Wilhelmina berdiri terpaku menatap sang ayah. Selama ini, dia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Ayahnya memang kerap bersikap tegas, tetapi tak sampai hati melakukan tindakan di luar perkiraan. Kali ini, gadis itu bagai tak diberi kesempatan lagi.
Perhatian Wilhelmina beralih pada Binar, seakan memohon pada wanita paruh baya tersebut agar membantunya. Bagi Wilhelmina, sang ibu merupakan dewi pelindung yang selalu menolongnya dari kemarahan Arsenio. Namun, kali ini ibu dua anak itu tak melakukan apa pun. Dia justru terlihat sangat kecewa.
“Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Papa sudah mengurus segala hal untuk keberangkatanmu ke Jerman. Makin cepat kamu pergi, makin tenang pula pikiran kami. Dasar anak tidak tahu diri! Memalukan!” Arsenio berlalu begitu saja setelah berkata demikian. Pria paruh baya itu pergi dengan membawa kemarahan serta rasa kecewa yang sulit untuk dirinya jabarkan secara detail.
“Ma ….” Wilhelmina bermaksud memohon pada Binar. Namun, belum sempat gadis itu mendekat, sang ibu lebih dulu pergi menyusul ayahnya.
Wilhelmina masih terpaku di tempatnya. Kedua kaki putri sulung di Keluarga Rainier tadi terasa berat untuk dilangkahkan. Gadis cantik berusia belia tersebut hanya bisa menunduk lesu, menahan kesedihan berbalut rasa kecewa atas kebodohan yang telah dilakukannya. Wilhelmina tahu risiko dari perbuatan salah yang dia jalani bersama Arga. Namun, dirinya tak pernah menyangka akan seperti saat ini.
Lelah dan tak bisa berpikir jernih. Wilhelmina memaksakan diri meniti anak tangga menuju lantai atas. Dia tak bisa membantah keputusan Arsenio. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti kemauan sang ayah.
Wilhelmina melangkah lunglai, hingga tiba di depan kamarnya. Namun, belum sempat gadis itu membuka pintu, terdengar suara aneh yang membuat si pemilik rambut berwarna cokelat gelap tersebut langsung menoleh. Wajah manis seorang gadis menyembul dari balik pintu kamar, yang berjarak sekitar beberapa langkah dari tempat Wilhelmina berdiri. Gadis itu adalah Delima, sang adik yang terpaut dua tahun darinya.
Delima menghampiri sang kakak. Gadis dengan paras yang sangat mirip dengan Binar sewaktu muda itu tersenyum manis. “Aku sudah membereskan baju-baju Kakak. Tadi, mama meminta bantuanku,” ucapnya.
Wilhelmina yang tengah kalut, menatap tak suka pada sang adik. Dia tak mengatakan apa pun. Gadis itu langsung membuka pintu kamar yang ternyata dalam keadaan tidak terkunci. “Ah, bagus sekali! Aku sudah kehilangan privasi di rumah ini!” gerutunya seraya menoleh pada Delima yang berdiri di dekat pintu. Delima tak berani masuk karena tak pernah diizinkan oleh Wilhelmina.
“Katakan apa yang belum kamu dan mama kemasi?” tanya Wilhelmina ketus.
“Kakak cek saja dalam koper itu,” tunjuk Delima, pada dua buah koper berukuran besar di sudut ruangan.
“Ya, Tuhan. Papa dan mama memang sudah berniat membuangku dari sini! Keterlaluan!” Wilhelmina meraup kasar rambut panjangnya, sambil duduk di ujung tempat tidur. Wilhelmina menangkup wajah dengan kedua tangan. Gadis itu menangis tersedu-sedu.
Sementara Delima hanya diam memperhatikan Wilhelmina. Dia tak berani masuk, apalagi sampai menenangkan sang kakak. Delima menatap sendu, tanpa tahu harus melakukan apa.
Selang beberapa saat, Wilhelmina menyudahi tangisnya. Gadis itu bangkit dari duduk, lalu berjalan ke pintu. “Pergilah. Sebaiknya, kamu tidur. Bukankah besok kamu harus sekolah?”
“Kak, aku ….”
Belum sempat Delima melanjutkan kalimatnya, Wilhelmina lebih dulu menutup pintu. Dia tak peduli meskipun sang adik masih berdiri di depan kamar. Putri sulung Arsenio dan Binar tersebut kembali ke dekat tempat tidur, lalu naik. Wilhelmina merebahkan tubuh di sana. Namun, gadis itu tak dapat memejamkan mata.
Malam ini, Wilhelmina mendapat dua kali tamparan keras dalam hidupnya. Rasa sakit di pipi atas kemarahan Marcella tak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan melihat sikap takluk Arga terhadap istrinya. Wilhelmina berharap bisa mendapat ketenangan dari sang ibunda. Akan tetapi, dirinya justru disingkirkan dari keluarga.
“Arga sialan!” gerutu Wilhelmina pelan, di sela derai air mata yang mengalir makin deras. Gadis itu kembali menangis, meratapi nasib akibat ulah sendiri.
*****
Wilhelmina mengerjap seketika, saat mendengar suara ketukan kencang di pintu kamar. Gadis itu bangkit perlahan. Kepala serta matanya terasa tidak nyaman karena dia kurang tidur dan menangis terlalu lama. Malas, Wilhelmina turun dari tempat tidur. Sambil memijat kening, dia melangkah ke pintu.
“Cepat bersiap-siap. Jadwal penerbanganmu dua jam lagi.” Arsenio bicara tanpa basa-basi terlebih dulu. Dia bahkan tak menghiraukan mata putrinya yang sembap. Ayah dua anak itu langsung berlalu dari hadapan Wilhelmina, yang masih mematung di ambang pintu.
Beberapa saat kemudian, Wilhelmina sudah mandi dan berganti pakaian. Sebelum keluar dari kamar, dia menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, yang sudah dirinya tempati sejak berusia tiga tahun. Kini, Wilhelmina harus meninggalkan kamar itu, untuk waktu yang tak dapat dipastikan. Bisa jadi selamanya.
Wilhelmina menyeka air mata yang menetes di sudut bibir, lalu meraih dua koper besar berisi barang-barang yang sudah dikemas oleh Binar dan Delima. Wilhelmina tak memeriksa lagi isi koper itu. Dia tak ingin tahu dan tidak peduli dengan apa yang dibawanya ke Jerman. Gadis cantik dua puluh satu tahun tersebut berjalan keluar kamar, bahkan susah payah menurunkan dua koper seorang diri saat menuruni tangga.
“Selamat pagi, Ma,” sapa Wilhelmina setengah terengah, setelah berhasil menurunkan dua koper besar tadi.
“Pagi, Wil. Sarapan dulu sebelum berangkat ke bandara,” balas Binar datar.
Wilhelmina melihat jam dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka delapan. Gadis itu sadar bahwa dia akan bersantap pagi seorang diri karena Arsenio dan yang lain biasa sarapan pukul tujuh.
“Maafkan aku, Ma,” ucap Wilhelmina penuh sesal, atas sikap dingin Binar padanya. “Maaf sudah mengecewakan Mama dan papa.”
Binar yang sudah meninggalkan Wilhelmina beberapa langkah, langsung tertegun. “Semoga kamu betah di Jerman. Bersikaplah yang baik selama di sana,” ucap wanita paruh baya itu tanpa menoleh. Dia bahkan melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu.
Selama beberapa saat, Wilhelmina menghabiskan sarapan seorang diri. Gadis itu bergegas menuju ruang depan, berhubung Arsenio sudah menunggunya. Mereka harus segera berangkat ke bandara, agar tidak ketinggalan pesawat.
“Aku belum pamitan pada mama,” ucap Wilhelmina, setelah barang-barang bawaannya dimasukkan ke bagasi.
Arsenio tidak menanggapi. Dia langsung masuk dan duduk di belakang kemudi.
Mau tak mau, Wilhelmina segera mengikuti. Gadis itu duduk di sebelah sang ayah. Dia sempat menatap rumah yang akan ditinggalkannya, sebelum sedan hitam yang Arsenio kemudikan melaju tenang meninggalkan halaman kediaman Keluarga Rainier.
Sementara itu, Binar yang bersembunyi di balik tirai jendela kamar, hanya dapat meneteskan air mata mengiringi kepergian putri sulungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
kenapa harus ke Jerman si perginya, gak ke prancis aja biar deketan sm aku gitu
2024-01-18
3
Lusi Amelia
Semangar thorr. Sambil nunggu Wili up, aku marathon baca Binar dan arsen, sampe begadang tidur jam 3 subuh gara gara baca mereka wkwkkwk ini mo lanjut lg soalnya belum selesai bacanya 🤣
2024-01-17
3