Wilhelmina, Percintaan Beda Usia

Wilhelmina, Percintaan Beda Usia

Terusir

Wilhelmina berkali-kali mengusap layar ponselnya, demi menghalau rasa gugup. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Untuk kesekian kali, gadis itu mencari sosok pria yang telah mengisi hari-harinya sejak beberapa bulan terakhir.

“Ah! Ke mana dia?” gerutu Wilhelmina. Kopi yang dipesannya sudah mulai dingin. Pelayan kafe bahkan sudah bersiap mengganti plang tulisan menjadi ‘closed’.

Wilhelmina berdecak pelan, lalu bangkit dari duduknya. Gadis cantik berambut coklat itu memilih pergi dari sana.

Kesal, Wilhelmina mendorong pintu sedikit keras, lalu berjalan keluar. Namun, baru beberapa langkah, terdengar seseorang memanggilnya. Dia pun menoleh dan mendapati seorang pria dengan ketampanan khas Indonesia berlari menghampiri.

Pria itu tersenyum manis setengah menggoda. “Lama, ya? Maaf,” ucap si pria seraya menyentuh pangkal hidung Wilhelmina menggunakan telunjuk.

“Ya! Kesungguhan laki-laki itu dilihat dari seberapa bagus dia menghargai waktu,” sindir Wilhelmina ketus.

“Kamu tahu sendiri, aku harus mencari alasan tepat untuk Marcella,” dalih si pria.

“Selalu begitu! Kenapa tidak terus terang saja pada istrimu tentang hubungan kita? Bukankah kamu sudah bosan padanya?"

“Jangan begitu, Sayang. Itu bukan sesuatu yang mudah."

Wilhelmina melipat kedua tangan di dada. “Kamu pikir aku ini bodoh? Kamu salah besar, Arga!"

“Tidak ada yang menganggapmu bodoh, Sayang.” Pria bernama Arga itu menangkup pipi Wilhelmina. “Ke apartemenku, yuk. Kita bisa mengobrol lebih bebas di sana,” ajaknya bernada merayu.

Wilhelmina berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju. Lagi pula, saat itu sudah tengah malam. Wilhelmina pikir tak ada salahnya menginap di apartemen sang kekasih.

Satu jam perjalanan mereka lalui, hingga tiba di kawasan apartemen mewah pinggiran kota. Arga mempersilakan Wilhelmina masuk lebih dulu. Barulah, dia menutup serta mengunci rapat pintu. Tanpa aba-aba, Arga langsung memeluk Wilhelmina dari belakang, kemudian menciumi leher gadis itu.

Wilhelmina terkejut. Dia langsung berbalik menghadap Arga. Gadis itu membalas perlakuan sang kekasih, dengan melingkarkan tangan di leher Arga. Wilhelmina balas menciumnya.

Sambil terus berciuman, Arga mengarahkan Wilhelmina ke sofa yang ada di tengah ruangan.

Pria itu sudah dibakar gairah. Dia begitu bernafsu menyingkap bagian bawah dress Wilhelmina sehingga terlihat paha mulus berbalut kulit seputih susu.

Namun, gerakan nakal tadi terhenti, ketika Wilhelmina menahan tangan Arga sekuat tenaga.

“Ingat perjanjian kita, Ga! Dilarang bercinta sampai kamu bercerai dengan Marcella,” tegas Wilhelmina.

“Astaga, Wili. Tega sekali kamu.” Arga terlihat kecewa. Hasratnya sudah di ubun-ubun, tetapi Wilhelmina menolak. Akhirnya, dia jadi pusing sendiri.

“Janji harus ditepati!” Wilhelmina mendorong tubuh Arga menjauh, agar dia bisa berdiri.

Namun, Arga tetap bergeming. Dia bahkan balas mendorong Wilhelmina sampai gadis itu kembali terbaring. “Ini apartemenku. Area kekuasaanku. Tidak ada yang bisa memerintahku di sini.” Arga menyeringai. Sorot matanya menyiratkan sesuatu, yang membuat Wilhelmina tak nyaman.

“Jangan gila kamu! Minggir!” sentak Wilhelmina. Dia tetap berusaha melawan Arga yang telah kesetanan. Wilhelmina terus berontak, meski pria itu menarik paksa bagian atas dressnya hingga robek sedikit. “Hentikan!” teriak Wilhelmina.

Akan tetapi, Arga tak menggubris. Dia berusaha mencium leher Wilhelmina.

Untunglah, saat itu ada celah bagi Wilhelmina. Gadis berambut coklat gelap itu menekuk kaki kanan, kemudian menghantam pangkal paha Arga menggunakan lutut.

“Aw!” Arga memekik kencang. Dia bergeser ke samping, lalu jatuh meringkuk di lantai.

Begitu ada kesempatan emas, Wilhelmina bergegas lari menuju pintu keluar dan membukanya dengan tergesa-gesa. Namun, dia terkejut bukan main, saat melihat seorang wanita sudah berdiri di depan pintu apartemen. Wilhelmina tahu bahwa wanita itu adalah Marcella, istri sah Arga. “Ka-kamu ….”

“Wanita murahan!” sentak Marcella sambil menampar kencang pipi Wilhelmina. Gadis cantik tadi bahkan sampai mundur beberapa langkah.

“Jangan, Ma!” cegah Arga yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Wilhelmina. Dia berusaha menjauhkan sang istri dari kekasih gelapnya.

“Bajingan kamu, Pa!” Marcella makin beringas. Dia memberontak sekuat tenaga agar terlepas dari cengkeraman Arga. “Ternyata benar isu perselingkuhan kalian selama ini! Ayah macam apa yang membesarkan wanita pelacur macam dia!” Marcella memberikan makian pedas. Telunjuknya lurus tertuju pada Wilhelmina yang tengah mengusap-usap pipi.

“Jangan sangkut-pautkan papaku dalam hal ini! Dia tidak bersalah!” balas Wilhelmina kesal.

“Oh, ya? Kita lihat apa tanggapan ayahmu nanti!” tantang Marcella.

“Hentikan, Ma! Pak Arsenio merupakan kolega pentingku. Jangan bawa-bawa dia dalam urusan seperti ini!” sergah Arga.

“Salahmu sendiri! Sudah tahu dia kolega penting, tapi kamu malah berani mengencani anaknya yang murahan ini!” Marcella tak mau kalah.

“Jaga bicaramu, Ma!” Arga mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia bersiap menampar sang istri.

“Apa? Mau menamparku? Ayo! Silakan! Di sini!” Marcella maju sambil menyodorkan pipinya. Membuat Arga seketika tersadar.

“Ma,” desis Arga penuh sesal. “Tolong,” pintanya lirih sambil memegang kedua lengan Marcella. Arga bahkan berusaha untuk memeluk wanita itu.

Menyaksikan sikap Arga yang demikian, Wilhelmina tak dapat berpikir jernih. Dia tak memiliki harga diri lagi. Terlebih, setelah Marcella memakinya tanpa henti.

Wilhelmina memutuskan pergi dari sana. Dia berlari tanpa menggubris panggilan Arga. Gadis itu juga tak peduli, saat Marcella kembali melontarkan kata-kata kasar dan menyakitkan. Wilhelmina, hanya ingin segera pulang, lalu memeluk sang ibu yang pasti tengah menunggunya di rumah.

Apa yang Wilhelmina pikirkan benar adanya. Setelah tiba di rumah, dia mendapati sang ibu sudah berdiri di anak tangga dengan tatapan tak biasa.

Begitu juga dengan seorang pria paruh baya yang terlihat sangat garang, yang berdiri di sebelah ibunda Wilhelmina. Dialah Arsenio, ayahanda gadis itu.

“Kalian belum tidur?” Wilhelmina memaksakan senyum, meskipun dirinya dapat merasakan sesuatu yang tak beres.

Bukannya menjawab, Binar, ibunda Wilhelmina, justru menangis tersedu. Lain halnya dengan sang ayah, yang melemparkan telepon genggam ke arah Wilhelmina.

“Aduh!” Wilhelmina meringis kecil, ketika benda pipih itu mengenai dadanya.

“Sekarang buka foto-foto yang baru dikirimkan padaku!” bentak Arsenio.

Wilhelmina tak berani membantah. Dia melakukan perintah sang ayah tanpa banyak bicara. Jantungnya seolah berhenti berdetak, saat membuka kotak pesan. Dia melihat foto-foto mesra dirinya bersama Arga. “Si-siapa yang mengirim ini?” tanyanya.

“Tidak penting siapa yang mengirim. Yang penting adalah isi pesan itu,” sahut Arsenio pelan, tapi penuh penekanan.

“Ini bukan pertama kalinya kamu mempermalukanku, Wilhelmina! Beberapa bulan lalu, ada seorang wanita yang berani datang ke kantorku. Wanita itu mengadu bahwa suaminya telah bermain gila denganmu!” sentak Arsenio seraya mengarahkan telunjuknya pada sang putri.

“Sudah, Pa.” Binar mencoba menenangkan sang suami.

Namun, Arsenio terlanjur dibakar amarah. “Kamu sudah mencoreng nama baik Keluarga Rainier, Wili! Itu artinya, kamu tidak pantas tinggal di sini lagi!” sentaknya, membuat Wilhelmina terbelalak.

Terpopuler

Comments

ÑŮŘŞÝawalu❤

ÑŮŘŞÝawalu❤

Waduh ada cinta terlarang rupanya. Memang tidak ada laki2 lain selain yang sudah beristri?

2024-05-18

0

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

jejak

2024-01-17

3

Angspoer

Angspoer

Bagooossss👍

2024-01-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!