Kabut tipis melayang-layang di udara, menyelimuti badan gunung-gunung yang membentengi tanah Pasundan bagai sekumpulan raksasa tertidur. Sementara langit jingga di ufuk Timur diiringi hembusan angin semilir, perlahan-lahan mulai menyapu kegelapan malam dingin yang hanya tersisa beberapa jam lagi....
Kokok ayam jantan, kicauan burung bagai alunan musik penutup perjalanan panjang sang Dewi malam berikut para pengikutnya... menyambut datangnya sang fajar untuk memulai kehidupan baru di Madangkara dan sekitarnya. Sebuah kerajaan kecil dimana para penduduknya senantiasa hidup rukun, tentram dan damai juga sederhana.
Hari masih pagi... namun, jalanan ibukota sudah mulai dipadati oleh para penduduk yang rata-rata bekerja sebagai petani. Keceriaan, keramah tamahan, kesederhanaan dan gotong royong terpancar pada wajah masing-masing. Itu menandakan bahwa rakyat Madangkara di bawah kepemimpinan Sang Prabu Wanapati, hidup makmur dan sejahtera walau, ada perbedaan yang mencolok saat Brama Kumbara memimpin negeri kecil di tanah Pasundan itu.
Di sebelah Barat istana, telah dibangun rumah persinggahan para tamu kerajaan, juga para pembesar istana yang kebetulan tempat tinggalnya cukup jauh dari Madangkara lengkap dengan perabotan juga para pelayan dan para prajurit jaga.
Dari banyak rumah itu, terdapat sebuah rumah yang terlihat lain daripada yang lain.... mewah dan megah... hampir semua perabotan dan dinding bercat putih, kecuali pagar setinggi dua meter yang mengelilingi rumah itu. Hitam dan terdapat ukiran sepasang burung walet berwarna putih.
Di rumah inilah Shakila dan Permadi tinggal. Rumah ini diberi nama rumah walet putih. Sekilas rumah hanya terdiri dari satu bangunan saja, tapi, begitu memasuki halaman rumah barulah terlihat ada 2 bangunan berdiri disana. Di kanan kiri 2 bangunan itu dihiasi oleh berbagai macam jenis tanaman rimbun, sementara, di halaman belakang ... sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah sebuah tanah lapang cukup luas diselimuti oleh rerumputan hijau membentang dari ujung satu ke ujung lain. Sebagian masih tertutup oleh kabut, sebagian lagi tertimpa cahaya fajar yang merekah di ufuk Timur. Membelai butiran – butiran embun, memancarkan cahaya kemilau bagaikan hiasan pakaian dewa – dewi di kahyangan.
Angin berhembus perlahan, menerbangkan sebagian titik – titik embun yang kemudian memercik pada pipi seorang dara jelita yang saat itu duduk santai pada sebuah balai – balai bambu di halaman belakang salah satu rumah Walet Putih sambil memandangi deretan pegunungan. Ia tersentak sesaat manakala, titik – titik embun itu memercik pada kulit wajahnya yang sawo matang, untuk kemudian tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Senyum yang membuat siapa saja memandangnya seakan – akan terkena kekuatan sihir, senyum yang membuat kaum adam mabuk, tak bergeming bagai sebuah arca batu. Senyum seorang gadis muda nan jelita bernama Shakila.
“Kakang Permadi ... mau sampai kapan kau mematung di sana ?” suara merdu dan sebening air telaga itu ditujukan pada seorang pemuda tampan yang berdiri di bawah pohon cemara yang agak jauh dari tempat dimana Shakila duduk. Untuk sesaat pemuda itu masih berdiri terpaku, sepasang matanya seakan tak berkedip, mulutnya ternganga, ia bagai tak mendengar sapaan lembut dan ramah Shakila.
“Kakang Permadi, kemarilah ... sampai kapan kau mengagumi kecantikanku di tempat itu. Kemarilah, atau aku akan pergi,” kali ini Shakila mengeraskan suaranya membuat pemuda itu gugup dan buru – buru berjalan menghampiri Shakila.
“Pagi ini, kau tampak cantik sekali, Shakila.... wajahmu itu bagaikan bidadari yang turun dari Kahyangan,” Pemuda yang tidak lain dan tidak bukan itu adalah Permadi segera berjalan menghampiri Shakila dan duduk di samping dara jelita itu.
“Dasar mata keranjang. Beberapa waktu yang lalu kau juga melontarkan kata – kata yang sama terhadap Dewi Garnis. Sekarang kau melontarkan kata – kata itu padaku, apa kau tidak malu pada dirimu sendiri,”
“Tidak... itu memang benar, Shakila. Pagi ini kau tampak lebih cantik dan manis,” ujar Permadi.
“Ah, sudahlah jangan mengejek atau merayuku, simpan saja rayumu itu untuk Dewi Garnis. Bagaimana, apakah kau sudah bertindak sesuai dengan rencana yang telah kita susun dari semula ?” Shakila mulai memelankan suaranya demikian pula Permadi.
“Sudah. Aku sudah mengutus beberapa orang pembunuh bayaran untuk mengikuti perjalanan Widura kembali ke Blambangan. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk membungkam mulut dan membunuhnya, agar kelak tidak menghalangi rencana kita ke depan. Nah, kita sudah berhasil menyingkirkan orang Blambangan itu, Shakila .... Apa rencanamu selanjutnya ?”
“Tidak ada perubahan rencana, kakang .... Tetap saja pada rencana semula.... Aku akan mendekati Raden Bentar, dan kau mendekati Dewi Garnis. Keberhasilan ini akan semakin memudahkan kita untuk berjalan sesuai rencana. Sang Prabu Wanapati, raja tolol, congkak dan sombong itu, pasti akan menaruh kepercayaan penuh pada kita. Siapa tahu, beliau akan memberikan kedudukan penting di kalangan istana untuk kita. Itu akan lebih mudah lagi,”
“Kudengar dari beberapa orang penjaga, besok Prabu Wanapati akan memanggil kita ke Istana. Entah ada urusan apa. Mudah – mudahan dugaanmu benar, Shakila. Kalau itu terjadi, rencana besar kita pasti akan segera tercapai,” kata Permadi sambil tersenyum simpul, membuat Shakila heran.
“Mengapa airmuka kakang jadi aneh seperti itu ?” tanya Shakila sambil memandang penuh selidik. Ada rona merah menghias pipi pemuda itu. Shakila mengangguk – anggukkan kepala saat Permadi mencoba untuk menghindari tatapan tajam menusuk dari dara jelita itu, “Oh, jangan – jangan kakang .... Garnis .... Pasti itu yang ada di benak kakang. Dengan menjadi salah satu orang kepercayaan Prabu Wanapati, dan tinggal di istana, maka, kakang akan lebih sering bertemu dengan gadis pujaan kakang, bukan ? Dewi Garnis,”
Tebakan Shakila tepat.
Jika mereka menjadi salah seorang tokoh yang berpengaruh di lingkungan istana, maka, Permadi dan Dewi Garnis akan sering bertemu. Demikian pula Shakila, dia akan sering bertemu dengan Raden Bentar, tak perlu lagi menempuh perjalanan panjang dan jauh untuk saling bertemu dan berbincang – bincang di sebuah tempat.
“Raden Bentar dan Dewi Garnis, adalah ... selain mereka adalah orang – orang berpengaruh di Madangkara, juga berilmu paling tinggi... belum lagi Raden Paksi Jaladara yang entah dimana sekarang berada. Tanpa mereka, Madangkara bagai orang pincang berjalan di tanah yang terjal, tanah tandus, gersang dan kering. Maka, kita harus lebih dipercaya,” jelas Shakila.
“Kau benar, Shakila. Jika kita bisa mendapatkan kepercayaan dari mereka, bukannya tidak mungkin mereka akan sudi menurunkan sedikit saja ilmu kadigjayaan Salju Menyiram Bumi dan Cipta Dewi .... Kerajaan Kuntala kita akan berkibar lagi di Jawa Dwipa ini. Kau juga tidak tahan dengan kegagahan dan ketampanan Raden Bentar, bukan ?” goda Permadi.
“Cih, jangan sembarangan bicara... aku dekat dengan Raden Bentar, karena aku ingin tahu bagaimana pendapatnya tentang tindakan kita mengusir orang Blambangan itu dari Madangkara ini... Selain itu, jika beruntung, dia akan sudi menurunkan ilmu – ilmu kadigjayaannya padaku. Dan saat aku berhasil menguasainya, aku takkan membiarkan kakang bicara sembarangan lagi,” sahut Shakila sambil buru – buru membuang mukanya ke arah lain, menghindar dari tatapan Permadi yang seakan tajam bagai sebilah mata pisau.
Permadi tersenyum, ia paham apa sebenarnya yang menari – nari di benak dara jelita itu. Tak dapat diingkari Shakila memang menaruh hati pada Raden Bentar demikian pula Permadi yang terpikat oleh kecantikan Dewi Garnis. Akan tetapi, tugas berat seakan membebani bahu mereka, begitu beratnya hingga perasaan dan hati mereka seakan mati.
“Srek ! Srek !”
Mendadak telinga tajam Permadi mendengar suara gesekan dari arah yang agak jauh dimana mereka berada. Buru – buru, Permadi menoleh diikuti dengan Shakila. Dari rimbunan semak belukar, tampak sebuah bayangan berkelebat ringan, ringan sekali melompat dari dahan satu ke dahan lain, ranting satu ke ranting lain. Detik berikut, bayangan itu sudah melompat ke atap rumah. Gerakannya begitu gesit dan lincah bagai seekor tupai.
“Siapa itu ?!” seru Shakila sambil melentingkan tubuhnya ke atas pepohonan dan bergerak menyusul ke arah bayangan yang jaraknya lebih kurang 1 tombak di depannya, sementara, Permadi mengikuti dari belakang.
Kejar – mengejar pun terjadi, ilmu meringankan tubuh bayangan hitam itu tidak boleh dianggap sembarangan, ia melompat bagai terbang. Atap rumah dan pepohonan di sekitar seakan tidak menghalanginya malah dijadikan sebagai pendaratan yang empuk. Sementara, Permadi dan Shakila, mereka sesekali memiringkan, mencondongkan ataupun melompati ranting, dahan dan daun yang tumbuh secara sembarangan di depannya. Jelas sekali perbedaan tenaga dalam yang dimiliki oleh ketiga orang itu. Para Prajurit yang kebetulan berjaga atau berkeliling di sekitar istana, seakan tidak melihat apa yang tengah terjadi saat ini.
“Ilmu meringankan tubuhnya, tinggi sekali ... siapakah dia ?” tanya Permadi saat sudah berlari beriringan dengan Shakila.
“Mana aku tahu... kakang. Yang jelas kita akan mengetahuinya saat dia berhasil ditangkap. Jangan sampai kehilangan jejak,” sahut Shakila.
Permadi dan Shakila terus mengejar, tanpa terasa mereka sudah jauh meninggalkan ibukota Kerajaan Madangkara sementara, bayangan hitam itu masih terus berlompatan kesana – kemari, gerakannya semakin lama semakin lincah sementara, Permadi dan Shakila sepertinya tidak mampu lagi mengejarnya.
“Tunggu dulu, Shakila.... apa kau tidak curiga kalau ini sebuah jebakan ?” tanya Permadi yang mendadak berhenti dan mencegah Shakila untuk mengejar.
“Apa maksudmu ?” Shakila pun berhenti mengejar.
“Kita sudah mengejar bayangan itu sekian lama dan tanpa terasa ... pintu gerbang istana sudah jauh tertinggal di belakang sana. Hei, kini bayangan itu berhenti dan duduk di sebuah batu. Apakah kau lupa, jalanan ini mengarah kemana ?”
“Masa bodoh. Ayo, tunggu apalagi kita susul saja dia. Mungkin dia juga sudah lelah setelah berlari dan berlompatan kesana – kemari seperti kita. Yang penting, kita tangkap orang itu dan kita cari tahu apa alasannya datang ke Madangkara pagi – pagi buta,” sahut Shakila yang kemudian melangkah mendekat diikuti oleh Permadi dari belakang. Bayangan itu bersikap acuh tak acuh, tak peduli dengan kehadiran mereka. Namun, langkah – langkahnya terhenti saat bayangan itu berdiri sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah dua muda – mudi itu.
Baik Permadi maupun Shakila tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya karena tertutup oleh cadar hitam. Mendadak bayangan itu berdiri, menghentikan langkah – langkah muda – mudi yang kini berdiri satu tombak di depannya. Tubuhnya tinggi besar, tegap dan kekar, hembusan angin semilir memainkan tiap helai kain bajunya yang hitam panjang dan lebar. Ia memandangi Permadi dan Shakila dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Hmm, kalian masih muda, gagah, tampan dan cantik, tapi, mampu mengejarku hingga sampai di tempat ini,” kata bayangan hitam itu, “Jarang ada orang yang mampu mengejarku seperti kalian, luar biasa,”.
“Siapa kau, kisanak ? Apa maksudmu memancing kami ke tempat ini ?” tanya Shakila.
“Jika Anda bermaksud baik.... tentunya tidak akan mendatangi istana di pagi – pagi buta. Katakanlah, apa maksudmu datang ke Madangkara yang kami cintai ini,” kata Permadi.
“Ha.... ha... ha... ha... aku ragu kalian adalah orang – orang Madangkara. Gaya bahasa kalian lebih mirip orang Kuntala. Aku paham benar dengan watak dan karakter orang – orang Kuntala,”
Permadi dan Shakila saling pandang.... mereka sama sekali tidak menyangka bahwa orang misterius itu sepertinya mengetahui asal – usul mereka.
“Shakila, kita lengah,” ujar Permadi, “Sebelum dia menyebar berita tentang asal – usul kita, mungkin sebaiknya kita bunuh saja dia,”
“Maaf, kisanak.... kami takkan membiarkanmu lolos kali ini, kau telah mengetahui asal – usul kami.... itu artinya, kau harus mati di tangan kami,”
“Ha... ha... ha... ha... tergantung seberapa jauh ilmu kadigjayaan kalian. Seranglah aku darimanapun dan kapanpun kalian siap ... ha.... ha... ha....”
Permadi dan Shakila segera memasang kuda-kuda, mata mereka menyorot tajam ke arah sosok bercadar itu, bagai serigala kelaparan. Sementara, sosok itu hanya berdiri tegak bagaikan sebuah arca batu. Ia tampak tenang – tenang saja, di matanya kuda – kuda yang dipasang oleh Permadi dan Shakila bukanlah kuda – kuda yang tangguh, tapi, lebih mirip orang yang hendak menari.
_____ Bersambung _____
Ditulis oleh : ERIC K.
( Lumajang, Senin, 05 Juni 2023
Diedit pada hari Selasa, 06 Juni 2023 )
Pagi itu, di balairung istana Madangkara....
Para pejabat tinggi, abdi dalem, dan keluarga kerajaan sudah berkumpul, mereka duduk di dekat Prabu Wanapati. Sepasang mata raja muda itu berulang kali beralih ke pintu masuk, membalas penghormatan dari para tamu yang berdatangan. Semua sudah lengkap, para hulubalang, para menteri, sesepuh istana, utusan kerajaan – kerajaan kecil di wilayah Madangkara dan lainnya sudah duduk di tempatnya masing – masing, menunggu apa yang hendak dititahkan oleh junjungannya itu.
Berulang kali Raja Muda itu duduk, berdiri, berjalan kesana – kemari, keningnya berkerut, menggigiti bibirnya sendiri sambil sesekali meremas-remas tangannya. Ia tampak cemas, gelisah sementara, para pejabat yang sejak tadi memperhatikan gerak – geriknya, saling pandang dan saling bergumam. Ia tersenyum saat melihat hulu balang Ludika datang dan memberi hormat.
“Bagaimana, paman ? Apakah paman sudah menyampaikan titahku pada Shakila dan Permadi untuk datang ke Istana ? Dimana mereka ?” tanya Wanapati.
“Ampun, Gusti Prabu... hamba bersama dengan beberapa teman hamba sudah menjemput mereka di rumahnya, tapi, saat tiba disana ... rumah itu kosong. Permadi dan Shakila tidak ada disana,” kata Ludika.
Wanapati tampak geram, "Apa ? Tidak ada ? Kita sudah menunggu mereka lebih dari satu jam dan sampai kini belum juga nampak batang hidungnya. Ada apa sebenarnya, padahal hari ini aku akan mengangkatnya sebagai Kanuruhan, tanpa kehadiran mereka, upacara pelantikan tidak akan dilaksanakan,"
"Hei, Rayi Mas Prabu... " kata Raden Bentar, "Lihatlah ada beberapa orang prajurit datang tergopoh-gopoh..."
"Oh, itu prajurit yang hamba perintahkan untuk menjemput Permadi dan Shakila. Hai, prajurit masuklah... cepat laporkan apa yang sudah terjadi ? Mengapa Permadi dan Shakila tidak ikut bersamamu ?"
"Ampun, Gusti Prabu.... hamba sudah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuan Hulubalang untuk menjemput Tuan Permadi dan Gusti ayu Dewi Shakila... hamba mohon maaf... mereka berdua tidak ada di kediamannya,"
"Kurang ajar ! Berani sekali mereka meninggalkan Madangkara tanpa seijinku ! Perintahkan beberapa prajurit bersenjata lengkap, untuk mencari dan menangkap mereka !" ujar Prabu Wanapati gusar.
"Maaf, menyela Rayi Mas Prabu..." kata Raden Bentar, "Mungkin mereka ada urusan mendadak di luar sana... jadi, harap Rayi Mas Prabu jangan buru-buru mengambil tindakan,"
"Lalu, bagaimana menurutmu, kakang.... apakah harus didiamkan saja perbuatan mereka ? Jika dibiarkan, itu akan menjadi contoh yang buruk bagi para pejabat istana yang lain. Mereka adalah dua orang pejabat tinggi istana ini, kemanapun mereka pergi, harus seijinku... bukannya keluar tanpa kabar seperti ini. Mereka telah menghinaku,"
"Kendalikan diri Rayi Mas Prabu... kita tunggu dulu sebentar.... jika, masih menampakkan diri, hambalah yang akan mencarinya," ujar Raden Bentar.
Baru saja Raden Bentar menutup mulutnya, beberapa orang prajurit jaga muncul sementara di belakangnya tampak beberapa prajurit lain juga hadir sambil membawa dua buah tandu. Semua orang tersentak manakala mengetahui siapa yang terbaring di atas tandu itu. Permadi dan Shakila. Mereka terbaring lemas, tidak berdaya. Sekujur tubuhnya, matang biru, seperti habis dicengkeram oleh tangan-tangan raksasa, linglung dan pandangan matanya seakan kosong.
Permadi dan Shakila dibawa ke hadapan Prabu Wanapati. Kening raja muda itu berkerut, Raden Bentar dan Dewi Garnis membelalakkan mata melihat keadaan mereka.
"Apa yang terjadi pada mereka, Kakang Bentar ?" tanya Wanapati.
Raden Bentar tidak menjawab, ia menotok beberapa titik jalan darah di tubuh Permadi sementara Dewi Garnis juga melakukan hal yang sama pada Shakila.
Setelah mengurut tengkuk, pergelangan tangan dan punggung juga perut, Bentar dan Garnis menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Permadi dan Shakila.
Tak lama kemudian, dalam waktu yang bersamaan, Permadi dan Shakila memuntahkan darah merah kehitaman. Prabu Wanapati dan semua yang ada di Balairung istana bergidik menyaksikan kejadian itu.
Permadi dan Shakila membuka kedua belah kelopak matanya, masih terlihat sayu, lemas, tak bertenaga juga mungkin kaget atas apa yang telah menimpa mereka. Keadaan mereka, tidak memungkinkan menjelaskan apa yang sudah terjadi.
"Prajurit, dimana kalian menemukan mereka ?" tanya Prabu Wanapati kepada salah seorang prajurit yang duduk di lantai istana sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berani mengangkat atau bahkan menatap wajah junjungannya itu.
"Hamba, Gusti Prabu... kami sebenarnya, baru datang dari Tanjung Singguruh melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gusti Prabu beberapa waktu yang lalu. Kami pulang mengambil jalan pintas agar sampai di Madangkara tepat waktu... Hutan Kana Gini. Sebelah Timur kerajaan, disana kami kebetulan berpapasan dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dia meminta bantuan kami menuju Timur untuk melerai tiga orang yang sedang terlibat pertarungan sengit. Kami menurut, saat kami tiba di tempat yang dimaksud... kami hanya mendapatkan Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila tergeletak tak berdaya sementara pemuda yang meminta bantuan kami, sudah tidak bersama-sama dengan kami... maka, rombongan terpaksa dipecah, sebagian kembali ke istana dan melaporkan hal ini pada Panglima Kaupati, sebagian lagi menjaga Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila. Setelah mendapat keputusan dari Panglima Kaupati, kamipun membuat tandu untuk mengangkat tubuh mereka dan membawanya kemari," jelas prajurit itu.
"Kakang mas Raden Bentar, sebenarnya apa yang telah terjadi pada Shakila dan Permadi ?" tanya Wanapati.
"Kalau dilihat dari luka-luka yang dialami mereka... sepertinya, mereka terkena ajian serat jiwa. Tingkat pertama. Tapi, sedikit ganjil," jawab Raden Bentar, "Bagaimana menurut kak Garnis ?"
Dewi Garnis mengerutkan keningnya, "Benar. Ajian Serat Jiwa tingkat satu ... CAKRA MANGGILINGAN... Tetapi, terdapat perbedaan mencolok,"
"Di dunia ini, hanya beberapa orang yang benar-benar menguasai ajian serat jiwa sampai tingkat sepuluh... salah satunya adalah Ayahanda Brama Kumbara. Jikalau ada orang lain yang menguasainya, mereka semua sudah ditaklukkan oleh Ayahanda. Mengapa sekarang muncul lagi setelah sekian lama ajian itu boleh dibilang tidak ada yang menguasainya hingga tingkat sepuluh," ujar Bentar.
"Kak Bentar dan Kak Garnis, bukankah kalian juga termasuk orang-orang yang menguasai ajian Serat Jiwa itu ?" tanya Wanapati.
"Benar, tapi tidak menimbulkan luka sehalus ini... pemilik ajian ini, pasti memiliki tingkat kepandaian yang sama dengan Ayahanda," ujar Bentar.
"Kita harus menyelidikinya, Adi Bentar," Garnis mengusulkan.
"Tidak ada orang lain yang bisa menyamai ilmu kepandaian Ayahanda Brama. Itu tidak mungkin," sahut Wanapati. Raja muda itu mengalihkan pandangannya ke arah prajurit, "Prajurit... apakah kau masih ingat bagaimana perawakan tubuh orang yang kau maksud itu ?"
"Daulat, Gusti Prabu... orang itu mengenakan cadar hitam, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Tutur katanya begitu ramah dan sopan, dan pakaiannya bagai seorang brahmana, namun, berwarna hitam," jelas prajurit itu.
"Jadi, kau tak melihat wajahnya ?" tanya Wanapati lagi.
"Tidak, Gusti Prabu..."
"Hmm, tampaknya Madangkara ini mulai tidak aman... ada orang-orang yang sengaja membuat kerusuhan di Negeriku,"
"Ampun Gusti prabu," hulubalang Kaupati menyela, "Bagaimana jika hamba pergi untuk mencari tahu siapa orang itu ?"
Wanapati terpaku, wajahnya tampak tegang, tubuhnya bergetar hebat, ia mengepalkan kedua tangannya keras-keras hingga urat nadi dan otot-ototnya bertonjolan keluar. "Kurang ajar sekali orang itu, melukai dua orang istana... itu artinya, sama dengan melemparkan kotoran ke wajahku," desisnya geram. Ia menoleh ke arah Raden Bentar lalu bertanya.
"Kak Garnis , Kak Bentar... bagaimana menurut pendapatmu ?"
"Ampun, Gusti Prabu sebaiknya, biar hamba dan kak Garnis yang mencari tahu dimana keberadaan orang itu... bukannya hamba meremehkan kemampuan Hulubalang Kaupati... Sebaiknya, biarkan paman Kaupati di istana untuk berjaga-jaga. Madangkara membutuhkan tenaga, pikiran dan bantuan Paman Kaupati. Hamba khawatir akan keselamatan Gusti Prabu," jelas Bentar.
"Hmm, aku jadi teringat peristiwa dimana negeri kita kedatangan 2 orang biksu dari Tibet. Kekacauan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri, hanya karena kesalah pahaman belaka. Aku tidak menginginkan peristiwa itu terjadi lagi. Ibunda Dewi Paramitha, hamba mohon saran," kata Wanapati.
Dewi Paramitha, isteri pertama Brama Kumbara itu, sekalipun usianya sudah lanjut, namun, masih tetap jelita... tidak ada garis-garis ketuaan terpeta di wajahnya... sepasang matanya memancar penuh welas asih dan kebijaksanaan memandang ke arah putera dan puterinya secara bergantian... ia tersenyum.
"Ibu merasa, usul kakakmu Bentar itu bagus," kata Dewi Paramitha yang kemudian memandang ke arah Bentar dan Garnis yang tengah menundukkan wajah, secara bergantian.
"Bentar.... Garnis ....," sapanya lemah lembut.
"Daulat Ibunda," sahut mereka bersamaan.
"Menurut ibu, jika hanya mencari tahu identitas orang bercadar itu, mengapa kalian tidak menitahkan Paman Jalateja dan Jalatuka saja ? Mereka adalah dua diantara sekian banyak Panglima yang memiliki anak buah, tersebar di pelosok negeri ini,"
"Ampun Ibunda, Paman Jalateja dan Jalatuka masih bertugas menyelidiki kebenaran tentang kedatangan beberapa orang asing yang berasal dari Sunda Galuh... kami mendengar berita bahwa orang-orang Kuntala yang masih tersisa disana. Tersiar kabar bahwasannya, mereka kembali menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Madangkara," jelas Garnis.
"Kurang ajar !" seru Wanapati dengan suara gusar, "Orang-orang Kuntala itu, masih saja berani merongrong kewibawaan kerajaan Madangkara, ini tidak bisa dibiarkan," sambungnya.
"Mudah-mudahan itu hanya kabar burung semata, Gusti Prabu... para pendahulu kita, sudah bekerja keras menekan setiap pergerakan yang mencurigakan dan menghukum beberapa tokoh besar Kerajaan Kuntala. Bahkan, paman Kijara dan Paman Lugina sudah mengabdikan diri dan hidupnya kepada Madangkara yang kita cintai ini. Kalaupun masih ada yang ingin memberontak, kurasa itu adalah tindakan yang teramat sangat bodoh," kata Raden Bentar.
"Perkataanmu benar, kakang. Kalaupun Kuntala masih berani memberontak, kita akan membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Sejarah sudah membuktikan bahwa Madangkara, adalah sebuah negara besar. Terlalu tangguh untuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kuntala," ujar Wanapati.
“Hutan Kana Gini, letaknya tak jauh dari sini, jika perkiraan hamba tidak salah .... orang bercadar itu masih berada di sekitar hutan tersebut. Ibunda, Rayi Mas Prabu, hamba dan Kak Garnis berangkat dulu. Siapa tahu, masih sempat mengejarnya,” kata Bentar.
“Bentar, Garnis, berhati hatilah ...”pesan Dewi Paramitha.
“Baik, Ibunda,” ujar Garnis dan Bentar. Sekali jejak tubuh dua muda – mudi itu melesat meninggalkan balairung istana menyisakan hembusan angin dingin yang membuat tubuh semua orang menggigil. Dalam sekejab mata, tubuh Garnis dan Bentar sudah menghilang dari pandangan semua orang.
___
Dewi Garnis dan Raden Bentar tiba di pinggiran hutan Kana Gini, sepasang mata mereka menyapu ke setiap sudut hutan, sementara, kaki – kakinya sudah mulai menapaki rerumputan hijau yang membentang bagai permadani di sepanjang jalan menuju ke dalam area hutan.
“Seandainya, kita tidak memburu orang yang mencelakai Permadi dan Shakila, mungkin kita akan menghabiskan waktu bersama di tempat ini, kak Garnis...” kata Bentar.
“Kau Benar, Bentar... hutan ini begitu alami, jauh dari tangan – tangan kotor manusia yang congkak, sombong dan angkuh. Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu Ayahanda Brama di rumah Paman Ganggadara. Di tempat itu, suasananya mirip sekali dengan tempat ini. Di tempat itu pula, aku bertemu dengan Ayahanda Brama Kumbara, kukira itu mimpi, tapi, kenyataan. Hadir dengan segala kesederhanaannya, sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau adalah raja dengan segala kemewahannya,” jelas Dewi Garnis, sementara, Raden Bentar hanya melempar senyum.
Mereka kembali melangkah dengan penuh kewaspadaan menyusuri sepanjang jalan hutan itu sementara, semakin ke dalam mendadak hawa semakin dingin. Hawa dingin yang aneh, embun – embun yang masih menempel pada tanaman dan semak belukar perlahan – lahan berubah menjadi es, sementara, sebagian kabut yang masih menutupi hutan itu, perlahan – lahan berubah menjadi butiran – butiran salju.
“Salju Menyiram Bumi,” kata Bentar, “Kak Garnis, cepat alirkan tenaga dalammu ke sekujur tubuh dan aliran darahmu untuk membendung hawa dingin yang menusuk ini,”
Mereka berdua segera duduk bersila, dua tapak tangan menyatu diletakkan pada dada, sementara sepasang matanya terpejam.
Beberapa saat kemudian, saat membuka kelopak matanya, salju sudah turun dengan derasnya. Jika saja Garnis dan Bentar tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, tubuh mereka akan membeku oleh hawa dingin yang menusuk itu.
Langkah – langkah Raden Bentar dan Dewi Garnis tertahan, hembusan angin dingin itu semakin lama semakin kencang, sebagian tanaman di sekitar tempat itu perlahan – lahan berubah menjadi salju dan es. Jika dua muda – mudi itu tidak memiliki ilmu dan tenaga dalam yang cukup tinggi, mungkin nasibnya akan sama dengan tanaman – tanaman itu.
“Adi Bentar,” panggil Dewi Garnis.
“Ada apa, kak Garnis ?”
“Jika terus – menerus seperti ini, tidak akan ada habisnya. Lihatlah, tanaman dan pepohonan di sekitar kita tertutup oleh salju dan es. Jelas ada orang yang berulah. Dia bukanlah orang sembarangan. Menurutku, dialah yang menyerang Permadi dan Shakila,”
“Akan kucoba menggunakan ILMU IKATAN ROH tingkat pertama untuk mencari dimana orang itu. Yang jelas tidak jauh dari sini,” kata Bentar.
“Aku akan menggunakan CIPTA DEWI tingkat pertama untuk mengembalikan serangannya. Tapi, hei apa itu di depan kita,”
Raden Bentar segera mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Garnis. Sepasang matanya terbelalak, mulutnya ternganga, “Jagat Dewa Batara ....”
Dalam jarak lebih kurang 2 – 3 tombak di hadapan mereka tampak kepingan – kepingan es bertumpuk – tumpuk membentuk pusaran bak angin puting beliung bergerak semakin lama semakin dekat. Suaranya bagaikan raungan sosok raksasa, keras memekakkan telinga, membuat bergidik siapapun yang mendengarnya. 2 muda – mudi itu terpaku sesaat lamanya, tubuh mereka seakan tersedot. Tapi, dengan AJIAN PAKU INTI BUMI, kedua kaki mereka seakan terbenam di dalam tanah.
“Kak Garnis, tampaknya kita harus menggabungkan seluruh kepandaian yang kita miliki untuk menghancurkan badai es itu,”
CIPTA DEWI dan ANGIN ES bergabung menjadi satu. Tubuh 2 muda – mudi itu seakan dikelilingi oleh bola raksasa berwarna putih keperakan. Mereka sempat terdorong beberapa tindak. Otot dan urat nadi mereka bertonjolan keluar, wajah mereka menegang. Sesekali Badai es berhasil menekan pertahanan Garnis dan Bentar, sesekali pula mereka pun berhasil menekan badai es. Untuk sesaat dua muda – mudi itu berkutat sengit dengan badai es dan hawa dingin yang menusuk mereka berteriak nyaring, “ANGIN ES !! CIPTA DEWI !!”
“DDUUAARR !!!”
Sebuah ledakan keras terjadi, suaranya membahana ke seantero hutan KANA GINI. Tubuh Garnis dan Bentar terpental sejauh satu tombak, setelah bersalto dua kali, barulah mereka bisa memperbaiki posisi tubuhnya dan mendarat dengan mulus di tanah. Peristiwa yang menegangkan beberapa menit lalu perlahan – lahan kembali menjadi tenang. Akan tetapi, keadaan di sekeliling mereka berantakan.
“Kak Garnis, kakak tidak apa – apa ?” tanya Bentar.
“Tidak apa – apa, Bentar... bagaimana denganmu ?”
“Akupun tidak apa – apa, kak. Hanya saja aku heran, siapa pemilik ilmu tersebut. Jika diteruskan, hutan ini bisa hancur. Dia benar – benar luar biasa,” kata Bentar.
“Ilmu yang dirapalnya adalah gabungan dari Ajian Serat Jiwa tingkat satu dan Ajian Salju menyiram Bumi,” desis Garnis.
“Benar, kak Garnis... tadi Ilmu Ikatan Roh tadi belum sempat kurapal, aku akan mencobanya sekali lagi,” kata Bentar sambil kembali duduk bersila, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, matanya terpejam sementara bibirnya komat – kamit. Ilmu Ikatan Roh warisan Biksu Kampala dari Tibet itu telah dirapal.
ILMU IKATAN ROH terdiri dari beberapa tingkat yang masing – masing memiliki keistimewaan sendiri dan saling berhubungan. Tingkat pertama adalah membuka 7 Cakra : CAKRA MULADHARA ( Cakra Dasar ), melambangkan fondasi atau pusat energi dari tubuh fisik, kehidupan materi, dan semangat hidup seseorang. Pada tubuh manusia, cakra ini terletak di dasar tulang belakang atau tulang ekor.
CAKRA SEKS ( Cakra Swadhisthana ), berhubungan dengan reproduksi dan berperan penting terhadap aktivitas seksual seseorang. Cakra yang berada di tulang pelvis ini juga berhubungan dengan cakra tenggorokan yang berfungsi dalam penciptaan kreativitas atau ide. Seseorang dengan Swadhisthana yang baik akan memiliki pikiran lebih positif dan percaya diri. Sebaliknya, seseorang akan bersikap kasar, kurang kreatif, dan berpikir negatif jika Swadhisthana-nya buruk.
CAKRA MANIPURA Berada di sekitar pinggang dan pusar, cakra Manipura berperan dalam mempertahankan vitalitas seseorang.
Seseorang dengan Manipura buruk akan mengalami iri hati, rasa malu, dan perasaan tidak nyaman dalam diri. Namun, mereka yang memiliki cakra yang baik akan merasa aman, nyaman, bebas mengekspresikan jati dirinya, dan percaya diri.
CAKRA JANTUNG ( Cakra Anahata ). Menjadi penghubung antara cakra bawah dan atas, cakra jantung atau Anahata terbilang sangat penting dalam spiritual karena melambangkan simbol cinta kasih dan penyembuhan. Seperti namanya, cakra jantung memengaruhi kemampuan Anda untuk memberi dan menerima cinta, baik dari orang lain maupun diri sendiri. Semakin baik Anahata seseorang, ia akan semakin merasakan kasih sayang dan empati dalam dirinya. Sementara, seseorang dengan Anahata yang buruk akan mengalami kesulitan membuka diri dan dipenuhi rasa sombong dan egois.
CAKRA TENGGOROKAN ( Cakra Vishuddha ) Serupa dengan namanya, cakra ini terletak di tenggorokan manusia. Cakra tenggorokan atau Vishuddha merupakan pusat terciptanya kreativitas dan hubungan sesama manusia. Ketika berfungsi dengan baik, seseorang dapat mengekspresikan dirinya dengan benar dan jelas. Namun, jika seseorang memiliki Vishuddha yang buruk, ia akan merasa kesulitan menemukan kata-kata tepat untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
CAKRA AJNA atau yang dikenal dengan mata ketiga. Berada di antara kedua mata, tepatnya di dahi manusia, Ajna dapat mentransfer energi ke kedua mata, hidung, dan kelenjar pituitari. Masalah emosional di area ini meliputi intuisi, imajinasi, kebijaksanaan, kemampuan untuk berpikir, dan membuat keputusan. Merupakan titik pemusatan dan pengatur cakra-cakra di bawahnya
CAKRA MAHKOTA cakra tertinggi yang berada di atas kepala, tepatnya pada area otak dan sistem saraf (ubun-ubun). Sahasrara melambangkan kemampuan seseorang untuk terhubung sepenuhnya secara spiritual. Jika berkembang secara sempurna, ia dapat memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Sayangnya, Sahasrara juga punya dampak negatif bagi seseorang, misalnya mudah depresi, stres, serta sulit memahami sesuatu dan mengasingkan diri.
Tingkat pertama dari Ilmu Ikatan Roh diberi nama MENYATU DENGAN ALAM. Dengan membuka ketujuh cakra tersebut, membiarkan udara yang ada di alam semesta ini masuk dan mengalir ke dalam tubuh maka mampu membuat kelima organ dalam seakan terlindungi dari berbagai serangan dari luar. Singkatnya, mampu menjadikan tubuh kita sebagai perisai. Dari situlah, akan muncul sebuah energi mengalir, ke setiap urat nadi dan pembuluh darah. Energi tersebut dipusatkan pada satu titik, yang nantinya bisa dijadikan senjata yang mematikan.
Dulu sewaktu BIKSU KAMPALA bertanding dengan BRAMA KUMBARA, ia merapal ilmu Ikatan Roh tingkat pertama ini dengan menggunakan dahan, ranting dan daun sebagai senjata. Ia menamai tingkat pertama ini dengan sebutan PAKU MEGA. Jika Brama Kumbara bukan orang yang sakti mandraguna, pastilah akan tewas seperti para pendekar lainnya.
“SING ! SING ! SING !”
Kini Bentar merapal ilmu itu dengan menggunakan daun dan kerikil sebagai senjata dan melemparkannya ke depan tepat dimana Badai Es itu datang. Akan tetapi, daun es itu mengapung di udara, membuat Bentar dan Garnis terpana. Perlahan – lahan daun itu berbalik dan menyerang ke arah mereka.
“SING ! SING ! SING !”
“DUAR ! DDUUAARR !! DDDUUUAAARRR !!!”
Desiran angin dingin dan tajam menerpa wajah putera – puteri Madangkara itu. Mereka berhasil menghindari serangan balik tersebut, tapi tidak bagi pepohonan dan bebatuan yang berada di belakang mereka. Pepohonan dan bebatuan itu hancur berantakan.
“Bedebah !!” umpat Garnis wajahnya merah padam dan sepasang matanya yang bak memancarkan bara api, nyalang... menatap lurus ke depan.
“Hm, yang mampu mengembalikan ILMU PAKU MEGA di dunia ini, mungkin hanya Ramanda Brama dan Guru Kampala. Tapi, kini ada satu orang lagi yang mampu mematahkan serangan itu. Aku benar – benar penasaran dibuatnya,” kata Raden Bentar sambil tertawa tawar.
“Sebaiknya kita menyerang bersamaan, jika terus - menerus seperti ini, kita bisa mati konyol,” kata Garnis geram bercampur kesal.
“Serangan kita tanggung, kak... mungkin kita terlalu meremehkan lawan, kak. Tampaknya, kita harus menggabungkan semua jurus yang telah kita pelajari selama ini,” ujar Bentar, “Hebat sekali orang ini. Sayangnya, dia tidak mau menampakkan diri. Maka, akulah yang harus menemuinya lewat ILMU IKATAN ROH,”
“Iya, benar. Kita harus mengubah cara kita bertarung, Adi Bentar,” kata Garnis untuk kemudian mendekatkan bibir ke telinga Raden Bentar dan berbisik. Bentar menganggukkan kepala.
..._____...
Dewi Garnis menyilangkan kedua tapak tangannya di depan dada, matanya terpejam rapat, bibirnya komat – kamit dan beberapa saat kemudian, tubuhnya bagai dikelilingi oleh cahaya kuning keemasan. Mendadak angin berhembus semakin lama semakin kencang. BAYU BAJRA telah dirapal sementara, Bentar hanya duduk diam bagai sebongkah arca batu, sepasang matanya seakan menyapu ke setiap sudut hutan. ILMU IKATAN ROH tingkat dua dirapal. BERSATU DENGAN ALAM.
Pada tahap kedua ini, sekalipun tubuh Bentar berada di tempat itu, akan tetapi roh atau sukmanya berada di tempat lain.Seluruh panca inderanya dipusatkan pada alam sekitar. Jika sudah berada pada tahap ini, maka, dia mampu berkomunikasi dengan alam. Seluruh cahaya adalah mata, setiap desiran angin adalah tarikan dan hembusan nafas. Seluruh alam adalah PANCA INDERA. Dengan demikian yang tak kasat mata menjadi nampak. Apa yang tidak terdengar menjadi terdengar. Maka Raden Bentar mampu mendeteksi dimana keberadaan lawannya.
Dari ubun – ubun Bentar mengepul asap putih tipis, melayang – layang di udara, menyebar ke segala penjuru mata angin. Sementara, AJI BAYU BAJRA mengiring asap tersebut, hingga terhenti pada sesosok bayangan hitam duduk bersila. Begitu tenang dan santai di pucuk sebuah pohon cemara. Jaraknya 10 tombak dari tempat Raden Bentar dan Garnis berada. Sosok itu mengenakan pakaian sebagaimana dikenakan oleh para begawan dan bercadar hitam.
“Selamat datang, orang – orang gagah ... aku sudah menunggu kedatangan kalian. Kembalilah kau ke tubuhmu, panggillah pula saudaramu kemari. Aku takkan kemana – mana,”
“Bagaimana, Adi Bentar ? Apakah kau sudah menemukan dimana orang itu berada ?” kata Garnis saat tubuh Raden Bentar sudah mulai bergerak.
“Sudah, kak Garnis. Dia duduk di salah satu pucuk daun pohon cemara 10 tombak di depan kita. Dia juga ingin bertemu dengan Kak Garnis,”
“Hm, baiklah. Marilah kita ke tempat dimana dia berada...” ujar Garnis.
Dua putera – puteri kerajaan Madangkara segera bergegas meninggalkan tempat itu. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, mereka melompat di antara bebatuan, pohon demi pohon, hingga akhirnya sampailah di tempat dimana orang bercadar hitam itu berada.
“Hm... Ramanda kalian pastilah bangga memiliki putera – puteri sakti mandraguna seperti kalian. Bentar dan Garnis,”
Suara itu berat, penuh karisma dan berwibawa, membuat sekujur tubuh Raden Bentar bergetar hebat, sebuah perasaan yang mengingatkan pada ayah angkatnya BRAMA KUMBARA. Sementara Garnis yang semula kesal dan naik darah karena semua ilmu kadigjayaannya dimentahkan oleh orang bercadar itu, jadi salah tingkah. Keadaannya sama dengan Raden Bentar.
Orang bercadar itu sama sekali tidak merasa terusik dengan kedatangan 2 muda – mudi itu, ia tetap duduk tenang sedang sepasang matanya menatap lurus jauh ke depan seakan hendak menembus cakrawala yang jauh disana.
“Duduklah di sampingku, wahai orang – orang gagah. Itu ada ranting menyeruak diantara rimbunan daun cemara,” Perkataannya ini dimaksudkan untuk menguji setinggi mana ilmu Peringan Tubuh Bentar dan Garnis. Rasanya tidak mungkin duduk pada ranting - ranting kecil itu, sebab, apabila orang tersebut tidak memiliki ilmu kepandaian apa – apa, ranting itu patah dan orang itu akan jatuh terbanting di tanah, tewas seketika.
“Apa kalian takut ?” tanya orang itu.
Bentar dan Garnis saling pandang, menganggukkan kepala, melompat ringan, mendarat dan segera duduk di ranting – ranting tersebut. Kini di atas pohon cemara itu telah duduk 3 orang berilmu tinggi. Sepintas, mereka bak 3 ekor burung hinggap pada dedaunan dan ranting, akan tetapi, jika diamati lebih lanjut, orang bercadar itu sebenarnya tidak duduk di pucuk daun cemara melainkan jarak antara pucuk daun dengan pantatnya hanya sebatas beberapa inci saja. IA MELAYANG.
“Bentar, Ilmu Ikatan Rohmu mulai tumpul, tak sedahsyat dulu sewaktu kau kembali dari Tibet, apakah kau jarang melatihnya ?” tanya orang bercadar itu, “Pantas saja nenek Lejar bisa mengalahkanmu beberapa waktu yang lalu,”
“Benar, Tuan... saya jarang melatihnya. Bagaimana Anda bisa tahu ?” tanya Bentar.
Orang itu tidak menjawab. Ia diam sesaat lalu kembali berkata, kali ini perkataannya ditujukan kepada Dewi Garnis. “Dan kau Garnis, sejak kapan kau menguasai Aji Bayu Bajra ? Sayangnya, masih mentah. BAYU BAJRA, mirip sekali GELOMBANG PRAHARA milik Saudara Kampala dari Tibet. Jika dua ilmu tersebut bertemu, sulit rasanya menentukan siapa yang lebih unggul,”
“Maaf, tuan...” sapa Raden Bentar hormat, “Anda tahu banyak tentang ilmu – ilmu kadigjayaan milik Ramanda Brama dan Biksu Kampala, guru saya. Jika kami boleh tahu, siapakah nama Anda dan Apa maksud kedatangan Anda ke Madangkara ini ?”
“Madangkara, diambang kehancuran,”
Singkat, jelas dan padat. Itulah kata – kata yang terlontar dari mulut orang bercadar itu. Bagaikan petir menggelegar di siang bolong, begitulah perasaan dua putera – puteri angkat Brama Kumbara itu.
Mereka tersentak, “Apa maksud Anda, Tuan ?” tanya Bentar dan Garnis bersamaan.
“Saya kira, keluarga besar kerajaan Madangkara masih ingat dengan peristiwa PATIH KANDARA, bukan ?!” ujar orang bercadar itu.
Beberapa tahun yang lalu, setelah Brama Kumbara mengundurkan diri sebagai Raja Madangkara dan menunjuk Wanapati sebagai raja. Karena dialah satu – satunya pewaris tahta kerajaan walau ditentang banyak pihak, karena menurut mereka Wanapati masih terlalu muda dan belum berpengalaman. Bagi mereka yang cocok menggantikan Brama adalah Raden Bentar. Namun, titah raja bagai sabda para Dewa yang tidak dapat atau tidak boleh ditentang. Siapa yang berani melawan titah Raja sama saja menggali kubur sendiri dan dianggap sebagai pemberontak.
Setelah menjadi Raja, Madangkara bergolak. Di daerah – daerah kecil terjadi pemberontakan, musuh – musuh Brama yang masih menyimpan dendam terhadap Madangkara bermunculan, yakni orang – orang Kuntala yang dipimpin oleh Bu Karti berikut antek – anteknya. Puncaknya adalah terjadinya perang saudara antara Prabu Wanapati dengan Raden Paksi Jaladara ( putera adik tiri Brama Kumbara, GUSTI AYU DEWI MANTILI SI PEDANG SETAN ).
Sebenarnya, perang itu tak perlu terjadi jika seandainya Prabu Wanapati tidak terhasut oleh bujukan KANDARA, orang Kuntala yang berhasil menyusup ke istana dan menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh di lingkungan istana, PATIH. Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai Mahapatih, Kandara berhasil menciptakan konflik di kalangan istana dalam hal ini Prabu Wanapati dan Raden Paksi Jaladara.
Dalam upayanya mendamaikan Wanapati dan Paksi Jaladara, Raden Bentar dan ibunya Dewi Paramitha harus rela pindah ke Kadipaten Singkur yang jaraknya dengan Madangkara, cukup jauh. Di tengah perjalanan, rombongan Raden Bentar dihadang oleh kaki tangan Kandara. Raden Bentar sendiri terluka oleh Ajian Serat Jiwa tingkat delapan : BAYU BAJRA milik Kandara yang dilontarkan dari jarak jauh. Tubuh Raden Bentar melayang tinggi ke udara, saat hendak terbanting, Rajawali raksasa tunggangan Brama datang menyambar dan membawanya ke Goa Pantai Selatan. Disinilah Bentar menyembuhkan luka – lukanya dan memperdalam ajian Serat Jiwa dan Lampah Lumpuh.
Selesai memperdalam 2 ilmu tersebut Bentar kembali melanjutkan petualangannya sekaligus mencari Kandara untuk menutut balas. Akan tetapi, terdengar kabar bahwa Kandara sudah tewas di tangan SOMA WIKARTA, seorang murid Mantili yang berkhianat, bersekutu dengan MARIBA, SI KELABANG HITAM dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa.
Demi mengembalikan citra dan nama baik Padepokan Gunung Wangsit milik Bibinya, DEWI MANTILI, Bentar mencari Soma Wikarta. Adalah takdir jualah yang mempertemukan Bentar dengan Soma. 2 tokoh ini terlibat pertarungan sengit dan Soma Wikarta berhasil dikalahkan, membuat pria itu bertobat dan menjadikannya sebagai orang yang setia sampai mati terhadap Dewi Mantili dan Madangkara. Ingatan – ingatan itu muncul begitu saja di benak Bentar bagaikan slide sebuah adegan film yang diputar berulang – ulang.
“Tuan... tampaknya, Anda tahu banyak tentang kejadian yang menimpa Kerajaan Madangkara. Siapa sebenarnya Anda ini ?” tanya Bentar.
Diam bagai sebongkah arca batu, demikianlah reaksi orang bercadar itu. Raden Bentar tahu bahwa orang ini, tidak ingin namanya diketahui oleh orang lain. Maka, Bentar mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.
“Maaf, Tuan... Apakah benar Anda yang telah melukai Permadi dan Shakila dengan Ajian Serat Jiwa tingkat satu CAKRA MANGGILINGAN ?” tanya Bentar.
“Benar. Alasannya, sederhana... mereka adalah orang – orang Kuntala yang menyusup ke Madangkara,” sahut orang bercadar itu.
“Jangan bicara sembarangan !” ujar Garnis geram, “Madangkara sampai kini baik – baik saja... lalu kau datang dan mengacau ! Apa sebenarnya maksud kedatanganmu ?!”
“Tuan... itu tidak mungkin,” kata Bentar, “Mereka ikut berjuang bersama kami saat Kerajaan SITU GILANG menyerbu Madangkara. Mereka pulalah yang turut membongkar rencana jahat RADEN BENTAR palsu atau RADEN KUDA SENGARA dari kadipaten BANYU ABANG. Tidak mungkin apabila mereka adalah orang – orang dari Kuntala,”
Wajah Dewi Garnis merah padam, biar bagaimanapun juga ia tidak mempercayai apa yang dikatakan orang bercadar hitam itu. Ia tertawa sinis, “Hei, orang asing ... siapa kau sebenarnya ? Atas dasar apa kau menuduh Permadi dan Shakila itu adalah orang Kuntala ? Jika kau tidak memiliki bukti – bukti yang kuat, jangan asal tuduh ! Atau, jangan – jangan diantara kau dan Permadi ada dendam sehingga kau memfitnahnya sedemikian rupa. Masihkah kau belum puas setelah melukai mereka dengan ajian Serat Jiwa-mu itu ?!”
“Tidakkah kalian berpikir, semua kejadian itu berhubungan ?! ....”
Suara itu dialiri oleh tenaga dalam yang tinggi, membuat muda – mudi itu terdiam seketika. Orang bercadar itu memalingkan wajah ke arah mereka, tatap matanya menyorot tajam penuh kewibawaan dan karisma, membuat siapapun tidak berani beradu pandang dengannya.
“Garnis, apakah kau masih ingat siapakah pemilik GELANG KEMALA NAGA HIJAU ini,” kata sosok bercadar hitam itu sambil mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya ke depan hidung Garnis. Bukan hanya Dewi Garnis tetapi juga Raden Bentar, mereka sama – sama membelalakkan mata, “Ge... Ge... Gelang Kemala Naga Hijau ...” serunya bersamaan.
“I... Itu adalah gelang Kemala Naga Hijau milik ... milik ... milik KakangWidura ! Darimana kau mendapatkannya ?” tanya Garnis.
“Tuan, apa yang sudah terjadi padanya ? Dimanakah dia sekarang ? Apakah dia baik – baik saja ?” Bentar juga ikutan bertanya.
“Dalam perjalanan menuju Blambangan, Widura dihadang oleh orang – orang suruhan Permadi,” sahut orang bercadar itu sambil menyerahkan gelang berwarna hijau tua itu ke arah Garnis. Buru – buru Garnis menyambar dan mengamati gelang itu lekat – lekat. “Iya... ini benar – benar milik Kakang Widura,” katanya sambil merogoh saku dan mengeluarkan sebuah gelang berwarna hijau muda, “Gelang berwarna hijau muda ini adalah milikku. Kami membelinya di pasar tak jauh dari ibukota sebelum kembali ke Madangkara. Bagaimana ini bisa berada di tanganmu, orang asing ?”
“Apa yang terjadi di Madangkara, tidak luput dari pengamatanku, anak muda. Aku tahu semuanya, termasuk pemberontakan yang dipimpin oleh Adipati Pulungan. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan oleh SEPASANG WALET PUTIH... Permadi dan kau, Garnis. Harus kuakui, pemuda yang bernama Permadi itu luar biasa cerdik, licin, dan cerdas. Gelagatnya mirip sekali dengan Kandara. Hubunganmu dengan Widura kembali diuji, Garnis ” jelas orang bercadar itu.
“Tuan, tadi Anda berkata bahwa kakang Widura dihadang oleh orang – orang suruhan Permadi sewaktu kembali menuju Blambangan. Apakah itu benar ?” tanya Bentar.
“Aku tadi sudah mengatakannya. Gelang Naga Kemala hijau itu buktinya. Dalam perjalanan menuju Blambangan, Widura dihadang oleh 10 orang pendekar berilmu tinggi. Mereka adalah pembunuh – pembunuh bayaran suruhan Permadi dan kawan – kawannya. Semula aku tidak ingin ikut campur, akan tetapi, mengingat hubunganku dengan Brama Kumbara dan juga Widura, boleh dibilang Widura memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Madangkara, terpaksalah aku turun tangan ...”
Berikut ini adalah yang diceritakan orang bercadar itu kepada Bentar dan Garnis.
_____
Setelah memadamkan pemberontakan Adipati Pulungan, kepulangan Garnis dan Permadi disambut meriah oleh rakyat Madangkara. Sementara itu, Widura yang curiga dengan asal – usul Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala berusaha untuk mencegah penobatan gelar kehormatan dari Prabu Wanapati. Hal itu semata – mata dimaksudkan untuk mencegah masuknya kembali orang – orang Kuntala yang berniat merongrong kewibawaan Kerajaan Madangkara.
Demi mengumpulkan bukti – bukti untuk membongkar kedok Permadi dan Shakila, Widura rela meninggalkan Madangkara menuju Banten Girang yang jaraknya cukup jauh dari Madangkara. Sekalipun dibantu dengan Ranti, salah seorang Kuntala yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi gerak – gerik Widura, pria asal Blambangan itu tidak mendapatkan keterangan sedikit pun tentang Permadi dan akhirnya kembali ke Madangkara dengan tangan hampa.
Sekembalinya ke Madangkara, Widura dan Ranti dihadang oleh sepasukan prajurit khusus Madangkara. Mereka terlibat perselisihan, Widura nyaris diseret oleh kuda – kuda dalam keadaan terikat, akan tetapi, muncullah Raden Bentar. Ranti dibebaskan dan kembali ke Banten Girang sementara Widura harus menjalani proses persidangan yang dihadiri Permadi dan Shakila.
Setelah melalui proses persidangan yang cukup rumit dan memakan waktu yang panjang, maka, diputuskan bahwa Widura harus kembali ke Blambangan. Siang itu juga Widura pulang ke Blambangan sementara rakyat Madangkara hampir seluruhnya menghadiri pesta yang diadakan oleh pihak Kerajaan sebagai ucapan syukur karena Garnis, Permadi dan Shakila berhasil memadamkan pemberontakan di Kadipaten Pulungan.
Di saat semua orang sedang berpesta , tak seorangpun mengetahui Permadi dan Shakila mengadakan pertemuan rahasia. Mereka terlibat silang pendapat, pertengkaran kecil. Shakila tidak mengerti, mengapa Permadi mengambil keputusan untuk melepaskan Widura, karena menurutnya Widura bagai duri dalam daging, harus disingkirkan agar tidak lagi menjadi penghalang rencana mereka di masa – masa yang akan datang.
“Tenanglah, Shakila... kau pikir aku akan membiarkannya keluar dari Madangkara hidup – hidup ? Tidak. Orang semacam dia, memiliki watak yang keras. Aku mengenal dengan baik watak – watak orang semacam itu ... TIDAK AKAN MENYERAH. Bagiku, orang semacam dia adalah penghalang, tetapi, bisa juga dimanfaatkan,” jelas Permadi.
“Apa maksudmu, Permadi ?” tanya Shakila.
“Untuk sementara waktu ini, dia takkan kembali ke Madangkara,” ujar Permadi, “Dia mungkin bisa kembali ke Blambangan untuk mencari dukungan, jika itu beruntung bisa sampai kesana. Tapi, tahukah, kau apa yang akan dihadapinya di tengah perjalanan ?”
“Jadi, kau ... kau ... “ujar Shakila.
“Aku sudah memberikan pesan singkat kepada Juragan Gurindar tentang kejadian ini. Aku juga memerintahkan Kentor dan Mamut untuk mengikutinya pergi ke Blambangan. Juragan Gurindar adalah saudagar yang kaya raya, memiliki banyak kenalan baik dari kalangan rakyat jelata, perampok, pendekar – pendekar berilmu tinggi, pejabat rendah hingga pejabat tinggi. Aku punya firasat, kelak ... cepat atau lambat, dia pasti kembali lagi... tapi, orang – orangku sudah bersepakat untuk memberikan informasi palsu ... jadi, butuh waktu yang cukup lama. Apa yang terjadi pada Widura, tinggal menunggu waktu saja. Selama mereka tidak ada yang berbuat macam – macam, maka, kita akan aman – aman saja. Aku yakin, Widura tidak akan pernah kembali ke Blambangan ataupun datang ke Madangkara ini lagi. Sementara, aku .... bukankah Prabu Wanapati telah memberiku kepercayaan penuh. Dan, jabatan tinggi sudah kuraih.... dia bisa apa ? Nah, mumpung sekarang di luar sana ada pesta meriah ... bukankah lebih baik menikmati saja pesta rakyat ini dengan baik,” jelas Permadi sambil tertawa diikuti dengan Shakila untuk kemudian kembali ke acara pesta rakyat tersebut. Mereka tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang terus menerus mengamatinya. Setelah mereka pergi, sesosok bayangan hitam berkelebat ringan melompat dari atap satu ke atap lain lalu menghilang.
..._____...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!