siang itu juga Widura pulang ke Blambangan sementara rakyat Madangkara hampir seluruhnya menghadiri pesta yang diadakan oleh pihak Kerajaan sebagai ucapan syukur karena Garnis, Permadi dan Shakila berhasil memadamkan pemberontakan di Kadipaten Pulungan.
Di saat semua orang sedang berpesta , tak seorangpun mengetahui Permadi dan Shakila mengadakan pertemuan rahasia. Mereka terlibat silang pendapat, pertengkaran kecil. Shakila tidak mengerti, mengapa Permadi mengambil keputusan untuk melepaskan Widura, karena menurutnya Widura bagai duri dalam daging, harus disingkirkan agar tidak lagi menjadi penghalang rencana mereka di masa – masa yang akan datang.
“Tenanglah, Shakila... kau pikir aku akan membiarkannya keluar dari Madangkara hidup – hidup ? Tidak. Orang semacam dia, memiliki watak yang keras. Aku mengenal dengan baik watak – watak orang semacam itu ... TIDAK AKAN MENYERAH. Bagiku, orang semacam dia adalah penghalang, tetapi, bisa juga dimanfaatkan,” jelas Permadi.
“Apa maksudmu, Permadi ?” tanya Shakila.
“Untuk sementara waktu ini, dia takkan kembali ke Madangkara,” ujar Permadi, “Dia mungkin bisa kembali ke Blambangan untuk mencari dukungan, jika itu beruntung bisa sampai kesana. Tapi, tahukah, kau apa yang akan dihadapinya di tengah perjalanan ?”
“Jadi, kau ... kau ... “ujar Shakila.
“Aku sudah memberikan pesan singkat kepada Juragan Gurindar tentang kejadian ini. Aku juga memerintahkan Kentor dan Mamut untuk mengikutinya pergi ke Blambangan. Juragan Gurindar adalah saudagar yang kaya raya, memiliki banyak kenalan baik dari kalangan rakyat jelata, perampok, pendekar – pendekar berilmu tinggi, pejabat rendah hingga pejabat tinggi. Aku punya firasat, kelak ... cepat atau lambat, dia pasti kembali lagi... tapi, orang – orangku sudah bersepakat untuk memberikan informasi palsu ... jadi, butuh waktu yang cukup lama. Apa yang terjadi pada Widura, tinggal menunggu waktu saja. Selama mereka tidak ada yang berbuat macam – macam, maka, kita akan aman – aman saja. Aku yakin, Widura tidak akan pernah kembali ke Blambangan ataupun datang ke Madangkara ini lagi. Sementara, aku .... bukankah Prabu Wanapati telah memberiku kepercayaan penuh. Dan, jabatan tinggi sudah kuraih.... dia bisa apa ? Nah, mumpung sekarang di luar sana ada pesta meriah ... bukankah lebih baik menikmati saja pesta rakyat ini dengan baik,” jelas Permadi sambil tertawa diikuti dengan Shakila untuk kemudian kembali ke acara pesta rakyat tersebut. Mereka tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang terus menerus mengamatinya. Setelah mereka pergi, sesosok bayangan hitam berkelebat ringan melompat dari atap satu ke atap lain lalu menghilang.
..._____...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
solihin 78
sayang niat baik Widura tidak di hargai orang madangkrara
2024-01-20
0
solihin 78
kadang cinta memang membutakan nurani dan firasat
2024-01-20
0
solihin 78
ramanda yang di maksud Brama kah?
2024-01-20
0