NovelToon NovelToon

Ceraikan Aku, Suamiku

1. Ayo Bercerai!

"Bukankah sudah waktunya kamu pergi?" kata seorang perempuan yang tersenyum tanpa rasa kasihan.

Bibir Sahna terbuka samar-samar, namun bergetar hingga kembali terkatup. Gerimis jatuh dari langit yang mendung, melatari sebuah pemakaman sederhana dari mendiang ibundanya.

Rasa sakit dan terkoyak akibat kehilangan masih nyata, namun wanita ini tanpa ragu mengangkat masalah besar pada Sahna.

"Ibumu," ucap wanita itu seraya berpaling pada kuburan yang tanahnya masih merah basah, "meninggalkan sesuatu yang rapuh."

Sahna terbelalak.

"Tidak ada seorangpun dari kita yang tidak tahu kalau pernikahanmu dan Sebastian itu karena ibumu. Pengasuh tidak tahu diri yang mengambil keuntungan dari anak yang dia besarkan."

Wanita itu tertawa.

"Sekarang dia sudah mati dan cengkramannya sudah hilang. Jadi bukankah bijak bagi wanita sepertimu menyingkir?"

Lalu dia mengangkat wajah, menatap ke sekitaran seolah mencari.

"Suamimu ... bahkan tidak sudi muncul di sini."

Sahna hanya terus diam sampai wanita itu pergi. Ia bukan tak mau membalas namun kesedihannya terlampau dalam untuk bicara sekarang.

Yang wanita itu katakan benar adanya. Sudah waktunya Sahna untuk pergi dan bersikap tahu diri.

Pernikahan Sahna dan Sebastian selama bertahun-tahun ini terjalin semata-mata karena ibunya. Ibu adalah pengasuh yang membesarkan Sebastian bahkan sebelum Sebastian bisa berjalan. Hubungan Ibu dan Sebastian begitu baik, bahkan mengalahkan dekatnya Sahna dengan Ibu sendiri.

Tapi ketika mereka sama-sama dewasa, mendadak Ibu meminta bayaran dari jasanya pada Sebastian. Bahwa Sebastian harus menikahi Sahna, putri semata wayangnya. Dan tanpa disangka oleh siapa pun Sebastian menerima permintaan itu dan menikahi Sahna.

"Walaupun hanya omong kosong," gumam Sahna seraya meninggalkan kuburan Ibu.

Pernikahannya dengan Sebastian benar-benar omong kosong. Sahna tidak berharap cinta, ia bahkan juga terpaksa. Tapi Sebastian, sejak setelah pesta pernikahan hingga detik ini, dia tidak pernah sedikitpun menganggap Sahna istrinya.

Dia tak peduli pada Sahna. Dia pun tak punya waktu memedulikan Sahna. Dia memberinya kamar di kediaman mewah itu, makanan dan pakaian sesuai statusnya, namun tidak lebih dari itu.

Secuilpun tidak lebih.

"Aku juga tidak ingin." Sahna mengepal tangannya kuat-kuat. Matanya menatap penuh kebencian pada jalanan di depannya. "Aku juga tidak ingin meneruskan ini. Kamu pikir hanya kamu yang terpaksa?"

Sahna memuntahkan kekesalannya pada udara. Ia merasa butuh waktu agar bersedih namun wanita sialan itu membuatnya marah dan tak bisa lagi bersabar.

Baik, ambil saja Sebastian yang sepertinya sangat dia sayangi itu. Dia pikir Sahna butuh padanya?

"Sebastian." Sahna langsung mendatangi ruang kerja pria itu begitu tiba di kediaman palsunya. "Ini aku."

Butuh beberapa detik keheningan sebelum suara pria itu berkata, "Masuk."

Sahna mendorong pintunya terbuka, menemukan sebuah ruangan megah tempat di mana seorang pria sibuk mengurus kekayaannya.

Dokumen-dokumen itu, mungkin itulah alasan kenapa Ibu sampai berbuat konyol dan mendesak seseorang menikahi putrinya yang menyedihkan. Mungkin Ibu berpikir kalau ia menikahi pria kaya maka hidupnya akan terjamin baik-baik saja.

Tapi Sebastian bukan hanya seorang pria kaya. Ketampanannya, arogansinya, keyakinan mutlak akan kesempurnaannya juga bagian dari Sebastian.

"Ada apa, Nona?" ucapnya seperti biasa.

Ya, dia memanggil istrinya dengan sebutan Nona seakan-akan Sahna bukanlah nyonya dari pria mana pun.

Sahna sudah mendengarnya selama hampir enam tahun. Karena itulah ia tak peduli.

"Ibuku meninggal hari ini."

Dia tahu. Mustahil dia tak tahu. Dialah yang membiayai pengobatan Ibu. Tapi Sahna sengaja mengatakannya. Karena dia bersikap seolah tidak tahu.

"Begitu." Sebastian melirik singkat. "Aku turut berduka cita."

Sahna semakin terbakar oleh amarah. Ibu mungkin wanita yang konyol dan dibutakan oleh harta tapi pria ini benar-benar tidak tahu diri. Dia dibesarkan oleh Ibu dan itulah responsnya setelah semua?

"Aku tidak butuh." Sahna membalas dingin. "Aku datang membicarakan hal lain."

"...." Dia bahkan tidak bersuara seolah tidak penting.

"Ayo bercerai." Sahna sudah menahannya selama bertahun-tahun. Kalimat yang sangat ingin ia ucapkan namun ia tahan dan terus ia tahan sebab Ibu. "Sudah waktunya hubungan kosong ini diakhiri."

"...."

"Aku sudah muak dengan keluargamu. Dan kamu, terutama kamu." Sahna menatapnya jijik. "Untuk apa sebenarnya kamu menerima permintaan konyol ibuku, kalau kamu sebenarnya membenci semua ini?!"

Ketika suara Sahna mulai naik, barulah pria itu mengangkat pandangan sepenuhnya.

Namun tindakan itu hanya membuat Sahna tertegun.

Sebastian, pria yang menikahi putri dari pengasuhnya sendiri, kini memandang Sahna dengan senyum sederhana. Senyum sederhana yang terkesan luar biasa merendahkan.

Senyum yang mampu membuat jantung Sahna berdebar keras oleh amarah dan penghinaan.

Ah, benar. Dia sering tersenyum seperti itu saat dia menatap Sahna dan mendengarnya berbicara.

"Lalu?" ucapnya lembut. "Apa yang Nona coba katakan sekarang?"

"Sudah kubilang ayo bercerai!"

"...."

Sahna menggigit bibirnya kuat. Ia sekarang mengerti. Dia tidak percaya bahwa Sahna mau bercerai. Terutama ketika Sahna sekarang kehilangan orang yang melindunginya. Sudah jelas pilihan paling masuk akal adalah menjadi parasit di hidup pria ini.

"Mungkin bagimu, aku ini orang yang menjijikan," gumam Sahna.

Gadis itu melepaskan gelang emas dari tangannya, terjatuh begitu saja di atas lantai.

"Tapi kamu tahu, Tuan Muda," Sahna melemparkan semuanya ke lantai, dengan topi dan syalnya, "hidup di tempatmu jauh lebih menjijikan bagiku."

"...."

"Terserahmu kalau menganggap aku hanya pura-pura. Toh tidak ada ruginya kamu bercerai dariku. Kalau kamu tidak ingin repot mengurus surat perceraian, biar aku yang mengurusnya. Kamu hanya tinggal menunggu dan tanda tangan."

Sahna berbalik pergi, hendak menarik pintu ruangan agar terbuka saat suara itu terdengar.

"Bajumu."

Sahna menoleh. "Apa?"

Pria itu mengangkat sudut bibirnya nyaris tak terlihat. "Bajumu, itu milikku juga."

Sahna tertegun. Sejurus kemudian ia terbelalak malu. "Aku bukannya mau membawa ini pergi juga!"

"Bajumu yang lain, bukankah milikku juga?"

Sahna tersekat.

"Bukan hanya itu," gumam Sebastian saat berjalan mendekat dan berhenti persis di hadapannya, "tubuhmu, bukannya milikku juga?"

"Apa?!"

"Darikulah kamu bisa makan sejak kecil." Sebastian menatapnya masih dengan senyum itu. "Saat ibumu memberiku makan, di saat yang sama aku memberi ibumu makanan agar itu masuk ke mulutmu."

"...."

"Keangkuhan dari mana yang membuat kamu berpikir ada bagian dari dirimu yang bukan milikku, Nona?"

"...."

"Sebutkan satu saja hal dalam hidupmu sekarang yang bukan milikku? Aku akan memberimu hadiah jika ada."

Melihat Sahna terdiam, Sebastian menertawakannya. Tawa halus pria itu terdengar ramah, sangat berkebalikan dari tingkahnya.

Dia berjalan pergi dengan seraut wajah senang, bahagia setelah menghina Sahna.

"Lalu apa?" Sahna terpaksa harus tak tahu malu. "Kamu mau membiarkan aku, orang yang menjijikan bagimu, tetap di sini dengan alasan itu?"

Sebastian berhenti. "Nona, apa kamu menyuruhku membesarkanmu lalu membuangmu tanpa ada keuntungan? Sepertinya aku sangat baik hati di matamu, yah."

"Kalau begitu akan kubayar! Tetapkan saja harganya dan akan kulunasi!"

Sebastian justru tertawa, berbalu pergi dengan kalimat samar-samar, "Perlihatkan saja dulu batasmu."

Dasar pria badjingan!

*

2. Butuh Uang

Sahna menatap hina kepergian Sebastian. Namun ia tak bisa menampik bahwa dirinya juga sama hina. Pria itu tidak sepenuhnya salah. Sahna memanglah tidak berhak atas apa pun setelah semua yang pria itu berikan untuk Ibu.

"Tapi bukan berarti aku tidak bisa apa-apa."

Sahna berbalik pergi, menuju kamarnya sendiri. Rasa sepi dan duka itu masih menyiksa, tak bisa ia tampil bahwa kehilangan Ibu membuat seluruh dunianya hancur berantakan.

Tapi berdiam diri di sini akan semakin menghancurkan hidupnya.

"Aku perlu banyak uang," gumam Sahna muram. "Sangat banyak."

Uang yang mungkin bahkan tidak pernah ia bayangkan akan ia pegang. Tapi bagaimana Sahna mendapatkannya? Dalam waktu singkat, bagaimana ia bisa mendapatkan uang yang cukup memuaskan pria sialan itu?

"Ah." Sahna mendongak ke langit-langit kamar mandi. "Aku lupa aku punya ayah."

Pernahkah kalian hidup dalam dunia di mana kalian bahkan tidak peduli punya ayah atau tidak? Sahna hidup dalam dunia itu. Sejak ia kecil, Ibu meninggalkan Ayah karena sebuah perselingkuhan. Pria itu berselingkuh dengan sahabat baik Ibu dan bahkan punya anak darinya hanya beberapa bulan setelah Sahna lahir.

Tentu saja Sahna benci padanya. Gara-gara dialah Ibu harus bekerja di keluarga ini dan kemudian Sahna terjebak dalam pernikahan bodoh ini.

"Setidaknya dia masih ayahku." Sahna beranjak dari kamar mandi, menuju ke laci dekat tempat tidur.

Sebuah kertas yang tampak sudah diremas-remas penuh emosi Sahna keluarkan dari sana. Hanya secarik kertas berisi alamat yang diberikan padanya pada hari ulang tahun Sahna, delapan bulan yang lalu.

Tepatnya saat Ibu mulai sakit keras sampai-sampai dirawat di rumah sakit dan akhirnya tak bisa sembuh. Pada waktu itulah untuk pertama kali ia mendapat kiriman kertas bodoh ini, seolah-olah ini adalah hadiah ulang tahun.

"Ini gunamu mengirim alamat kan?" bisik Sahna pada kertas itu.

Kertas yang mustahil menjawabnya namun akan ia buat ini berguna unruk menjawab kesulitannya.

Tanpa menunda-nunda, esok hari Sahna berangkat menuju alamat ini. Sedikitpun Sahna tidak terkejut saat ia berhenti di hadapan sebuah rumah megah yang tak jauh bedanya dengan kediaman Sebastian.

"Kamu berselingkuh lalu hidup mewah," gumam Sahna saat memandang jijik rumah itu, "sementara Ibu melakukan ini dan itu agar aku hidup."

Sahna menekan bel pada pagar. Menunggu sekian saat hingga petugas muncul di depannya.

"Aku ingin bertemu tuan rumah ini."

"Atas nama siapa, Nona?"

"Sahna." Entah kenapa Sahna mau tersenyum dan kembali berkata, "Sahna Iskandar."

Petugas terkejut mendengar marga tuannya tiba-tiba disematkan pada nama yang tidak dia kenali. Namun saat mengamati penampilan Sahna yang setidaknya bukan pengemis atau penipu maka pria itu pun pergi meminta izin.

Hanya sekitar dua menit dia kembali dan terburu-buru membuka gerbang.

"Silakan masuk, Nona."

Sahna hanya mengeraskan ekspresinya. Tak terlalu peduli jika sekarang mereka bersikap ramah. Seorang pelayan datang menyambutnya dan langsung mengarahkan Sahna pergi menuju ruangan pria itu berada.

Setelah berjalan cukup jauh akhirnya mereka tiba dalam sebuah ruangan.

"Silakan, Nona." Mereka membuka pintu untuknya, mempersilakan Sahna masuk dalam sebuah ruangan penuh buku-buku.

Sahna hanya fokus menatap pria di sana. Yang sedang duduk santai di sofa menyesap wiski dengan tenang. Wajahnya terlihat normal, berarti belum mabuk.

Ini bahkan belum siang hari tapi dia sudah minum, pikir Sahna jijik. Sesuai harapan dari kebiasaan tukang selingkuh dan suka melepas tanggung jawabnya.

Bahkan kalau wajah dia terlihat tampan seperti malaikat, sifatnya bahkan membuat Sahna ingin muntah.

"Ayah." Sahna memang lama tidak melihatnya namun ia mengingat bagaimana pria itu dan bagaimana ia pernah memanggilnya. "Saya datang untuk bicara sesuatu."

Sahna sengaja bicara formal.

"Duduk." Pria itu hanya menjawab singkat.

Sahna duduk walau enggan, menatap tanpa ekspresi saat dia mendorong segelas minuman lain ke depannya.

"Saya tidak minum alkohol," ucapnya, menahan sinis.

"Itu teh apel." Dia menjawab tanpa ekspresi.

Sahna cuma mendengkus. "Saya tahu Ayah—"

"Kalau kamu datang bicara pada ayahmu, kenapa nadamu seperti bicara pada orang asing?"

Maksudnya Sahna tidak usah bicara formal?

Hah! Ingin rasanya Sahna menghina namun ia tahu itu tidak pantas di situasinya sekarang.

"Aku mengerti." Sahna lebih baik patuh agar cepat pergi. "Aku tahu ini pasti mengejutkan. Aku datang tiba-tiba setelah sekian lama. Tapi setidaknya aku harap Ayah masih mau menerimaku."

Dia lebih sibuk menatap es batu dalam seloki wiskinya. Membuat Sahna merasa dia tak tertarik dan tak mau tahu.

"Ibu sudah meninggal."

".... Oh."

Sahna tercengang. Hanya oh? Dia mendengar mantan istrinya meninggal dan hanya oh?!

Dasar badjingan—ah, tidak. Tidak perlu mengumpat pada orang tuli dan buta.

"Apa Ayah tahu selama ini Ibu bekerja keras?" Sahna harus menekankan ini. "Ibu melakukan banyak hal agar aku bisa hidup nyaman. Karena seseorang yang harusnya bertanggung jawab ternyata tidak punya tanggung jawab."

"...."

"Tapi aku bukan Ibu." Sahna memangkas seluruh basa-basi saat ia melihat dia sangat tidak peduli. "Aku ingin Ayah membayar kompensasi atas semua hal di hidupku. Semua yang Ayah lewatkan karena sibuk dengan keluarga baru Ayah, aku ingin hakku diberikan."

"...."

"Aku setidaknya berhak menurut darah, kan?"

Saat itu entah kenapa Sahna melihat dia tersenyum. Walau hanya sesaat dan nyaris seperti tidak pernah ada.

"Berapa?" ucapnya tiba-tiba.

Tentu saja mengejutkan Sahna yang berpikir akan ditolak.

"A-apa maksud Ayah berapa?"

"Kompensasi hidupmu selama ini, berapa?"

Sahna malah mengatup mulutnya. Tentu saja ia datang dengan ketidakyakinan. Maka dari itu Sahna sepanjang jalan memikirkan bagaimana cara ia menekan pria itu agar merubah keputusannya dari yang menolak menjadi setuju.

Tapi ... dia semudah ini setuju?

Saat Sahna terus berpikir karena terkejut, dia beranjak dari sofa menuju ke meja kerjanya. Pria itu membungkuk, membubuhkan sesuatu di atas sebuah kertas sebelum dia membawanya ke meja kembali.

"Ini." Kertas kecil yanh ternyata sebuah cek itu disodorkan pada Sahna. "Beritahu saya jika kurang."

Angka miliar di kertas itu membuat Sahna tertegun.

Memang betul ia meminta. Memang betul ia datang untuk mendapatkan ini. Tapi sungguh? Dia begitu saja memberi pada anak yang tiba-tiba datang? Tidakkah dia bertanya ini untuk apa?

Ataukah dia merasa ini hanya uang recehan untuk pengemis?

"Terima kasih." Sahna justru merasa sangat hina saat ia harus mengatakannya.

"...." Dan itu terasa semakin hina ketika pria itu hanya menggoyang-goyangkan selokinya, tidak merasa baru memberi uang banyak pada anak tidak tahu diri. "Menginaplah."

Sahna tertegun.

"Kamu sudah lama tidak pulang. Jadi menginaplah sebentar."

Setelah semuanya, mustahil Sahna bisa berkata tidak.

*

3. Hampir Saja

Sahna keluar dari ruangan itu setelah urusannya selesai. Pelayan langsung mengantarnya ke kamar yang boleh ia tempati, yang letaknya berada di lantai empat.

"Aku bisa tidur di lantai satu atau dua," kata Sahna. "Tidak harus lantai empat."

Tidak usah memperlakukannya sebagai tamu yang istimewa.

"Tuan berkata di lantai empat, Nona."

Sahna hanya diam-diam mendengkus. Matanya menatap ke sekitaran agar teralihkan, mendapati betapa mewah kediaman ini. Ada rasa kesal yang kembali memuncak di diri Sahna.

Ia marah ketika memikirkan Ibu harus jadi parasit di hidup orang lain sementara pria yang menikahinya lalu berselingkuh itu malah hidup semewah ini. Apa dia bahkan tidak menyesal?

"Kak Sahna."

Tubuh Sahna membeku tiba-tiba.

Suara yang tak familier di telinganya, suara yang tidak pernah ada di ingatannya namun seketika ia tahu siapa.

Cih. Seharusnya Sahna tahu kalau ia menginap maka mereka pasti akan bertemu.

"Ternyata benar." Orang itu tahu-tahu sudah mendekat, menatap Sahna lekat-lekat. "Itu Kakak."

Sahna menatapnya tajam. "Aku bukan kakakmu," gumamnya, berusaha setenang mungkin.

Namun ia tak sudi. Ia tak sudi dipanggil kakak oleh anak yang lahir beberapa bulan setelah dirinya, hasil dari perselingkuhan yang menyakiti Ibu begitu dalam.

"Apa yang Kakak lakukan di sini?" Dia mengabaikan ucapan Sahna. "Dengan siapa Kakak datang?"

Sahna mau tertawa.

Mendengar itu pasti terkesan dia peduli dan bersemangat akan kedatangan Sahna. Tapi ... itu dusta. Dia adalah orang kedua yang paling membenci Sahna di dunia ini, setelah ibunya itu. Padahal dia anak selingkuhan, padahal ibunya itu selingkuhan, tapi bahkan di akhir mereka bertemu, ibunyalah yang melempar Ibu ke jalanan dan anak itu hanya menatap di belakang ibunya tanpa peduli.

"Aku datang meminta uang." Sahna merasa tidak perlu berbohong. Pada akhirnya dia pasti akan tahu dari mulut ayah mereka.

"Uang?" Pria itu menatap Sahna dengan sorotnya yang menilai. "Istri dari Sebastian Algerio meminta uang?"

Sahna menggigit bibirnya. Tahu apa dia soal hidup Sahna sebagai istri? Berhenti sok ikut campur.

Sebaiknya tidak kuladeni, pikir Sahna muak.

"Aku sebentar lagi bukan istrinya." Sahna berlalu pergi, mengisyaratkan pelayan kembali berjalan mengantarnya.

Tentu saja ia merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi karena itu tidak ada urusannya dengan dia. Tapi ....

"Apa ibunya Kakak tidak mengajari apa itu malu?"

Sahna terhenti.

"Selama bertahun-tahun Kakak menjadi parasit di hidup seorang pria. Anak yang diasuh secara sengaja dan penuh rencana oleh ibunya Kakak."

Sahna membelalak marah. Ia berbalik untuk membalas ucapan sialan itu namun tahu-tahu adik tirinya sudah di sana, mencengkram pergelangan tangan Sahna.

"Sekarang setelah jaminan itu pergi, Kakak berencana berpindah inang?" bisik dia penuh ejekan.

Sahna berkerut marah menatapnya.

"Lantas siapa lagi, Kakak? Pria macam apa lagi yang akan Kakak nikahi agar hidup Kakak terjamin?"

"Elbarack, lepas tanganmu," desis Sahna.

Tapi ucapannya justru hanya membuat sang adik tiri semakin kasar. Dia memojokkan Sahna ke tembok, mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Sahna tidak punya pertahanan.

Walau begitu, setidaknya Sahna terus melotot padanya.

"Setidaknya wajah cantik Kakak memang berguna," gumam dia dengan tatapan melecehkan. "Sepertinya akan ada pria muda tolol yang punya uang tertarik dengan wajah ini."

Sahna mengetatkan rahangnya. Ia benci. Ia benci semua orang yang begitu seenaknya memandang Sahna dan seenaknya mengambil kesimpulan tentang hidupnya padahal mereka tidak mengenalnya.

"Muntahkan lagi."

Elbarack mengangkat alis. "Apa?"

"Muntahkan lagi, hinaan untukku itu." Sahna menatalnya tanpa emosi. "Mari kudengar sehina apa sebenarnya aku di mata orang suci seperti kalian."

"Kakak—"

"Ada apa ini?"

Sahna dan El menoleh pada suara itu. Tapi nyaris bersamaan dengan keduanya menoleh, ekspresi dari pemilik suara menjadi gelap dan penuh rasa hina. Dia mendekat, merampas lengan putranya agar menjauh dari Sahna.

"Apa-apaan ini?!" teriaknya murka. "Kamu! Untuk apa anak pengemis sepertimu ada di sini?!"

Pengemis? Anak pengemis katanya? Dasar pelacur hina!

"Saya—"

"Aku tahu itu! Aku tahu!" Dia menarik kasar tangan Sahna dan mendorongnya keras-keras. "Setelah ibumu yang parasit itu mati, kamu cepat-cepat datang kemari mencari jaminan baru! Dan sekarang bukan orang lain tapi anakku?!"

Sahna tercengang. Apa dia gila? Bahkan kalau Sahna benar parasit, untuk apa juga ia merayu adik tirinya yang ia benci setengah mati?!

"Pergi! Pergi dari rumah ini! Tidak ada tempat untuk orang rendahan berdarah pengemis sepertimu!"

Sahna akhirnya benar-benar muak.

"Aku pengemis?" Sahna berdiri menatapnya nyalang. "Jika aku pengemis lalu kamu apa? Pelacur?"

"APA KATAMU?!"

"Hebat sekali. Bibi sangat hebat memutar balik fakta." Sahna gantian menatapnya jijik. "Setelah hamil dari suami orang lain, Bibi dengan bangga mengusir istri sah dari ayahku dan bertingkah seakan-akan ibukulah yang hina. Kamulah yang pengemis. Datang ke keluargaku, menghancurkan hidup ibuku, lalu berteriak-teriak seakan ibuku berbuat buruk padamu."

Sudah jelas ucapan Sahna membuat dia tercengang. Wanita itu mengangkat tangan, melayangkan tamparan pada Sahna.

"TAHU APA KAMU?!" Dia menjerit seperti orang gila. "TAHU APA KAMU SOAL KENYATAAN?!"

"Itu kenyataan! Kamulah yang parasit di hidup ayahku!"

"Tidak tahu diri!" balas dia murka. "Ibumulah yang duluan mulai. Dia! Wanita sialan itulah yang duluan—"

"Sahna."

Tubuh ibu tirinya mendadak beku di tempat. Dia tiba-tiba tampak pucat pasi mendengar suara Ayah sementara Sahna berpaling, masih dalam posisi duduk di lantai.

Pria itu datang, berdiri begitu saja di depan Sahna.

"Bukankah saya meminta kamu istirahat di kamar?" tanyanya datar.

Sahna menggigit bibirnya. Dia bertanya seolah-olah dia tidak melihat bagaimana istrinya itu bertingkah.

"Mungkin lain kali." Sahna berdiri, membersihkan debu dari pakaiannya. Pasti tidak sopan melakukannya pada orang yang telah memberi cek berisi uang sangat banyak, namun kalau dipikir-pikir itu kan memang hak Sahna sebagai anak. "Anda menyambut saya, Ayah, tapi sepertinya anggota keluarga Anda yang lain tidak. Jadi saya pergi saja."

"Berhenti."

Sahna tak mau namun ia tetap harus berhenti.

Pikirnya Ayah mau menyuruh Sahna untuk tetap tinggal dan sabar saja terhadap semuanya, namun pria itu ternyata mengatakan hal lain.

"El." Dia memanggil anaknya. "Antarkan Sahna."

"Saya tidak—"

"Bukankah kamu berterima kasih?" sela Ayah saat Sahna akan menolak. "Tinggallah atau pergi diantar oleh Elbarack."

".... Baik."

Sahna berlalu pergi hingga El berjalan menyusulnya.

Diam-diam El melirik ke belakang, pada ibunya yang kini berdiri pucat di hadapan Ayah.

Hampir saja, pikir El seraya kembali melihat Sahna. Hampir saja Sahna mendengar sesuatu yang tidak perlu.

Rahasia itu pasti sesuatu yang sangat tidak mau Sahna dengarkan. Dan jelas tidak mau diungkap oleh siapa pun.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!