TEGAL SAMANGANTU / HUTAN SAMANGANTU, terletak di sebelah Utara PASAR CIBANYAK, termasuk dalam wilayah Kadipaten Sembawa. Sekalipun disebut hutan / tegal, namun lebih mirip sebuah lembah yang sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman – tanaman paku / pakis dan bambu. Sebuah tempat yang tidak cocok untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk. Sepanjang musim kemarau, siang hari cuacanya panas menyengat; Sepanjang musim hujan cuacanya begitu dingin; Akan tetapi, di saat pertengahan musim seperti sekarang, cuacanya menjadi serba tak menentu, belum lagi hewan – hewan buas dan liar yang ada disana.
Dengan menuntun kudanya, Permadi menyusuri jalanan berbatu, berulang kali Nenek tua yang mengaku bernama NINI WALUH IRENG itu mengendarai kuda bersama, namun, Permadi menolak. Sebenarnya, kaki – kaki Permadi sendiri sudah pegal – pegal pada betisnya, bukan karena menaruh hormat pada Nini Waluh Ireng, juga harga dirinya yang menolak kebaikan Nenek itu, akan tetapi, ia merasa jijik dengan pakaian kumal yang dikenakannya. Tapi, karena kelicikannya, ia berhasil menutupi perasaannya itu. Hingga akhirnya, tibalah mereka di TEGAL SAMPANGANTU yang lengang, tak nampak bayangan manusia atau rumah penduduk. Yang nampak hanyalah bentangan tanaman – tanaman bambu dan paku dengan latar belakang bukit dan pegunungan.
“Nek, kita sudah sampai di Tegal Sampangantu,” kata Permadi.
“Benarkah ?” tanya Nini Waluh Ireng.
“Permadi, terima kasih karena kau sudah mengantarku yang tua, renta dan buta. Tolong bantu aku turun dari kudamu, setelah itu ... segera tinggalkan tempat ini. Sebaiknya, kau jangan ikut campur urusan keluargaku,” setelah berkata demikian Nini Waluh Ireng mencoba untuk melompat turun dari kuda, nyaris saja terjatuh apabila Permadi tidak segera membantu.
“Nek, jangan keras kepala. Saya sudah bertekad bulat untuk membantu menemukan cucu nenek dan memberi pelajaran kepada para sampah masyarakat itu,” tandas Permadi.
“Kalau begitu, terserah kau, Permadi ! Jika kau celaka ... aku takkan bertanggung jawab. Kau, sudah aku peringatkan !” kata Nini Waluh Ireng kesal sambil berjalan terseok – seok meninggalkan Permadi yang memandanginya sambil menggeleng – gelengkan kepala.
“Dasar, orang tua yang keras kepala. Jika aku ingin membunuhmu, mudah sekali. Jika seandainya aku tidak ingin melepaskan diri dari rombongan Raden Bentar, aku tak ambil peduli padamu, tua bangka... kubiarkan saja sampah tidak berguna sepertimu menjadi bangkai,”
Gumam Permadi sambil mengikuti Nini Waluh Ireng dari belakang. Akan tetapi ...
“Hei, kemana Nini Waluh Ireng pergi ? Bukankah dia tadi berada di depanku ? Menghilang kemana dia ?” kata Permadi sementara pandangannya menyapu ke sekitar, menoleh kesana – kemari mencari keberadaan Nini Waluh Ireng. Tapi, tubuh wanita tua renta itu bagai lenyap ditelan bumi. Mendadak ...
“SING.... SING.... SING....”
Tiga berkas cahaya putih keperakan meluncur deras bak anak panah terlepas dari busur ke arahnya. Permadi terkejut, buru – buru bersalto dua sampai tiga kali ke belakang untuk menghindarinya.
“Cap ! Cap ! Cap !”
Tiga sinar putih keperakan yang ternyata adalah tiga buah pisau belati berwarna putih itu berhasil dihindari dan menancap ke sebuah batu karang.
“Kurang ajar !” umpatnya, “Seseorang melemparkan tiga buah pisau belati dari jarak yang cukup jauh ... namun, bisa menembus semak belukar dan kayu. Menancap begitu dalam pada batu karang yang keras itu. Jika batu karang itu tubuhku ... bisa dibayangkan akibatnya, dan ...” katanya sambil mengamati salah satu belati yang menancap pada batu karang itu. Bentuknya, sama persis dengan belati yang melukai Shakila. Dapat ditarik kesimpulan, pelempar belati itu bisa jadi adalah orang yang sama.
Permadi geram, wajahnya merah padam, ia mencoba untuk mencabut belati itu, tapi, tampaknya tidak mudah. Ia mengeraskan jari jemarinya, dalam waktu singkat tangan – tangannya diselimuti oleh warna merah dan kembali bergerak mencabut belati itu. Dan, berhasil. Pandangan pemuda itu nyalang penuh amarah dan mencari dimana pelempar gelap itu bersembunyi.
Baru saja Permadi hendak membuka mulutnya, bermaksud untuk menyuruh si penyerang gelap keluar ... berkelebatlah enam sosok bayangan, mereka keluar dari semak belukar yang jaraknya dua tombak di depan Permadi. Mereka berlompatan dari pohon satu ke pohon lain dan dalam sekejab sudah berdiri di hadapannya. Tak seorang pun dari mereka dikenal oleh Permadi. Pandangan matanya begitu dingin, Nini Waluh Ireng tidak nampak diantara mereka.
“Selamat datang di TEGAL SAMPANGANTU, orang Madangkara atau mungkin kau lebih suka dipanggil Raden Permadi, Putera Raja Sisikadila dari Kuntala,” kata seorang pemuda bertubuh jangkung dengan bekas luka memanjang dari kening kiri hingga pipi kanannya. Dia adalah PALAWA, salah satu murid kesayangan MAHALI, SI GOLOK SETAN TERBANG dari Hindustan.
Air muka Permadi berubah, selama ini hanya orang – orang tertentu saja yang mengetahui identitasnya sebagai orang Kuntala. Terlebih setelah mengusir Widura dari Madangkara. Akan tetapi, sekalipun dalam mimpi, sama sekali tak disangkanya, dalam waktu singkat, sudah banyak orang yang mengetahuinya. Mungkinkah ini akhir dari perjalanan SEPASANG WALET PUTIH ?
“Mengapa wajahmu berubah, Permadi ? Apakah kau akan membunuh kami juga karena tahu identitasmu ?” tanya Palawa.
Permadi tertawa tawar, “Siapakah kalian berenam ini ? Apa maksud kalian dengan menghadang perjalananku ini ? Ada banyak orang yang bernama Permadi di Jawa Dwipa ini, mungkinkah kalian salah orang ? Permadi yang kalian maksud, bukanlah aku melainkan orang lain. Kebetulan sekali, namaku juga Permadi ...” dalihnya.
Keenam orang itu saling pandang sesaat, tak lama kemudian Palawa tertawa, “Ha... ha... ha... ha... masih juga kau berdalih. Kami tidak salah mengenalimu. Boleh jadi Permadi di dunia ini banyak sekali, akan tetapi ... mereka lebih baik darimu dan mereka tidak mungkin memiliki Jurus Jari Besi seperti yang kau miliki,”
“Siapa yang tidak kenal dengan salah satu keturunan orang nomor satu saat Kerajaan Kuntala berjaya ... Orang lain dapat kau tipu, tapi, kau tidak bisa menipu kami. Sisikadila adalah seorang Raja yang memerintah Kuntala dengan tangan besinya, culas dan licik.... akan tetapi, kau lebih licik dan kejam. Ayah dan anak sama saja,” kali ini laki – laki paruh baya bertubuh kurus kering yang berdiri di samping pemuda bercodet itu. Sejak tadi ia menyembunyikan kedua tangannya di balik lengan baju dan meletakkannya di dada. Sepasang matanya bulat seakan hendak keluar dari tempatnya karena kurus sekali, ia mirip sekali dengan tengkorak hidup. Suaranya parau bak suara burung gagak.
“Untungnya, Kerajaan Kuntala sudah ditaklukkan oleh persekutuan 6 negara kecil yang dipelopori oleh Brama Kumbara dari Kerajaan Madangkara. Kerajaan dari Kulon itu telah membebaskan rakyat dari segala penindasan dan penderitaan. Sayang sekali, Gusti Prabu Brama Kumbara sudah lama wafat. Penerusnya, Prabu Wanapati ... tidak sebijak dan searif ayahandanya,” sambung pemilik suara parau itu.
“Jurus Jari Besi ? Seperti apakah itu ? Mengapa aku baru mendengarnya ? Melihat gerakannya pun belum pernah dan siapa pula, kau, Tuan ? Sepertinya Anda lebih mengenal Madangkara daripada saya yang sudah cukup lama tinggal di Madangkara,”
“Oh, begitu ?!” ujar salah seorang pria paruh baya dengan ikat pinggang rantai besi, “Kau bisa menipu dan berlagak bodoh pada semua orang termasuk orang – orang Madangkara yang tolol dan bodoh itu. Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi kami ! Jika kau bukan Permadi Si Jari Besi, tidak mungkin kau bisa mencabut BELATI MERPATI PUTIH yang menancap pada batu karang itu,”
“Hah ! Belati Merpati Putih ?!” seru Permadi sambil meraba belati yang tadi ia cabut dan kini terselip pada pinggang kirinya. Ia tak mampu berdalih lagi. Ingatannya tertuju pada si pemilik belati itu juga bagaimana Shakila mengorbankan diri demi menyelamatkan Prabu Wanapati dari maut.
“Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa kau adalah Permadi, Si Jari Besi. Orang Kuntala yang kami cari – cari. Kau tak mungkin lagi bisa berdalih,” kali ini pria dengan kujang emas terselip di pinggang kanan angkat bicara, “Kami sudah lama mengikuti kalian mulai dari Madangkara hingga ke Tegal Sampangantu ini. Biarlah tegal ini menjadi tempat peristirahatanmu yang kekal dan abadi !”
Setelah berkata demikian, laki – laki itu melompat dan menyerang ke arah Permadi dengan kujang emasnya. Permadi sama sekali tidak menduga datangnya serangan yang dilancarkan secara beruntun. Ia berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut, akan tetapi, baju sutera bagian pinggang sebelah kanannya terkoyak. Wajah Permadi merah padam, selama ini ia selalu membangga – banggakan pakaian mewah yang dikenakannya. Ia selalu menjaga agar baju itu tidak kotor atau rusak dengan taruhan nyawanya, akan tetapi, kini ada seseorang yang sengaja merusaknya. Diam – diam ia merapal Jurus Jari Besinya, bersiap untuk menyambut serangan berikut.
Laki – laki berkujang emas itu menyeringai, “Beruntung hanya bajumu saja yang terkoyak, bayangkan saja jika baju itu adalah dagingmu ... Ayo, kerahkan JURUS JARI BESIMU, jika tak ingin dagingmu mengalami nasib yang sama dengan pakaianmu itu,” katanya sambil menggenggam kuat – kuat kujangnya itu. Mendadak, kujang emas itu mengepulkan asap tipis dan menebarkan aroma harum yang menyengat, warna kuningnya berubah menjadi merah menyala bak bara api, sementara, sepasang mata tuannya bagaikan mengeluarkan pancaran sinar merah, semerah darah. Untuk sesaat dua laki – laki itu berdiri berhadap – hadapan, seakan saling mengukur kekuatan lawan.
Sementara itu, di tempat dimana Raden Bentar beserta rombongannya beristirahat, tampak dua orang prajurit berjalan tergopoh – gopoh mendekati Raden Bentar yang tengah berbaring di sebuah lempengan batu datar. Dua orang Prajurit itulah yang diberi tugas oleh Raden Bentar untuk mengikuti kemana Permadi pergi dan kini mereka telah kembali untuk menyampaikan kabar penting.
“Tuanku ... Tuanku ... Tuanku Raden Bentar ....” sapa salah seorang Prajurit membangunkan Raden Bentar. Raden Bentar menggeliat bangun, “Oh, ternyata saya tertidur ... ada apa, Prajurit ?”
“Maaf, Raden ... Tuan Permadi diserang sekelompok orang – orang asing,” katanya.
Raden Bentar terhenyak, “Hei, dimana dia sekarang ?”
“Di pasar sebelah Barat tempat ini, Raden ... apa yang harus kami lakukan ? Kelihatannya para penyerangnya bukan orang – orang sembarangan,”
“Baik. Kita segera menyusul kesana, kalian semua ikuti saya, bersiap untuk membantu apabila diperlukan. Aku sendiri yang akan turun tangan membantunya dan mencari akar permasalahannya, mengapa Saudara Permadi diserang dan siapa para penyerangnya,” Setelah berkata demikian Raden Bentar memerintahkan para prajurit pengawal bergerak meninggalkan tempat itu untuk menuju arah Barat.
_____
“Baiklah, jika kalian tak ingin menjelaskan semua alasan kalian dan siapa kalian ini sebenarnya. Aku takkan memaksa lagi, tergantung sejauh mana kalian bisa menahan Jurus Jari Besiku ini. Jangan salahkan aku jika aku kejam, karena aku sendiri tidak peduli siapa yang terbunuh oleh Jari Besiku ini,” kata Permadi sambil merapal Jurus Jari Besinya. Terdengar bunyi gemerantak tulang pada buku – buku jarinya, seketika itu pula tangan Permadi menghitam, Jurus Jari Besi sudah dirapal dan bersiap meminta korban.
“Jumawa, kau ! Ketahuilah aku belum mengerahkan seluruh kepandaianku. Takutnya, orang – orang Kuntala akan kehilangan salah seorang terbaiknya. Nah, sambutlah seranganku selanjutnya,” mulut pria berkujang emas itu komat – kamit. Asap tipis pada kujang emas dan bau harumnya makin menyengat, warna merahnya tampak makin menyala-nyala. Di sekitar tempatnya berdiri, seakan dikelilingi oleh warna merah darah. Dan ....
“HHIIAATTHH !!!”
Teriakan laki – laki itu membahana, mendadak kujangnya seperti terlepas dari genggamannya, berputar – putar di udara menyerang ke arah Permadi. Hawa panas menyengat membuat dada Permadi serasa sesak, tapi, ia tak mempedulikan itu tangannya berkelebat mencoba menangkis serangan kujang terbang itu. Namun, Kujang itu melesat bagaikan seberkas cahaya yang tak dapat disentuh. Sekalipun hanya dalam bentuk sekelebatan cahaya, Permadi merasakan bahwa cahaya itu berbahaya, maka, ia memilih menghindar.
“WWUUSSHH !!”
Desiran angin tajam itu menerpa wajah Permadi, untung ia masih sempat mengelak, tapi, ia merasakan perih dan pedih pada dahinya. Tampaknya, Permadi sedikit terlambat untuk menghindar, sehingga mata kujang sempat menggores dahinya. Telinganya mendengar desau angin semakin lama semakin jauh ke belakang, akan tetapi, dari depan muncul serangan lain yang sudah menanti. Dengan gerakan setengah putus asa, disambutnya serangan itu dengan Jari Besinya.
“TTTRRRIIINNNGGG !!!”
Terdengar bunyi menusuk gendang telinga, bersamaan dengan itu tampak percikan bunga – bunga api. Permadi berhasil menahan serangan tersebut, dia baru tahu bahwa, pria berkujang emas itu juga menyerang dari depan dengan kujangnya. Ia menyeringai, sementara Permadi kini merasakan adanya hawa panas dari arah belakang semakin lama semakin dekat. Bunyi mendengung dari belakang membuat Permadi penasaran, buru – buru ia membalikkan badannya, dan sebuah cahaya merah bergerak semakin lama semakin dekat.
“Kena, kau !”
Seru pria berkujang emas sambil menangkap cahaya merah itu, kaki kanannya terayun mendarat telak pada dagu Permadi setelah itu bersalto dua tiga kali ke belakang sambil terkekeh – kekeh.
“DASH !!”
Dagu Permadi jadi sasaran ujung kaki kanan lawan, ia terjungkal ke belakang dan roboh terjerembab, kepalanya pening, pandangannya berkunang – kunang sementara, dari sudut bibir kanan dan kirinya basah oleh darah.
Kujang memiliki sisi tajam dan bagian-bagian lain seperti: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain: Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan), Kujang Pangarak (untuk berperang), Kujang Pakarang (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Sementara, Kujang emas milik pemuda itu lebih mirip Kujang Pangarak, menyerang dan bertahan. Saat dilempar oleh pemiliknya, kujang tersebut menyerang dari dua arah, dari depan dan dari belakang. Mirip bumerang yang mampu membalik arah serangannya. Selain itu, lawan Permadi tidak hanya mengandalkan satu atau dua kujang, akan tetapi, ia mampu menyerang dengan tangan kosong saat kujangnya beraksi di udara. Dan luka yang disebabkan oleh serangan tangan atau tendangan kosong itu, mampu membuat luka dalam. Tapi, serangannya terhadap Permadi tidak disertai oleh tenaga dalam, sehingga Permadi tidak mengalami luka dalam yang cukup berarti. Tujuannya adalah meruntuhkan mental Permadi terlebih dahulu.
Dan, memang benar, selama ini Permadi boleh dibilang belum pernah dikalahkan oleh lawan – lawannya, kecuali saat di HUTAN KANA GINI, dimana ia dan Shakila terluka oleh Ajian Serat Jiwa Tingkat Satu CAKRA MANGGILINGAN, milik Brama Kumbara. Ini untuk yang kedua kalinya, ia roboh di hadapan lawan. Harga dirinya jatuh namun, karena terlalu tinggi membuat dia bertindak nekad. Buru – buru ia berdiri dan menatap tajam ke arah lawannya, sementara JARI BESI – nya sudah dirapal, sekalipun tak yakin mampu mengalahkan lawannya ini.
Pria bersenjatakan Kujang Emas itu sebenarnya bernama DAWUNG.
Salah seorang pendekar ternama di Dataran Pasundan, sekalipun namanya belum bisa disejajarkan oleh para pendekar terdahulu, namun, baik ilmu kanuragan dan permainan senjatanya cukup tinggi. Orang – orang hanya menjulukinya PETANI KUJANG EMAS. Karena memang ia tidak menyukai perkelahian dan hidup menyendiri di sebuah desa terpencil, di Kaki GUNUNG BONGKOK, tepatnya di dusun Mulya Suka. Hanya orang – orang tertentu saja yang tahu dan paham bahwa petani kecil itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sebagai seorang yang paling mudah bergaul, tak heran ia pandai bersosialisasi.
Dalam kehidupannya sebagai petani, tak jarang ia mampu memasok hasil ladangnya dalam jumlah yang cukup besar. Sebagian dari hasil ladangnya itu ia jual ke berbagai tempat, terkadang jika masih ada kelebihan hasil ladang, ia sumbangkan kepada kaum fakir miskin dan orang terlantar. Dari sinilah ia bertemu dengan Mahali dan Palawa. Bagi orang awam, mengangkut dan menurunkan satu ton hasil bumi dari pedati, itu soal biasa. Akan tetapi, di mata Mahali dan Palawa, ia termasuk orang yang luar biasa. Persahabatan diantara mereka terjalin dan Dawung mulai membuka sedikit demi sedikit asal – usul dan latar belakangnya sebagai salah satu prajurit Istana Pajajaran yang mampu menghadapi puluhan prajurit lawan di medan perang hanya dengan bersenjatakan dua kujang emasnya seorang diri yang mengundurkan diri karena berselisih paham dengan salah seorang pejabat istana.
PENDEKAR KUJANG EMAS KEMBAR, itulah yang julukan yang diberikan oleh Rimba Persilatan untuk Dawung. Yang membuat Dawung menjadi salah satu penghadang jalan Permadi adalah, tersiarnya kabar burung bahwa Mahali dicelakai oleh orang – orang suruhan Permadi. Alasannya, Mahali gagal dalam menjalankan misinya untuk membunuh Widura, juga, kekacauan yang dibuat oleh Palawa muridnya sewaktu menyatroni Istana Madangkara. Dan yang memberi perintah adalah Permadi.Inilah penyebab, keenam orang pimpinan Palawa itu menghadang, menyerang dan berniat membunuh Permadi. Sementara, Permadi tidak tahu menahu soal penyerangan berikut alasan mereka mengapa ia diserang.
Dawung melompat tinggi ke udara sambil menyabetkan kujang emasnya yang dipegang tangan kanan dari atas kebawah, sementara, kujang yang dipegang tangan kirinya, ia sabetkan dari kiri ke kanan.
“WUSH ! WUSH ! WUSH !”
Tiga berkas cahaya merah meluncur deras ke arah Permadi. Permadi sudah mempersiapkan diri untuk menyambut serangan itu. Dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata biasa, ia mencabut belati yang tergantung di pinggang kanannya, BELATI MERPATI PUTIH dengan digabung Jurus Jari Besinya, belati tersebut bergerak mengikuti kemana sinar merah itu bergerak. Dan...
“CRING ! CCRRIINNGG ! CCCRRRIIINNNGGG ....”
Sinar kemerahan dan cahaya yang keluar dari belati merpati putih beradu. Bunga – bunga api memercik, suaranya seakan menusuk – nusuk gendang telinga para pendengarnya. Semua orang menahan nafas saat dua senjata pusaka itu beradu, namun, nasib buruk kembali menimpa Permadi, tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang, Belati Merpati Putih terlepas. Keras lawan keras, tubuh Permadi sebenarnya tidak mampu menahan serangan tersebut, akan tetapi, tekad dan perbuatan nekad-nyalah yang telah menyelamatkan dirinya dari luka dalam yang parah.
“Nah, terimalah seranganku berikutnya, Permadi, berharaplah agar kau bisa selamat dari JURUS KUJANG EMAS MEMBELAH GUNUNG,” kata Dawung sambil menumpuk kujang emasnya menjadi satu lalu, tubuhnya berputar – putar bagai gangsing dan mencoba membobol pertahanan Permadi. Permadi yang saat itu baru saja memperbaiki posisi berdirinya, terkejut. Satu kujang emas saja sudah membuatnya kewalahan, nyaris mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, apalagi dua kujang ditumpuk menjadi satu dan meyerang secara berputar. Jangankan mendekati penyerangnya, cahaya kemerahan yang keluar dari kujang tersebut membuatnya tak berdaya. Lengah sedikit saja, nyawa bisa melayang.
Permadi hanya bisa mundur dan bertahan, tak mampu menyerang balik. Mendadak pola serangan kujang berubah saat berada beberapa senti lagi dari hadapan Permadi, dari berputar menjadi menyabet dan menusuk. Gerakan mendadak inilah yang mengacaukan konsentrasi Permadi, tak ayal lagi, tubuhnya dalam sekejab bagai dikurung oleh ribuan cahaya merah. Sekali lagi, Permadi harus merelakan bajunya rusak berantakan. Dawung memang sengaja tidak ingin langsung membunuh Permadi begitu saja, ia ingin membuat mental tempur pemuda Kuntala itu rontok / hancur. Dan, siasatnya ini berhasil. Keadaan Permadi benar – benar menyedihkan, pakaiannya compang – camping, selain basah oleh keringat juga terdapat bercak – bercak warna merah.
“Dawung ... “ sapa laki – laki paruh baya yang mengenakan ikat pinggang rantai hitam berbandul besi, “Bocah itu lincah bak monyet, lebih baik suruh dia mencabut senjata andalannya atau kita serang saja bersamaan, waktu kita tidak banyak,”
“Kujang Emasmu itu hanya bisa meninggalkan luka gores saja, tapi tak mampu membunuhnya. Apakah kau sudah mulai lelah atau memang tidak ada jurus lain untuk melumpuhkannya ? Seranganmu sudah tak sedahsyat tadi,” sambung laki – laki paruh baya bertubuh tinggi kurus, kumis dan jenggotnya berwarna kelabu.
“Baiklah ... aku akan beristirahat sejenak. Bagiku sudah puas karena telah membuat harga diri dan kesombongannya hancur. Siapa saja boleh menggantikanku,” ujar Dawung seraya menyarungkan kujang emasnya dan melompat mundur. Sebelum mundur ia menatap tajam ke arah Permadi sejenak, lalu berkata, “Jika teman – temanku tidak ada yang berani membunuhmu, maka, akulah yang akan membunuhmu,”
Mundurnya Dawung, mungkin bisa memberikan Permadi kelegaan walau hanya sebentar saja. Jika dilanjutkan, kemungkinan besar nyawanya akan melayang. Ia benar – benar tersinggung dengan ucapan Dawung itu. Tapi, ia tahu kepandaian ilmu lawannya itu lebih tinggi, tak mungkin menghadapinya dengan tangan kosong sekalipun memiliki JURUS JARI BESI. Saat hendak duduk melepas lelah di hadapannya sudah berdiri seorang pemuda bersenjatakan tombak. Pemuda itu lebih pendek darinya, tubuhnya pun lebih kurus dan di mata Permadi, pemuda itu adalah pemuda yang hanya sekedar mencari kepopularitasan. Tapi, salah... justru pemuda bersenjatakan tombak itu juga lebih berbahaya daripada yang lain. Dia bernama SAMBILOKO, SI TOMBAK HITAM. Kemampuannya dalam memainkan tombak patut diwaspadai, tak seorang pun diantara teman – temannya berani meremehkannya.
Diam – diam Permadi merapal JURUS JARI BESI-nya, ia bertekad untuk menyerang terlebih dahulu. Akan tetapi ....
“Hei, ada apa ini, mendadak saja aku seperti dikurung oleh hawa panas ...” kata Permadi hendak mencari tahu darimana asal / sumber hawa panas yang mengurungnya. Tidak ketemu. Mendadak saja, sebuah cahaya hitam bergerak menyambar dadanya.
“WWUUSSHH !!!”
Sebuah mata tombak yang runcing dan berwarna hitam sudah berada di depan hidungnya. Ia tersentak, buru – buru tapak tangan yang sudah dialiri jurus Jari Besi terangkat dan menghadang mata tombak tersebut.
“TTRRIINNGG !!!”
Benturan keras terjadi, bunga – bunga api memercik. Mata tombak hitam dan tapak tangan Permadi beradu. Sambiloko tidak bergeser dari tempatnya berdiri, akan tetapi, Permadi terpental satu tombak ke belakang. Beruntung masih bisa mendarat dengan mulus, tapak tangan kanannya serasa panas dan kebas. Asap tipis berwarna merah kehitaman keluar saat ia mengibas – ngibaskan tangannya. Ia menatap lawannya dengan pandangan tidak percaya.
“Gila, tenaga dalamnya cukup tinggi juga, nyaris saja aku tak mampu menahannya. Tapi, mengapa hawa panas ini tidak kunjung hilang, malah semakin panas. Kemana pun aku bergerak, hawa aneh ini mengikutiku. Dan, tampaknya ....”
Belum habis rasa heran Permadi, mata tombak berwarna hitam kembali berkelebat. Permadi tidak lagi berusaha menahan mata tombak itu dengan Jurus Jari Besinya, melainkan bersalto dua kali ke belakang, mencoba menghindari jangkauan mata tombak. Mata tombak itu seakan memanjang, memanjang dan terus memanjang seakan tanpa batas, sesekali berputar – putar dan mengejar kemana pun ia berkelit.
“Jurus tombaknya benar – benar aneh. Mereka sepertinya benar – benar ingin membunuhku, dan ... hawa panas yang tidak tahu darimana asalnya ini membuat dadaku sesak dan gerakanku jadi tidak leluasa. Jika aku terus – menerus seperti ini, aku akan mati konyol... aku harus balas menyerang. Bom asap ... yah, terpaksa aku harus menggunakannya,”
Sambil berkata demikian, Permadi merogoh saku bajunya dan ...
“DDUUAARR !!”
Permadi melemparkan sesuatu ke tanah, bersamaan dengan bunyi ledakan itu, tubuhnya diselimuti oleh asap tebal dan menghilang dari pandangan lawan – lawannya. Namun, itu tak berlangsung lama, tubuhnya terlihat kembali dan kali ini ia jatuh terbanting. Bersamaan dengan itu salah seorang laki – laki dari keenam lawannya yang bertubuh jangkung, kurus dan berwajah pucat sudah berada di dekatnya. Ia hanya diam, menatap ke arah Permadi tanpa berkedip. Saking kurusnya, tubuhnya seperti tulang dibungkus dengan kulit, sepasang matanya yang bulat seakan nampak menonjol keluar. Ia diam bagaikan sepotong kayu kering, tangannya diletakkan ke dada tersembunyi di balik lengan bajunya yang panjang, lebar berwarna abu – abu.
“Jangan coba – coba melarikan diri, Permadi ... karena kami takkan membiarkan itu terjadi,” kata Palawa, “Mungkin kau bisa lari dari kami, tapi kau tak mungkin bisa lari darinya,” sambungnya sambil menunjuk ke arah pria paruh baya yang mirip tengkorak hidup dan sekarang berdiri di dekat Permadi.
“Aku tak ingin melarikan diri ataupun mati konyol di tangan orang – orang pengecut seperti kalian yang hanya bisa main keroyok. Kali ini keadaanku tidak akan seburuk beberapa menit yang lalu. Karena, inilah yang akan menemaniku dan memaksa kalian membuka mulut untuk memberitahukan siapa kalian dan apa alasan kalian ingin sekali membunuhku !” tukas Permadi yang ternyata sudah memegang senjata yang selama ini tersimpan di balik lipatan bajunya BELATI SINAR HITAM dan tanpa banyak bicara lagi, ia menghujamkan belati tersebut ke dada pria jangkung, kurus dan pucat itu.
“Mati, kau !” ujar Permadi seraya menyeringai. Tusukannya tepat sasaran, namun yang ditusuk tetap tak bergerak. Seketika itu pula wajahnya tampak tegang, otot dan urat – uratnya bertonjolan keluar. Belatinya tampak menancap pada dada laki – laki pucat itu dan Permadi berusaha untuk mencabutnya kembali akan tetapi, belatinya itu seperti tertahan sesuatu. Semakin kuat Permadi berusaha mencabut, semakin kuat pula tenaga yang membetot atau menahannya.
..._____...
..... Bersambung.....
Eric K.
( Lumajang, Jum’at, 01
Desember 2023 )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
solihin 78
Permadi hanya menghibur diri dengan mengatakan demikian
2024-02-02
0
solihin 78
Permadi tak akan bisa melawan mereka
2024-02-02
0
solihin 78
lanjut kak
2024-01-31
0