Nona Muda Love Pengacara
Prolog
Dalam beberapa saat, keduanya diliputi kebisuan. Reza dengan ketegangan, sementara Jelita justru santai dan begitu asyik memainkan kuku-kuku indahnya saat ini. Mereka berdua terlihat bagaikan seorang tuan putri dan pengawal yang baru saja melakukan kesalahan. Dua orang dari dunia yang berbeda, menyisakan ketidakseimbangan bagi hidup keduanya.
“Jadi, permohonan saya tidak dikabulkan?” tanya Reza masih berusaha, sesaat setelah ia mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Kebisuan pun berangsur pergi, oleh ucapan pria itu.
“Hmm ....” Tanpa mengubah sikap, Jelita bergumam singkat. Dua detik berikutnya, mata sipit gadis itu mengarah ke depan, kemudian menatap Reza. “Di dunia ini tidak ada yang gratis, ‘kan? Sekalipun dapat yang gratis, pasti hasil dari pembelian, bukan?”
Reza mengangguk dengan hati-hati. “Tentu, Nona.”
“Aaah ... Kak Reza!”
Mendengar panggilan yang disebut sama seperti sebelumnya, Reza reflek menatap Jelita dengan terpana. “I-iya?”
Jelita mengembuskan napas melalui mulutnya. “Jeli bisa kabulin permintaan Kakak. Tapi, ... tentu ada syarat sebagai sebuah pertanggungjawaban.”
“Syarat?”
“Ya, jadi Kakak bersedia atau enggak?”
Reza bergeming bimbang.
“Jeli, minta Kakak jawab ya atau tidak secara cepat!”
“Untuk syarat itu ...?”
“Ya atau tidak?!”
Reza menelan saliva. “Baiklah, ... iya.”
Jawaban Reza yang terdengar ragu, justru membuat Jelita merasa puas. Gadis perancang itu kembali memposisikan tubuhnya dengan tegak. Kedua tangannya dilipat lagi ke depan. Reza sudah ada di dalam genggaman, bahkan keluarga dari pria itu. Rencana Jelita berjalan lancar. Semua dalam kendalinya, keadaan pun mampu ia balikkan.
Reza yang sebelumnya selalu menolaknya, kini justru akan ia kendalikan. Pria itu tidak akan bisa memberikan perlawanan. Karena, setelah ini pun masih ada beberapa langkah lagi.
“Baiklah, Jeli bakal tarik tuntutan itu. Tapi, bukti masih Jeli pegang. Bahkan, Jeli akan menginvestasikan dana di perusahaan milik keluarga Kakak! Bukankah cukup menguntungkan?” ucap gadis itu penuh semangat.
“Jadi, mengenai syarat itu?” balas Reza.
“Sebentar, jangan terburu-buru.”
“Jel ... ah, Nona! Tolong jangan terlalu berbelit-belit. Saya hanya ingin kedamaian saja, bukan meminta investasi.”
“Sayangnya, investasi sudah diluncurkan. Jadi, Kakak enggak bisa menarik keputusan lagi. Kalau, Kakak nekat, Jeli bakal tuntut Risa bahkan ganti rugi investasi itu.”
“Apa yang kamu mau Jel?”
Tatapan mata kedua insan itu saling bertaut satu sama lain. Reza dengan ekspresi datar karena sudah tidak bisa menahan kesabaran. Sementara, sang nona muda dengan senyum paling menawan.
“Jelita!”
“Main sama aku!”
“Apa?!”
“Jadi, pengacara pribadi aku, kaki tangan aku, selalu memenuhi permintaan aku dan ... jadi pria gembulku!”
Reza terkesiap mendengar permintaan gadis itu. “Jangan gila, Jel! Kamu sedang membeliku?”
“Gila? Tentu tidak, intinya Kakak jadi priaku mulai dari detik ini. Karena kesepakatan sudah dibuat.” Jelita tersenyum penuh kemenangan, sebab pria yang ia incar sudah berada di dalam genggaman. “Ya, membeli hati Tuan Pengacara,” tambahnya.
****
“Kok bisa, ya? Om itu nyampe sekarang masih galak sama aku, tapi bucin banget sama Tante Fanni. Bahkan, Kak Mita yang bar-bar aja suaminya polisi, ganteng perhatian. Apa kisahku akan seperti itu, ya, nanti?"
Episode 1-Salah Sikap
Setelah tiga tahun mengarungi dunia pendidikan di bidang fashion design dengan gelar S1, akhirnya Jelita lulus dengan sempurna. Ia telah banyak belajar mengenai gambar, warna, komposisi, pola dan lain sebagainya. Kini, Jelita akan memulai usaha yang sebenar-benarnya. Ia tidak akan membuat tata busana sebagai kesenangan saja, melainkan juga bisnis yang lebih profesiaonal.
Terlebih, ketika ia merupakan anak dari orang kaya, bukan perkara sulit untuk memulai usaha. Ya, Jelita mendapatkan sokongan juga dukungan besar dari Nur Imran—orang tua—yang masih ia miliki. Tidak seperti Fanni dan Mita, dua orang wanita yang sangat berpengaruh pada hidupnya, mereka merintis usaha salon dimulai dari nol. Mungkin, itulah perbedaan antara orang kaya dan biasa saja. Namun, bagaimana pun itu, asal ada keseriusan dan tawakal semua pasti akan lancar.
“Hmm ... gimana ya? Kira-kira, bagus enggak yah, rancangan aku?” Jelita memangku dagunya setelah baru saja menyelesaikan rancangan baju di hadapannya.
Tiba-tiba, suara sang ayah sedang berdeham terdengar di telinga Jelita. Wanita yang kini berusia hampir 20 tahun itu tersadar atas lamunan pertanyaannya. Ia menoleh ke arah Nur Imran yang sudah berdiri di ambang pintu kamar yang telah terbuka sempurna.
Jelita tersenyum, lalu berdiri. Ia berjalan mendekati Nur Imran yang saat ini sama halnya dengan dirinya, tersenyum.
“Pa,” ucap Jelita.
Nur Imran masuk satu langkah ke dalam kamar sang putri pertama. “Kamu kok belum tidur? Emangnya enggak ngantuk?”
“Aku baru selesai bikin rancangan, Pa.”
“Jangan dipaksakan, Lita. Lihat badan kamu udah kerempeng seperti itu.”
“Ini bukan karena dipaksain kok, Pa. Jelita ‘kan, akhir-akhir ini rutin berolahraga.”
“Hmm ... ngeles aja kamu.”
“Serius, Papa! Masih bareng Kak Mita kok.”
“Tapi, ya dibagi dong, Nak. Jangan semalem ini belum tidur.”
“Ck, Papa ini. Suka nasehatin aku, tapi sendirinya juga belum tidur!”
Nur Imran tertawa. “Kamu kalau dinasehatin, malah nyalahin balik lho.”
“Fakta, Papa!”
Nur Imran berbalik badan. “Dasar!” ucapnya sembari menoleh lagi, sebelum akhirnya berlalu pergi dari kamar Jelita.
Jelita mengembuskan napasnya, diiringi senyuman yang mengembang manis di bibirnya. Ia bergegas menutup pintu kamar yang diabaikan begitu saja oleh sang ayah. Baru setelah itu, ia kembali dan merebahkan diri di atas kasur empuk yang terbingkai ranjang mewah.
Beberapa tahun terakhir, tepatnya ketika ia berhasil menurunkan berat badannya, hidupnya semakin baik-baik saja. Menorehkan perasaan lega juga bahagia di hati Jelita. Hidup memang tidak bisa ditebak oleh para manusia, bahkan para cenayang juga sering keliru dalam membuat ramalan. Ia masih tidak menyangka bisa mencapai semua keberhasilan. Setelah sebelumnya, ia mengalami kasus pembullyan sebab badannya yang besar juga siksaan halus dari Riris—mantan ibu tirinya.
“Sempurna, ... tapi, aku belum punya cinta,” gumam Jelita. Pikirannya melayang membayangkan kisah asmara yang bahkan belum pernah ia alami.
Selama ini, fokusnya hanya untuk pendidikan juga karir saja. Belum terpikir sosok laki-laki yang akan ia jadikan kekasih hati. Meski Jean, Mita bahkan Fanni sering memintanya untuk berkenalan dengan beberapa pria. Namun, belum ada satu pun yang mampu meluluhkan hatinya. Entah kapan, karena buku gambar lebih ia sayangi daripada membuang waktu dengan pria yang belum tentu.
Namun, malam ini pikirannya justru terlintas tentang hal itu. Melihat Fanni dengan suaminya—Arlan—yang sering mengumbar kemesraan di hadapannya, membuatnya berangsur iri. Ia ingin memiliki asmara indah seperti dua insan manusia yang bahkan sudah memiliki tiga orang anak. Tidak peduli dengan usia pernikahan yang sudah bertahun-tahun, nyatanya keduanya masih harmonis melebihi kisah romantis remaja masa kini.
“Kok bisa, ya? Om itu nyampe sekarang masih galak sama aku, tapi bucin banget sama Tante Fanni. Bahkan, Kak Mita yang bar-bar aja suaminya polisi, ganteng perhatian. Apa kisahku akan seperti itu, ya, nanti?” Jelita mengembuskan napas melalui mulut dengan kasar. “Tapi, nyari cowok macam mereka di mana?!”
“Tante Fanni tidur belum ya? Kalau Kak Mita pasti ngomel kalau aku telepon semalam ini.”Jelita meraih ponsel di atas nakas. Ia memeriksa sosial media milik Fanni. Baru tiga menit yang lalu, wanita berusia hampir 35 tahun itu mengaktifkan sosial medianya.
Jelita pikir, Fanni belum tidur. Ia mengulas senyum senang di bibirnya. Lalu, tanpa pikir panjang lagi ia melakukan panggilan suara pada Fanni.
“Bentar, Mas!” pinta Fanni menyudahi aksi nakal suaminya ketika suara ponsel terdengar nyaring di atas nakas.
“Biarin aja lho, Dek,” sergah Arlan kesal.
“Takut penting, Sayang.”
Arlan masih menahan lengan Fanni dengan harapan sang istri bersedia menuruti keinginannya. “Kepalang tanggung lho, Dek.”
“Kan, belum apa-apa. Baru kiss doang.”
“Tetep aja, udah ....”
“Bentar ya, Sayang. Enggak enak, siapa tahu klien.” Fanni tersenyum pada suaminya itu, ia melepaskan cengkeraman tangan Arlan yang berangsur melemah.
Perasaan kesal mencuat dari hati Arlan. Bagaimana tidak, ketika ada kesempatan bagus di mana ketiga anaknya sudah tertidur justru ada saja yang mengganggu momen romantisnya bersama Fanni. Terlebih, ketika Fanni lebih memilih mengutamakan perihal panggilan itu daripada dirinya. Dengan bibir yang mengerucut bahkan bisa dikuncir menggunakan karet gelang, Arlan menatap tajam ke arah Fanni yang sudah memegang ponsel.
Panggilan kedua dari Jelita kembali masuk, setelah sebelumnya berakhir karena durasi. Fanni langsung menjawab, karena takut ada sesuatu yang berkenaan dengan pekerjaan.
“Halo, Lita,” sapa Fanni pada gadis tersebut.
“Tante belum tidur?” tanya Jelita.
“Belum sih, ada apa?”
“Mau tanya, Tante.”
“Ta—“ Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Arlan merebut ponsel secara tiba-tiba dari tangan sang istri.
“Bisa enggak, kamu enggak ganggu malam kami?!” tegas Arlan pada Jelita.
Jelita terkesiap, tidak menyangka akan mendapatkan respon seperti itu. Namun, keterkejutannya berangsur hilang. “Maaf ya, Om! Kirain enggak lagi diapa-apain Tante Fanninya.”
“Matiin!”
“Ih, galak banget sih?!”
“Anak nakal!”
“Om galak!”
“Anak ini! Eng—“ Ucapan Arlan terpotong begitu saja oleh tawa jahil dari Jelita. Bahkan, panggilan tersebut dimatikan tanpa salam oleh anak nakal yang ia sebut itu.
Arlan mendengkus kesal, tidak habis pikir dengan ulah gadis manis yang selalu membuatnya hilang kesabaran. Namun dalam artian kesal, bukan benci. Ya, meski sudah bertahun-tahun saling mengenal Arlan dan Jelita seperti seekor kucing dan anjing yang tidak pernah akur ketika bertemu. Dan mungkin itulah cara Arlan menyayangi Jelita sebagai seorang adik, setelah sebelumnya hubungannya dengan Riska—sang keponakan—justru renggang karena waktu tidak mengizinkan untuk bertemu.
Fanni yang sempat terkejut sebab ulah suaminya yang tiba-tiba, kini justru tertawa daripada marah. Sudah pasti, tebakannya benar perihal perasaan kesal milik Arlan pada Jelita, bahkan sampai mengganggu momen manis dengan dirinya.
“Mas, enggak bisa gitu akur sama anak itu?” tanya Fanni.
“Anaknya nakal, Dek. Bukannya Mas enggak mau,” jawab Arlan.
“Habis kamu galak, jadi pengennya dia bikin kesel kamu terus. Tapi, Mas, Jelita bilang sama aku kalau mending berantem sama kamu daripada ayahnya. Meski semua udah baik-baik aja, Jelita masih punya rasa canggung buat bercanda.”
Arlan menghela napas. “Sama kayak kamu dulu, Dek. Kamu ‘kan juga susah lupa sama yang namanya sakit hati, dia juga gitu meskipun udah akur sama bapaknya. Mas enggak benci, cuma sebel aja.”
“Dasar! Padahal, sendirinya juga nyebelin.”
“Jangan ngatain, deh.”
“Fakta.”
“Kamu?”
“Apa?”
Mendengar keluhan Fanni mengenai dirinya, Arlan sudah tidak tahan lagi untuk mendorong tubuh sang istri. Hal yang sempat tertunda akhirnya kembali dilanjutkan olehnya terhadap Fanni. Keromantisan terjadi di malam dengan rintik hujan yang tipis alias gerimis. syahdu, dua insan manusia memadu kasih dengan perasaan cinta yang tidak pernah pudar sepanjang masa yang sudah mereka arungi bersama.
Sementara, di kediaman bak istana raja milik pengusaha besar Nur Imran, Jelita tengah memukul keningnya sampai beberapa kali. Ia lupa perihal keberadaan Arlan di samping Fanni. Selama ini, ia menganggap Fanni seperti seorang teman, sehingga ia kerap lupa bahwa wanita itu telah berkeluarga.
“Maafin aku, Om galak,” gumamnya dengan raut wajah yang sangat menyesal.
****
Aku sudah riset soal lamanya pendidikan S1 fashion design. Tapi, misal ada kesalahan mohon koreksi ya (•‿•)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
reza gaming 30
basahamu itu lho thor, membuat karyamu enak dibaca d tdk bertele2,. perlu dilanjut unt dibaca
2022-09-17
0
Oh Dewi
mampir ah mana tau seru.
Btw, aku pernah baca novel yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, itu keren banget. Kalo search jangan lupa tanda kurungnya
2022-08-18
0
Syifadini Atira
kok aku jadi bingung alur ceritanya 🤔
2021-03-15
0