JEJAK PETUALANGANKU
Hari itu cerah, matahari baru saja memanjat langit. Ferdy berjalan dengan langkah ringan, meski hatinya sedikit tegang. Ini hari pertama di SMK Dr. Soteomo, dan baginya, setiap awal selalu sedikit mendebarkan. Sekolah ini memang sudah menjadi impiannya sejak lama, tapi tidak ada yang benar-benar bisa menyiapkan seseorang untuk hari pertama.
“Yah, paling cuma gitu-gitu aja. Masuk, duduk, kenalan, terus belajar,” gumamnya sambil memasukkan tangannya ke saku, mencoba menenangkan diri. Sesekali, ia menyunggingkan senyum, membayangkan seandainya ada hal lucu terjadi di sekolah barunya.
Langkah Ferdy berhenti sejenak di depan gerbang sekolah. “SMK Dr. Soteomo,” gumamnya, menatap papan nama yang terpampang megah di sana. “Kedengerannya keren, padahal... ya biasa aja.”
Tanpa banyak berpikir lagi, ia melangkah masuk. Seperti yang sudah ia duga, lorong-lorong penuh dengan murid baru yang kebingungan mencari kelas. Wajah-wajah tegang, beberapa terlihat terlalu serius, sementara yang lain berbicara dengan nada tertahan.
“Eh, lu anak baru juga?” tanya seorang cowok dari sebelahnya. Rambutnya acak-acakan, senyumnya lebar.
“Ya iyalah, kalo nggak masa gua bisa nyasar di sini,” jawab Ferdy sambil tertawa kecil.
“Bener juga sih,” cowok itu ikut tertawa. “Nama gue Rian, lu?”
“Ferdy,” jawabnya singkat. “Eh, kelas 10-B di mana ya?”
“Lurus aja, belok kanan nanti ada papan kelas. Gua juga kelas 10-B. Kayaknya kita sekelas nih.”
“Oke, baguslah. Gua ada temen sekarang,” kata Ferdy. Dalam hati, ia bersyukur sudah kenal satu orang sebelum pelajaran dimulai.
Keduanya berjalan menuju kelas sambil berbincang ringan, membicarakan hal-hal yang tidak begitu penting, mulai dari guru yang katanya killer sampai rumor tentang tugas-tugas sulit di SMK.
“Jadi lu mau ambil jurusan apa, Ferd?” tanya Rian saat mereka mendekati pintu kelas.
“Teknik mesin, kalo lu?”
“Sama. Kayaknya seru tuh bisa ngutak-atik mesin, kan?”
“Seru sih, tapi kalo mesinnya ngejeblak, ya kelar hidup kita,” jawab Ferdy sambil terkekeh. Rian pun tertawa mendengar lelucon Ferdy yang selalu ceplas-ceplos.
Mereka memasuki kelas 10-B yang sudah mulai penuh. Ferdy memilih tempat duduk di barisan tengah, sementara Rian mengambil tempat di belakangnya. Ketika Ferdy baru saja duduk, seorang cewek tiba-tiba muncul dan melempar tasnya ke kursi sebelahnya.
“Eh, sorry, ini tempat gua,” katanya sambil tersenyum. Suaranya terdengar ceria, tapi penuh percaya diri.
Ferdy menatap cewek itu sejenak. Wajahnya manis, rambut panjangnya diikat rapi, dan matanya penuh semangat. “Oh, ya udah, gua pindah ke belakang aja,” jawab Ferdy sambil berdiri, tapi cewek itu langsung mencegahnya.
“Nggak usah, gua cuma bercanda kok. Duduk aja di situ, gua nyari tempat lain.”
“Beneran nih?”
“Iya, santai aja,” jawabnya dengan nada ringan. Cewek itu lalu berjalan ke belakang dan duduk di kursi kosong di dekat jendela. Ferdy hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, masih terheran-heran dengan pertemuan yang aneh barusan.
Pelajaran dimulai tanpa kejadian yang berarti, kecuali beberapa pengenalan guru dan penjelasan mengenai kurikulum. Ferdy, meskipun biasanya cerewet, kali ini lebih banyak diam, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun, fokusnya terganggu ketika cewek yang tadi duduk di sebelahnya tiba-tiba menoleh.
“Eh, lu Ferdy kan?” tanya cewek itu.
Ferdy yang sedikit terkejut mengangguk. “Iya, bener. Kok lu tau?”
“Gua Ayla. Denger nama lu pas guru tadi absen. Kita sekelas ternyata.”
“Oh, ya, gua inget lu,” jawab Ferdy, sedikit kaku.
“Ayla... nama lu kayak nama artis. Bintang sinetron?” celetuk Ferdy tiba-tiba.
Ayla tertawa kecil. “Kalo artis sinetron, gua nggak mungkin ada di sini, dong.”
Percakapan singkat itu membuat Ferdy sedikit lebih rileks. Ada sesuatu tentang Ayla yang berbeda. Dia tidak seperti cewek-cewek lain yang biasanya Ferdy temui, terlalu serius atau terlalu menjaga image. Ayla santai, dan cara bicaranya mirip seperti dirinya — ceplas-ceplos, tanpa filter.
Jam istirahat tiba. Ferdy dan Rian keluar dari kelas, mencari kantin. Namun, baru beberapa langkah, Ayla sudah menghampiri mereka lagi.
“Lu mau ke kantin juga?” tanya Ayla tanpa basa-basi.
“Iya, lu mau ikut?” tawar Ferdy.
“Boleh juga. Gua belom hafal tempat di sini, nih,” jawab Ayla sambil tertawa. “Tapi denger-denger kantin di sekolah ini enak-enak makanannya.”
Rian yang sedari tadi diam memperhatikan, hanya bisa mengangguk. “Ayla, ya?” tanyanya, mencoba memecah keheningan canggung.
“Iya, Rian kan?” jawab Ayla tanpa ragu.
“Wih, cepet banget lu hafal nama,” canda Rian, membuat Ferdy tertawa.
“Gua mah orangnya emang gitu, cepet hafal. Lagian, kalo gua deket sama lu, ntar gua tau segalanya deh,” Ayla menjawab dengan nada bercanda, namun ada sedikit sentuhan menggoda di suaranya.
Percakapan berlanjut sepanjang jalan menuju kantin, penuh dengan tawa dan candaan. Ternyata, tidak butuh waktu lama bagi Ferdy dan Ayla untuk saling nyambung. Mereka saling meledek, menukar ejekan ringan, dan tanpa sadar menjadi pusat perhatian di antara murid-murid baru lainnya.
Saat mereka duduk di meja kantin, Ayla terus saja berceloteh. “Jadi, Ferdy, lu beneran suka teknik mesin? Apa cuma biar keliatan keren di depan cewek-cewek?”
Ferdy menahan tawa. “Yah, gua nggak pernah mikirin keren apa nggaknya. Gua cuma suka ngutak-atik aja. Kalo gua pengen keliatan keren, gua jadi model aja, bukan tukang mesin.”
“Model? Lu?” Ayla tertawa keras. “Tinggi segitu, muka kayak gitu? Kayaknya cocok jadi badut deh, Ferdy.”
Rian menambahkan, “Iya tuh, Ferdy. Kalo jadi badut, gua yakin karier lu bakal cerah.”
“Biarin aja, yang penting gua bahagia,” jawab Ferdy, tak mau kalah. “Daripada lu, jadi tukang kayu tapi kagak bisa bedain paku sama obeng.”
“Eh, jangan bawa-bawa gua,” Rian pura-pura tersinggung.
Sore itu, Ferdy merasa hari pertamanya di sekolah tidak seburuk yang ia bayangkan. Ia sudah bertemu dengan orang-orang yang menarik, terutama Ayla. Meskipun baru kenal, mereka seperti sudah berteman lama. Ferdy tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu hal yang pasti — hari ini penuh tawa.
---
Hari-hari berikutnya, Ferdy mulai terbiasa dengan rutinitas di SMK Dr. Soteomo. Setiap pagi ia berangkat dengan semangat, siap untuk melewati hari-harinya yang penuh canda tawa bersama Ayla dan Rian. Terkadang, kelas menjadi lebih seperti panggung komedi ketimbang tempat belajar. Ayla selalu berhasil membuat Ferdy tertawa dengan komentarnya yang tajam, sementara Rian selalu menjadi penonton setia lelucon mereka.
Suatu hari, saat jam istirahat, Ferdy dan Ayla duduk di taman sekolah, mengobrol tentang berbagai hal. Sejak pertama kali bertemu, mereka memang sering menghabiskan waktu bersama, seakan sudah menjadi kebiasaan.
“Eh, lu pernah dengar tentang Gusipala, nggak?” tanya Ayla tiba-tiba, sambil menyesap jusnya.
“Gusipala? Gunung Simping Pencinta Alam?” Ferdy mengernyit. “Pernah dengar, tapi gua nggak terlalu tahu. Emang kenapa?”
“Ada yang bilang, itu organisasi pencinta alam paling keren di sini. Mereka suka naik gunung, terus ada lomba-lomba juga. Seru kayaknya.”
Ferdy memandang Ayla dengan rasa ingin tahu. “Maksud lu, lu mau ikut?”
Ayla mengangguk penuh semangat. “Iya, kenapa enggak? Naik gunung, lintas alam, itu kan keren. Lu suka tantangan, kan?”
“Gua sih suka aja. Tapi, lu kuat nggak? Naik gunung itu nggak main-main, loh.”
Ayla memelototi Ferdy. “Apa maksud lu? Gua kuat lah! Jangan remehin gua.”
Ferdy tertawa kecil. “Gua nggak ngeremehin. Tapi serius, itu kan berat. Gua pernah dengar cerita orang-orang yang pingsan pas naik gunung.”
“Justru itu! Gua pengen ngerasain tantangan. Masa hidup cuma gitu-gitu aja?”
Ferdy mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kalo lu serius, gua ikut deh. Tapi nanti jangan nyesel ya, kalo cape setengah mati.”
Ayla menjawab sambil tersenyum lebar, “Santai aja. Ntar kita lihat siapa yang bakal nyesel.”
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Yulay Yuli
enak tau nanjak ada sensasi yang berbeda, sayangnya w udh nikah dan punya suami ga seneng naik gunung 😭
2024-10-12
0