NovelToon NovelToon

Nona Muda Love Pengacara

Episode 1-Salah Sikap

Prolog

Dalam beberapa saat, keduanya diliputi kebisuan. Reza dengan ketegangan, sementara Jelita justru santai dan begitu asyik memainkan kuku-kuku indahnya saat ini. Mereka berdua terlihat bagaikan seorang tuan putri dan pengawal yang baru saja melakukan kesalahan. Dua orang dari dunia yang berbeda, menyisakan ketidakseimbangan bagi hidup keduanya.

“Jadi, permohonan saya tidak dikabulkan?” tanya Reza masih berusaha, sesaat setelah ia mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Kebisuan pun berangsur pergi, oleh ucapan pria itu.

“Hmm ....” Tanpa mengubah sikap, Jelita bergumam singkat. Dua detik berikutnya, mata sipit gadis itu mengarah ke depan, kemudian menatap Reza. “Di dunia ini tidak ada yang gratis, ‘kan? Sekalipun dapat yang gratis, pasti hasil dari pembelian, bukan?”

Reza mengangguk dengan hati-hati. “Tentu, Nona.”

“Aaah ... Kak Reza!”

Mendengar panggilan yang disebut sama seperti sebelumnya, Reza reflek menatap Jelita dengan terpana. “I-iya?”

Jelita mengembuskan napas melalui mulutnya. “Jeli bisa kabulin permintaan Kakak. Tapi, ... tentu ada syarat sebagai sebuah pertanggungjawaban.”

“Syarat?”

“Ya, jadi Kakak bersedia atau enggak?”

Reza bergeming bimbang.

“Jeli, minta Kakak jawab ya atau tidak secara cepat!”

“Untuk syarat itu ...?”

“Ya atau tidak?!”

Reza menelan saliva. “Baiklah, ... iya.”

Jawaban Reza yang terdengar ragu, justru membuat Jelita merasa puas. Gadis perancang itu kembali memposisikan tubuhnya dengan tegak. Kedua tangannya dilipat lagi ke depan. Reza sudah ada di dalam genggaman, bahkan keluarga dari pria itu. Rencana Jelita berjalan lancar. Semua dalam kendalinya, keadaan pun mampu ia balikkan.

Reza yang sebelumnya selalu menolaknya, kini justru akan ia kendalikan. Pria itu tidak akan bisa memberikan perlawanan. Karena, setelah ini pun masih ada beberapa langkah lagi.

“Baiklah, Jeli bakal tarik tuntutan itu. Tapi, bukti masih Jeli pegang. Bahkan, Jeli akan menginvestasikan dana di perusahaan milik keluarga Kakak! Bukankah cukup menguntungkan?” ucap gadis itu penuh semangat.

“Jadi, mengenai syarat itu?” balas Reza.

“Sebentar, jangan terburu-buru.”

“Jel ... ah, Nona! Tolong jangan terlalu berbelit-belit. Saya hanya ingin kedamaian saja, bukan meminta investasi.”

“Sayangnya, investasi sudah diluncurkan. Jadi, Kakak enggak bisa menarik keputusan lagi. Kalau, Kakak nekat, Jeli bakal tuntut Risa bahkan ganti rugi investasi itu.”

“Apa yang kamu mau Jel?”

Tatapan mata kedua insan itu saling bertaut satu sama lain. Reza dengan ekspresi datar karena sudah tidak bisa menahan kesabaran. Sementara, sang nona muda dengan senyum paling menawan.

“Jelita!”

“Main sama aku!”

“Apa?!”

“Jadi, pengacara pribadi aku, kaki tangan aku, selalu memenuhi permintaan aku dan ... jadi pria gembulku!”

Reza terkesiap mendengar permintaan gadis itu. “Jangan gila, Jel! Kamu sedang membeliku?”

“Gila? Tentu tidak, intinya Kakak jadi priaku mulai dari detik ini. Karena kesepakatan sudah dibuat.” Jelita tersenyum penuh kemenangan, sebab pria yang ia incar sudah berada di dalam genggaman. “Ya, membeli hati Tuan Pengacara,” tambahnya.

****

“Kok bisa, ya? Om itu nyampe sekarang masih galak sama aku, tapi bucin banget sama Tante Fanni. Bahkan, Kak Mita yang bar-bar aja suaminya polisi, ganteng perhatian. Apa kisahku akan seperti itu, ya, nanti?"

Episode 1-Salah Sikap

Setelah tiga tahun mengarungi dunia pendidikan di bidang fashion design dengan gelar S1, akhirnya Jelita lulus dengan sempurna. Ia telah banyak belajar mengenai gambar, warna, komposisi, pola dan lain sebagainya. Kini, Jelita akan memulai usaha yang sebenar-benarnya. Ia tidak akan membuat tata busana sebagai kesenangan saja, melainkan juga bisnis yang lebih profesiaonal.

Terlebih, ketika ia merupakan anak dari orang kaya, bukan perkara sulit untuk memulai usaha. Ya, Jelita mendapatkan sokongan juga dukungan besar dari Nur Imran—orang tua—yang masih ia miliki. Tidak seperti Fanni dan Mita, dua orang wanita yang sangat berpengaruh pada hidupnya, mereka merintis usaha salon dimulai dari nol. Mungkin, itulah perbedaan antara orang kaya dan biasa saja. Namun, bagaimana pun itu, asal ada keseriusan dan tawakal semua pasti akan lancar.

“Hmm ... gimana ya? Kira-kira, bagus enggak yah, rancangan aku?” Jelita memangku dagunya setelah baru saja menyelesaikan rancangan baju di hadapannya.

Tiba-tiba, suara sang ayah sedang berdeham terdengar di telinga Jelita. Wanita yang kini berusia hampir 20 tahun itu tersadar atas lamunan pertanyaannya. Ia menoleh ke arah Nur Imran yang sudah berdiri di ambang pintu kamar yang telah terbuka sempurna.

Jelita tersenyum, lalu berdiri. Ia berjalan mendekati Nur Imran yang saat ini sama halnya dengan dirinya, tersenyum.

“Pa,” ucap Jelita.

Nur Imran masuk satu langkah ke dalam kamar sang putri pertama. “Kamu kok belum tidur? Emangnya enggak ngantuk?”

“Aku baru selesai bikin rancangan, Pa.”

“Jangan dipaksakan, Lita. Lihat badan kamu udah kerempeng seperti itu.”

“Ini bukan karena dipaksain kok, Pa. Jelita ‘kan, akhir-akhir ini rutin berolahraga.”

“Hmm ... ngeles aja kamu.”

“Serius, Papa! Masih bareng Kak Mita kok.”

“Tapi, ya dibagi dong, Nak. Jangan semalem ini belum tidur.”

“Ck, Papa ini. Suka nasehatin aku, tapi sendirinya juga belum tidur!”

Nur Imran tertawa. “Kamu kalau dinasehatin, malah nyalahin balik lho.”

“Fakta, Papa!”

Nur Imran berbalik badan. “Dasar!” ucapnya sembari menoleh lagi, sebelum akhirnya berlalu pergi dari kamar Jelita.

Jelita mengembuskan napasnya, diiringi senyuman yang mengembang manis di bibirnya. Ia bergegas menutup pintu kamar yang diabaikan begitu saja oleh sang ayah. Baru setelah itu, ia kembali dan merebahkan diri di atas kasur empuk yang terbingkai ranjang mewah.

Beberapa tahun terakhir, tepatnya ketika ia berhasil menurunkan berat badannya, hidupnya semakin baik-baik saja. Menorehkan perasaan lega juga bahagia di hati Jelita. Hidup memang tidak bisa ditebak oleh para manusia, bahkan para cenayang juga sering keliru dalam membuat ramalan. Ia masih tidak menyangka bisa mencapai semua keberhasilan. Setelah sebelumnya, ia mengalami kasus pembullyan sebab badannya yang besar juga siksaan halus dari Riris—mantan ibu tirinya.

“Sempurna, ... tapi, aku belum punya cinta,” gumam Jelita. Pikirannya melayang membayangkan kisah asmara yang bahkan belum pernah ia alami.

Selama ini, fokusnya hanya untuk pendidikan juga karir saja. Belum terpikir sosok laki-laki yang akan ia jadikan kekasih hati. Meski Jean, Mita bahkan Fanni sering memintanya untuk berkenalan dengan beberapa pria. Namun, belum ada satu pun yang mampu meluluhkan hatinya. Entah kapan, karena buku gambar lebih ia sayangi daripada membuang waktu dengan pria yang belum tentu.

Namun, malam ini pikirannya justru terlintas tentang hal itu. Melihat Fanni dengan suaminya—Arlan—yang sering mengumbar kemesraan di hadapannya, membuatnya berangsur iri. Ia ingin memiliki asmara indah seperti dua insan manusia yang bahkan sudah memiliki tiga orang anak. Tidak peduli dengan usia pernikahan yang sudah bertahun-tahun, nyatanya keduanya masih harmonis melebihi kisah romantis remaja masa kini.

“Kok bisa, ya? Om itu nyampe sekarang masih galak sama aku, tapi bucin banget sama Tante Fanni. Bahkan, Kak Mita yang bar-bar aja suaminya polisi, ganteng perhatian. Apa kisahku akan seperti itu, ya, nanti?” Jelita mengembuskan napas melalui mulut dengan kasar. “Tapi, nyari cowok macam mereka di mana?!”

“Tante Fanni tidur belum ya? Kalau Kak Mita pasti ngomel kalau aku telepon semalam ini.”Jelita meraih ponsel di atas nakas. Ia memeriksa sosial media milik Fanni. Baru tiga menit yang lalu, wanita berusia hampir 35 tahun itu mengaktifkan sosial medianya.

Jelita pikir, Fanni belum tidur. Ia mengulas senyum senang di bibirnya. Lalu, tanpa pikir panjang lagi ia melakukan panggilan suara pada Fanni.

“Bentar, Mas!” pinta Fanni menyudahi aksi nakal suaminya ketika suara ponsel terdengar nyaring di atas nakas.

“Biarin aja lho, Dek,” sergah Arlan kesal.

“Takut penting, Sayang.”

Arlan masih menahan lengan Fanni dengan harapan sang istri bersedia menuruti keinginannya. “Kepalang tanggung lho, Dek.”

“Kan, belum apa-apa. Baru kiss doang.”

“Tetep aja, udah ....”

“Bentar ya, Sayang. Enggak enak, siapa tahu klien.” Fanni tersenyum pada suaminya itu, ia melepaskan cengkeraman tangan Arlan yang berangsur melemah.

Perasaan kesal mencuat dari hati Arlan. Bagaimana tidak, ketika ada kesempatan bagus di mana ketiga anaknya sudah tertidur justru ada saja yang mengganggu momen romantisnya bersama Fanni. Terlebih, ketika Fanni lebih memilih mengutamakan perihal panggilan itu daripada dirinya. Dengan bibir yang mengerucut bahkan bisa dikuncir menggunakan karet gelang, Arlan menatap tajam ke arah Fanni yang sudah memegang ponsel.

Panggilan kedua dari Jelita kembali masuk, setelah sebelumnya berakhir karena durasi. Fanni langsung menjawab, karena takut ada sesuatu yang berkenaan dengan pekerjaan.

“Halo, Lita,” sapa Fanni pada gadis tersebut.

“Tante belum tidur?” tanya Jelita.

“Belum sih, ada apa?”

“Mau tanya, Tante.”

“Ta—“ Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Arlan merebut ponsel secara tiba-tiba dari tangan sang istri.

“Bisa enggak, kamu enggak ganggu malam kami?!” tegas Arlan pada Jelita.

Jelita terkesiap, tidak menyangka akan mendapatkan respon seperti itu. Namun, keterkejutannya berangsur hilang. “Maaf ya, Om! Kirain enggak lagi diapa-apain Tante Fanninya.”

“Matiin!”

“Ih, galak banget sih?!”

“Anak nakal!”

“Om galak!”

“Anak ini! Eng—“ Ucapan Arlan terpotong begitu saja oleh tawa jahil dari Jelita. Bahkan, panggilan tersebut dimatikan tanpa salam oleh anak nakal yang ia sebut itu.

Arlan mendengkus kesal, tidak habis pikir dengan ulah gadis manis yang selalu membuatnya hilang kesabaran. Namun dalam artian kesal, bukan benci. Ya, meski sudah bertahun-tahun saling mengenal Arlan dan Jelita seperti seekor kucing dan anjing yang tidak pernah akur ketika bertemu. Dan mungkin itulah cara Arlan menyayangi Jelita sebagai seorang adik, setelah sebelumnya hubungannya dengan Riska—sang keponakan—justru renggang karena waktu tidak mengizinkan untuk bertemu.

Fanni yang sempat terkejut sebab ulah suaminya yang tiba-tiba, kini justru tertawa daripada marah. Sudah pasti, tebakannya benar perihal perasaan kesal milik Arlan pada Jelita, bahkan sampai mengganggu momen manis dengan dirinya.

“Mas, enggak bisa gitu akur sama anak itu?” tanya Fanni.

“Anaknya nakal, Dek. Bukannya Mas enggak mau,” jawab Arlan.

“Habis kamu galak, jadi pengennya dia bikin kesel kamu terus. Tapi, Mas, Jelita bilang sama aku kalau mending berantem sama kamu daripada ayahnya. Meski semua udah baik-baik aja, Jelita masih punya rasa canggung buat bercanda.”

Arlan menghela napas. “Sama kayak kamu dulu, Dek. Kamu ‘kan juga susah lupa sama yang namanya sakit hati, dia juga gitu meskipun udah akur sama bapaknya. Mas enggak benci, cuma sebel aja.”

“Dasar! Padahal, sendirinya juga nyebelin.”

“Jangan ngatain, deh.”

“Fakta.”

“Kamu?”

“Apa?”

Mendengar keluhan Fanni mengenai dirinya, Arlan sudah tidak tahan lagi untuk mendorong tubuh sang istri. Hal yang sempat tertunda akhirnya kembali dilanjutkan olehnya terhadap Fanni. Keromantisan terjadi di malam dengan rintik hujan yang tipis alias gerimis. syahdu, dua insan manusia memadu kasih dengan perasaan cinta yang tidak pernah pudar sepanjang masa yang sudah mereka arungi bersama.

Sementara, di kediaman bak istana raja milik pengusaha besar Nur Imran, Jelita tengah memukul keningnya sampai beberapa kali. Ia lupa perihal keberadaan Arlan di samping Fanni. Selama ini, ia menganggap Fanni seperti seorang teman, sehingga ia kerap lupa bahwa wanita itu telah berkeluarga.

“Maafin aku, Om galak,” gumamnya dengan raut wajah yang sangat menyesal.

****

Aku sudah riset soal lamanya pendidikan S1 fashion design. Tapi, misal ada kesalahan mohon koreksi ya (•‿•)

Episode 2-Kabar Reza

“Mm ... mungkin suka dan ngefans sama Kakak. Dia bilang awal ketemu sama Kakak dia ngerasa enggak asing, nah pas buka medsos emang bener kalau Kakak itu yang lagi jadi tranding topik pada saat itu. Terus dia ngenalin aku karena kita ‘kan sering selfie bareng.”

Episode 2-Kabar Reza

Terlepas dari semua hal yang menggusarkan hatinya tadi malam, pagi ini bahkan baru pukul enam, Jelita sudah siap dengan balutan pakaian kasual nan modis. Wajahnya yang semakin tirus telah terhias make up tipis. Gadis yang semakin cantik itu, masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat di pantulan kaca almari. Bagaimana tidak, jika semua pengorbanan waktu bahkan kesabaran menghasilkan sesuatu yang telah lama ia idam-idamkan.

Seiring waktu berjalan juga kesibukan yang kerap kali membuat Jelita lupa makan, membuat bobot badannya berangsur turun. Bahkan, tinggal 48 kilogram. Bukan hanya semakin langsing, tetapi juga menawan. Diimbangi olahraga selain diet sayur, membuat kulitnya yang putih menjadi sehat.

Dengan keberhasilannya dalam menurunkan berat badan itu pula, membuat namanya semakin dikenal masyarakat luas, terlebih merupakan putri pertama dari pengusaha kaya raya. Namanya yang semakin melejit sebagai selebgram papan atas, cukup berpengaruh pada usaha yang ia rintis sebagai perancang busana tiga bulan terakhir selepas kelulusan.

“Kak Jel?” Seseorang memanggil namanya dari balik pintu kamar, melainkan Jane sang adik tiri.

Jelita menyudahi pandangan kagum atas pantulan dirinya sendiri. Ia mengambil tas jinjing di atas nakas di mana segala barang yang ia butuhkan sudah tersimpan di sana. Meski belum memberikan jawaban untuk Jane, ia tetap melangkah menuju pintu kamar itu.

“Ya, Jane.” Jawaban Jelita untuk panggilan Jane setelah berhasil keluar dari kamarnya.

Jane mengulas senyum manis di bibirnya. “Hmm ... udah rapi, cantik dan wangi. Padahal hari minggu lho.”

“Ada kencan, ya?” tambah Jane.

Namun, Jelita justru menggeleng, tidak setuju dengan perkataan adiknya itu. “Belum ada, aku masih fokus karir,” jawabnya sembari melangkah.

Jane mendesis. “Padahal aku udah mau nikah, malah si kakak belum punya pacar.” Ia mengikuti langkah Jelita dari belakang.

“Halah, jangan ngaco! Umurmu aja masih 19 tahun, musikmu juga belum bener.”

“Ih, emangnya enggak boleh nikah gitu, meski kaya gitu?”

Jelita menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap sang adik. “Enggak! Kamu masih cenggeng! Papa juga enggak bakalan kasih izin nikah muda.”

“Hmm ... aku bercanda Kakak.”

Jelita menggeleng, tidak habis pikir dengan celoteh Jane. Kemudian, ia menarik lengan kanan Jane dan merangkul dari belakang bagian pundak. Keduanya berjalan menuju elevator yang berada di rumah berlantai tiga itu, setelah sebelum-sebelumnya benda itu menjadi benda yang paling terlarang bagi Jelita. Selama ini, ia memilih melewati para anak tangga dengan harapannya lemaknya jatuh dan hilang.

Namun tidak dengan sekarang, Jelita berbeda. Rasa kepercayaan dirinya semakin besar, bahkan melebihi Jane yang tadinya jauh lebih cantik. Mereka memiliki kecantikan dengan tipikal masing-masing, tak membuat rasa iri justru muncul di sela keakraban.

“Kak Jel,” ucap Jane sesaat setelah mereka masuk ke dalam elevator.

“Hmm,” jawab Jelita.

“Aku enggak sengaja ketemu sama seseorang. Senior di bidang hukum.”

Jelita mengernyit. “Siapa?”

“Reza. Kak Jel kenal, ‘kan?”

“Reza?” Jelita masih mengernyit, pandangan matanya menatap pintu bagian atas elevator yang kini berjalan, seolah sedang menggali memorinya perihal Reza.

“Oh!” pekik Jelita setelah beberapa detik memaksa ingatannya. “Yang dulu enggak sengaja ketemu di kantin, ya?”

Jane mengangguk. “Iya, Kak. Dia ‘kan pindah setelah satu minggu ketemu Kakak.”

“Ke mana?”

“Bandung. Di UI.”

Jelita manggut-manggut saja. Meski hatinya terhenyak heran, mempertanyakan perihal Jane yang mengenal Reza. Bahkan, pria itu baru ia temui sekali dalam perkenalan awal, selain itu hanya pandang dan sapa sebelum pria itu pindah ke Bandung.

Setelah pintu elevator kembali terbuka, bukti bahwa benda itu berhasil membawa penumpang ke lantai paling dasar, Jelita juga Jane kompak melangkah keluar. Suasana rumah masih ramai dipenuhi para asisten rumah tangga yang berjumlah lebih dari 20 orang. Keberadaan para pelayan itu berhasil membuat rumah bak istana raja menjadi selalu bersih setiap saat.

Senyum Jelita dan Jane terulas manis di bibir masing-masing, sebagai sapaan pagi untuk para pelayan.

“Pagi-pagi tadi, Papa udah berangkat, Kak,” ucap Jane dengan muka masam.

Lain halnya dengan sang adik, Jelita justru tersenyum. “Papa ‘kan kerja, bukan main,” jawabnya.

“Iya sih. Aku cuma kasihan aja sama Papa.”

“Nanti, kalau Papa pulang kita pijitan sama-sama, ya?”

“Setuju!”

“Ya udah, yuk sarapan dulu.”

Ruang makan yang berada di lantai satu, bagian belakang dekat dapur tengah mereka tuju. Tidak peduli jika waktu masih teramat pagi, lantaran memang tidak ada yang ditunggu sekalipun Nur Imran.

Ya, kedua kakak beradik tak kandung itu selalu bersama, terhitung sejak Riris—ibu kandung Jane—yang juga mantan ibu tiri Jelita masuk rumah sakit jiwa lantaran depresi berat. Bagi, Jane membaur sedekat saat ini dengan sang kakak bukanlah perkara mudah. Bahkan, setelah sebelumnya ia mengetahui segala pokok masalah yang menimpa Jelita merupakan akal licik dari ibundanya.

Setiap kali bersama, Jane selalu menatap Jelita secara diam-diam sembari mengulas senyum manis di bibir tipisnya. Sedangkan, batinnya mengucapkan banyak terima kasih pada Jelita, juga ayah tirinya. Bagaimana tidak, setelah semua ulah ibundanya, Jane tetap dianggap keluarga layaknya sekarang.

Kemudian, kedua gadis terpaut usia satu tahun itu saling menarik kursi di ruang makan. Detik berikutnya mereka duduk, saling bergantian mengambil nasi dari baskom berukuran sedang.

“Kak Jel?”

“Ya, Dek? Apa lagi?”

Jane menghentikan gerak tangannya terlebih dahulu. Ia menatap sang kakak sembari mengepalkan kedua telapak tangannya di atas meja. “Reza sekarang beda banget, lho,” ucapnya berbinar.

“Emangnya, urusannya sama kita apa?” Sembari tidak peduli, Jelita membalas pertanyaan Jane seputar Reza pria yang ia temui pertama kali di kantin sekolah—bahkan bayang Reza hampir terlupakan di benaknya.

“Dia ‘kan agaknya tertarik sama Kakak, orang beraniin diri ngobrol sama aku pas kita ketemu di kafe. Dia tahu kalau Kakak itu selebgram papan atas anaknya Nur Imran.”

Kali ini, Jelita menatap lurus pada netra cokelat milik Jane. “Iyakah? Buat apa gitu?”

“Mm ... mungkin suka dan ngefans sama Kakak. Dia bilang awal ketemu sama Kakak dia ngerasa enggak asing, nah pas buka medsos emang bener kalau Kakak itu yang lagi jadi tranding topik pada saat itu. Terus dia ngenalin aku karena kita ‘kan sering selfie bareng.”

“Oh gitu. Pantes, tahu kamu.”

“Mm ... dia sekarang gendut banget, Kak. Dulunya kayaknya juga berisi ya? Sekarang lebih-lebih.”

Jelita spontan menjatuhkan sendok di atas piringnya. Ia teringat beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika masih berada di dalam lingkup kampus dengan Reza, juga saling melemparkan sapaan ketika bertemu. Memang, saat itu Reza memiliki tubuh tinggi tegap agak berisi. Namun, ketika mendengar pernyataan Jane, ia sedikit bingung.

Bukankah seharusnya Reza bisa termotivasi atas dirinya yang bahkan sempat menjadi tranding topik urusan menurunkan berat badan? Lantas, mengapa jika Reza mengidolakan dirinya, justru menaikkan berat badan tanpa peduli hidup yang sehat?

Tak mau terlihat aneh di hadapan Jane yang sudah asyik bersantap, Jelita segera membuang pemikiran itu. Ia melanjutkan aktivitas sarapan di detik berikutnya. Lagipula, bukan urusannya. Dan semua orang memiliki pilihan juga jalan hidup masing-masing. Bahkan, seorang Fanni yang pernah mengalami trauma bully saja memilih untuk mempertahankan tubuhnya sampai sekarang. Meski hatinya sedikit menyayangkan pilihan Reza, bahkan jika benar pria itu mengagumi dirinya layaknya selebritas.

****

Yuk, bantu cari visual Jelita nih. Misal Park Bo Young, gimana? Kira-kira cocok enggak? Cek di google yah. Dia imut, sipit, agaknya cukup cocok hehe. Jangan lupa like\=komen\=vote. Karena mikir enggak enak daripada baca. So, bayarannya itu aja hehehe.

Episode 3-Om Galak dan Tante Fanni

“No! Sekali no, ya no. Kamu sih, Mas, coba jangan terlalu manjain anak. Boleh sayang, tapi waktunya juga diatur, enggak mulu' turuti kemauannya. Pokoknya satu minggu hanya boleh makan ice cream satu kali. Selain itu lebih baik makan empat sehat lima sempurna. Enggak ada yang boleh bantah Mama ...!”

Episode 3-Om Galak dan Tante Fanni

Jelita menatap dua sejoli yang sudah terikat dalam pernikahan manis, bersama ketiga anaknya. Yang tak lain adalah Arlan, Fanni, Selli, Sella, juga Aksa Putra Mahendra—balita umur dua tahun—putra pasangan tersebut. Sontak, Jelita terkejut tepatnya ketika ia mengingat tadi malam yang menganggu suasana malam hangat milik om Galak juga istrinya. Ia spontan menelan saliva, kemudian bersembunyi di balik tembok kelokan buntu mal di mana dekat dengan salon Fanni juga Mita menjalankan kegiatan pelayanan.

“Kamu enggak apa-apa, Mas, jaga anak hari ini? Mbak Yuni ‘kan lagi mudik?” tanya Fanni pada suami tercintanya.

Arlan menggeleng. “Ada si kakak yang bantuin Papa, kok? Selli mau, ‘kan?” jawabnya diiringi tanya perihal bantuan pada Selli yang semakin tumbuh dewasa.

Selli mengangguk. “Mau dong, Papa. Mama jangan khawatir, Selli udah gede. Sebentar lagi masuk SMP,” ucapnya tulus penuh antusias juga rasa sayang pada kedua adiknya bahkan kedua orang tuanya. Tidak peduli, jika ibu yang saat ini ada di samping ayahnya merupakan ibu tiri.

“Hmm ... Selli jadi goodgirl, ya? Hari ini hari minggu, jadi enggak full seharian kok. Mama akan cepat pulang kalau urusan kelar.”

“Mama, jangan lupa beliin Sella ice cleam, ya?” sela Sella yang usianya hampir memasuki enam tahun.

Sayangnya, ibundanya justru menggeleng sebagai bentuk tidak setuju atau menolak permintaan bocah bule itu. “No! Papa kemarin udah beliin, kok. Enggak boleh lagi! Harus belajar hemat dan enggak boleh makan jajanan sembarangan!” tegasnya tetapi sarat dengan kasih sayang.

Sella mengerucutkan bibirnya, tidak terima dengan penolakan dari ibundanya yang saat ini tengah menggendong Aksa—balita laki-laki berparas tampan. Lalu, ia berbalik menghampiri sang ayah yang justru lebih sering menuruti permintaannya daripada Fanni.

“Dek ...,” ucap Arlan berikut rasa tidak setuju dengan penegasan sang istri pada buah hati keduanya. “Ja—“

“No! Sekali no, ya no. Kamu sih, Mas, coba jangan terlalu manjain anak. Boleh sayang, tapi waktunya juga diatur, enggak mulu turuti kemauannya. Pokoknya satu minggu hanya boleh makan ice cream satu kali. Selain itu lebih baik makan empat sehat lima sempurna. Enggak ada yang boleh bantah Mama ...!”

“Kena lagi deh gue,” lirih Arlan sembari menggaruk kepalanya.

Memang, sejauh pertumbuhan Sella, ia lebih sering memanjakan tetapi tetap adil bagi semua buah hatinya. Namun, caranya justru salah di mata Fanni yang terkesan tegas dan disiplin, tanpa terkecuali soal jajan. Hal itu, yang membuatnya kerap mencuri-curi kesempatan ketika sang istri sedang tidak ada di rumah dan ia menjaga ketiga anaknya termasuk Aksa. Entah, Arlan merasa tidak tega saja jika salah satu dari anaknya merengek-rengek bahkan bukan perkara sulit untuk menuruti.

Langkah Fanni terhenti, ia berbalik lagi dan menatap sang suami dengan tajam. “Awas aja, kalau curi-curi kesempatan!” tegasnya kemudian.

Arlan spontan menelan saliva. Betapa istrinya itu cukup peka terhadap semua rencana hatinya, bahkan sesuatu yang bisa luput dari mata orang lain, tetapi Fanni justru tahu.

“Iya, iya, enggak, Sayang. Kakak, Adek Sella udah denger ‘kan kata Mama?” jawabnya diiringi pertanyaan khusus untuk kedua putrinya.

Selli mengangguk. Sedangkan, Sella masih merengut sembari memeluk tubuh Arlan dengan erat yang sudah menggendongnya. Raut bulenya tetap terlihat menggemaskan, meski dalam kondisi masam.

Namun, senyum Sella justru merekah ketika ia melihat sosok Jelita dari balik tembok kelokan di mana gadis itu bersembunyi. Jelita memberikan goda lucu pada Sella secara diam-diam, sembari menunggu Arlan pamit pergi. Ia malas, bahkan malu setelah insiden tadi malam pada Arlan. Belum lagi, jika Arlan akan menjitak kepalanya layaknya sebelumnya ketika bertemu, dengan gemas berarti kesal yang mendalam.

Sayangnya, suara tawa Sella yang semakin kencang justru membuat Arlan bertanya-tanya. Ia menghentikan langkah, membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam salon dan menyusul sang istri. Ia berbalik dan menyusuri keadaan mal dengan mata bernetra hitam legam miliknya, di mana masih teramat sepi.

Arlan bergidik. Siapa yang tengah ditertawakan Sella saat ini? Sedangkan Selli sudah berada di dalam kios salon bersama Fanni juga Aksa. Meski tubuhnya tegap dan otot-otot hijau yang besar menghiasai kedua lengannya, Arlan agak riskan jika berhubungan dengan hal yang tak kasat mata.

“Siapa, Adek?” tanyanya pada Sella lirih.

“Itu, Pa,” jawab Sella yang sudah pintar dan fasih dalam berucap, meski ada beberapa kosa kata yang masih cadel.

“Siapa? Kamu ketawa sama siapa?”

“Sama kakak cantik.”

Dahi Arlan semakin mengernyit, juga degupan jantungnya yang semakin tidak karuan. “Kakak cantik? Kuntilanak?” batinnya kemudian.

“Kamu ikut masuk sama Mama dulu, ya? Papa mau panggil kakak cantiknya dulu,” ucap Arlan sembari menurunkan tubuh bule kecil itu.

Sella mengangguk. Setelah itu, ia berlarian kecil menyusul ibundanya, kakak serta adik laki-lakinya.

Sementara, Jelita yang masih bersembunyi di balik tembok itu, kini merasa getir sekaligus tegang. Ia tidak ingin tertangkap oleh Arlan. Sialnya, posisinya justru berada di ujung mal, di mana kelokan itu adalah jalan buntu. Ia menelan saliva, tanpa tahu sedikit pun apa yang dilakukan oleh om Galak itu.

“Enggak mau ketemu om Galak, Ya Allah,” gumam lirih Jelita. Berharap sang Tuhan menghindarkan dirinya dari sosok Arlan detik itu juga.

Namun, satu kaki justru terlihat oleh pandangan matanya. Kaki yang terbalut sepatu kulit berwarna hitam, kemungkinan besar milik Arlan. Jelita menelan saliva lagi, ia tetap diam sekaligus tegang. Pada akhirnya, ia memilih menunduk sembari terpejam.

“Bocah nakal!” ucap Arlan beberapa detik berikutnya. Ia memberikan jitakan di kepala Jelita yang masih bertahan dalam pejam dan tundukan kepala.

“Eh, si Om.” Mau tidak mau dan sudah tertangkap basah, Jelita mengangkat kepalanya sembari mengusap bekas jitakan dari Arlan. Meski begitu, ia tetap mengulas senyum meski terkesan kecut.

“Jadi, kamu kuntilanaknya?”

“Eh, apa? Enak aja, kalau ngomong! Mana ada kuntilanak secantik aku!”

“Dasar! Udah mengganggu malam manisku, juga mengagetkanku. Masih aja berkilah dan membela diri. Kamu itu, ya? Kenapa selalu bikin kesal hatiku? Bocah, bocah!” Arlan geram dan menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan ulah Jelita yang menurutnya ada-ada saja.

Arlan menghela napas dalam, bercampur kesal. Lalu, ia kembali menyusul istrinya di dalam salon. Sedangkan, Jelita mengikutinya dari belakang dengan beberapa ceracau. Ceracaunya itu pula, yang membuat Arlan terpaksa menghentikan langkah dan menatapnya tajam beberapa kali seperti sebuah ancaman agar gadis itu cepat diam.

“Om! Kapan sih enggak galak sama aku?” tanya Jelita kemudian.

“Enggak akan!” tegas Arlan detik berikutnya.

Fanni hanya menggeleng, mengelus dada tidak habis pikir dengan ulah kedua orang tersebut. Bahkan, sedetik pun tidak pernah akur satu sama lain. Hal itu membuatnya seperti mengurus lima orang anak, Arlan juga Jelita sebagai tambahan.

“Mas! Udah ah, Lita juga. Masih pagi ini, banyak bocah, emang enggak malu?” tanya Fanni setelah kedua orang itu masuk ke dalam salon yang baru dibuka setengah di bagian pintu.

Arlan mendatanginya, memberikan pelukan hangat di tubuh sang istri yang tidak kunjung turun angka timbangannya. Ia menambahkan kecupan manis di kening dan pipi. Hal itu, membuat Jelita seakan ingin muntah detik itu juga. Bagaimana tidak, jika kelakuan Arlan justru terlihat menggelikan di matanya.

“Mas tunggu sama anak-anak di rumah. Malam nanti kita ke resto steak kesukaan kamu, Dek. Si kakak juga mau,” ucap Arlan pada istri tercintanya itu.

“Iya, Mas. Tunggu, ya? Aku usahakan cepat pulang, misal kamu kewalahan minta bantuan Bi Onah aja,” jawab Fanni sembari menyerahkan Aksa—balita yang juga memiliki manik mata biru itu, meski parasnya lebih ke arah Asia.

“Aksa masih tidur. Jangan dibangunin, bawa aja ke mobil biar dipangku si kakak,” tambah Fanni. Ia beralih pada Selli. “Bantu Papa dulu, ya? Adek Sella juga.”

“Enggak mau! Kalau enggak ada ice cleam!” sahut Sella melipat kedua tangannya ke depan bak orang dewasa.

“Aish! Kan, Mama udah bilang tadi. Masih enggak mau nurut? Apa Mama enggak pulang aja?”

Selli mendekap dan mengecup kening adik keduanya itu. “Adek enggak boleh nakal! Nurut kata Mama, dong. Nanti Kak Selli enggak mau main lagi sama Adek lho.”

Sella berangsur mengangguk. “Iya, Ma, Kakak. Maafin Sella, ya?”

“Goodgirl!” pekik sang ibunda.

Lalu, Arlan mengajak ketiga anaknya untuk pulang, sesaat setelah memberikan gertakan pada Jelita. Dan hanya dibalas cibiran oleh gadis berusia 20 tahun itu.

Sepeninggalan mereka, Jelita langsung menghampiri Fanni yang saat ini sibuk merapikan ruangan pelayanan di salon. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa kagum terhadap sosok ibu dari tiga orang anak itu. Bagaimana tidak, jika seorang Fanni yang bahkan menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan justru mendapatkan keluarga kecil yang bahagia. Bahkan, cara mendidik anak-anaknya begitu tegas tetapi masih sarat dengan kasih sayang dan pelajaran.

Jelita ingin seperti Fanni, bahkan hampir semua sifat baik Fanni ingin ditirunya. Namun, pada kenyataannya setiap orang memiliki karakkter yang berbeda, juga nasib di kemudian hari. Ya, semoga saja Tuhan memberikan kehidupan bahagia meski tidak sama, tetapi tetap melegakan hatinya.

"Lita bantu, Tante," tawar Jelita pada wanita yang selalu ia kagumi itu.

Fanni mengulas senyum di bibirnya diiringi anggukan pelan. "Boleh, kalau enggak ngerepotin."

"Haha ... Tante ini kayak sama siapa aja."

"Sama si bocah nakal."

"Jangan ikut-ikutan, Tante!"

****

Jangan lupa like dan komen. juga poin heheh

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!