NovelToon NovelToon

Kesayangan Sang Pewaris

1. Dokter Raisa

Malam itu Raisa dapat kabar dari rekan kerjanya di salah satu rumah sakit tempatnya bekerja, kalau sang ayah kecelakaan dan langsung meninggal di tempat. Raisa pun berangkat tergesa-gesa menggunakan motornya. Sepanjang jalan ia menangis, karena sebelumnya dia sudah memperingatkan sang ayah agar tidak perlu bekerja karena dirinya mampu menafkahi sang ayah yang fisiknya sudah tidak sekuat dulu lagi. Tapi sang ayah menolak karena tidak enak jika hanya berdiam diri di rumah. Akhirnya Raisa mau tak mau mengizinkan sang ayah untuk melakukan apapun keinginannya. Sebab hanya ayahnya lah satu-satunya orang tua yang dia punya. Ibunya sudah meninggal saat melahirkannya dulu.

Raisa memarkirkan motornya asal dan seperti biasa tukang parkir yang mengaturnya. Napas Raisa berderu bercampur dengan rasa yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata. Memasuki ruang jenazah dan sudah disambut oleh rekan kerjanya yang membawa sang ayah ke rumah sakit.

"Re, yang sabar ya..." ucap temannya yang membawa sang ayah ke rumah sakit.

Raisa menangis sesenggukan didepan jenazah sang ayah. Perih, marah dan kecewa jadi satu dalam benaknya. Sulit untuk diungkapkan betapa kejamnya dunia ini padanya.

"Aku sudah mengurus semuanya, Re! Dari pemandian jenazah dari pihak rumah sakit dan kepulangannya serta pemakaman beliau. Beliau seperti ayahku sendiri karena kita bersahabat sejak kecil. Kamu harus kuat dan tabah, ayo kita hantar kepulangan beliau sampai ke peristirahatan terakhir. Semakin cepat semakin baik. Kasihan beliau, Re!" tegur Dokter Gita, rekan kerja sekaligus sahabat kecil Dokter Raisa.

Raisa lemas tak berdaya dan menganggukkan kepalanya tanda menyetujui yang dilakukan oleh sahabatnya. Akhirnya jenazah di kebumikan tepat disamping makam ibunya. Kini Raisa sebatang kara. Ia kembali pulang ke rumahnya masih ditemani oleh Gita. Gita juga menginap dirumah Raisa karena khawatir dengan sahabatnya yang hanya seorang diri.

"Gita, apakah kamu melihat langsung kronologinya seperti apa?" tanya Raisa masih dengan suara yang bergetar, setelah menutup pintu rumahnya karena semua tamu dan saudara sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Maafkan aku, aku tidak tahu persis kejadiannya seperti apa, karena aku melintas dijalan tersebut setelah pulang dinas. Aku melihat banyak orang yang berkerumun dan melihat beberapa polisi sedang olah TKP. Aku tanya-tanya ke orang-orang yang disana. Katanya, ayahmu korban tabrakan oleh sebuah mobil sport yang orang mengira kalau pengemudinya sedang mabuk. Setelah menabrak ayahmu, mobil itu langsung pergi begitu saja. Masih dalam penyelidikan kasus ini," jawab Gita sambil memeluk sahabatnya dan membawa Raisa ke kamarnya agar beristirahat.

"Aku tidak akan pernah memaafkan orang itu yang telah menewaskan ayahku, Git! Sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkannya!" lirih Raisa dengan mengepalkan kedua tangannya.

Gita mencoba menenangkan sahabatnya, meskipun sedikit susah karena bagaimana pun namanya kehilangan orang yang amat berarti dalam hidup tidaklah mudah.

"Aku mengerti Re, tapi sekarang kita harus istirahat. Agar besok kamu bisa mengajukan cuti sementara untuk menenangkan dirimu," pinta Gita memandang sahabatnya penuh rasa kasihan.

Menggeleng cepat, "Tidak, Gita! Aku tidak mau mengajukan cuti. Aku harus tetap melakukan operasi. Aku tidak ingin terpuruk terlalu lama. Hanya dengan operasi aku bisa melupakan semuanya," tolak Raisa. "Baiklah kalau begitu. Sekarang istirahatlah agar besok operasinya lancar!" seru Gita yang akhirnya berhasil membuat Raisa tunduk.

Mereka berdua akhirnya bisa tertidur pulas.

Keesokan harinya, keduanya sudah bangun tepat di jam lima pagi. Sudah selesai melakukan ibadah masing-masing dan bersiap untuk bekerja lagi. Keduanya berangkat bersama menggunakan mobil Gita yang masih terparkir di depan rumah Raisa.

Tak berlangsung lama, mobil mereka masuk ke area rumah sakit. Keduanya berjalan menuju ruang masing-masing dan departemen mereka. Raisa Dokter spesialis bedah sedangkan Dokter Gita adalah Dokter spesialis Jantung. Mereka sering berada dalam satu ruang operasi jika pasien mengalami kondisi yang complicated.

Ucapan bela sungkawa dan turut berduka cita hilir mudik di telinganya dari rekan-rekan sejawatnya dan juga paramedis di rumah sakit tempatnya bekerja. Tak sedikit pula yang menanyakan kenapa tidak ambil cuti dan masih masuk dinas padahal tanah kuburan sang ayah belum kering dan lain sebagainya. Intinya hanya untuk menyudutkannya.

Tapi semua itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri oleh Raisa. Ya, dirinya cuek dan tidak ambil pusing atas segala hal yang hinggap di kehidupannya. Yang hanya bisa mengerti dia adalah Dokter Gita. Keduanya seperti perangko yang kemanapun selalu berdua kecuali jika ada operasi yang bukan gabungan baru keduanya terpisah.

Raisa memang dokter yang cantik dan berwibawa tapi banyak yang tidak menyukainya karena dia selalu menjadi primadona di rumah sakit tersebut. Tak hanya sesama rekan dokter saja yang menaruh hati padanya melainkan dari sejawat lainnya seperti para medis lainnya.

Risih? Tentu tidak! Raisa hanya cuek dan tidak peduli dengan omongan bahkan tatapan mendamba dari para penggemarnya.

"Dokter Raisa!" teriak Sefa, perawat bedah timnya.

"Ya, ada apa Sefa?" tanya Raisa yang hanya melirik sekilas pada Sefa yang kini sudah duduk dihadapannya di sebuah cafe dalam rumah sakit itu.

"Ada pasien yang dirujuk ke rumah sakit ini yang segera membutuhkan operasi, dok! Usia paruh baya sekitar empat puluh delapan tahun, dengan riwayat jantung dok!" jawab Sefa dengan nafas yang masih tersengal.

"Kalau dengan riwayat jantung harusnya 'kan ke Dokter Gita bukan ke aku, Sefa. Apa kamu lupa?" tanya Raisa dengan menaikkan salah satu alisnya.

"Ada riwayat lain dok tapi saya lupa tadi apa ingat saya riwayat jantung saja dokter, maaf!" lirih Sefa yang tak berani menatap mata Raisa lagi.

Tanpa banyak drama, Raisa langsung meninggalkan Sefa yang masih duduk termenung di bangku cafe itu. Sefa selalu takut jika berhadapan dengan Raisa. Meskipun sudah menjadi perawat bedahnya sejak lama dan hanya dia yang betah bekerja dengan Raisa. Raisa tampak ketus jika di dalam ruang operasi karena memang membutuhkan konsentrasi yang tinggi.

Kali ini Sefa tidak bisa membantah atau mengelak dan ia tidak bisa marah karena kesalahannya ada padanya dalam melaporkan kondisi pasien pada Raisa. Tapi dirinya dikagetkan dengan sebuah tangan yang sudah menarik pergelangan tangannya agar segera beranjak dari duduknya.

Ya, Raisa yang berbalik arah dan menarik paksa Sefa untuk segera bangkit dan melakukan pertolongan pada pasien rujukan tadi.

"Ayo waktu adalah nyawa!" bentak lirih Raisa penuh penekanan yang mampu membuat Sefa patuh tak berkutik.

Sesampainya di IGD, langkah Raisa terhenti karena seseorang yang menghalangi langkahnya. Raisa geram dan menatap nyalang, 'Siapa dia?'

2. Raisa Geram

"Minggir!" seru Raisa dengan tatapan nyalang karena pria tegap tinggi itu menghalangi langkahnya untuk masuk ke IGD.

"Saya dari tadi tetap berdiri disini, kamu saja yang menabrak saya!" ketus pria tersebut sambil menatap mata Raisa dengan tatapan sinis.

Ingin rasanya Raisa menendang pusaka pria tersebut agar tidak meremehkannya, tapi sayangnya Sefa sudah menarik tangannya untuk masuk dan menghindari keributan. Pria tersebut memindai pergerakan Raisa yang sudah menjauh darinya dengan mata yang berbinar dan senyuman tipis di wajahnya.

"Dokter cantik," gumam pria tersebut.

Raisa dan juga Sefa mendekat ke brankar pasien yang merupakan pasien rujukan dari rumah sakit lain. Gita sibuk melakukan USG dada pasien tersebut sambil menatap monitor dengan raut muka yang tak biasa dan tangannya memindai dari dada kanan dan kiri secara bergantian.

"Gimana, Git?" tanya Raisa pada dokter Gita.

"Aku nggak bisa memastikannya dengan jelas jika tidak dilakukan pembedahan. Tapi ada hal yang serius perihal jantungnya. Aku rasa ini operasi gabungan. Untuk memastikan, USG perutnya juga, Re... Aku rasa keluarganya menyembunyikan sesuatu dari pihak medis. Silahkan, Re!" pinta Gita yang merasa harus waspada karena pasien tersebut berasal dari keluarga bukan orang sembarangan.

Mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya, Raisa mengangguk cepat menatap kedua netra Gita. "Antara rekam medik dan juga pemeriksaan langsung kita hanya lewat USG sudah jauh berbeda. Kalau sudah begini baru pergi ke rumah sakit. Aku membutuhkan banyak darah untuk pasien ini mengingat usianya dan juga operasi ini akan berlangsung lama. Sefa tolong beritahukan dengan crew operasi yang lain untuk mempersiapkan segalanya. Aku berganti pakaian dulu. Aku tunggu di ruang operasi," ucap Raisa yang langsung dilakukan oleh Sefa.

Sebelum melakukan tindakan operasi, Raisa dan juga Gita memanggil wali pasien untuk datang ke kantor Raisa. Ya, seorang wanita paruh baya dan seorang pria yang menghalangi langkahnya tadi kini berada didepan Raisa.

Gita menjelaskan prosedur operasi pada wali pasien dan menyuruh mereka berdua untuk antisipasi golongan darah yang sama dengan pasien, mengingat kondisi pasien jauh dari kata baik. Wanita paruh baya itu sudah menangis sesenggukan. Raisa menghentikan tangisan wanita tersebut dengan menjelaskan rincian penyakit yang sengaja disembunyikan oleh pihak keluarga pasien dan itu sangat fatal.

"Dari pemeriksaan USG tadi saya menemukan bahwa beliau mengidap gagal ginjal parsial yang artinya hanya sebagian. Rusaknya hanya satu ginjal. Memang bisa hidup dengan satu ginjal tapi mengingat riwayat beliau seperti itu sudah kasep intinya. Kami tidak ada stok ginjal di rumah sakit ini. Tapi operasi harus tetap dilakukan. Hal seserius ini tidak bisa ditutupi yang berakhir sangat fatal. Limpanya juga rusak. Apakah pernah terjadi kecelakaan hingga menyebabkan benturan parah diarea perutnya?" tanya Raisa penuh selidik.

"I.. Iya dok, memang suami saya kemarin sempat kecelakaan dan perutnya menghantam setir mobil saat mengendarai bersama putra saya. Tapi beliau tidak mengeluh apapun cuma terasa mual katanya. Akhirnya saya membawa ke rumah sakit sebelum kesini dan ternyata harus di rujuk ke rumah sakit ini. Perihal riwayat penyakit lainnya, kami terpaksa untuk menyembunyikannya karena ada hal lain yang tidak bisa kami jelaskan karena privasi keluarga. Saya harap dokter bisa mengerti dalam hal ini," jawab wanita paruh baya tersebut.

Deg

Rasanya jantung Raisa berhenti berdetak, pikirannya menerawang dengan peristiwa kecelakaan yang menimpa sang ayah hingga menewaskan ayahnya. Ia mencoba untuk tetap tenang meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dirinya geram dengan penuturan wali pasien. Kenapa waktunya tepat sekali kemarin ayahnya baru dikebumikan karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawanya. Bukan tidak mungkin bahwa pria yang akan dioperasinya adalah pria yang telah menabrak ayahnya.

"Apapun alasannya itu hanya menyulitkan dokter yang menanganinya. Operasi kali ini gabungan, bukan hanya limpanya yang rusak tapi hatinya juga. Tapi kalau melihat dari hasil USG tadi saya belum bisa melakukan tindakan pengambilan ginjalnya. Maka dari itu saya membutuhkan tanda tangan wali pasien untuk melakukan tindakan." Raisa menyerahkan beberapa lembaran persetujuan untuk ditanda tangani wali pasien.

Wanita paruh baya tersebut bergeming untuk menandatanganinya. Ia menoleh pada putranya yang tampak masih tenang.

Raisa menatap keduanya secara bergantian, ia tak mengerti mengapa keduanya bertelepati dengan lirikan mata. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh keluarga tersebut. Rasanya mencurigakan sekali, atau mungkin mereka berdua menginginkan pasien tersebut meninggal dunia saja daripada harus dirawat dengan penyakit yang komplit dan pastinya membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Pak, Bu... Waktu adalah nyawa. Silahkan tanda tangan!" seru Raisa membuyarkan lamunan ibu dan anak didepannya.

"Baik dok. Saya akan tanda tangan tapi dengan satu syarat," ucap wanita paruh baya tersebut.

Mengernyitkan dahinya, merasa aneh dan bingung mengapa pakai mengajukan persyaratan segala, "Mengapa ada syaratnya?" tanya Raisa yang merasa ada yang janggal.

"Menikahlah dengan putra saya dok!" seru wanita paruh baya tersebut.

Bagaikan disambar petir, jantung Raisa berdetak cepat, tatapannya berubah tajam dan ia geram. Persetan dengan persyaratan itu untuk apa menikah dengan orang yang tidak pernah ada dalam list kehidupannya. Kenal saja tidak, apalagi mencintainya.

Gita yang sedari tadi diam juga syok dibuatnya. Baru kali ini dia mendapati wali pasien yang menginjak harga diri seorang dokter yang sangat kompeten di bidangnya. Ya, Raisa dokter tersebut.

"Ada apa ini? Dokter Raisa hanya meminta tanda tangan anda untuk dilakukan tindakan pembedahan. Mengapa ada persyaratan seperti itu? Kita tidak memiliki banyak waktu, Bu. Kondisi pasien semakin lama semakin buruk kalau sampai tertunda lebih lama lagi. Lagian perihal pernikahan itu bisa dibicarakan nanti. Kesampingkan kepentingan pribadi karena sekarang ada kepentingan yang lebih urgent menyangkut nyawa seseorang yang merupakan suami anda dan ayah dari putra anda ini. Tolong kerja samanya," tegur Gita yang membuat wanita paruh baya tersebut tersentak.

"Maaf dok, saya gugup dan bingung harus bagaimana. Baiklah saya akan membubuhkan tanda tangan saya. Tolong lakukan yang terbaik untuk suami saya. Maaf dokter sudah membuat kegaduhan," ujar wanita paruh baya tersebut yang langsung membubuhkan tanda tangannya dan menyerahkan beberapa lembar persetujuan yang sudah ditanda tanganinya pada Raisa dan juga Gita.

Keduanya berpamitan untuk menunggu di depan pintu kamar operasi. Raisa dan Gita pun juga menyimpan lembaran persetujuan tindakan operasi di laci kantornya Raisa dan bergegas berganti pakaian menuju ruang operasi yang mana disana sudah siap.

Berjalan beriringan dengan Gita dan melakukan cuci tangan terlebih dahulu sebelum masuk ruang operasi. Semenjak mendengar persyaratan yang diajukan wali pasien tadi membuat Raisa banyak diam dan berubah fokus mengoperasi pasiennya setelah Gita mengoperasi pasien yang sama lebih dulu.

"Raisa!"

Sebuah Ancaman

Raisa tersentak kaget karena Gita berteriak menyerukan namanya.

"Fokus, Re! Ini bukan operasi kecil. Kita harus waspada terhadap keluarga pasien dan juga harus jeli dan teliti. Andai saja keluarga pasien tidak menyembunyikan apapun perihal penyakit yang diderita oleh pria ini, pasti kita ada persiapan yang lebih. Tolong kali ini fokus! Nggak biasanya kamu kayak begini, mana Raisa yang aku kenal, hmm?" Pertanyaan yang diajukan Gita pada Raisa hanya mendapatkan senyuman yang tak kentara dari empunya.

Raisa kembali mengambil alih operasi tersebut setelah Gita memasang selang dari dada pasien karena banyak udara di paru-parunya juga. Setelah itu giliran Raisa dan Sefa serta dokter residen dibawah didikan Raisa. Raisa tidak pelit ilmu meskipun asisten utamanya adalah seorang dokter residen.

Tangannya cekatan dan sangat cepat membuat dokter residen tersebut kesulitan mengimbanginya dan berakhir Sefa yang harus menggantikannya.

"Fokus, Dokter Anjas!" bentak Raisa pada residennya.

Dokter Anjas terus menggelengkan kepalanya karena dia bingung dengan kecepatan tangan dan keahlian Raisa. Dia tak habis pikir mengapa bisa secepat kilat, Anjas akhirnya berakhir menjadi asisten Sefa yang merupakan perawat bedah yang mendampingi setiap operasi Dokter Raisa.

Raisa tampak acuh dengan residennya. Karena pikirannya sudah menjadi satu tujuan yaitu pasiennya. Tiba-tiba monitor berbunyi dan saturasi oksigen pasien juga menurun drastis. Dokter Gita melakukan pijat jantung dengan CPR. Sedangkan dokter anestesi menyuntikkan obat pada selang infus pasien tapi pasien tetap belum stabil.

"Tutup perut pasien sebentar, saya akan ambil alih. Dokter Gita tetap lakukan CPR. Maaf aku harus melakukan ini!" teriak Raisa yang masih tenang berbeda dengan lainnya yang tampak tegang dan gusar.

"Apa yang kamu lakukan, Raisa!" bentak Gita yang takut terjadi sesuatu dengan pasiennya.

Raisa tidak memperdulikan apa kata sahabatnya. Ia langsung berganti sarung tangan steril dan membuka jahitan yang ada di dada kanan pasien dan menarik selang tersebut. Gita sampai membelalakkan matanya menatap apa yang akan dilakukan Raisa.

"Jangan lakukan itu Raisa! Itu sangat resiko untuk kita!" pekik Gita yang sempat berhenti melakukan CPR.

"Sefa gantikan dokter Gita untuk lakukan CPR, cepat!" perintah Raisa, Sefa pun langsung menggeser dokter Gita tanpa permisi dan melakukan apa yang diperintahkan Raisa padanya.

Semua mata crew operasi gabungan itu membelalak tak percaya dengan apa yang dilakukan Raisa. Ya, Raisa melakukan pijat jantung langsung dengan memijat seperti melakukan pompa pada jantung pasien.

Tangan kanan Raisa masuk ke rongga dada pasien dan langsung melakukan pijatan di jantungnya. Cukup lama ia melakukannya, sampai tangannya terasa kebas dan pegal.

"Sudahlah, Re! Kita harus mengumumkan kematian pasien di meja operasi ini. Aku atau kamu yang akan mengumumkannya?" tanya dokter Gita yang sudah kehilangan harapan.

Semua crew sudah mundur termasuk Sefa. Sedangkan Raisa tetap melakukan pijat jantung pada pasien meskipun kondisinya sudah sangat lemah dan garis pada monitor tampak lurus saja. Bahkan angkanya sudah berubah nol semua. Raisa tak pantang menyerah, ia percaya akan sebuah mukjizat.

Setelah cukup lama memijat jantung pasien. Akhirnya monitor kembali berbunyi dan angka kembali menunjukkan stabil. Pijatan jantung oleh tangan Raisa juga berhenti. Raisa mengeluarkan tangannya dari sana dan memasukkan selangnya lagi dengan yang baru, kemudian menutupnya dengan straples jahitan medis.

Dokter Raisa melanjutkan operasinya. Sedangkan residen dan dokter Gita masih melamun sejenak mengingat hal yang baru saja terjadi di depan matanya, rasanya kakinya lemah tak berdaya menopang tubuhnya. Bahkan tangannya sudah memegang brankar pasien. Ia seolah kehilangan arah dan tujuan.

Raisa? Masih tetap fokus melanjutkan operasinya begitupun dengan Sefa. Operasi tersebut awalnya memakan waktu tiga belas jam tapi bisa dipangkas menjadi sepuluh jam tiga puluh menit oleh kecepatan Raisa. Harusnya bisa diselesaikan dalam waktu sembilan jam tiga puluh menit tapi mundur karena pasien mengalami henti jantung.

Operasi sudah selesai dilakukan, dan dokter Gita juga dokter Raisa menyampaikan pada wali pasien bahwa operasi lancar dan berhasil. Hanya saja untuk tindakan pada gagal ginjalnya belum bisa dilakukan sebab harus ada donor ginjal. Sedangkan stok di rumah sakit sedang kosong. Raisa dan Gita masih terus mencari donor ginjal untuk pasien ini.

Tiba-tiba tangan Raisa dipegang erat oleh pria yang membersamai wanita paruh baya yang merupakan wali pasien. Pria tersebut membawa Raisa menjauh dari keramaian. Raisa tidak memberontak hanya menatap nyalang pada pria yang dengan berani menyentuhnya padahal tidak mengenal satu sama lain.

"Duduklah dokter, saya perlu bicara serius dengan anda," pinta pria tersebut setelah sampai di sebuah taman rumah sakit.

Raisa? Tidak menuruti ucapan pria tersebut dia langsung melenggang pergi yang membuat pria itu geram padanya tapi tetap mengikuti kemana perginya dokter itu.

"Jutek banget, untung cantik!" seru lirih pria tersebut.

Raisa membukakan pintu kantornya dan mempersilahkan pria tersebut masuk dan duduk di kursi depan mejanya.

"Duduklah, apa yang ingin kamu katakan cepat katakan, saya nggak memiliki banyak waktu untuk meladeni hal yang tidak penting!" sindir Raisa yang tampaknya mengerti kemana arah pembicaraan kali ini.

"Maafkan saya dan keluarga jika harus menutupi riwayat penyakit ayah saya, dan saya juga minta maaf atas persyaratan yang diajukan oleh ibu saya tadi pada anda."

"Cukup basa basinya, Pak. Silahkan langsung ke intinya!" peringat Raisa yang tak ingin banyak drama.

"Baiklah saya akan mempersingkat waktu, saya tahu anda sibuk. Saya akan punya pendonor untuk ayah saya yang saya jamin cocok dengan tubuh ayah. Tapi saya tidak main-main dengan persyaratan yang diajukan oleh ibu saya. Jika anda tidak menyetujui persyaratan ini, saya akan melaporkan anda atas tujuan mal praktek. Dan saya pastikan anda masuk dan mendekam di jeruji besi!" ancam pria tersebut.

"Apa maksud anda bicara seperti itu? saya tidak melakukan mal praktek, semua berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Bagaimana bisa anda menekan saya seperti itu?" tanya Raisa yang mulai gusar dengan situasi yang membingungkan sekaligus menyulitkan dirinya.

"Saya pastikan tidak ada stok ginjal di rumah sakit manapun dan tidak ada pendonor yang mau mendonorkan ginjalnya pada ayah. Sehingga anda bisa mendekam di hotel bintang lima," jawab pria tersebut terdengar angkuh.

"Biar saya pikirkan dulu dan beri saya waktu satu Minggu untuk mencari donor ginjal yang cocok untuk ayah anda." Raisa tetap kekeh pada pendiriannya.

Hal tersebut mengundang tawa sumbang dari pria yang duduk didepannya. Seolah diremehkan dan dihinakan, Raisa kembali buka suara.

"Anda mengancam saya dengan dalih mal praktek karena anda dan ayah anda adalah pembunuh ayah saya bukan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!