Sahna menatap hina kepergian Sebastian. Namun ia tak bisa menampik bahwa dirinya juga sama hina. Pria itu tidak sepenuhnya salah. Sahna memanglah tidak berhak atas apa pun setelah semua yang pria itu berikan untuk Ibu.
"Tapi bukan berarti aku tidak bisa apa-apa."
Sahna berbalik pergi, menuju kamarnya sendiri. Rasa sepi dan duka itu masih menyiksa, tak bisa ia tampil bahwa kehilangan Ibu membuat seluruh dunianya hancur berantakan.
Tapi berdiam diri di sini akan semakin menghancurkan hidupnya.
"Aku perlu banyak uang," gumam Sahna muram. "Sangat banyak."
Uang yang mungkin bahkan tidak pernah ia bayangkan akan ia pegang. Tapi bagaimana Sahna mendapatkannya? Dalam waktu singkat, bagaimana ia bisa mendapatkan uang yang cukup memuaskan pria sialan itu?
"Ah." Sahna mendongak ke langit-langit kamar mandi. "Aku lupa aku punya ayah."
Pernahkah kalian hidup dalam dunia di mana kalian bahkan tidak peduli punya ayah atau tidak? Sahna hidup dalam dunia itu. Sejak ia kecil, Ibu meninggalkan Ayah karena sebuah perselingkuhan. Pria itu berselingkuh dengan sahabat baik Ibu dan bahkan punya anak darinya hanya beberapa bulan setelah Sahna lahir.
Tentu saja Sahna benci padanya. Gara-gara dialah Ibu harus bekerja di keluarga ini dan kemudian Sahna terjebak dalam pernikahan bodoh ini.
"Setidaknya dia masih ayahku." Sahna beranjak dari kamar mandi, menuju ke laci dekat tempat tidur.
Sebuah kertas yang tampak sudah diremas-remas penuh emosi Sahna keluarkan dari sana. Hanya secarik kertas berisi alamat yang diberikan padanya pada hari ulang tahun Sahna, delapan bulan yang lalu.
Tepatnya saat Ibu mulai sakit keras sampai-sampai dirawat di rumah sakit dan akhirnya tak bisa sembuh. Pada waktu itulah untuk pertama kali ia mendapat kiriman kertas bodoh ini, seolah-olah ini adalah hadiah ulang tahun.
"Ini gunamu mengirim alamat kan?" bisik Sahna pada kertas itu.
Kertas yang mustahil menjawabnya namun akan ia buat ini berguna unruk menjawab kesulitannya.
Tanpa menunda-nunda, esok hari Sahna berangkat menuju alamat ini. Sedikitpun Sahna tidak terkejut saat ia berhenti di hadapan sebuah rumah megah yang tak jauh bedanya dengan kediaman Sebastian.
"Kamu berselingkuh lalu hidup mewah," gumam Sahna saat memandang jijik rumah itu, "sementara Ibu melakukan ini dan itu agar aku hidup."
Sahna menekan bel pada pagar. Menunggu sekian saat hingga petugas muncul di depannya.
"Aku ingin bertemu tuan rumah ini."
"Atas nama siapa, Nona?"
"Sahna." Entah kenapa Sahna mau tersenyum dan kembali berkata, "Sahna Iskandar."
Petugas terkejut mendengar marga tuannya tiba-tiba disematkan pada nama yang tidak dia kenali. Namun saat mengamati penampilan Sahna yang setidaknya bukan pengemis atau penipu maka pria itu pun pergi meminta izin.
Hanya sekitar dua menit dia kembali dan terburu-buru membuka gerbang.
"Silakan masuk, Nona."
Sahna hanya mengeraskan ekspresinya. Tak terlalu peduli jika sekarang mereka bersikap ramah. Seorang pelayan datang menyambutnya dan langsung mengarahkan Sahna pergi menuju ruangan pria itu berada.
Setelah berjalan cukup jauh akhirnya mereka tiba dalam sebuah ruangan.
"Silakan, Nona." Mereka membuka pintu untuknya, mempersilakan Sahna masuk dalam sebuah ruangan penuh buku-buku.
Sahna hanya fokus menatap pria di sana. Yang sedang duduk santai di sofa menyesap wiski dengan tenang. Wajahnya terlihat normal, berarti belum mabuk.
Ini bahkan belum siang hari tapi dia sudah minum, pikir Sahna jijik. Sesuai harapan dari kebiasaan tukang selingkuh dan suka melepas tanggung jawabnya.
Bahkan kalau wajah dia terlihat tampan seperti malaikat, sifatnya bahkan membuat Sahna ingin muntah.
"Ayah." Sahna memang lama tidak melihatnya namun ia mengingat bagaimana pria itu dan bagaimana ia pernah memanggilnya. "Saya datang untuk bicara sesuatu."
Sahna sengaja bicara formal.
"Duduk." Pria itu hanya menjawab singkat.
Sahna duduk walau enggan, menatap tanpa ekspresi saat dia mendorong segelas minuman lain ke depannya.
"Saya tidak minum alkohol," ucapnya, menahan sinis.
"Itu teh apel." Dia menjawab tanpa ekspresi.
Sahna cuma mendengkus. "Saya tahu Ayah—"
"Kalau kamu datang bicara pada ayahmu, kenapa nadamu seperti bicara pada orang asing?"
Maksudnya Sahna tidak usah bicara formal?
Hah! Ingin rasanya Sahna menghina namun ia tahu itu tidak pantas di situasinya sekarang.
"Aku mengerti." Sahna lebih baik patuh agar cepat pergi. "Aku tahu ini pasti mengejutkan. Aku datang tiba-tiba setelah sekian lama. Tapi setidaknya aku harap Ayah masih mau menerimaku."
Dia lebih sibuk menatap es batu dalam seloki wiskinya. Membuat Sahna merasa dia tak tertarik dan tak mau tahu.
"Ibu sudah meninggal."
".... Oh."
Sahna tercengang. Hanya oh? Dia mendengar mantan istrinya meninggal dan hanya oh?!
Dasar badjingan—ah, tidak. Tidak perlu mengumpat pada orang tuli dan buta.
"Apa Ayah tahu selama ini Ibu bekerja keras?" Sahna harus menekankan ini. "Ibu melakukan banyak hal agar aku bisa hidup nyaman. Karena seseorang yang harusnya bertanggung jawab ternyata tidak punya tanggung jawab."
"...."
"Tapi aku bukan Ibu." Sahna memangkas seluruh basa-basi saat ia melihat dia sangat tidak peduli. "Aku ingin Ayah membayar kompensasi atas semua hal di hidupku. Semua yang Ayah lewatkan karena sibuk dengan keluarga baru Ayah, aku ingin hakku diberikan."
"...."
"Aku setidaknya berhak menurut darah, kan?"
Saat itu entah kenapa Sahna melihat dia tersenyum. Walau hanya sesaat dan nyaris seperti tidak pernah ada.
"Berapa?" ucapnya tiba-tiba.
Tentu saja mengejutkan Sahna yang berpikir akan ditolak.
"A-apa maksud Ayah berapa?"
"Kompensasi hidupmu selama ini, berapa?"
Sahna malah mengatup mulutnya. Tentu saja ia datang dengan ketidakyakinan. Maka dari itu Sahna sepanjang jalan memikirkan bagaimana cara ia menekan pria itu agar merubah keputusannya dari yang menolak menjadi setuju.
Tapi ... dia semudah ini setuju?
Saat Sahna terus berpikir karena terkejut, dia beranjak dari sofa menuju ke meja kerjanya. Pria itu membungkuk, membubuhkan sesuatu di atas sebuah kertas sebelum dia membawanya ke meja kembali.
"Ini." Kertas kecil yanh ternyata sebuah cek itu disodorkan pada Sahna. "Beritahu saya jika kurang."
Angka miliar di kertas itu membuat Sahna tertegun.
Memang betul ia meminta. Memang betul ia datang untuk mendapatkan ini. Tapi sungguh? Dia begitu saja memberi pada anak yang tiba-tiba datang? Tidakkah dia bertanya ini untuk apa?
Ataukah dia merasa ini hanya uang recehan untuk pengemis?
"Terima kasih." Sahna justru merasa sangat hina saat ia harus mengatakannya.
"...." Dan itu terasa semakin hina ketika pria itu hanya menggoyang-goyangkan selokinya, tidak merasa baru memberi uang banyak pada anak tidak tahu diri. "Menginaplah."
Sahna tertegun.
"Kamu sudah lama tidak pulang. Jadi menginaplah sebentar."
Setelah semuanya, mustahil Sahna bisa berkata tidak.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
dewi
ini seorang ayah bukan sih pengen tak maki takut durhaka tapi bener2 nyebelin bgt ayah nya shana 😤😤😤smg saja dia bisa membantu dan memberikan kebahagian utk mu
2024-01-16
1