“Kamu benar, Jel. Coba anak saya kayak kamu, punya bakat bisa berkarir sendiri. Tanpa harus nikah muda seperti ini.”
Episode 5-Keinginan Reyna
Jelita menatap Reyna secara diam-diam. Apa yang sang nyonya pikirkan? Bahkan, baru bertemu beberapa jam yang lalu, ia justru membawa designer muda itu untuk minum kopi bersama. Mau mendengkus kesal pun tidak enak hati, Jelita mau tidak mau menuruti, sebagai bentuk kehormatan bagi yang lebih tua. Meski sebenarnya, ia sama sekali tidak tahan dan ingin melarikan diri. Sayangnya, tempat kerjanya sendiri tengah ditutup karena sudah lama tidak ambil libur untuk dirinya sendiri.
“Jadi, ... kamu itu baru lulus beberapa bulan yang lalu?” tanya Reyna sembari meletakkan secangkir kopi hangat yang baru ia sesap.
Jelita memberikan anggukan pelan. “Benar, Nyonya,” jawabnya.
“Kamu berbakat lho, Jel.”
“Kalau enggak berbakat, mana mungkin saya berani masuk ke dunia itu, Nyonya.” Jelita tersenyum tipis, dengan perasaan tidak habis pikir.
“Kamu benar, Jel. Coba anak saya kayak kamu, punya bakat bisa berkarir sendiri. Tanpa harus nikah muda seperti ini.”
“Bukannya, menikah adalah sesuatu yang mulai, Nyonya?”
“Ya, ... tapi enggak secepat itu juga.” Wajah Reyna melemah. Seperti ada sesuatu yang tengah ia pikirkan, tak lagi tegas dan ceria selayaknya awal bertemu sang designer muda.
Hal itu, membuat Jelita merasa heran sekaligus penasaran. Suatu pertanyaan yang menyangkut buah hati Reyna mendadak muncul di dalam benaknya. Namun, kendati demikian, ia tidak ada keberanian untuk bertanya lebih dalam. Bukan hanya baru mengenal sang nyonya, melainkan tidak ingin ikut campur urusan orang.
Jelita hanya menilai bahwa Reyna adalah sosok wanita yang ceria, penuh celoteh manja khas orang kaya. Namun, di balik itu, mungkin saja wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu cukup rapuh. Ya, kadang kala senyum hanya sebuah topeng dari sebuah kepalsuan perasaan. Ia paham betul tentang itu. Sesal hati mendadak datang pada saat ia merasa sebal karena Reyna menariknya untuk ngopi. Kali ini, ia justru ingin menemani lebih lama lagi.
“Apa, butik kamu enggak buka, Jel?” tanya Reyna setelah beberapa saat memilih diam.
Jelita mengangguk. “Benar, Nyonya. Karena tiga bulan terakhir saya hampir enggak pernah menutup butik,” jawabnya seiring senyum yang terulas manis di bibirnya.
“Hmm ... kamu memang menarik. Saya enggak salah menilai, mungkin ... kamu bisa mempertimbangkan tawaran saya, Jel.”
Dahi Jelita mengernyit. “Tawaran?”
“Ya, ... kamu bisa ‘kan mempertimbangkan untuk menjadi menantu saya?”
Designer muda itu terkesiap. Ia menelan saliva di detik berikutnya. Ia pikir sang nyonya sudah melupakan atau bahkan hanya sekedar berkicau saja perihal rencana itu. Ternyata, Reyna tidak main-main. Bahkan, di sorot mata wanita paruh baya itu memancarkan sinar harapan. Harapan yang Jelita meggeragap detik itu juga.
“Kamu enggak mau, Jel?” tanya Reyna lagi.
“Mm ... b-bukannya begitu, Nyonya. Bahkan, kita saja baru bertemu pagi tadi dan saat ini. Anak Nyonya siapa saya ‘kan juga enggak tahu.” Jelita mengambil napas dalam setelah memberanikan diri untuk memberikan jawaban berikut.
“Itu sih gampang. Saya, bisa atur janji temu kalian. Ah! Kamu belum punya pacar, ‘kan?”
“A-anu ... a-anu. Sa—“
“Sudahlah, nanti saya minta anak saya kemari sekaligus menjemput saya juga bertemu kamu.”
Senyum lebar merekah di bibir Reyna. Meski ia tahu bahkan paham betul dengan perasaan Jelita saat ini, ia tidak peduli. Prinsipnya hanya satu mengenalkan terlebih dahulu, siapa yang tahu mereka akan cocok satu sama lain.
Ambisi Reyna untuk mendapatkan Jelita sebagai menantunya sebenarnya bukan omong kosong belaka. Ia menganggap gadis yang ada di hadapannya itu cukup cantik, pintar, sekaligus posisi Jelita sebagai anak orang kaya. Tak seperti anak perempuannya yang bahkan memilih untuk menikah muda, karena cinta buta pada pria yang hanya mengincar harta keluarganya.
Namun, ketika Reyna menentang keras perihal kemauan putrinya itu, ia justru diberikan ancaman perihal bunuh diri. Hati ibu mana yang akan tega melihat sang buah hati mati dan alasan yang dipakai karena cinta tidak direstui. Dan ketika ia tengah gundah gulana layaknya sekarang, justru gadis muda nan pintar dengan segudang prestasi muncul di hadapannya.
Jelita berdeham. “Memangnya, anak Nyonya ada berapa, ya?” tanyanya kemudian.
“Ada dua, satu perempuan, kakaknya laki-laki,” sahut Reyna tanpa menunggu lama.
“Oh ... pantas saja.” Jelita tersenyum tipis.
“Tapi, ... anak saya yang perempuan itu lebih muda dari kamu. Kalau yang laki-laki sudah menjadi pengacara handal.”
“Wah, pasti hebat sekali ya, Nyonya.”
“Hmm ... tapi dia enggan berkenalan dengan perempuan.”
“Mungkin, ada perempuan yang memang sudah disukai, Nyonya. Para laki-laki biasanya malu untuk terbuka, terlebih pada sang ibu.”
“Dia terlalu dingin, Jel. Saya enggak yakin dia suka sama perempuan atau enggak.”
“M-maksud, Nyonya?”
Reyna spontan menutup bibirnya karena perkataan yang justru merendahkan anaknya sendiri itu. Bagaimana bisa ia justru membuat pernyataan yang menimbulkan keraguan hati sang gadis? Terlebih, ketika sudah ada niat untuk menjodohkan anak laki-lakinya dengan Jelita.
“I-itu tadi hanya sebuah canda, Jel! Hahaha.”
Jelita mencoba mengulas senyum di bibirnya, meski sebenarnya ia lebih dari kata terkesiap. Bagaimana tidak, jika pria yang ditawarkan padanya seolah memiliki kepribadian aneh. Bahkan, yang menilai adalah sang ibunda sendiri.
“Aduh! Jangan dipikirkan ya, Jel!”ucap Reyna mengerjabkan kedua matanya beberapa kali seiring gelengan kepala, tanda sedang salah tingkah.
“Enggak kok, Nyonya,” jawab Jelita.
Lalu, keduanya malah saling berpandangan satu sama lain. Tatapan itu justru menimbulkan tawa hangat di sela aktivitas ngopi pagi ini.
“Oh, iya. Soal gaun gimana, Jel?” Reyna berusaha mengalihkan topik pembicaraan supaya perasaan tidak nyman sekaligus malu bisa menghilang.
Mendengar pertanyaan berikut gaun, Jelita segera merogoh sebuah ponsel dari dalam tas jinjing. Ia teringat rancangan busana yang baru ia selesaikan tadi malam.
“Ini, Nyonya.” Dengan debaran hati sekaligus rasa tidak sabar perihal respon Reyna, Jelita memperlihatkan gambar tersebut. Gambar rancangan gaun yang sudah ia abadikan ke dalam ponsel.
“Ada, banyak pilihan sih kalau yang ini enggak cocok. Ada juga yang udah jadi di butik saya, Nyonya, mungkin nanti bisa mampir sebentar,” tambah Jelita memberikan penjelasan.
Reyna hanya manggut-manggut. Kedua manik matanya yang sudah terhias keriput kini begitu fokus, seolah tidak ingin melewatkan secuil kesalahan dari rancangan yang dibuat oleh designer muda tersebut.
Duh! Jadi, bagus enggak, ya? Batin Jelita.
Ketika Reyna tidak segera memberikan penilaian, rasa getir dan khawatir berangsur hadir membuat kegelisahan tersendiri di hatinya. Bahkan, ia beberapa kali menelan salivanya, demi menghalau semua perasaan berikut kegelisahan.
“Mm ....”
Sayangnya, gumaman itu belum disertai sebuah ucapan oleh Reyna. Mau tidak mau, Jelita memberikan kesempatan lebih panjang lagi.
“Ini si—“
“Mama!” Seseorang berseru, membuat sang nyonya membatalkan ucapannya itu.
Lalu, kedua wanita yang tengah menghabiskan pagi bersama itu, kini menatap sang pemuda yang berjalan menghampiri mereka.
“Hah?!” pekik Jelita seiring langkah pria itu mennghampiri mejanya.
****
Jangaan lupa jejak jempolnya! GRATIS!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Imas Masrifah Priyadi
pasti s reza tuh...😁
2020-07-26
0
Ludfiah Mubaroh
aku penasaran sekali🙄🙄🙄
2020-07-26
0
💠 Coco 💠
pasti si reza
2020-07-26
0