"Ja-jangan, Tuan! Aku tidak melihat apapun!" seru Wilhelmina panik. Dia beringsut mundur sampai punggungnya menabrak kepala ranjang.
"Hm ...." Carlen menyeringai. Matanya memerah dan rambut acak-acakan. Sangat berbeda dengan penampilan pria itu siang tadi. “Aku melihatmu, Freya. Kau selalu cantik. Aku mencintaimu,” racau Carlen sembari mendekat pada Wilhelmina.
“A-aku bukan Freya. Aku Wilhelmina, putri Arsenio Rainier,” elak Wilhelmina ketakutan.
Mendengar hal itu, Carlen seketika membeku. “Arsenio?” desisnya lirih.
“I-iya. Kalian berdua adalah kolega bisnis sekaligus teman baik, walaupun jarang bertemu,” tutur Wilhelmina.
“Ah, ini kacau sekali ….” Carlen menyugar rambutnya kasar, lalu berbalik meninggalkan kamar Wilhelmina begitu saja dengan langkah oleng.
Tinggallah Wilhelmina yang keheranan. Dirinya yakin seratus persen bahwa Carlen pasti sedang mabuk. “Itukah sebabnya aku dilarang keluar kamar lebih dari jam 12 malam?” gumam Wilhelmina dengan bulu kuduk meremang. Tercetus dalam kepalanya untuk mengabari sang ayah tentang kejadian aneh yang baru saja dia alami.
Buru-buru dia meraih ponsel dan mencari nomor kontak Arsenio. Dilihatnya jam pada sudut kiri layar ponsel yang masih menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Itu artinya, pukul 07.30 waktu Jakarta. Cukup lama Wilhelmina menunggu sampai Arsenio mengangkat panggilannya.
Hingga sampai tiga kali panggilan, barulah sang ayah menerima teleponnya. “Ada apa lagi, Wili?” tanya Arsenio datar.
“Pa ….” Wilhelmina bernapas lega saat mendengar suara Arsenio, meskipun ayahnya masih tetap menunjukkan sikap dingin. “Papa ….” Hanya satu kata itu yang bisa Wilhelmina ucapkan, padahal ada banyak hal yang ingin dia ceritakan. Gadis cantik itu malah menangis tersedu-sedu.
“Ada apa denganmu, Wili? Kenapa menangis?” Intonasi datar Arsenio langsung berubah menjadi nada khawatir.
Bukannya menjawab, tangisan Wilhelmina malah semakin kencang. “Ma-maafkan aku sudah mengganggumu. Nanti kutelepon lagi,” ujarnya seraya mengakhiri panggilan. Pikirannya mendadak kacau saat membayangkan Carlen yang sedang mabuk. Wilhelmina tadi sempat menangkap sekilas sorot mata biru pria itu penuh dengan kesedihan.
“Freya? Jangan-jangan itu nama mendiang istrimu, Tuan Carlen? Sebesar itukah cintamu padanya?” tanya Wilhelmina pelan tanpa tahu pertanyaan itu dia tujukan untuk siapa. Tak ada siapapun di kamar luas ini selain dirinya.
Wilhelmina kemudian menyadari sesuatu hal.
Pintu kamarnya rusak akibat tendangan Carlen tadi. “Astaga, kuat sekali dia,” gerutu Wilhelmina. Dia lalu bergegas menutup pintu tanpa bisa menguncinya. Pegangan pintu itu sudah rusak dan hampir terlepas dari daunnya.
Terbayang oleh Wilhelmina, Carlen yang berusia sekitar 45 tahunan memiliki tenaga yang luar biasa. Dalam keadaan mabuk saja, pria itu mampu membuat kerusakan seperti ini, apalagi saat sadar. Terlebih Carlen sepertinya juga memakai senjata api.
Timbul keinginan untuk menghubungi Arsenio lagi. Ayahnya itu harus tahu yang sebenarnya tentang Carlen. Kembali Wilhelmina menelepon sang ayah. Kali ini tak membutuhkan waktu lama bagi Arsenio untuk mengangkatnya.
“Kamu baik-baik saja kan, Nak?” tanya Arsenio sebelum Wilhelmina sempat menyapa.
“Pa, tolong. Tempatkan aku di tempat lain selain di sini. Tuan Carlen tidak sebaik yang papa pikirkan. Dia ….” Lagi-lagi, kalimat Wilhelmina terjeda. Tiba-tiba saja dia membayangkan sorot pilu seorang Carlen. Entah dorongan dari mana, yang jelas rasa iba mulai menguasai hatinya. Wilhelmina tak kuasa bercerita pada Arsenio.
“Dia kenapa, Wili? Apa Carlen menyakitimu?” desak Arsenio tak sabar.
“Tidak, Pa!” jelas Wilhelmina. “Tuan Carlen tidak pernah menyakitiku.”
“Lantas? Kenapa kamu tidak ingin tinggal di sana?”
“I-itu karena … karena ….” Wilhelmina menggigit bibir. Ragu-ragu dia hendak mengungkapkan apa yang terjadi padanya malam ini. “Tu-Tuan Carlen menyuruhku magang di perusahaannya besok,” ujar Wilhelmina pada akhirnya.
“Astaga ….” Arsenio mengembuskan napas lega. “Kukira ada apa.”
“A-aku baru saja datang, Pa,” protes Wilhelmina.
“Biasakanlah bekerja keras, Wili. Kamu tak selamanya mendapatkan perlindungan dariku atau ibumu. Disadari atau tidak, setiap orang pasti akan mengalami saat-saat sendirian, tanpa bantuan orang lain. Belajarlah untuk mengandalkan dirimu sendiri, dan tidak terlalu bergantung pada orang lain,” tutur Arsenio.
“Kuakui, aku telah salah mendidikmu dan Delima. Aku terlalu mengekang kalian berdua. Mungkin itu yang akhirnya menyebabkan kamu memberontak dan membuat masalah. Namun, percayalah, Nak. Aku hanya ingin melindungimu,” lanjut Arsenio.
“Aku akan mencoba untuk mengerti ….” Wilhelmina mengempaskan napas pelan. Niat hati ingin bercerita tentang Carlen, tapi malah berbelok ke arah lain. “Aku tidur dulu,” pamitnya sembari mengakhiri telepon secara sepihak.
Sayang, matanya tak bisa diajak bekerja sama. Wilhelmina tak bisa tidur sampai pagi menjelang. Akhirnya, dia memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tepat pukul tujuh pagi, Bertha datang dan mengetuk pintu kamarnya pelan.
“Masuk saja, Bertha. Kau bisa lihat sendiri bahwa pintunya tidak terkunci,” seru Wilhelmina sambil mematut diri di depan kaca besar setinggi dirinya.
“Nona ….” Bertha masuk dengan raut tegang. “Kenapa pegangan pintunya bisa rusak?” tanya wanita paruh baya itu hati-hati.
Wilhelmina terdiam mencari jawaban yang tepat.
“Apa terjadi sesuatu tadi malam?” terka Bertha.
“A-aku … bukan aku yang melakukannya,” terang Wilhelmina.
Bertha semakin menunjukkan mimik was-was. “Sudah kukatakan, anda dilarang keluar kamar setelah tengah malam,” tegur Bertha.
“Aku hanya berdiri di balkon!” ujar Wilhelmina membela diri. Sesaat kemudian, dia menutup mulutnya rapat-rapat karena menyadari bahwa dia telah keceplosan.
Bertha menggeleng pelan. “Tuan Carlen … apa dia yang ….” tunjuknya ke arah daun pintu yang rusak.
“Iya, laki-laki aneh itulah yang sudah menendang pintu kamarku sampai rusak,” sahut Wilhelmina yakin.
Bertha hendak menimpali. Akan tetapi, segera dia urungkan saat menyadari ada sosok lain yang berdiri di belakangnya. Bertha menoleh dan terkejut saat melihat Carlen sudah berdiri dengan gagah di ambang pintu Wilhelmina. Pria itu tampak rapi dalam setelan jas dan dasi berwarna senada.
“Kita ke kantor sekarang. Ada pertemuan penting tepat pukul sembilan pagi,” ucap Carlen.
“No-nona belum sarapan, Tuan,” sergah Bertha. Dia memberanikan diri untuk berbalik menghadap Carlen.
“Aku akan mengajaknya sarapan sambil jalan,” tegas Carlen. “Ayo, Nona Rainier!”
Wilhelmina dan Bertha saling pandang. Bertha lalu mengangguk samar. Wilhelmina pun balas mengangguk dan memutuskan untuk mengikuti perintah Carlen.
Dua orang itu berjalan beriringan. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Bahkan saat Carlen dan Wilhelmina sudah masuk ke dalam mobil, mereka berdua tetap saling terdiam.
“Apa kau melihatku di taman tadi malam?” tanya Carlen tiba-tiba setelah beberapa saat lamanya tak bersuara.
Wilhelmina yang asyik memperhatikan keluar jendela mobil, sontak membeku. Dia menoleh perlahan pada Carlen. “A-aku tidak ….” Wilhelmina terbata.
“Jangan berbohong, aku tidak suka,” sela Carlen. “Apa yang kau lihat tadi malam?” ulangnya.
“A-anda menembak seseorang … atau sesuatu ….” Wilhelmina menggeser duduk hingga pinggulnya menempel di daun pintu.
“Hm. Kau memang gadis pembangkang. Tak heran ayahmu pening menghadapi tingkahmu,” cibir Carlen, masih dengan gaya bicaranya yang datar.
“Aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi,” ucap Wilhelmina panik.
“Terlambat. Kau sudah mengetahuinya.” Carlen menyeringai, lalu mendekatkan diri pada Wilhelmina yang tak bisa ke mana-mana. Tanpa permisi, pria tampan itu menyentuh bibir merah Wilhelmina menggunakan ibu jari. “Kau harus dihukum," desis Carlen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
lanjut
2024-01-24
3