4. Menolak Bercerai

Padahal tidak ada gunanya Elbarack mengantar Sahna sebab Sahna datang dengan mobil. Tapi si anak kesayangan Ayah itu menuruti perintah ayahnya, mengekori mobil Sahna sampai tiba di kediaman Sebastian.

Tanpa ada niat menjamunya sama sekali, Sahna masuk sendiri dan meninggalkan dia. Tidak seperti dia anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Dia cuma disuruh mengantar, tidak lebih.

Daripada peduli dengan El, Sahna berjalan menuju kantor Sebastian lagi. Pria itu memang lebih banyak menghabiskan waktu di kantornya dalam rumah dan hanya sesekali keluar jika benar-benar perlu.

Sekali lagi, Sahna mengetuk.

"Ini aku."

".... Masuk."

Sahna mendorong pintunya terbuka, datang mendekati meja Sebastian untuk mendorong cek ke depan matanya.

"Ini." Sahna berucap dingin. "Mungkin tidak cukup tapi setidaknya kamu tahu aku bisa membayar. Jadi beritahukan angka pastinya."

Sebastian menatap lembar cek itu sebelum mendongak. "Ayahmu pria yang murah hati." Laku menyeringai kecil.

Ternyata dia tahu Sahna pergi mengemis ke ayahnya.

"Murah hati atau tidak, aku sudah membawa bukti akan membayar semua kompensasinya. Jadi berhenti basa-basi dan beritahu angka pastinya."

"Apa Nona akan kembali ke sana dan meminta?"

"Bukan urusanmu!"

"Tentu urusanku." Sebastian menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi. Melonggarkan kemeja yang dipakainya seolah merasa panas di ruang ber-AC ini. "Nona mengemis saat Nona menyandang status istriku. Bukankah itu jadi menghinaku juga?"

"Istri?" Sahna mendengkus. "Kamu menyebutku istri sekarang? Kontradiksi sekali. Satu sisi kamu menyebutku Nona, di sisi lain aku ternyata seorang Nyonya. Ternyata pria sibuk sepertimu punya banyak waktu bermain-main."

"Setidaknya kamu istriku di depan orang lain." Sebastian malah membalas tanpa beban.

Dia meraih cek bernominal besar itu. Menatapnya beberapa saat lalu tertawa.

"Beritahu aku, Nona, kenapa aku menikahimu?"

Sahna hanya diam. Kenapa juga ia harus menjawab pertanyaan yang jelas begitu?

"Apa Nona tuli? Ataukah bisu?"

"Kamu sudah tahu jawabannya, Sebastian. Sebenarnya apa yang susah dari memberitahu nominal hargaku, di matamu itu, agar aku membayarnya dan aku yang menjijikan bagimu ini hilang selamanya dari rumah ini?"

Sebastian mengangkat alis tenang. "Sebenarnya apa yang susah dari menjawab pertanyaan yang aku sudah tahu jawabannya?"

Pria sialan ini!

"Jawab saja. Kamu ingin berlama-lama membicarakan ini atau mempersingkat?"

Sahna berusaha tidak mengumpat. Akhirnya menjawab, "Karena ibuku."

Dasar badjingan. Dia hanya ingin membuat Sahna menghina ibunya sendiri karena memaksa dia—

"Aku bertanya apa yang membuat AKU menikahimu, Nona. Bukan apa yang membuat KAMU menikahiku."

Apa? Memangnya itu berbeda?

"Tidak kusangka. Bertahun-tahun menjadi istriku, Nona bahkan tidak tahu alasan aku menikahi Nona."

"Itu semua karena Ibu!" Sahna menggeram. "Ya, Ibuku hina karena memaksamu! Itu jawaban yang kamu mau dari aku, anaknya?!"

".... Kamu tidak mengenal ibumu rupanya."

"Apa yang—"

Sahna mematung seketika. Di depannya saat ini Sebastian merobek-robek cek yang penuh hina Sahna minta pada Ayah yang mungkin akan menertawakannya jika Sahna meminta ulang.

Dia merobeknya. Sekali, lalu sekali lagi, kemudian sekali lagi, lagi, lagi, lagi, lagi sampai potongan itu menajdi sangat kecil.

"Berapa harga Nona bagiku? Bagaimana cara membayar agar semua milikku dalam dirimu bisa jadi milikmu sendiri lagi? Itukah pertanyaanmu, Nona?"

Sebastian tersenyum misterius.

"Bawakan aku segunung emas dan kamu akan melihat aku meludahinya."

Sahna terbelalak. Kalau begitu sejak awal dia tidak berniat menerima kompensasi?! Lalu kenapa?! Bukankah dia justru adalah orang yang paling ingin bercerai dari wanita rendahan seperti Sahna?

"Aku menikahimu sedikitpun bukan karena ibumu." Sebastian menyeringai main-main. "Itu untuk diriku sendiri."

"Omong kosong!" Sahna tak bisa menerimanya. "Kalau bukan karena balas budi, untuk apa orang sepertimu menikahi aku?! Kamu tidak pernah mencariku! Kamu tidak memanggilku ke kamarmu bahkan sekali! Kamu jelas tidak ingin keturunan dariku! Lalu kenapa?!"

".... Apa hanya itu?" Sebastian menatapnya bosan. "Ternyata Nona menganggap diri Nona hanya sebatas wanita yang dipakai di tempat tidur, melahirkan anak untukku, dan mungkin sedikit menghiburku. Rendah sekali."

Urat-urat di leher Sahna menonjol akibat marah. Kenapa semua orang terus mempermainkannya? Apa sebenarnya kesalahan yang Sahna perbuat hingga ia terjebak di situasi menjijikan ini?

"Aku tidak mau bercerai." Sebastian tersenyum. "Aku tidak peduli kamu mau berbuat apa. Aku cuma tidak akan membiarkan tiga hal saja. Pertama, bercerai; kedua, bunuh diri; ketiga, mencoreng kehormatanku. Sisanya lakukan sesukamu."

"...."

"Sekarang pergilah, Nona. Aku harus bekerja agar kamu bisa makan dan tidur nyaman di rumah ini."

Sahna meninggalkan ruangan itu tanpa suara. Merasakan keputusasaan yang berusaha keras ia tolak.

"Kamu tidak mengenal ibumu rupanya."

"Aku menikahimu sedikitpun bukan karena ibumu."

Sahna memeluk dirinya sendiri, takut.

Apa sebenarnya yang Sebastian maksudkan? Apa yang Ibu sembunyikan? Kenapa pria itu menolak bercerai padahal benci pada Sahna?

"Jangan bercanda." Sahna mengepal tangannya murka. "Maksudnya aku harus duduk seperti tikus di sudut rumahmu, begitu? Terima saja nasibku sambil menerima makanan darimu, begitu?"

Tidak! Sahna tidak akan sudi!

*

Sahna duduk di kamarnya sepanjang malam, menangis dan termenung. Ia merasa sedih, takut, muak pada situasinya namun setelah menangis beberapa saat, Sahna menyadari tangisannya tidak berguna. Lalu ia memikirkan apa yang perlu dilakukan agar bisa keluar dari situasi ini, hanya untuk menyadari bahwa ia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya menangis lagi.

Tapi itu adalah proses. Proses di mana kepalanya serasa ingin pecah dan tubuhnya ingin meledak begitu saja. Pagi hari waktu matahari terbit, Sahna baru terpikir sesuatu yang selama ini tak terpikirkan.

"Apa seorang pengasuh memang bisa senekat itu meminta?" gumam Sahna bertanya-tanya. "Jika aku jadi Ibu dan aku mengasuh anak orang kaya sejak dia masih kecil, mungkin meminta uang atau jaminan hidup aku berani."

Tapi pernikahan? Sesuatu yang menyangkut keturunan, harga diri keluarga dan bahkan warisan harta keseluruhan?

"Orang sekaya Sebastian mana mungkin mau memberikan hal itu pada putri pengasuhnya, kan?"

Lalu kenapa dia seperti mau? Kenapa dia menikahi Sahna?

"Kalau dipikir lagi, memangnya dia bodoh?" Sahna semakin menyadarinya. "Orang secerdas dia, bahkan kalau pengasuh yang membersihkan kotorannya dengan tangan sejak kecil, memangnya pantas diberikan posisi setinggi ini?"

Tidak. Itu mencurigakan setelah dipikir lagi.

Selama ini Sahna terpaku pada fakta Ibu mendesak Sebastian balas budi setelah mengasuhnya. Tapi kan Ibu digaji. Ibu sama saja seperti pelayan-pelayan Sebastian lainnya. Lalu kenapa permintaan Ibu yang lancang malah dikabulkan?

"Kamu tidak mengenal ibumu rupanya."

Sahna menutup wajahnya dan tersadar.

Mungkin benar. Ia tak mengenal Ibu lebih dari apa yang Ibu selama ini tampilkan. Kalau begitu Sahna perlu mencari tahu kan?

Gunung rahasia yang Ibu sembunyikan, ia perlu mencari tahu semua itu.

*

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

Nahhh kann... misteri.. seru niiii 👍😆

2024-02-01

0

Devita

Devita

masih penasaran,,ada teka teki apa d balik ini semua,,rasanya udah g sabar pengen tahu...😅🤭klo ad buku y gpp Thor sy mo beli sy bukan org yg sesabar itu utk menunggu kelanjutan cerita y..🤭

2024-01-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!