PERACIK HANDAL
Anzel memasuki kamarnya setelah makan malam itu, seperti biasa dia selalu masuk kamar setelah makan malam dengan keluarganya. Jika dia ikut berkumpul dengan keluarganya, maka akan selalu diam dan tidak bisa bicara karena setiap kali bicara selalu saja ucapannya di sanggah oleh mamanya, papanya dan juga kakaknya. Kakaknya Marvin sang juara dalam setiap kegiatan yang dia ikuti. Jadi kebanggaan mama dan papanya, menuruti apa yang di mau kakaknya.
Berbeda dengan Anzel, laki-laki itu tidak pernah di turuti kemauannya. Ketika lulus sekolah menengah, Anzel di haruskan diam di rumah. Padahal keinginannya juga sama dengan Marvin, mendaftar kuliah di kedokteran. Dia ingin menjadi dokter dan bekerja di rumah sakit ternama di kota itu.
"Apakah papa mau mengabulkan keinginanku kuliah di kedokteran?" gumam Anzel di sela lamunannya.
Anzel membaca buku-buku koleksinya, banyak juga buku tengang kedokteran. Sengaja dia membelinya untuk persiapan mendaftar ke fakultas kedokteran yang berada dekat dengan rumahnya. Rumah keluarga Barraq Chalid, ayah Anzel berada di tengah kota. Di mana pusat pemerintahan ada di sana, dan tuan Barraq itu bekerja di salah satu instansi pemerintahan dan memiliki kedudukan tinggi di sana, maka dari itu tuan Barraq serta istrinya hidup berkecukupan.
Tuan Barraq memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dari ketiga anaknya itu, hanya Anzel yang tidak pernah mendapatkan juara di kelasnya.
Marvin Ananta selalu mendapatkan juara karena kecerdasannya. Sekarang kakaknya itu kuliah di fakultas kedokteran dan mengambil spesialis bedah. Sedangkan adiknya yang perempuan juga tak kalah cerdasnya. Natasya Arleta, gadis berusia enam belas tahun dari sejak SD juga sering mendapatkan juara hingga saat ini duduk di sekolah menengah atas.
Anzel merenungi nasibnya yang berbeda dari kedua saudaranya. Dia seperti menyesali kenapa dirinya berbeda dengan kakak dan adiknya.
"Apa benar aku ini anak papa dan mama? Bukankah aku berbeda dengan Marvin dan juga Natasya. Mereka pintar dan selalu mendapatkan juara, tapi aku? Hanya mendapatkan peringkat ke dua puluh dari semua temanku." ucap Anzel.
Setiap kali dia duduk di meja makan, melihat adiknya yang selalu menceritakan kegiatan dan juga prestasinya di sekolah. Serta kakaknya yang juga bercerita tentang praktek-prakteknya dengan dokter ahli bedah lainnya, itu membuat Anzel hanya diam saja. Padahal dia juga ingin bercerita pada kedua papa dan mamanya, tapi mereka tidak menanggapinya.
"Mungkin aku hanya jadi orang yang tidak bisa membanggakan pada papa dan mamaku," ucap Anzel lagi.
Renungannya malam ini, keinginannya akan kuliah di fakultas kedokteran seperti kakaknya membuatnya kini bertekad akan menyampaikannya pada papanya. Ya, Anzel punya cita-cita menjadi dokter. Maka dari itu, dia ingin mendaftarkan ke fakultas kedokteran. Dia yakin dengan kemampuannya bisa masuk ke fakultas bergengsi tersebut, karena nilainya kali ini sungguh di luar prediksinya. Itu karena dia termotivasi ingin masuk ke fakultas kedokteran.
_
Malam berikutnya, seperti biasa. Anzel dan kedua saudaranya berkumpul di meja makan seperti biasa. Makan malam yang tidak boleh di lewati oleh siapa pun, kecuali ada satu anggota keluarga yang sedang sibuk di luar rumah.
Anzel duduk, dia menatap adiknya yang sedang memegangi ponselnya. Tertawa kecil tanpa suara karena membaca hal lucu di ponselnya, kini mata Anzel beralih ke arah kakaknya. Sama halnya dengan Natasya, Marvin juga sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang mereka lihat yang lebih menarik dari pada mengobrol dengan dirinya.
"Kak Marvin, bagaimana dengan kuliahmu di kedokteran? Apa sangat menyenangkan?" tanya Anzel.
Marvin tidak menoleh maupun menjawab pertanyaan adiknya, dia masih saja sibuk mengetik di ponselnya. Anzel menarik napas panjang, kini beralih pada adiknya Natasya.
"Tasya, apa kamu sangat senang hari ini di sekolah?" tanya Anzel.
Lagi-lagi Natasya tidak menggubris pertanyaan Anzel, dia sibuk juga dengan ponselnya.
"Kalian sangat sibuk, sehingga apa yang aku tanyakan tanpa di pedulikan," kata Anzel.
Natasya menatap kakaknya, sinis. Begitu juga dengan Marvin, dia hanya melirik sekilas dan melanjutkan lagi kegiatannya sibuk dengan ponselnya. Tak lama kedua orang tua mereka pun datang, Marvin dan Natasya meletakkan ponselnya di meja. Menyapa kedua orang tuanya dengan ramah dan bersemangat.
"Halo sayang, bagaimana dengan kompetisi fisikanya di sekolah? Apa kamu terpilih jadi perwakilan sekolah untuk kompetisi setingkat kota?" tanya Maria, sang mama.
"Tentu dong ma, aku yang di kirim oleh sekolah untuk perwakilan. Minggu depan acara kompetisi fisika itu, aku sangat senang sekali," jawab Natasya.
"Baguslah, kamu selalu membanggakan mama dan papamu, sayang," kata Maria memuji Natasya, anak bungsunya.
"Sepertinya Natasya akan mengikutimu, Marvin. Dia sangat cerdas sekali, apa kamu mau masuk ke fakultas kedokteran sayang?" tanya tuan Barraq pada anak bungsunya.
"Tidak papa, aku ingin masuk ke teknik saja. Aku ingin jadi ilmuwan fisika, dan akan menjadi ilmuwan terkenal di kota ini," kata Natasya dengan bangganya.
"Itu bagus sayang, mama dan papa mendukungmu," jawab Maria.
Natasya tersenyum, berbeda dengan Anzel. Dia ingin bicara pada papanya, ragu karena takut akan keinginannya tidak di kabulkan oleh papanya. Tapi kemudian dia pun bicara juga, berharap apa yang dia inginkan di kabulkan oleh papanya.
"Papa, aku sudah selesai sekolah terakhirku. Apa aku boleh mendaftar kuliah di fakultas kedokteran?" tanya Anzel akhirnya memberanikan diri.
Semua menatap laki-laki yang sedang menunggu jawaban papanya. Alis Marvin terangkat satu dengan di tarik ke samping, begitu juga dengan Natasya. Gadis itu hanya melebarkan matanya, dengan senyuman mengejek. Apa lagi Maria, dia menggeleng tidak suka akan keinginan Anzel itu.
"Bolehkan pa aku mendaftar ke fakultas kedokteran?" tanya Anzel lagi.
"Apa papa peduli dengan ucapan Anzel?" Marvin bertanya menatap papanya.
"Tidak. Mana ada kemampuan kamu masuk ke fakultas kedokteran." kata tuan Barraq akhirnya bersuara.
"Tapi pa, nilai akhirku bagus. Aku bisa masuk ke fakultas kedokteran, aku juga ingin jadi dokter. Mengenal apa itu peralatan dokter, operasi bedah, berbagai macam obat-obatan. Bahkan aku juga bisa meracik obat sendiri," kata Anzel membela diri agar papanya mengabulkan keinginannya.
"Apa? Membuat obat sendiri? Jangan ngarang, kamu! Hahah!" ucap Marvin tertawa keras mengejek adiknya.
Anzel menatap tajam pada kakaknya yang meremehkan kemampuannya, meski ucapannya itu memang belum terbukti dia bisa meracik obat. Tapi dia tahu komposisi bahan untuk pembuatan obat dan kegunaannya.
"Sudahlah Anzel, nilai akhirmu itu tidak ada gunanya. Buat apa kamu mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran. Bukankah lebih baik kamu diam saja di kamarmu, tidak usah lagi memiliki keinginan apa pun dalam hatimu. Tunggu waktu kamu akan menikah nanti dan pergi dari sini dengan istrimu nanti," kata Maria, mamanya.
Kata-kata Maria lebih pedas dari ucapan papanya, Anzel menarik napas panjang. Setiap kali berdebat masalah keinginannya, setiap kali itu juga tidak ada yang mendukungnya. Bahkan setiap usahanya itu tidak pernah mendapat apresiasi dari keluarganya.
"Pa, kumohon kabulkan keinginanku ini," kata Anzel mencoba merayu papanya.
"Diamlah Anzel! Apa kamu masih berpikir papamu akan mengabulkan keinginanmu?!" teriak Maria yang sudak kesal sekali pada anak kedua yang dia anggap sebagai anak sial.
"Ma, kalian pilih kasih. Natasya di suruh masuk kedokteran, kak Marvin juga begitu. Kenapa aku tidak boleh?" tanya Anzel.
"Anzel! Masuklah dalam kamarmu!" teriak tuan Barraq.
"Pa, aku hanya ingin papa mendukungku."
"Cepat pergi Anzel!"
"Pa?!"
Plak!
Pipi Anzel di tampar oleh papanya, laki-laki tegas berkumis tipis itu menatap anak keduanya dengan tajam. Dia tidak suka di bantah oleh anaknya itu, sedangkan Anzel. Tangannya mengelus pipinya yang terasa perih, menunduk dalam. Tapi kemudian dia bangkit dan segera pergi dari ruang makan itu. Hatinya bergemuruh, marah dan juga sakit hati. Kenapa setiap kali dia menginginkan sesuatu, selalu saja di tolaknya oleh papanya dan juga mamanya.
"Apa aku bukan anak kalian? Selalu saja di bedakan."
_
_
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
hallo kak Umi, kemarin udah intip-intip tapi belum sempat komen. Semangat up nya..
2024-01-27
0
Deni
baru mulai baca
2024-01-26
0
Al^Grizzly🐨
kalau kakak dan adik sinis dan di ajak bicara..nggak peduli begitu..berantem yuukk..biar saudara.
2024-01-26
2