Pria Misterius

Wilhelmina mengernyitkan dahi. "Aku sama sekali tidak ingat. Terakhir kita bertemu, saat aku berumur 10 tahun. Rambutmu masih berwarna pirang cerah. Kenapa sekarang jadi berubah kelabu?" tanyanya sinis.

"Banyak hal yang terjadi dalam hidup yang membuat rambutku terlalu cepat memutih," jawab Carlen dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah sendu.

"Foto itu ...." Wilhelmina kemudian beralih ke potret berlapis pigura emas berukuran yang sangat besar, terpajang di dinding belakang meja kerja Carlen. Potret itu menggambarkan foto seorang wanita berambut coklat yang terlihat sangat cantik. Wanita itu tampak anggun dalam balutan gaun pesta berwarna hitam.

"Apakah dia istrimu?"

"Ya," jawab Carlen singkat.

"Dia cantik sekali. Apakah anda akan mengenalkanku padanya?" tanya Wilhelmina lagi.

"Dia sudah meninggal, tujuh tahun yang lalu." Carlen terlihat semakin tidak nyaman.

"Oh, maafkan aku, Tuan Meier. A-aku tidak ...."

"Sudahlah, tidak perlu dibahas. Aku memanggilmu kemari untuk menjelaskan sesuatu." Carlen yang awalnya duduk bersandar di tepi meja, kini bangkit dan pindah ke kursi kebesarannya.

"Tuan Rainier menitipkanmu padaku untuk beberapa waktu sampai kau berhasil mandiri. Selama rentang waktu itu, kau bisa tinggal di sini," jelas Carlen datar.

"Apa aku harus berterima kasih untuk itu?" Nada bicara Wilhelmina terdengar sinis dan meremehkan.

"Tidak perlu. Kau hanya cukup menaati segala peraturan yang kubuat di rumah ini," sahut Carlen.

"Anda tidak menyuruhku untuk membersihkan rumah dan halaman, kan?" Wilhelmina semakin resah.

"Tentu saja tidak. Tuan Arsenio meminta supaya kau bisa diterima magang di perusahaanku," tutur Carlen.

Wilhelmina berdecak pelan. Berhubung dirinya sedang menjalani masa 'hukuman', maka dia tidak berani menolak, walaupun dalam hati sangat keberatan. "Terserah anda saja lah," gumam Wilhelmina kemudian.

"Bagus. Kau bisa mulai besok," ucap Carlen enteng.

"Besok?" Wilhelmina terbelalak tak percaya. "Tapi, aku baru saja datang!" protesnya.

"Seperti yang kukatakan tadi. Kau harus menuruti setiap peraturan yang kubuat," jelas Carlen dengan santainya.

Wilhelmina masih tetap melayangkan tatapan protes. Akan tetapi, pria itu sepertinya tak peduli.

"Kalau tidak ada yang ditanyakan lagi, aku akan memanggil Bertha untuk mengantarmu ke kamar," ujar Carlen. Dia mulai risi dengan Wilhelmina yang terus melotot ke arahnya.

Carlen kemudian memencet tombol interkom dan memanggil nama Bertha.

"Bertha? Siapa lagi itu?" celetuk Wilhelmina tak suka.

"Dia pelayan senior di sini dan pandai berbahasa Inggris. Bertha lah yang akan membantu melayanimu," tegas Carlen.

Tak berselang lama, terdengar ketukan di pintu ruang kerja Carlen. Sesosok wanita paruh baya masuk dan membungkuk penuh hormat padanya. "Anda memanggil saya, Tuan?" tanya Bertha.

"Ya, mulai sekarang, kau kutugaskan untuk memenuhi segala kebutuhan Nona Wilhelmina Rainier dan memastikan kenyamanannya," jawab Carlen.

Diam-diam Wilhelmina memperhatikan pria di hadapannya yang terus memasang raut datar itu. Tak dapat dipungkiri, Carlen terlihat begitu matang, gagah dan sangat mempesona.

Wilhelmina mengakui bahwa paras tampan Carlen di atas rata-rata. Iris mata biru dan rambut berwarna kelabu, semakin menyempurnakan keindahan raganya. Hanya satu yang tak Wilhelmina suka, yaitu sifat Carlen yang terlalu dingin dan misterius.

"Tunggu apa lagi?" Pertanyaan Carlen membuyarkan angan Wilhelmina, membuat gadis cantik itu tergagap.

"Baik, aku permisi," pamit Wilhelmina sebelum bergegas meninggalkan ruangan Carlen. Bertha kemudian mengantarnya ke sebuah kamar yang terletak di ujung lorong di lantai.

"Selamat beristirahat, Nona Rainier," ucap Bertha penuh hormat setelah membuka pintu lebar-lebar. Tampak koper-koper Wilhelmina berjajar rapi di sudut ruangan.

"Apa tidak salah?" Wilhelmina ragu-ragu melangkah masuk. "Kenapa kamarku terpencil?"

"Tidak, Nona. Tuan Carlen memilihkan tempat yang paling nyaman untuk anda. Balkonnya langsung mengarah ke kolam renang dan taman belakang," papar Bertha.

"Oh, ya, Nona ...."

"Apa?" Wilhelmina yang sudah bersiap memasuki kamar, kini kembali menghadap Bertha.

"Ada peraturan tak tertulis di mansion ini," tutur Bertha ragu-ragu. "Sebaiknya anda tidak berkeliaran di luar kamar, lewat dari jam dua belas malam, kecuali para penjaga," lanjutnya.

"Kenapa begitu?" Wilhelmina menautkan alis.

"Saya harap anda tidak melanggarnya." Bukannya menjawab, Bertha malah memberikan penekanan pada Wilhelmina, lalu berbalik meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan.

"Orang-orang aneh!" gerutu Wilhelmina seraya menutup pintu kamar. Gadis cantik itu mengempaskan napas pelan. Sungguh dia tak mengerti alasan sang ayah membuangnya ke tempat ini.

Kediaman Carlen memang sangat besar dan indah. Akan tetapi, tak ada yang dapat mengalahkan rumahnya sendiri yang selalu dihiasi senyuman lembut sang ibu dan tawa riang Delima, adik Wilhelmina satu-satunya.

Wilhelmina harus kehilangan itu semua karena Arga, pria yang ternyata tak ingin memperjuangkannya sama sekali. "Arga brengsek," umpatnya lirih.

Teringat kembali oleh Wilhelmina, kalimat penolakan kekasih gelapnya itu. Setitik air menetes dari sudut mata. Penyesalan pun terasa tak berguna.

Terlalu lama berpikir tentang Arga, membuat Wilhelmina kesulitan tidur, hingga tanpa terasa waktu menunjukkan tepat pukul satu dini hari.

Wilhelmina beringsut turun dari ranjang, lalu membuka pintu balkon kamar lebar-lebar. Dia melangkah keluar dan menumpukan kedua tangannya ke pagar balkon yang terbuat dari beton. Balkon tersebut mengarah ke taman belakang.

Dalam kegelapan malam, Wilhelmina melihat siluet seorang pria yang sangat mirip dengan Carlen, tengah berdiri di tepi kolam tengah taman, dalam posisi membelakangi. Wilhelmina mengucek mata untuk memastikan pandangan, sampai dia benar-benar yakin bahwa itu memang Carlen.

Gadis itu merasa penasaran dengan apa yang dilakukan oleh sang tuan rumah di bawah sana. Terlebih saat Carlen mengacungkan sebuah benda persis pistol kepada seseorang yang sosoknya tertutup rimbunan tanaman hias.

"Sedang apa dia?" gumam Wilhelmina. Pertanyaan itu segera terjawab ketika Carlen menarik pelatuk dan menembakkan pelurunya, entah pada siapa.

Tak terdengar letusan keras dari tembakan tersebut. Wilhelmina menerka bahwa Carlen menggunakan peredam yang terpasang di moncong pistol.

Putri sulung Arsenio itu terpaku di tempatnya. Pikirannya mencoba mencerna atas apa yang baru saja terjadi.

Namun, tanpa diduga, Carlen menoleh ke arahnya. Wilhelmina terkejut setengah mati, lalu spontan masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon rapat-rapat.

Gadis itu langsung melompat ke ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.

Tak berselang lama, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Wilhelmina berusaha untuk tidak menghiraukan, tapi suara ketukan tersebut terdengar semakin kencang.

Wilhelmina malah mengeratkan selimut. Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa supaya ketukan itu segera berakhir.

Akan tetapi, permohonannya tak terkabul. Pintu kamar Wilhelmina malah didobrak kencang dari luar. Hening sejenak, sebelum terdengar langkah kaki seseorang.

Langkah itu terasa semakin dekat, lalu berhenti. Sesaat kemudian, selimut Wilhelmina ditarik secara paksa oleh pria yang tak lain adalah Carlen.

Terpopuler

Comments

Dwisya12Aurizra

Dwisya12Aurizra

bukankah peraturan di buat untuk dilanggar ya 🤭

2024-01-22

3

Dwisya12Aurizra

Dwisya12Aurizra

aih ternyata suka yg matang ya 😄

2024-01-22

3

Lusi Amelia

Lusi Amelia

Lanjuttt thoorrr

2024-01-21

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!