Ceraikan Aku, Suamiku
"Bukankah sudah waktunya kamu pergi?" kata seorang perempuan yang tersenyum tanpa rasa kasihan.
Bibir Sahna terbuka samar-samar, namun bergetar hingga kembali terkatup. Gerimis jatuh dari langit yang mendung, melatari sebuah pemakaman sederhana dari mendiang ibundanya.
Rasa sakit dan terkoyak akibat kehilangan masih nyata, namun wanita ini tanpa ragu mengangkat masalah besar pada Sahna.
"Ibumu," ucap wanita itu seraya berpaling pada kuburan yang tanahnya masih merah basah, "meninggalkan sesuatu yang rapuh."
Sahna terbelalak.
"Tidak ada seorangpun dari kita yang tidak tahu kalau pernikahanmu dan Sebastian itu karena ibumu. Pengasuh tidak tahu diri yang mengambil keuntungan dari anak yang dia besarkan."
Wanita itu tertawa.
"Sekarang dia sudah mati dan cengkramannya sudah hilang. Jadi bukankah bijak bagi wanita sepertimu menyingkir?"
Lalu dia mengangkat wajah, menatap ke sekitaran seolah mencari.
"Suamimu ... bahkan tidak sudi muncul di sini."
Sahna hanya terus diam sampai wanita itu pergi. Ia bukan tak mau membalas namun kesedihannya terlampau dalam untuk bicara sekarang.
Yang wanita itu katakan benar adanya. Sudah waktunya Sahna untuk pergi dan bersikap tahu diri.
Pernikahan Sahna dan Sebastian selama bertahun-tahun ini terjalin semata-mata karena ibunya. Ibu adalah pengasuh yang membesarkan Sebastian bahkan sebelum Sebastian bisa berjalan. Hubungan Ibu dan Sebastian begitu baik, bahkan mengalahkan dekatnya Sahna dengan Ibu sendiri.
Tapi ketika mereka sama-sama dewasa, mendadak Ibu meminta bayaran dari jasanya pada Sebastian. Bahwa Sebastian harus menikahi Sahna, putri semata wayangnya. Dan tanpa disangka oleh siapa pun Sebastian menerima permintaan itu dan menikahi Sahna.
"Walaupun hanya omong kosong," gumam Sahna seraya meninggalkan kuburan Ibu.
Pernikahannya dengan Sebastian benar-benar omong kosong. Sahna tidak berharap cinta, ia bahkan juga terpaksa. Tapi Sebastian, sejak setelah pesta pernikahan hingga detik ini, dia tidak pernah sedikitpun menganggap Sahna istrinya.
Dia tak peduli pada Sahna. Dia pun tak punya waktu memedulikan Sahna. Dia memberinya kamar di kediaman mewah itu, makanan dan pakaian sesuai statusnya, namun tidak lebih dari itu.
Secuilpun tidak lebih.
"Aku juga tidak ingin." Sahna mengepal tangannya kuat-kuat. Matanya menatap penuh kebencian pada jalanan di depannya. "Aku juga tidak ingin meneruskan ini. Kamu pikir hanya kamu yang terpaksa?"
Sahna memuntahkan kekesalannya pada udara. Ia merasa butuh waktu agar bersedih namun wanita sialan itu membuatnya marah dan tak bisa lagi bersabar.
Baik, ambil saja Sebastian yang sepertinya sangat dia sayangi itu. Dia pikir Sahna butuh padanya?
"Sebastian." Sahna langsung mendatangi ruang kerja pria itu begitu tiba di kediaman palsunya. "Ini aku."
Butuh beberapa detik keheningan sebelum suara pria itu berkata, "Masuk."
Sahna mendorong pintunya terbuka, menemukan sebuah ruangan megah tempat di mana seorang pria sibuk mengurus kekayaannya.
Dokumen-dokumen itu, mungkin itulah alasan kenapa Ibu sampai berbuat konyol dan mendesak seseorang menikahi putrinya yang menyedihkan. Mungkin Ibu berpikir kalau ia menikahi pria kaya maka hidupnya akan terjamin baik-baik saja.
Tapi Sebastian bukan hanya seorang pria kaya. Ketampanannya, arogansinya, keyakinan mutlak akan kesempurnaannya juga bagian dari Sebastian.
"Ada apa, Nona?" ucapnya seperti biasa.
Ya, dia memanggil istrinya dengan sebutan Nona seakan-akan Sahna bukanlah nyonya dari pria mana pun.
Sahna sudah mendengarnya selama hampir enam tahun. Karena itulah ia tak peduli.
"Ibuku meninggal hari ini."
Dia tahu. Mustahil dia tak tahu. Dialah yang membiayai pengobatan Ibu. Tapi Sahna sengaja mengatakannya. Karena dia bersikap seolah tidak tahu.
"Begitu." Sebastian melirik singkat. "Aku turut berduka cita."
Sahna semakin terbakar oleh amarah. Ibu mungkin wanita yang konyol dan dibutakan oleh harta tapi pria ini benar-benar tidak tahu diri. Dia dibesarkan oleh Ibu dan itulah responsnya setelah semua?
"Aku tidak butuh." Sahna membalas dingin. "Aku datang membicarakan hal lain."
"...." Dia bahkan tidak bersuara seolah tidak penting.
"Ayo bercerai." Sahna sudah menahannya selama bertahun-tahun. Kalimat yang sangat ingin ia ucapkan namun ia tahan dan terus ia tahan sebab Ibu. "Sudah waktunya hubungan kosong ini diakhiri."
"...."
"Aku sudah muak dengan keluargamu. Dan kamu, terutama kamu." Sahna menatapnya jijik. "Untuk apa sebenarnya kamu menerima permintaan konyol ibuku, kalau kamu sebenarnya membenci semua ini?!"
Ketika suara Sahna mulai naik, barulah pria itu mengangkat pandangan sepenuhnya.
Namun tindakan itu hanya membuat Sahna tertegun.
Sebastian, pria yang menikahi putri dari pengasuhnya sendiri, kini memandang Sahna dengan senyum sederhana. Senyum sederhana yang terkesan luar biasa merendahkan.
Senyum yang mampu membuat jantung Sahna berdebar keras oleh amarah dan penghinaan.
Ah, benar. Dia sering tersenyum seperti itu saat dia menatap Sahna dan mendengarnya berbicara.
"Lalu?" ucapnya lembut. "Apa yang Nona coba katakan sekarang?"
"Sudah kubilang ayo bercerai!"
"...."
Sahna menggigit bibirnya kuat. Ia sekarang mengerti. Dia tidak percaya bahwa Sahna mau bercerai. Terutama ketika Sahna sekarang kehilangan orang yang melindunginya. Sudah jelas pilihan paling masuk akal adalah menjadi parasit di hidup pria ini.
"Mungkin bagimu, aku ini orang yang menjijikan," gumam Sahna.
Gadis itu melepaskan gelang emas dari tangannya, terjatuh begitu saja di atas lantai.
"Tapi kamu tahu, Tuan Muda," Sahna melemparkan semuanya ke lantai, dengan topi dan syalnya, "hidup di tempatmu jauh lebih menjijikan bagiku."
"...."
"Terserahmu kalau menganggap aku hanya pura-pura. Toh tidak ada ruginya kamu bercerai dariku. Kalau kamu tidak ingin repot mengurus surat perceraian, biar aku yang mengurusnya. Kamu hanya tinggal menunggu dan tanda tangan."
Sahna berbalik pergi, hendak menarik pintu ruangan agar terbuka saat suara itu terdengar.
"Bajumu."
Sahna menoleh. "Apa?"
Pria itu mengangkat sudut bibirnya nyaris tak terlihat. "Bajumu, itu milikku juga."
Sahna tertegun. Sejurus kemudian ia terbelalak malu. "Aku bukannya mau membawa ini pergi juga!"
"Bajumu yang lain, bukankah milikku juga?"
Sahna tersekat.
"Bukan hanya itu," gumam Sebastian saat berjalan mendekat dan berhenti persis di hadapannya, "tubuhmu, bukannya milikku juga?"
"Apa?!"
"Darikulah kamu bisa makan sejak kecil." Sebastian menatapnya masih dengan senyum itu. "Saat ibumu memberiku makan, di saat yang sama aku memberi ibumu makanan agar itu masuk ke mulutmu."
"...."
"Keangkuhan dari mana yang membuat kamu berpikir ada bagian dari dirimu yang bukan milikku, Nona?"
"...."
"Sebutkan satu saja hal dalam hidupmu sekarang yang bukan milikku? Aku akan memberimu hadiah jika ada."
Melihat Sahna terdiam, Sebastian menertawakannya. Tawa halus pria itu terdengar ramah, sangat berkebalikan dari tingkahnya.
Dia berjalan pergi dengan seraut wajah senang, bahagia setelah menghina Sahna.
"Lalu apa?" Sahna terpaksa harus tak tahu malu. "Kamu mau membiarkan aku, orang yang menjijikan bagimu, tetap di sini dengan alasan itu?"
Sebastian berhenti. "Nona, apa kamu menyuruhku membesarkanmu lalu membuangmu tanpa ada keuntungan? Sepertinya aku sangat baik hati di matamu, yah."
"Kalau begitu akan kubayar! Tetapkan saja harganya dan akan kulunasi!"
Sebastian justru tertawa, berbalu pergi dengan kalimat samar-samar, "Perlihatkan saja dulu batasmu."
Dasar pria badjingan!
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Uthie
seperti nya seru 👍😁
2024-02-01
1
dewi
pria arogan apa coba maksudnya utk menahan sahana kalau di tdk mencintainya smg sahana kuat d meleawati semuanya
2024-01-16
2