Kesayangan Sang Pewaris

Kesayangan Sang Pewaris

1. Dokter Raisa

Malam itu Raisa dapat kabar dari rekan kerjanya di salah satu rumah sakit tempatnya bekerja, kalau sang ayah kecelakaan dan langsung meninggal di tempat. Raisa pun berangkat tergesa-gesa menggunakan motornya. Sepanjang jalan ia menangis, karena sebelumnya dia sudah memperingatkan sang ayah agar tidak perlu bekerja karena dirinya mampu menafkahi sang ayah yang fisiknya sudah tidak sekuat dulu lagi. Tapi sang ayah menolak karena tidak enak jika hanya berdiam diri di rumah. Akhirnya Raisa mau tak mau mengizinkan sang ayah untuk melakukan apapun keinginannya. Sebab hanya ayahnya lah satu-satunya orang tua yang dia punya. Ibunya sudah meninggal saat melahirkannya dulu.

Raisa memarkirkan motornya asal dan seperti biasa tukang parkir yang mengaturnya. Napas Raisa berderu bercampur dengan rasa yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata. Memasuki ruang jenazah dan sudah disambut oleh rekan kerjanya yang membawa sang ayah ke rumah sakit.

"Re, yang sabar ya..." ucap temannya yang membawa sang ayah ke rumah sakit.

Raisa menangis sesenggukan didepan jenazah sang ayah. Perih, marah dan kecewa jadi satu dalam benaknya. Sulit untuk diungkapkan betapa kejamnya dunia ini padanya.

"Aku sudah mengurus semuanya, Re! Dari pemandian jenazah dari pihak rumah sakit dan kepulangannya serta pemakaman beliau. Beliau seperti ayahku sendiri karena kita bersahabat sejak kecil. Kamu harus kuat dan tabah, ayo kita hantar kepulangan beliau sampai ke peristirahatan terakhir. Semakin cepat semakin baik. Kasihan beliau, Re!" tegur Dokter Gita, rekan kerja sekaligus sahabat kecil Dokter Raisa.

Raisa lemas tak berdaya dan menganggukkan kepalanya tanda menyetujui yang dilakukan oleh sahabatnya. Akhirnya jenazah di kebumikan tepat disamping makam ibunya. Kini Raisa sebatang kara. Ia kembali pulang ke rumahnya masih ditemani oleh Gita. Gita juga menginap dirumah Raisa karena khawatir dengan sahabatnya yang hanya seorang diri.

"Gita, apakah kamu melihat langsung kronologinya seperti apa?" tanya Raisa masih dengan suara yang bergetar, setelah menutup pintu rumahnya karena semua tamu dan saudara sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Maafkan aku, aku tidak tahu persis kejadiannya seperti apa, karena aku melintas dijalan tersebut setelah pulang dinas. Aku melihat banyak orang yang berkerumun dan melihat beberapa polisi sedang olah TKP. Aku tanya-tanya ke orang-orang yang disana. Katanya, ayahmu korban tabrakan oleh sebuah mobil sport yang orang mengira kalau pengemudinya sedang mabuk. Setelah menabrak ayahmu, mobil itu langsung pergi begitu saja. Masih dalam penyelidikan kasus ini," jawab Gita sambil memeluk sahabatnya dan membawa Raisa ke kamarnya agar beristirahat.

"Aku tidak akan pernah memaafkan orang itu yang telah menewaskan ayahku, Git! Sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkannya!" lirih Raisa dengan mengepalkan kedua tangannya.

Gita mencoba menenangkan sahabatnya, meskipun sedikit susah karena bagaimana pun namanya kehilangan orang yang amat berarti dalam hidup tidaklah mudah.

"Aku mengerti Re, tapi sekarang kita harus istirahat. Agar besok kamu bisa mengajukan cuti sementara untuk menenangkan dirimu," pinta Gita memandang sahabatnya penuh rasa kasihan.

Menggeleng cepat, "Tidak, Gita! Aku tidak mau mengajukan cuti. Aku harus tetap melakukan operasi. Aku tidak ingin terpuruk terlalu lama. Hanya dengan operasi aku bisa melupakan semuanya," tolak Raisa. "Baiklah kalau begitu. Sekarang istirahatlah agar besok operasinya lancar!" seru Gita yang akhirnya berhasil membuat Raisa tunduk.

Mereka berdua akhirnya bisa tertidur pulas.

Keesokan harinya, keduanya sudah bangun tepat di jam lima pagi. Sudah selesai melakukan ibadah masing-masing dan bersiap untuk bekerja lagi. Keduanya berangkat bersama menggunakan mobil Gita yang masih terparkir di depan rumah Raisa.

Tak berlangsung lama, mobil mereka masuk ke area rumah sakit. Keduanya berjalan menuju ruang masing-masing dan departemen mereka. Raisa Dokter spesialis bedah sedangkan Dokter Gita adalah Dokter spesialis Jantung. Mereka sering berada dalam satu ruang operasi jika pasien mengalami kondisi yang complicated.

Ucapan bela sungkawa dan turut berduka cita hilir mudik di telinganya dari rekan-rekan sejawatnya dan juga paramedis di rumah sakit tempatnya bekerja. Tak sedikit pula yang menanyakan kenapa tidak ambil cuti dan masih masuk dinas padahal tanah kuburan sang ayah belum kering dan lain sebagainya. Intinya hanya untuk menyudutkannya.

Tapi semua itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri oleh Raisa. Ya, dirinya cuek dan tidak ambil pusing atas segala hal yang hinggap di kehidupannya. Yang hanya bisa mengerti dia adalah Dokter Gita. Keduanya seperti perangko yang kemanapun selalu berdua kecuali jika ada operasi yang bukan gabungan baru keduanya terpisah.

Raisa memang dokter yang cantik dan berwibawa tapi banyak yang tidak menyukainya karena dia selalu menjadi primadona di rumah sakit tersebut. Tak hanya sesama rekan dokter saja yang menaruh hati padanya melainkan dari sejawat lainnya seperti para medis lainnya.

Risih? Tentu tidak! Raisa hanya cuek dan tidak peduli dengan omongan bahkan tatapan mendamba dari para penggemarnya.

"Dokter Raisa!" teriak Sefa, perawat bedah timnya.

"Ya, ada apa Sefa?" tanya Raisa yang hanya melirik sekilas pada Sefa yang kini sudah duduk dihadapannya di sebuah cafe dalam rumah sakit itu.

"Ada pasien yang dirujuk ke rumah sakit ini yang segera membutuhkan operasi, dok! Usia paruh baya sekitar empat puluh delapan tahun, dengan riwayat jantung dok!" jawab Sefa dengan nafas yang masih tersengal.

"Kalau dengan riwayat jantung harusnya 'kan ke Dokter Gita bukan ke aku, Sefa. Apa kamu lupa?" tanya Raisa dengan menaikkan salah satu alisnya.

"Ada riwayat lain dok tapi saya lupa tadi apa ingat saya riwayat jantung saja dokter, maaf!" lirih Sefa yang tak berani menatap mata Raisa lagi.

Tanpa banyak drama, Raisa langsung meninggalkan Sefa yang masih duduk termenung di bangku cafe itu. Sefa selalu takut jika berhadapan dengan Raisa. Meskipun sudah menjadi perawat bedahnya sejak lama dan hanya dia yang betah bekerja dengan Raisa. Raisa tampak ketus jika di dalam ruang operasi karena memang membutuhkan konsentrasi yang tinggi.

Kali ini Sefa tidak bisa membantah atau mengelak dan ia tidak bisa marah karena kesalahannya ada padanya dalam melaporkan kondisi pasien pada Raisa. Tapi dirinya dikagetkan dengan sebuah tangan yang sudah menarik pergelangan tangannya agar segera beranjak dari duduknya.

Ya, Raisa yang berbalik arah dan menarik paksa Sefa untuk segera bangkit dan melakukan pertolongan pada pasien rujukan tadi.

"Ayo waktu adalah nyawa!" bentak lirih Raisa penuh penekanan yang mampu membuat Sefa patuh tak berkutik.

Sesampainya di IGD, langkah Raisa terhenti karena seseorang yang menghalangi langkahnya. Raisa geram dan menatap nyalang, 'Siapa dia?'

Terpopuler

Comments

Anita Jenius

Anita Jenius

Salam kenal kak

2024-04-13

0

Yougurt

Yougurt

aku mampir mbakk🤭

2024-01-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!