NovelToon NovelToon

JEJAK PETUALANGANKU

AWAL BARU

Hari itu cerah, matahari baru saja memanjat langit. Ferdy berjalan dengan langkah ringan, meski hatinya sedikit tegang. Ini hari pertama di SMK Dr. Soteomo, dan baginya, setiap awal selalu sedikit mendebarkan. Sekolah ini memang sudah menjadi impiannya sejak lama, tapi tidak ada yang benar-benar bisa menyiapkan seseorang untuk hari pertama.

“Yah, paling cuma gitu-gitu aja. Masuk, duduk, kenalan, terus belajar,” gumamnya sambil memasukkan tangannya ke saku, mencoba menenangkan diri. Sesekali, ia menyunggingkan senyum, membayangkan seandainya ada hal lucu terjadi di sekolah barunya.

Langkah Ferdy berhenti sejenak di depan gerbang sekolah. “SMK Dr. Soteomo,” gumamnya, menatap papan nama yang terpampang megah di sana. “Kedengerannya keren, padahal... ya biasa aja.”

Tanpa banyak berpikir lagi, ia melangkah masuk. Seperti yang sudah ia duga, lorong-lorong penuh dengan murid baru yang kebingungan mencari kelas. Wajah-wajah tegang, beberapa terlihat terlalu serius, sementara yang lain berbicara dengan nada tertahan.

“Eh, lu anak baru juga?” tanya seorang cowok dari sebelahnya. Rambutnya acak-acakan, senyumnya lebar.

“Ya iyalah, kalo nggak masa gua bisa nyasar di sini,” jawab Ferdy sambil tertawa kecil.

“Bener juga sih,” cowok itu ikut tertawa. “Nama gue Rian, lu?”

“Ferdy,” jawabnya singkat. “Eh, kelas 10-B di mana ya?”

“Lurus aja, belok kanan nanti ada papan kelas. Gua juga kelas 10-B. Kayaknya kita sekelas nih.”

“Oke, baguslah. Gua ada temen sekarang,” kata Ferdy. Dalam hati, ia bersyukur sudah kenal satu orang sebelum pelajaran dimulai.

Keduanya berjalan menuju kelas sambil berbincang ringan, membicarakan hal-hal yang tidak begitu penting, mulai dari guru yang katanya killer sampai rumor tentang tugas-tugas sulit di SMK.

“Jadi lu mau ambil jurusan apa, Ferd?” tanya Rian saat mereka mendekati pintu kelas.

“Teknik mesin, kalo lu?”

“Sama. Kayaknya seru tuh bisa ngutak-atik mesin, kan?”

“Seru sih, tapi kalo mesinnya ngejeblak, ya kelar hidup kita,” jawab Ferdy sambil terkekeh. Rian pun tertawa mendengar lelucon Ferdy yang selalu ceplas-ceplos.

Mereka memasuki kelas 10-B yang sudah mulai penuh. Ferdy memilih tempat duduk di barisan tengah, sementara Rian mengambil tempat di belakangnya. Ketika Ferdy baru saja duduk, seorang cewek tiba-tiba muncul dan melempar tasnya ke kursi sebelahnya.

“Eh, sorry, ini tempat gua,” katanya sambil tersenyum. Suaranya terdengar ceria, tapi penuh percaya diri.

Ferdy menatap cewek itu sejenak. Wajahnya manis, rambut panjangnya diikat rapi, dan matanya penuh semangat. “Oh, ya udah, gua pindah ke belakang aja,” jawab Ferdy sambil berdiri, tapi cewek itu langsung mencegahnya.

“Nggak usah, gua cuma bercanda kok. Duduk aja di situ, gua nyari tempat lain.”

“Beneran nih?”

“Iya, santai aja,” jawabnya dengan nada ringan. Cewek itu lalu berjalan ke belakang dan duduk di kursi kosong di dekat jendela. Ferdy hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, masih terheran-heran dengan pertemuan yang aneh barusan.

Pelajaran dimulai tanpa kejadian yang berarti, kecuali beberapa pengenalan guru dan penjelasan mengenai kurikulum. Ferdy, meskipun biasanya cerewet, kali ini lebih banyak diam, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun, fokusnya terganggu ketika cewek yang tadi duduk di sebelahnya tiba-tiba menoleh.

“Eh, lu Ferdy kan?” tanya cewek itu.

Ferdy yang sedikit terkejut mengangguk. “Iya, bener. Kok lu tau?”

“Gua Ayla. Denger nama lu pas guru tadi absen. Kita sekelas ternyata.”

“Oh, ya, gua inget lu,” jawab Ferdy, sedikit kaku.

“Ayla... nama lu kayak nama artis. Bintang sinetron?” celetuk Ferdy tiba-tiba.

Ayla tertawa kecil. “Kalo artis sinetron, gua nggak mungkin ada di sini, dong.”

Percakapan singkat itu membuat Ferdy sedikit lebih rileks. Ada sesuatu tentang Ayla yang berbeda. Dia tidak seperti cewek-cewek lain yang biasanya Ferdy temui, terlalu serius atau terlalu menjaga image. Ayla santai, dan cara bicaranya mirip seperti dirinya — ceplas-ceplos, tanpa filter.

Jam istirahat tiba. Ferdy dan Rian keluar dari kelas, mencari kantin. Namun, baru beberapa langkah, Ayla sudah menghampiri mereka lagi.

“Lu mau ke kantin juga?” tanya Ayla tanpa basa-basi.

“Iya, lu mau ikut?” tawar Ferdy.

“Boleh juga. Gua belom hafal tempat di sini, nih,” jawab Ayla sambil tertawa. “Tapi denger-denger kantin di sekolah ini enak-enak makanannya.”

Rian yang sedari tadi diam memperhatikan, hanya bisa mengangguk. “Ayla, ya?” tanyanya, mencoba memecah keheningan canggung.

“Iya, Rian kan?” jawab Ayla tanpa ragu.

“Wih, cepet banget lu hafal nama,” canda Rian, membuat Ferdy tertawa.

“Gua mah orangnya emang gitu, cepet hafal. Lagian, kalo gua deket sama lu, ntar gua tau segalanya deh,” Ayla menjawab dengan nada bercanda, namun ada sedikit sentuhan menggoda di suaranya.

Percakapan berlanjut sepanjang jalan menuju kantin, penuh dengan tawa dan candaan. Ternyata, tidak butuh waktu lama bagi Ferdy dan Ayla untuk saling nyambung. Mereka saling meledek, menukar ejekan ringan, dan tanpa sadar menjadi pusat perhatian di antara murid-murid baru lainnya.

Saat mereka duduk di meja kantin, Ayla terus saja berceloteh. “Jadi, Ferdy, lu beneran suka teknik mesin? Apa cuma biar keliatan keren di depan cewek-cewek?”

Ferdy menahan tawa. “Yah, gua nggak pernah mikirin keren apa nggaknya. Gua cuma suka ngutak-atik aja. Kalo gua pengen keliatan keren, gua jadi model aja, bukan tukang mesin.”

“Model? Lu?” Ayla tertawa keras. “Tinggi segitu, muka kayak gitu? Kayaknya cocok jadi badut deh, Ferdy.”

Rian menambahkan, “Iya tuh, Ferdy. Kalo jadi badut, gua yakin karier lu bakal cerah.”

“Biarin aja, yang penting gua bahagia,” jawab Ferdy, tak mau kalah. “Daripada lu, jadi tukang kayu tapi kagak bisa bedain paku sama obeng.”

“Eh, jangan bawa-bawa gua,” Rian pura-pura tersinggung.

Sore itu, Ferdy merasa hari pertamanya di sekolah tidak seburuk yang ia bayangkan. Ia sudah bertemu dengan orang-orang yang menarik, terutama Ayla. Meskipun baru kenal, mereka seperti sudah berteman lama. Ferdy tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu hal yang pasti — hari ini penuh tawa.

---

Hari-hari berikutnya, Ferdy mulai terbiasa dengan rutinitas di SMK Dr. Soteomo. Setiap pagi ia berangkat dengan semangat, siap untuk melewati hari-harinya yang penuh canda tawa bersama Ayla dan Rian. Terkadang, kelas menjadi lebih seperti panggung komedi ketimbang tempat belajar. Ayla selalu berhasil membuat Ferdy tertawa dengan komentarnya yang tajam, sementara Rian selalu menjadi penonton setia lelucon mereka.

Suatu hari, saat jam istirahat, Ferdy dan Ayla duduk di taman sekolah, mengobrol tentang berbagai hal. Sejak pertama kali bertemu, mereka memang sering menghabiskan waktu bersama, seakan sudah menjadi kebiasaan.

“Eh, lu pernah dengar tentang Gusipala, nggak?” tanya Ayla tiba-tiba, sambil menyesap jusnya.

“Gusipala? Gunung Simping Pencinta Alam?” Ferdy mengernyit. “Pernah dengar, tapi gua nggak terlalu tahu. Emang kenapa?”

“Ada yang bilang, itu organisasi pencinta alam paling keren di sini. Mereka suka naik gunung, terus ada lomba-lomba juga. Seru kayaknya.”

Ferdy memandang Ayla dengan rasa ingin tahu. “Maksud lu, lu mau ikut?”

Ayla mengangguk penuh semangat. “Iya, kenapa enggak? Naik gunung, lintas alam, itu kan keren. Lu suka tantangan, kan?”

“Gua sih suka aja. Tapi, lu kuat nggak? Naik gunung itu nggak main-main, loh.”

Ayla memelototi Ferdy. “Apa maksud lu? Gua kuat lah! Jangan remehin gua.”

Ferdy tertawa kecil. “Gua nggak ngeremehin. Tapi serius, itu kan berat. Gua pernah dengar cerita orang-orang yang pingsan pas naik gunung.”

“Justru itu! Gua pengen ngerasain tantangan. Masa hidup cuma gitu-gitu aja?”

Ferdy mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kalo lu serius, gua ikut deh. Tapi nanti jangan nyesel ya, kalo cape setengah mati.”

Ayla menjawab sambil tersenyum lebar, “Santai aja. Ntar kita lihat siapa yang bakal nyesel.”

---

PETUALANGAN AWAL

Hari Minggu yang dijanjikan akhirnya tiba. Matahari bersinar cerah, dan Ferdy merasakan getaran semangat di dalam dirinya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu Rian dan Ayla di depan Jalan Bawean, tempat yang dijanjikan untuk memulai petualangan mereka. Dengan mengenakan kaos dan celana pendek, Ferdy melangkah cepat menuju tempat pertemuan.

Sesampainya di sana, dia melihat Rian sudah menunggu, memainkan ponselnya sambil sesekali melirik jam.

“Lama banget, Ferd!” seru Rian sambil beranjak berdiri.

“Gua baru juga, cobalah sabar dikit,” jawab Ferdy dengan nada santai. “Lagi nunggu Ayla, nih.”

“Dia pasti dandan dulu. Cewek memang selalu gitu,” Rian mencibir, meski senyumnya menunjukkan bahwa dia tidak terlalu serius.

Tak lama kemudian, Ayla muncul dengan gaya casual, rambutnya diikat rapi, dan senyum ceria menghiasi wajahnya. “Maaf, guys! Kira-kira sepuluh menit lagi mau jadi ratu, kan?”

“Ratu? Yang ada malah jadi penguasa waktu. Kita udah nunggu setengah hari,” Ferdy menyahut, disertai tawa.

“Eh, jangan protes. Kalo gua nggak dandan, kalian juga pasti protes,” jawab Ayla, pura-pura kesal.

“Udah, udah. Yang penting kita jalan sekarang. Basecamp Gusipala nunggu!” Rian mengajak, sedikit tidak sabar.

Ayla mengangguk, “Betul! Yuk, kita berangkat!”

Setelah memastikan mereka sudah siap, ketiga remaja itu berjalan menuju basecamp Gusipala. Jalan menuju basecamp tidak jauh, tetapi ada sesuatu yang spesial dari perjalanan ini bagi Ferdy. Dia mengingat masa-masa kecilnya saat sering bermain di area tersebut. “Oh ya, rumah gua lewat sini,” ucap Ferdy tiba-tiba.

“Rumah lu? Di mana?” tanya Rian.

“Tak jauh dari sini, deh. Nanti gua tunjukkin,” jawab Ferdy sambil mempercepat langkahnya.

Mereka berjalan melewati gang kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. Di sepanjang jalan, Ferdy mengenang kembali kenangan indahnya saat masih SMP. Dulu, meskipun dia belum diizinkan untuk mendaki, dia sering menghabiskan waktu di basecamp, belajar tentang navigasi, survival, dan etika pendakian.

“Eh, Ferd! Lu pernah cerita tentang masa lalu lu di sini, kan?” tanya Ayla sambil menelusuri jalan setapak.

“Iya, dulu gua sering main di basecamp. Belajar ini itu sama kakak-kakak yang udah sering mendaki,” Ferdy menjelaskan. “Tapi gua belum pernah diizinkan buat ikut mendaki. Orang tua gua sangat protektif.”

“Kenapa bisa gitu? Kan keren bisa mendaki gunung!” Rian bertanya.

“Ya gitu deh. Orang tua gua pikir mendaki itu berbahaya. Makanya, gua cuma bisa belajar tentang navigasi dan survival dari mereka,” jawab Ferdy dengan nada sedikit kecewa.

“Eh, tapi sekarang udah bisa! Kita bisa ikut Gusipala dan jadi pendaki beneran,” Ayla memberikan semangat.

“Iya, semoga saja,” Ferdy tersenyum, merasakan kembali semangat yang membara di dalam dirinya.

Akhirnya, setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka tiba di depan basecamp Gusipala. Terlihat papan nama besar dengan tulisan “GUSIPALA (Gunung Simping Pencinta Alam)” terpampang di dinding. Suasana di sekitar basecamp terasa hangat, banyak anak muda berkumpul, bercanda tawa, dan berbagi cerita.

“Wah, ramai juga ya!” seru Ayla, matanya berbinar melihat keramaian.

“Iya, biasanya memang gini. Kita harus langsung daftar biar bisa ikut kegiatan,” Rian menjelaskan.

“Yuk, kita masuk!” Ferdy mengajak, semangat memancar dari wajahnya.

Begitu mereka masuk, suasana semakin ramai. Di dalam basecamp, ada beberapa meja yang dipenuhi brosur dan informasi mengenai kegiatan Gusipala. Mereka melihat banyak anggota lain sedang sibuk mempersiapkan kegiatan.

“Eh, Ferdy! Sudah datang!” seorang kakak dengan kaos Gusipala menghampiri mereka. “Kamu sudah daftar?”

“Belum, Kak. Ini pertama kali kami datang,” jawab Ferdy.

“Wah, selamat datang! Kami sangat senang ada pendatang baru. Kita akan mulai pendaftaran sebentar lagi. Jangan khawatir, semua orang disini ramah,” kata kakak itu, lalu menunjukkan tempat pendaftaran kepada mereka.

Sambil menunggu antrian, Ayla memperhatikan sekeliling. “Keren ya, banyak banget orang-orang di sini. Mereka semua terlihat bahagia.”

“Yah, memang seperti itu. Semua orang di sini punya satu tujuan — mencintai alam dan berbagi pengalaman,” jawab Rian.

Setelah beberapa saat, giliran mereka untuk mendaftar. Ferdy, Ayla, dan Rian mengisi formulir dengan semangat. Setelah selesai, mereka mendapatkan pin Gusipala sebagai tanda bahwa mereka resmi menjadi anggota.

“Selamat! Sekarang kalian sudah resmi jadi anggota Gusipala!” kata kakak pendaftar dengan antusias.

“Wah, keren!” Ferdy bersorak, sambil menunjukkan pin baru di bajunya. “Akhirnya, kita resmi!”

Ayla menari kecil kegirangan. “Gua excited banget! Kapan kita mulai kegiatan?”

“Kita mulai kegiatan minggu depan. Untuk hari ini, kita hanya ada perkenalan dan ngobrol santai dengan anggota lain,” jawab kakak pendaftar.

Mereka berkeliling basecamp, bertemu dengan banyak anggota lainnya. Ada yang berbagi pengalaman mendaki, ada yang berbagi tips survival, dan ada pula yang berbagi cerita lucu tentang pendakian mereka.

“Gua dengar lu pengen ikut mendaki?” tanya seorang kakak bernama Dika, seorang pendaki senior yang terlihat ramah.

“Iya, Kak! Ini pertama kalinya gua ikut Gusipala,” Ferdy menjawab penuh semangat.

Dika tersenyum. “Bagus, lu akan mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Jangan khawatir, kita akan saling bantu. Pastikan lu siap mental dan fisik!”

“Siap, Kak!” Ferdy mengangguk mantap.

“Gua mau tanya, Kak,” interupsi Ayla. “Ada persiapan khusus sebelum mendaki? Apa yang harus kami lakukan?”

“Banyak hal, Ayla. Mulai dari persiapan fisik, peralatan, hingga pengetahuan tentang rute yang akan dilalui. Kita juga akan belajar tentang etika pendakian dan pentingnya menjaga alam,” jawab Dika.

“Wah, gua penasaran!” kata Ayla, matanya bersinar. “Gua siap belajar semuanya.”

Setelah cukup lama berada di basecamp, Ferdy dan teman-teman merasa lelah namun bahagia. Mereka telah bertemu banyak orang baru dan mendapatkan banyak informasi tentang kegiatan mendatang.

“Gua merasa kayak hidup baru, deh,” Ferdy menghela napas, merasa ringan.

“Iya, gua juga. Seneng banget bisa bergabung,” Ayla menyetujui.

“Yuk, kita pulang. Nanti kita bisa kumpul lagi di sini minggu depan!” Rian mengajak.

“Setuju!” jawab Ferdy dan Ayla serempak.

Mereka pun berjalan pulang sambil berbincang tentang rencana-rencana mendaki yang akan datang. Di sepanjang jalan, Ferdy mengingat kembali kenangan indah di basecamp yang sempat ia lupakan. Sekarang, dia merasa mendapatkan kesempatan kedua untuk mengejar impian yang tertunda.

“Gua suka banget sama suasana di sini. Rasanya kayak rumah,” Ferdy berkomentar.

“Ya, gua juga. Semoga kita bisa sering ke sini,” Ayla menambahkan.

“Jadi, minggu depan kita mulai mendaki, ya?” Rian bertanya untuk memastikan.

“Pastinya! Gua nggak sabar!” jawab Ferdy, semangat membara.

Setelah sampai di rumah, Ferdy langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Dia merasa capek, tapi capek yang menyenangkan. Hari itu adalah langkah awal yang sangat berarti. Akhirnya, dia bisa mewujudkan mimpi-mimpinya bersama dua teman baru, Rian dan Ayla.

Malam itu, Ferdy merenungkan semua yang telah terjadi. “Semoga ini bukan mimpi,” bisiknya, sebelum terlelap dalam tidur yang nyenyak.

---

LLA,

Hari yang dinantikan tiba juga. Suara klakson mobil dan sorak-sorai peserta lomba lintas alam memenuhi udara pagi. Ferdy, Ayla, dan Rian berdiri di antara kerumunan peserta lain yang bersemangat. Mereka mengenakan kaos Gusipala yang baru dan terlihat segar meskipun masih pagi.

“Gua nggak percaya kita udah sampai di sini!” seru Ayla, matanya berbinar melihat banyaknya peserta yang berkumpul. “Ini seperti festival!”

Rian tertawa, “Iya, dan ini baru pemanasan. Tunggu sampai kita mulai lomba!”

Ferdy mengamati sekeliling. “Lihat tuh, banyak banget yang ikut. Apa kita bisa menang?”

“Jangan pesimis, Ferd! Kita harus percaya diri. Yang penting kita ikutan dan nikmati,” Ayla menjawab optimis.

“Betul! Kalau kita enjoy, pasti bisa perform dengan baik,” Rian menambahkan. “Yang terpenting, jangan sampai tersesat. Kita harus paham rute.”

Tak lama kemudian, seorang panitia mendekati mereka dengan suara lantang. “Selamat datang di Lomba Lintas Alam! Kami akan segera memulai briefing untuk semua peserta. Mohon berkumpul di depan panggung!”

Mereka segera berkumpul bersama peserta lain di depan panggung. Ferdy merasa berdebar-debar. Ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti lomba lintas alam, dan dia ingin memberikan yang terbaik.

Setelah briefing singkat, panitia membagi peserta menjadi beberapa kelompok. Ferdy, Ayla, dan Rian tergabung dalam satu regu yang terdiri dari enam orang. Di samping mereka, ada dua peserta lain yang terlihat serius.

“Gua Dika, ini teman gua, Arman. Kita bakal satu regu, ya?” sapa Dika, salah satu anggota baru yang juga dari Gusipala.

“Yoi, Ferdy. Ini Ayla dan Rian,” Ferdy memperkenalkan teman-temannya dengan semangat.

“Jadi, kita semua sudah siap?” tanya Dika sambil mengecek peralatan.

“Siap!” jawab Ferdy, Ayla, dan Rian serempak.

“Baiklah, kita harus mendengarkan petunjuk rute dengan baik. Setelah itu, kita harus bekerja sama dan saling membantu,” Dika menjelaskan sambil melihat catatannya.

Mendengar penjelasan itu, Ayla langsung bersemangat. “Gua siap untuk semua tantangan! Yang penting kita jangan terpisah.”

“Setuju. Kita harus tetap bersatu,” Rian menambahkan.

Setelah semua regu terdaftar dan diberi penjelasan mengenai rute lomba, panitia membagikan peta dan menunjukkan jalur yang harus dilalui. Rute yang ditentukan meliputi jalan setapak, hutan, dan mendaki sedikit bukit.

“Wah, kita bakal melewati hutan! Asyik!” seru Ayla, tampak sangat antusias.

Ferdy mengangguk. “Iya, tapi ingat, kita harus hati-hati. Jangan sampai tersesat.”

“Tenang aja, Ferd. Kita udah belajar navigasi. Kita pasti bisa,” jawab Rian sambil mengecek kompas yang dibawanya.

Dengan semangat yang menggebu, mereka berbaris di garis start. Suara peluit tanda mulai lomba menggema, dan semua peserta berlari menuju rute yang telah ditentukan.

“Yuk, kita go!” teriak Ferdy, berlari di depan dengan Rian dan Ayla mengikuti di belakang.

Ayla melirik Ferdy sambil berlari. “Kalo kita menang, gua bakal traktir kalian makan enak!”

“Wah, janji nih?” tanya Rian.

“Janji! Tapi kita harus berusaha dulu,” jawab Ayla bersemangat.

Mereka berlari melewati jalan setapak, melompati akar pohon dan menghindari batu-batu besar. Udara segar dan aroma tanah basah mengisi paru-paru Ferdy. Dia merasa hidup, berlari di tengah alam yang hijau.

Setelah berlari sekitar sepuluh menit, mereka sampai di titik pertama: sebuah tanjakan kecil. Dika memimpin regu untuk menanjak, dan mereka semua mengikuti di belakangnya.

“Jaga stamina, guys! Kita baru awal, jangan sampai kelelahan!” Dika mengingatkan.

“Aku masih kuat!” jawab Ayla sambil tersenyum lebar.

Ferdy melirik ke arah Ayla. “Lu selalu kuat, sih. Tapi, jangan terbawa semangat, ya. Kita harus fokus.”

Ayla tertawa. “Iya, iya! Yang penting, kita nikmati!”

Mereka mendaki sambil mengobrol. Suara tawa dan semangat mereka mengisi setiap sudut hutan. Tanpa terasa, mereka sudah mencapai puncak kecil dan bisa melihat pemandangan yang menakjubkan.

“Wah, lihat! Indah banget!” seru Rian, sambil mengambil foto dengan ponselnya.

Ayla mengambil napas dalam-dalam. “Gua bisa merasakan semangat alam. Gua suka!”

Ferdy tersenyum. “Ini baru permulaan, guys. Kita harus cepat, supaya kita bisa menikmati lebih banyak pemandangan.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menuruni bukit dan menyusuri jalan setapak di dalam hutan. Di tengah perjalanan, mereka harus melewati sungai kecil. Suara gemericik air membuat suasana semakin hidup.

“Gimana nih, kita lewat mana?” tanya Dika, melihat kondisi sungai.

“Bisa loncat atau lewat batu-batu besar,” jawab Rian, melihat jalur yang mungkin.

“Gua sarankan kita lewat batu-batu, lebih aman,” Ferdy menambahkan.

“Setuju, kita harus berhati-hati. Ayla, jaga keseimbangan, ya,” Dika mengingatkan.

Ayla mengangguk, “Tenang saja, gua pasti hati-hati!”

Dengan hati-hati, mereka mulai melangkah di atas batu-batu besar, berusaha tidak tergelincir. Ferdy berjalan paling depan, mengawasi langkah teman-temannya.

“Ayo, kita bisa! Hanya sedikit lagi!” Ferdy memberikan semangat.

“Yah, gua hampir jatuh!” teriak Rian saat kakinya hampir melangkah salah.

“Jaga langkahmu! Kita udah dekat!” jawab Ayla, berusaha menahan tawa.

Akhirnya, mereka berhasil melewati sungai dan melanjutkan perjalanan. Semangat mereka semakin membara saat melihat tanda bahwa mereka sudah setengah jalan.

“Wah, kita berhasil! Kita udah setengah jalan!” Rian berteriak, penuh semangat.

“Yuk, kita bisa! Jangan kasih kendor!” Ayla menambahkan.

Mereka kembali berlari, menyusuri jalur yang lebih menantang. Beberapa peserta lain terlihat lebih jauh di depan mereka, tetapi semangat mereka tidak pudar. Ferdy merasa semakin percaya diri.

Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba Ayla terjatuh. “Aduh!” teriaknya.

Ferdy langsung berlari menuju Ayla. “Ayla, lu baik-baik aja?”

“Aku jatuh, tapi nggak apa-apa. Hanya terkilir sedikit,” jawab Ayla, mencoba berdiri.

“Lu yakin? Mau kita tunggu sebentar?” tanya Rian.

“Enggak! Aku bisa!” Ayla menjawab tegas. “Yuk, kita lanjut!”

Dika mengangguk. “Kalau kamu yakin, ayo kita pergi.”

Mereka melanjutkan perjalanan meskipun Ayla sedikit terhencap. Semangatnya membuat Ferdy dan Rian tak bisa mengeluh. Di ujung jalur, mereka melihat pemandangan yang lebih menakjubkan.

“Lihat, ada air terjun kecil!” Ferdy menunjuk ke arah suara gemericik air yang semakin mendekat.

“Wah, indah banget!” Ayla tak bisa menahan rasa kagumnya.

“Seharusnya kita berhenti dan beristirahat di sini,” Rian menyarankan.

Mereka berhenti sejenak dan menikmati pemandangan. Suara air terjun dan suasana alam yang tenang membuat mereka merasa damai. Ayla memutuskan untuk duduk sejenak, mengistirahatkan kakinya yang mulai pegal.

“Mungkin kita bisa selfie di sini?” Ayla mengusulkan.

“Good idea! Ayo kita ambil foto,” Rian setuju.

Ferdy mengambil ponselnya dan mengarahkan ke arah mereka bertiga. “Senyum, guys! 1, 2, 3!”

Suara klik terdengar, dan mereka tersenyum lebar. “Bagus! Nanti kita bisa upload ini ke media sosial,” kata Rian sambil melihat hasil fotonya.

Setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Rute berikutnya cukup menantang, dengan jalur yang lebih curam dan berliku.

“Ini dia tantangan yang sesungguhnya,” Dika berkata sambil memimpin di depan.

“Yuk, semangat!” Ferdy mengajak. “Kita bisa!”

Dengan

semangat baru, mereka mulai mendaki kembali. Ayla yang sempat terkilir masih bisa mengikuti, meskipun pelan. Dika tetap memimpin, memberikan arahan yang jelas untuk menjaga keselamatan.

“Jangan ragu untuk meminta bantuan, ya!” Dika mengingatkan.

Ayla mengangguk. “Kalau ada yang susah, kita bantu!”

Satu jam berlalu, dan mereka akhirnya sampai di titik terakhir. Seluruh regu merasa kelelahan, tetapi kegembiraan terlihat di wajah mereka.

“Wah, kita berhasil! Ini luar biasa!” seru Rian, sambil berusaha mengatur napas.

“Setelah ini, kita bakal nyantai di bawah pohon,” Ferdy menyarankan.

“Dan makan! Aku lapar!” Ayla menambahkan.

Mereka duduk beristirahat sambil menikmati pemandangan. Dengan angin sepoi-sepoi, suasana di sekitar mereka terasa damai.

“Ternyata, lomba lintas alam itu seru juga,” Ferdy berkata sambil tersenyum. “Kita harus terus ikut event kayak gini.”

“Setuju! Ini pengalaman yang sangat berharga,” Dika menjawab.

Mereka bercanda dan mengobrol, merencanakan lomba berikutnya. Semangat persahabatan di antara mereka semakin kuat, dan Ferdy merasa sangat beruntung bisa berbagi pengalaman ini bersama teman-temannya.

Saat matahari mulai terbenam, panitia mengumumkan pemenang lomba. Mereka semua berkumpul kembali di garis finish. Suara sorakan peserta menggema saat panitia mengumumkan nama pemenang.

“Dan pemenang lomba lintas alam kali ini adalah regu Dika!” suara panitia menggema.

Ferdy dan yang lain bersorak senang. Meskipun mereka tidak menang, momen kebersamaan dan pengalaman yang didapat jauh lebih berharga.

“Selamat, Dika! Kita harus berusaha lebih baik di lomba berikutnya,” Rian berkata sambil mengelus punggung Dika.

“Betul! Kalian semua hebat! Kita bisa lebih baik lagi, asal kita terus latihan dan belajar,” Dika menjawab dengan semangat.

Dengan pengalaman baru dan kenangan indah, mereka berjanji untuk terus mendaki bersama dan menikmati setiap petualangan di alam. Hari itu bukan hanya tentang lomba, tetapi tentang kebersamaan dan cinta terhadap alam yang mereka pelajari dan hargai.

“Minggu depan kita harus latihan lebih keras! Kita bisa menang!” Ayla berjanji.

“Setuju! Kita juga bisa eksplor tempat baru,” Ferdy menambahkan.

“Jadi, sampai jumpa di petualangan selanjutnya!” Rian mengangkat tangan dan memberikan semangat kepada semua.

Dengan senyum di wajah dan hati penuh semangat, mereka pulang dengan kenangan yang tak terlupakan, siap untuk tantangan dan petualangan berikutnya di dunia alam.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!