NovelToon NovelToon

Wilhelmina, Percintaan Beda Usia

Terusir

Wilhelmina berkali-kali mengusap layar ponselnya, demi menghalau rasa gugup. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Untuk kesekian kali, gadis itu mencari sosok pria yang telah mengisi hari-harinya sejak beberapa bulan terakhir.

“Ah! Ke mana dia?” gerutu Wilhelmina. Kopi yang dipesannya sudah mulai dingin. Pelayan kafe bahkan sudah bersiap mengganti plang tulisan menjadi ‘closed’.

Wilhelmina berdecak pelan, lalu bangkit dari duduknya. Gadis cantik berambut coklat itu memilih pergi dari sana.

Kesal, Wilhelmina mendorong pintu sedikit keras, lalu berjalan keluar. Namun, baru beberapa langkah, terdengar seseorang memanggilnya. Dia pun menoleh dan mendapati seorang pria dengan ketampanan khas Indonesia berlari menghampiri.

Pria itu tersenyum manis setengah menggoda. “Lama, ya? Maaf,” ucap si pria seraya menyentuh pangkal hidung Wilhelmina menggunakan telunjuk.

“Ya! Kesungguhan laki-laki itu dilihat dari seberapa bagus dia menghargai waktu,” sindir Wilhelmina ketus.

“Kamu tahu sendiri, aku harus mencari alasan tepat untuk Marcella,” dalih si pria.

“Selalu begitu! Kenapa tidak terus terang saja pada istrimu tentang hubungan kita? Bukankah kamu sudah bosan padanya?"

“Jangan begitu, Sayang. Itu bukan sesuatu yang mudah."

Wilhelmina melipat kedua tangan di dada. “Kamu pikir aku ini bodoh? Kamu salah besar, Arga!"

“Tidak ada yang menganggapmu bodoh, Sayang.” Pria bernama Arga itu menangkup pipi Wilhelmina. “Ke apartemenku, yuk. Kita bisa mengobrol lebih bebas di sana,” ajaknya bernada merayu.

Wilhelmina berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju. Lagi pula, saat itu sudah tengah malam. Wilhelmina pikir tak ada salahnya menginap di apartemen sang kekasih.

Satu jam perjalanan mereka lalui, hingga tiba di kawasan apartemen mewah pinggiran kota. Arga mempersilakan Wilhelmina masuk lebih dulu. Barulah, dia menutup serta mengunci rapat pintu. Tanpa aba-aba, Arga langsung memeluk Wilhelmina dari belakang, kemudian menciumi leher gadis itu.

Wilhelmina terkejut. Dia langsung berbalik menghadap Arga. Gadis itu membalas perlakuan sang kekasih, dengan melingkarkan tangan di leher Arga. Wilhelmina balas menciumnya.

Sambil terus berciuman, Arga mengarahkan Wilhelmina ke sofa yang ada di tengah ruangan.

Pria itu sudah dibakar gairah. Dia begitu bernafsu menyingkap bagian bawah dress Wilhelmina sehingga terlihat paha mulus berbalut kulit seputih susu.

Namun, gerakan nakal tadi terhenti, ketika Wilhelmina menahan tangan Arga sekuat tenaga.

“Ingat perjanjian kita, Ga! Dilarang bercinta sampai kamu bercerai dengan Marcella,” tegas Wilhelmina.

“Astaga, Wili. Tega sekali kamu.” Arga terlihat kecewa. Hasratnya sudah di ubun-ubun, tetapi Wilhelmina menolak. Akhirnya, dia jadi pusing sendiri.

“Janji harus ditepati!” Wilhelmina mendorong tubuh Arga menjauh, agar dia bisa berdiri.

Namun, Arga tetap bergeming. Dia bahkan balas mendorong Wilhelmina sampai gadis itu kembali terbaring. “Ini apartemenku. Area kekuasaanku. Tidak ada yang bisa memerintahku di sini.” Arga menyeringai. Sorot matanya menyiratkan sesuatu, yang membuat Wilhelmina tak nyaman.

“Jangan gila kamu! Minggir!” sentak Wilhelmina. Dia tetap berusaha melawan Arga yang telah kesetanan. Wilhelmina terus berontak, meski pria itu menarik paksa bagian atas dressnya hingga robek sedikit. “Hentikan!” teriak Wilhelmina.

Akan tetapi, Arga tak menggubris. Dia berusaha mencium leher Wilhelmina.

Untunglah, saat itu ada celah bagi Wilhelmina. Gadis berambut coklat gelap itu menekuk kaki kanan, kemudian menghantam pangkal paha Arga menggunakan lutut.

“Aw!” Arga memekik kencang. Dia bergeser ke samping, lalu jatuh meringkuk di lantai.

Begitu ada kesempatan emas, Wilhelmina bergegas lari menuju pintu keluar dan membukanya dengan tergesa-gesa. Namun, dia terkejut bukan main, saat melihat seorang wanita sudah berdiri di depan pintu apartemen. Wilhelmina tahu bahwa wanita itu adalah Marcella, istri sah Arga. “Ka-kamu ….”

“Wanita murahan!” sentak Marcella sambil menampar kencang pipi Wilhelmina. Gadis cantik tadi bahkan sampai mundur beberapa langkah.

“Jangan, Ma!” cegah Arga yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Wilhelmina. Dia berusaha menjauhkan sang istri dari kekasih gelapnya.

“Bajingan kamu, Pa!” Marcella makin beringas. Dia memberontak sekuat tenaga agar terlepas dari cengkeraman Arga. “Ternyata benar isu perselingkuhan kalian selama ini! Ayah macam apa yang membesarkan wanita pelacur macam dia!” Marcella memberikan makian pedas. Telunjuknya lurus tertuju pada Wilhelmina yang tengah mengusap-usap pipi.

“Jangan sangkut-pautkan papaku dalam hal ini! Dia tidak bersalah!” balas Wilhelmina kesal.

“Oh, ya? Kita lihat apa tanggapan ayahmu nanti!” tantang Marcella.

“Hentikan, Ma! Pak Arsenio merupakan kolega pentingku. Jangan bawa-bawa dia dalam urusan seperti ini!” sergah Arga.

“Salahmu sendiri! Sudah tahu dia kolega penting, tapi kamu malah berani mengencani anaknya yang murahan ini!” Marcella tak mau kalah.

“Jaga bicaramu, Ma!” Arga mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia bersiap menampar sang istri.

“Apa? Mau menamparku? Ayo! Silakan! Di sini!” Marcella maju sambil menyodorkan pipinya. Membuat Arga seketika tersadar.

“Ma,” desis Arga penuh sesal. “Tolong,” pintanya lirih sambil memegang kedua lengan Marcella. Arga bahkan berusaha untuk memeluk wanita itu.

Menyaksikan sikap Arga yang demikian, Wilhelmina tak dapat berpikir jernih. Dia tak memiliki harga diri lagi. Terlebih, setelah Marcella memakinya tanpa henti.

Wilhelmina memutuskan pergi dari sana. Dia berlari tanpa menggubris panggilan Arga. Gadis itu juga tak peduli, saat Marcella kembali melontarkan kata-kata kasar dan menyakitkan. Wilhelmina, hanya ingin segera pulang, lalu memeluk sang ibu yang pasti tengah menunggunya di rumah.

Apa yang Wilhelmina pikirkan benar adanya. Setelah tiba di rumah, dia mendapati sang ibu sudah berdiri di anak tangga dengan tatapan tak biasa.

Begitu juga dengan seorang pria paruh baya yang terlihat sangat garang, yang berdiri di sebelah ibunda Wilhelmina. Dialah Arsenio, ayahanda gadis itu.

“Kalian belum tidur?” Wilhelmina memaksakan senyum, meskipun dirinya dapat merasakan sesuatu yang tak beres.

Bukannya menjawab, Binar, ibunda Wilhelmina, justru menangis tersedu. Lain halnya dengan sang ayah, yang melemparkan telepon genggam ke arah Wilhelmina.

“Aduh!” Wilhelmina meringis kecil, ketika benda pipih itu mengenai dadanya.

“Sekarang buka foto-foto yang baru dikirimkan padaku!” bentak Arsenio.

Wilhelmina tak berani membantah. Dia melakukan perintah sang ayah tanpa banyak bicara. Jantungnya seolah berhenti berdetak, saat membuka kotak pesan. Dia melihat foto-foto mesra dirinya bersama Arga. “Si-siapa yang mengirim ini?” tanyanya.

“Tidak penting siapa yang mengirim. Yang penting adalah isi pesan itu,” sahut Arsenio pelan, tapi penuh penekanan.

“Ini bukan pertama kalinya kamu mempermalukanku, Wilhelmina! Beberapa bulan lalu, ada seorang wanita yang berani datang ke kantorku. Wanita itu mengadu bahwa suaminya telah bermain gila denganmu!” sentak Arsenio seraya mengarahkan telunjuknya pada sang putri.

“Sudah, Pa.” Binar mencoba menenangkan sang suami.

Namun, Arsenio terlanjur dibakar amarah. “Kamu sudah mencoreng nama baik Keluarga Rainier, Wili! Itu artinya, kamu tidak pantas tinggal di sini lagi!” sentaknya, membuat Wilhelmina terbelalak.

Air Mata Perpisahan

Wilhelmina berdiri terpaku menatap sang ayah. Selama ini, dia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Ayahnya memang kerap bersikap tegas, tetapi tak sampai hati melakukan tindakan di luar perkiraan. Kali ini, gadis itu bagai tak diberi kesempatan lagi.

Perhatian Wilhelmina beralih pada Binar, seakan memohon pada wanita paruh baya tersebut agar membantunya. Bagi Wilhelmina, sang ibu merupakan dewi pelindung yang selalu menolongnya dari kemarahan Arsenio. Namun, kali ini ibu dua anak itu tak melakukan apa pun. Dia justru terlihat sangat kecewa.

“Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Papa sudah mengurus segala hal untuk keberangkatanmu ke Jerman. Makin cepat kamu pergi, makin tenang pula pikiran kami. Dasar anak tidak tahu diri! Memalukan!” Arsenio berlalu begitu saja setelah berkata demikian. Pria paruh baya itu pergi dengan membawa kemarahan serta rasa kecewa yang sulit untuk dirinya jabarkan secara detail.

“Ma ….” Wilhelmina bermaksud memohon pada Binar. Namun, belum sempat gadis itu mendekat, sang ibu lebih dulu pergi menyusul ayahnya.

Wilhelmina masih terpaku di tempatnya. Kedua kaki putri sulung di Keluarga Rainier tadi terasa berat untuk dilangkahkan. Gadis cantik berusia belia tersebut hanya bisa menunduk lesu, menahan kesedihan berbalut rasa kecewa atas kebodohan yang telah dilakukannya. Wilhelmina tahu risiko dari perbuatan salah yang dia jalani bersama Arga. Namun, dirinya tak pernah menyangka akan seperti saat ini.

Lelah dan tak bisa berpikir jernih. Wilhelmina memaksakan diri meniti anak tangga menuju lantai atas. Dia tak bisa membantah keputusan Arsenio. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti kemauan sang ayah.

Wilhelmina melangkah lunglai, hingga tiba di depan kamarnya. Namun, belum sempat gadis itu membuka pintu, terdengar suara aneh yang membuat si pemilik rambut berwarna cokelat gelap tersebut langsung menoleh. Wajah manis seorang gadis menyembul dari balik pintu kamar, yang berjarak sekitar beberapa langkah dari tempat Wilhelmina berdiri. Gadis itu adalah Delima, sang adik yang terpaut dua tahun darinya.

Delima menghampiri sang kakak. Gadis dengan paras yang sangat mirip dengan Binar sewaktu muda itu tersenyum manis. “Aku sudah membereskan baju-baju Kakak. Tadi, mama meminta bantuanku,” ucapnya.

Wilhelmina yang tengah kalut, menatap tak suka pada sang adik. Dia tak mengatakan apa pun. Gadis itu langsung membuka pintu kamar yang ternyata dalam keadaan tidak terkunci. “Ah, bagus sekali! Aku sudah kehilangan privasi di rumah ini!” gerutunya seraya menoleh pada Delima yang berdiri di dekat pintu. Delima tak berani masuk karena tak pernah diizinkan oleh Wilhelmina.

“Katakan apa yang belum kamu dan mama kemasi?” tanya Wilhelmina ketus.

“Kakak cek saja dalam koper itu,” tunjuk Delima, pada dua buah koper berukuran besar di sudut ruangan.

“Ya, Tuhan. Papa dan mama memang sudah berniat membuangku dari sini! Keterlaluan!” Wilhelmina meraup kasar rambut panjangnya, sambil duduk di ujung tempat tidur. Wilhelmina menangkup wajah dengan kedua tangan. Gadis itu menangis tersedu-sedu.

Sementara Delima hanya diam memperhatikan Wilhelmina. Dia tak berani masuk, apalagi sampai menenangkan sang kakak. Delima menatap sendu, tanpa tahu harus melakukan apa.

Selang beberapa saat, Wilhelmina menyudahi tangisnya. Gadis itu bangkit dari duduk, lalu berjalan ke pintu. “Pergilah. Sebaiknya, kamu tidur. Bukankah besok kamu harus sekolah?”

“Kak, aku ….”

Belum sempat Delima melanjutkan kalimatnya, Wilhelmina lebih dulu menutup pintu. Dia tak peduli meskipun sang adik masih berdiri di depan kamar. Putri sulung Arsenio dan Binar tersebut kembali ke dekat tempat tidur, lalu naik. Wilhelmina merebahkan tubuh di sana. Namun, gadis itu tak dapat memejamkan mata.

Malam ini, Wilhelmina mendapat dua kali tamparan keras dalam hidupnya. Rasa sakit di pipi atas kemarahan Marcella tak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan melihat sikap takluk Arga terhadap istrinya. Wilhelmina berharap bisa mendapat ketenangan dari sang ibunda. Akan tetapi, dirinya justru disingkirkan dari keluarga.

“Arga sialan!” gerutu Wilhelmina pelan, di sela derai air mata yang mengalir makin deras. Gadis itu kembali menangis, meratapi nasib akibat ulah sendiri.

*****

Wilhelmina mengerjap seketika, saat mendengar suara ketukan kencang di pintu kamar. Gadis itu bangkit perlahan. Kepala serta matanya terasa tidak nyaman karena dia kurang tidur dan menangis terlalu lama. Malas, Wilhelmina turun dari tempat tidur. Sambil memijat kening, dia melangkah ke pintu.

“Cepat bersiap-siap. Jadwal penerbanganmu dua jam lagi.” Arsenio bicara tanpa basa-basi terlebih dulu. Dia bahkan tak menghiraukan mata putrinya yang sembap. Ayah dua anak itu langsung berlalu dari hadapan Wilhelmina, yang masih mematung di ambang pintu.

Beberapa saat kemudian, Wilhelmina sudah mandi dan berganti pakaian. Sebelum keluar dari kamar, dia menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, yang sudah dirinya tempati sejak berusia tiga tahun. Kini, Wilhelmina harus meninggalkan kamar itu, untuk waktu yang tak dapat dipastikan. Bisa jadi selamanya.

Wilhelmina menyeka air mata yang menetes di sudut bibir, lalu meraih dua koper besar berisi barang-barang yang sudah dikemas oleh Binar dan Delima. Wilhelmina tak memeriksa lagi isi koper itu. Dia tak ingin tahu dan tidak peduli dengan apa yang dibawanya ke Jerman. Gadis cantik dua puluh satu tahun tersebut berjalan keluar kamar, bahkan susah payah menurunkan dua koper seorang diri saat menuruni tangga.

“Selamat pagi, Ma,” sapa Wilhelmina setengah terengah, setelah berhasil menurunkan dua koper besar tadi.

“Pagi, Wil. Sarapan dulu sebelum berangkat ke bandara,” balas Binar datar.

Wilhelmina melihat jam dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka delapan. Gadis itu sadar bahwa dia akan bersantap pagi seorang diri karena Arsenio dan yang lain biasa sarapan pukul tujuh.

“Maafkan aku, Ma,” ucap Wilhelmina penuh sesal, atas sikap dingin Binar padanya. “Maaf sudah mengecewakan Mama dan papa.”

Binar yang sudah meninggalkan Wilhelmina beberapa langkah, langsung tertegun. “Semoga kamu betah di Jerman. Bersikaplah yang baik selama di sana,” ucap wanita paruh baya itu tanpa menoleh. Dia bahkan melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu.

Selama beberapa saat, Wilhelmina menghabiskan sarapan seorang diri. Gadis itu bergegas menuju ruang depan, berhubung Arsenio sudah menunggunya. Mereka harus segera berangkat ke bandara, agar tidak ketinggalan pesawat.

“Aku belum pamitan pada mama,” ucap Wilhelmina, setelah barang-barang bawaannya dimasukkan ke bagasi.

Arsenio tidak menanggapi. Dia langsung masuk dan duduk di belakang kemudi.

Mau tak mau, Wilhelmina segera mengikuti. Gadis itu duduk di sebelah sang ayah. Dia sempat menatap rumah yang akan ditinggalkannya, sebelum sedan hitam yang Arsenio kemudikan melaju tenang meninggalkan halaman kediaman Keluarga Rainier.

Sementara itu, Binar yang bersembunyi di balik tirai jendela kamar, hanya dapat meneteskan air mata mengiringi kepergian putri sulungnya.

Langit Berlin

Arsenio dan Wilhelmina sama sekali tak saling bicara sampai kendaraan yang mereka tumpangi tiba di bandara. Arsenio hanya diam memperhatikan saat Wilhelmina kesulitan menurunkan barang-barang dari dalam bagasi. Dia sengaja tak membantu sang putri.

"Aku sudah menghubungi Carlen Meier. Dia bersedia menampungmu di sana untuk sementara sampai kamu bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri," ujar Arsenio dingin.

Wilhelmina dapat menangkap sorot kecewa yang begitu besar dari iris mata coklat terang sang ayah. Gadis itupun mengangguk tanpa sanggup berkata-kata. "Aku pergi dulu, Pa," ujarnya.

Lemas, Wilhelmina meraih troli barang yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Seperti tadi, dia memindahkan sendiri koper-kopernya ke dalam troli.

Susah payah Wilhelmina mendorong troli besar yang kini berisi penuh pitu. Namun, setelah beberapa langkah, Wilhelmina tiba-tiba membalikkan badan menghadap Arsenio. "Apa papa tidak ingin mengantarku sampai check in?" tanyanya pilu.

Lagi-lagi, Arsenio terdiam. "Hati-hati lah di sana. Kuharap kamu bisa belajar tentang banyak hal," jawab Arsenio kemudian.

"Maafkan aku yang sudah mengecewakan Mama dan Papa," ucap Wilhelmina dengan mata berkaca-kaca. Hatinya semakin pilu tatkala Arsenio sama sekali tak menanggapi ucapannya.

Wilhelmina tak memiliki pilihan lain selain berbalik meninggalkan sang ayah tanpa menoleh lagi.

Wilhelmina berjalan cepat menuju lokasi check in, lalu menunggu di lounge VIP. Dia semakin resah ketika mendengar pengumuman bahwa pesawat mengalami delay untuk sementara.

Rasa ingin melarikan diri dan tak ingin terbang ke Jerman membara di dalam diri gadis cantik yang baru saja lulus kuliah itu.

Dalam keadaan kalut tersebut, telepon genggamnya berdering. Jantung Wilhelmina seolah berhenti berdetak saat membaca nama Arga tertera di layar ponsel.

Tanpa pikir panjang, dia segera mengangkat telepon itu. "Ga, tolong aku. Papa hendak membuangku ke Jerman," pinta Wilhelmina tanpa memberi kesempatan kekasih gelapnya itu untuk menyapa lebih dulu.

"Wili, apa benar kamu diusir?" tanya Arga lirih.

"Lakukan sesuatu, Ga. Aku tidak mau pergi dari Indonesia." Wilhelmina terisak.

"Maaf, Wil. Bukannya aku tidak mau menolong, tapi ...." Hening sejenak. Arga seolah menjeda kalimatnya.

"Ga?" panggil Wilhelmina tak sabar.

"Papamu meneleponku tadi malam. Aku ... aku minta maaf ...." Arga terbata. "Kita akhiri saja semua kegilaan ini, Wil. Kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih baik. Usiamu masih sangat muda," lanjutnya.

"Apa? Akhiri? Bukankah kamu sudah berjanji untuk bercerai dari Marcella dan menikah denganku?" protes Wilhelmina.

"Aku tidak bisa, Wil. Marcella adalah istriku. Aku tidak akan pernah bisa meninggalkan dia."

Kata-kata Arga tersebut bagaikan petir yang menyambar Wilhelmina. Hatinya terkoyak sedemikian parah mendengar pengakuan sang kekasih.

Dada Wilhelmina terasa sesak hingga dirinya seakan kesulitan bernapas. "Brengsek kamu, Ga! Bajingan!" umpatnya sambil terengah. Wilhelmina pun mengakhiri panggilan secara sepihak.

Gadis yang memiliki warna mata yang sama dengan sang ayah itu langsung mematikan telepon genggamnya, terlebih saat itu awak kabin sudah mengumumkan keberangkatan pesawat.

Sambil mengusap air mata, Wilhelmina berjalan tergesa memasuki kabin. Kegalauannya sedikit terobati ketika Arsenio menyiapkan penerbangan kelas eksekutif untuk dirinya. Wilhelmina menikmati kemewahan itu selama 16 jam perjalanan, hingga tiba di bandara Otto Lilienthal, Berlin.

Seorang pria bersetelan rapi telah siap menjemput Wilhelmina di terminal kedatangan. Pria itu sigap membantu Wilhelmina membawakan barang-barang bawaan yang cukup banyak. “Apa anda bisa berbahasa Jerman?” tanya pria itu sopan dalam bahasa Inggris.

“Sedikit,” jawab Wilhelmina singkat.

“Tidak apa-apa. Tuan Meier akan membantu anda selama berada di sini. Oh, ya. Perkenalkan nama saya Dieter, asisten pribadi Tuan Meier,” ujar pria itu memperkenalkan diri.

"Kenapa harus teman Papa yang satu itu? Aku tidak suka Carlen Meier. Dia orang yang dingin dan aneh," sahut Wilhelmina seraya mengempaskan napas pelan.

Pria bernama Dieter tersebut seketika menghentikan langkah dan menatap Wilhelmina dengan sorot yang tak dapat diartikan.

“Kenapa?” tanya Wilhelmina tak suka.

“Jangan salah sangka, Nona. Tuan Meier adalah pria yang sangat baik,” timpal Dieter penuh penekanan.

“Terserah kau saja.” Wilhelmina menggerutu pelan. Dia tak ingin berbasa-basi lagi. Gadis cantik itu mengikuti langkah Dieter dalam diam sampai tiba di area parkir.

Dieter mengarahkan Wilhelmina ke sebuah mobil mewah bercat hitam dan membukakan pintu untuknya. Seorang pria berseragam datang menghampiri. Pria yang ternyata adalah sopir pribadi itu membantu Dieter memasukkan koper-koper Wilhelmina ke dalam bagasi.

“Berapa lama ke rumah Tuan Meier?” tanya Wilhelmina datar.

“Jika lalu lintas lancar, kita akan tiba satu jam kemudian, Nona,” jawab Dieter.

Wilhelmina hanya mengangguk tanpa bersuara, sebab pikirannya kembali dipenuhi oleh sosok Arga yang berhasil menghancurkan hatinya.

“Tuan Meier sering bercerita tentang ayah anda. Dia mengatakan bahwa Tuan Arsenio Rainier adalah pria luar biasa,” celetuk Dieter membuka pembicaraan.

“Tidak juga. Ayahku terlalu protektif. Dia memperlakukan aku dan adikku seperti narapidana,” sahut Wilhelmina.

“Benarkah?” Dieter mengangkat alis setengah tak percaya.

“Iya, sejak kecil, aku dan adikku belajar di rumah, homeschooling. Di umur 16 tahun, aku lulus ujian kesetaraan setingkat SMA,” tutur Wilhelmina bangga. “Lalu, aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan ….”

Dieter menautkan alis, menunggu kalimat Wilhelmina berikutnya. Namun, gadis itu hanya tersenyum, lalu memalingkan wajah ke jendela. “Dan?” ulang Dieter.

“Semenjak kuliah, aku sering merepotkan Papa. Itu semua salahnya karena selalu mengekangku,” ucap Wilhelmina lirih.

Dieter menggeleng pelan karena tak mengerti maksud pembicaraan Wilhelmina. Pria itu sebenarnya hendak bertanya lebih banyak lagi. Namun, mobil yang mereka tumpangi ternyata sudah sampai di kediaman Carlen Meier.

Dieter turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Wilhelmina. “Silakan, Nona. Tuan Meier sudah menunggu anda di ruang kerja,” ujarnya.

“Bagaimana dengan barang-barangku?” tanya Wilhelmina ragu-ragu.

“Tenang saja, Nona. Semua pelayan di rumah ini sudah diperintahkan untuk melayani anda dengan baik, termasuk menurunkan barang-barang anda dan meletakkannya di kamar yang telah disiapkan,” tutur Dieter.

“Ya, sudah.” Wilhelmina memaksakan senyum.

“Mari.” Dieter mengulurkan tangan ke arah bangunan utama rumah mewah bergaya Victoria tersebut.

“Seperti rumah hantu,” gumam Wilhelmina sambil melangkah keluar dari mobil. Sorot matanya menyapu setiap jengkal bangunan berdinding batu alam. Wilhelmina merasa bahwa dirinya seakan-akan berada di sebuah lingkungan kerajaan. Sorot mata takjub itu berakhir tatkala dia tiba di ruang kerja Carlen Meier.

Beberapa meter di depan Wilhelmina, berdiri sesosok pria tinggi dan tegap yang berusia sekitar empat puluhan. Bola mata pria yang berwarna biru itu, menatap tajam ke arahnya.

“Putri Tuan Rainier sudah datang, Sir.” Dieter membungkukkan tubuhnya di hadapan sang majikan.

“Pergilah. Aku ingin bicara berdua dengan Nona Wilhelmina Rainier,” titah Carlen. Suara pria itu terdengar begitu berat dan dalam.

“Jawohl (baik, Tuan).” Dieter kembali membungkuk sebelum berlalu meninggalkan ruangan tersebut dan menutup pintunya dari luar.

“Apa kabarmu, Wili?” sapa Carlen dengan nada bicara yang terdengar berbeda dari sebelumnya.

“Anda mengetahui nama panggilanku?” Wilhelmina menautkan alis.

“Tentu saja. Dulu, aku sering mengajakmu bermain,” jawab Carlen sembari tersenyum samar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!